Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam wafat, Sayyidina Bilal bin Rabah radhiallahu anhu memohon kepada khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu anhu agar
diperkenankan tidak menjadi Muazin di Masjid Nabawi lagi. Selain itu,
Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan
alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.
Awalnya,
Ash Shiddiq merasa keberatan untuk mengabulkan permohonan Bilal
berhenti mengumandangkan azan dan keluar dari kota Madinah. Bilal
mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk
kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika
engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas
memilih jalan hidupku”.
Abu
Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu karena Allah,
dan aku memerdekakanmu juga karena Allah. Baiklah, aku mengabulkan
permohonanmu”.
Perlu
bagi kita untuk merenungkan ucapan Bilal kepada khalifah Abu Bakar,
“Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka
engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena
Allah, maka biarkanlah aku bebas memilih jalan hidupku”.
Saat
kita berbuat baik kepada orang lain hendaknya kita mengharapkan ridha
Allah dan tidak mengharapkan balasan dari manusia dan bukan untuk
memperbudaknya. Saat kita diberi kebaikan oleh orang lain maka
janganlah lupa untuk membalas kebaikannya, jika tidak mampu membalas
maka minimal dengan mendoakannya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
لا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لا يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidak bersyukur kepada Allah seorang yang tidak berterima kasih kepada manusia” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Albani di dalam kitab Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, 1/702).
Bagaimana
jika ada orang lain yang telah berjasa besar dalam kehidupan kita dan
dia mengajak kita untuk mengikuti ajaran dan keyakinannya yang
bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah? Bagaimana sikap pejabat
terhadap orang yang telah berjasa besar kepadanya lalu berbuat
kesalahan yang berhak dihukum? Apakah dia bersikap tegas? Bagaimana
sikap seorang perempuan kepada laki-laki yang telah berjasa besar atau
telah banyak menolongnya, lalu laki-laki itu mengajaknya berbuat
maksiat atau meminta kehormatannya, mengajaknya berbuat nista? Apakah
ia akan bersifat lemah dan mengikuti ajakan setan?
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan dengan problem seperti
ini. Problem ini dialami hampir oleh setiap individu, apalagi oleh
seorang pemimpin atau pejabat.
Wajib
untuk setiap muslim bersyukur kepada Allah atas segala nikmatNya dengan
menjalankan perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya.
Wajib bagi setiap muslim untuk mendahulukan Allah dan mencintaiNya
lebih dari cinta kita kepada orang tua kita, guru kita dan orang yang
telah berjasa kepada kita. Wajib bagi setiap muslim untuk lebih
mencintai Allah dari cinta kita kepada jabatan. Wajib bagi setiap
muslim untuk mengutamakan akhirat dari dunia.
Sebisa mungkin kita hindari menerima jasa kebaikan dari orang yang kita ragukan keikhlasannya.
Jika kita sudah terlanjur menerima kebaikan dari orang lain dan
ternyata dia meminta kita (meskipun secara halus) untuk berbuat dosa
atau mengikuti pemahamannya yang bertentangan dengan Al Quran dan
Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam maka HARAM atas kita mengikuti pemahaman orang tersebut.
Balas
budi kita kepadanya dan terimakasih kita kepadanya adalah dengan
mendoakannya agar Allah memberinya hidayah dan kita berusaha semampu
kita untuk menyelamatkannya dari penyimpangan. Kita bisa memberinya
buku-buku yang bermanfaat, kaset-kaset yang menjelaskan pemahaman yang
benar dan membantah pemahamannya yang sesat dengan cara yang baik jika
orang yang telah berjasa kepada kita memang orang baik. Jika ia bukan
orang baik maka cukup doakan saja dan kita menghindari dari
keburukannya.
Bagi
para pemimpin dan pejabat hendaknya bersikap tegas dan adil sesuai
syariat Islam bagaimana seharusnya menghukum jika ada bawahannya atau
siapapun yang berbuat salah yang memang seharusnya untuk dihukum.
Seorang hakim berkewajiban bersikap adil saat memutuskan perkara
siapapun yang diadilinya.
Amirul
Mukminin Umar bin Khathab radhiallahu anhu membeli seekor kuda dari
seorang arab badui. Setelah membayarnya, beliau menaiki kuda tersebut
dan bermaksud pulang menuju rumahnya. Namun tak seberapa jauh dari
tempat itu, tiba-tiba kuda tersebut menjadi cacat dan tak mampu
melanjutkan perjalanan. Maka Umar membawanya kepada si penjual untuk
mengembalikan atau menggantinya dengan kuda yang lain. Penjual kuda
menolak, sampai akhirnya mereka berdua sepakat untuk meminta kepada
Syuraih bin Harits seorang hakim yang diangkat oleh Umar untuk
menghakimi perselisihan di antara keduanya.
Amirul
mukminin Umar bin Khathab bersama penjual kuda tersebut mendatangi
Syuraih. Umar mengadukan penjual itu kepadanya. Setelah mendengarkan
juga keterangan dari orang dusun tersebut, Syuraih menoleh kepada Umar
bin Khathab sambil berkata, “Apakah Anda mengambil kuda darinya dalam keadaan baik?” Umar: “Benar, aku mengambilnya dalam keadaan baik”.
Syuraih: “Ambillah yang telah Anda beli wahai Amirul Mukminin, atau kembalikan kuda tersebut dalam keadaan baik seperti tatkala Anda membelinya”.
Umar: (memperhatikan Syuraih dengan takjub lalu berkata) “Hanya beginikah pengadilan ini? Kalimat yang singkat, dan hukum yang adil”.
Syuraih: “Ambillah yang telah Anda beli wahai Amirul Mukminin, atau kembalikan kuda tersebut dalam keadaan baik seperti tatkala Anda membelinya”.
Umar: (memperhatikan Syuraih dengan takjub lalu berkata) “Hanya beginikah pengadilan ini? Kalimat yang singkat, dan hukum yang adil”.
Syuraih dikenal dengan keputusannya yang selalu bersikap netral dan adil.
Kita perlu mengamalkan doa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam,
اللَّهُمَّ
أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ ، وَالْحَزَنِ ، وَالْعَجْزِ ، وَالْكَسَلِ ،
وَالْبُخْلِ ، وَالْجُبْنِ ، وَفَضَحِ الدَّيْنِ ، وَقَهْرِ الرِّجَالِ
“Ya
Allah, aku berlindung kepadaMu dari kesulitan dan kesedihan, dari
ketidakberdayaan dan kemalasan, dari sifat penakut dan sifat kikir,
dari terlilit hutang dan aku berlindung kepadaMu dari diperbudak oleh
orang lain” (HR. Bukhari dan Muslim).
***
Penulis: Ust. Fariq Gasim Anuz, Lc.
Artikel Muslim.or.id
Sumber: http://muslim.or.id/29451-bagaimana-seharusnya-membalas-budi.html