Apa hukum menagih hutang?
Penanya: Apa hukum menagih hutang?.
Jawab:
بسم الله الرحمن الرحيم .وبه
نستعين، ولا حول ولا قوة إلا بالله.وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا
شريك له، وأشهد أن محمدا عبد الله ورسوله صلى الله عليه وسلم تسليما كثيرا. أما بعد:
Dalam menangani permasalahan menagih hutang manusia
terbagi kepada dua kelompok:
Kelompok Pertama: Mereka menyatakan “Jangan malu dalam
menagih hutang”.
Pada kelompok ini mereka memutuskan bahwa kapan saja
menginginkan untuk menagih hutang yang mereka hutangkan kepada orang lain
maka mereka lakukan, ini tentu memberatkan bagi yang hutang, berbeda
halnya kalau sudah ada perjanjian sebelumnya yaitu dengan menentukan
jangka waktunya maka seperti ini tidak mengapa.
Dengan ketentuan ini kita mengetahui betapa pentingnya
pemberian catatan sebagaimana yang Alloh Ta’ala katakan:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ
بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ} [البقرة: 282].
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian berhutang
piutang dengan suatu hutang sampai kepada waktu yang ditentukan maka
hendaknya kalian menuliskannya, dan hendaknya seorang penulis diantara
kalian menuliskannya dengan adil”. (Al-Baqoroh: 282).
Bila sudah ada penentuan waktu kemudian orang yang
memberikan hutang datang menagih hutangnya sebelum waktu tersebut maka dia
telah melakukan suatu pelanggaran:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَوْفُوا بِالْعُقُودِ} [المائدة: 1]
“Wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad
kalian”. (Al-Maidah: 1).
Yang kedua: Mereka menyatakan “Lihatlah kepada keadaan
kalian (yang memberi hutang) dan keadaan mereka (yang dihutangkan)!”.
Kelompok yang kedua ini lebih bijak, yaitu “mereka
melihat kepada keadaan diri mereka dan keadaan orang-orang yang hutang
kepada mereka”, hal ini sebagaimana yang datang di dalam suatu hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhoriy dari hadits Abdullah bin Ka’b bin Malik dari
Bapaknya, beliau mengabarkan:
“أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِي حَدْرَدٍ
دَيْنًا لَهُ عَلَيْهِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلى الله عَليهِ وَسَلّمَ
فِي الْمَسْجِدِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهَا رَسُولُ
اللهِ صَلى الله عَليهِ وَسَلّمَ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ فَخَرَجَ
إِلَيْهِمَا رَسُولُ اللهِ صَلى الله عَليهِ وَسَلّمَ حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ
حُجْرَتِهِ وَنَادَى كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ: «يَا كَعْبُ» قَالَ:
لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللهِ فَأَشَارَ بِيَدِهِ أَنْ: «ضَعِ الشَّطْرَ مِنْ
دَيْنِكَ» قَالَ كَعْبٌ: قَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلى الله عَليهِ وَسَلّمَ: «قُمْ فَاقْضِهِ»”.
“Bahwasanya beliau membayar kepada Ibnu Abi Hadrod
suatu hutang beliau kepadanya pada zaman Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam di dalam masjid {? agak sulit difahami=dass}, lalu meninggi suara keduanya sampai Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mendengar suaranya, dan beliau di dalam rumahnya,
lalu Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam keluar kepada keduanya hingga
membuka kain tabir pintu kamar beliau, dan beliau menyeru Ka’b bin Malik:
“Wahai Ka’b!”, Ka’b berkata: “Kupenuhi seruanmu wahai Rosululloh”, lalu
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memberikan isyarat dengan tangannya:
“Bayarlah separoh dari hutangmu”, Ka’b berkata: “Sungguh aku
telah melakukannya wahai Rosululloh”, maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam berkata: “Berdirilah lalu tunaikanlah”.
Pada hadits ini menunjukan bolehnya bagi seseorang
untuk menagih harta yang dia hutangkan kepada orang lain.
Pada hadits tersebut Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam memberikan isyarat dengan tangannya “Bayarlah separoh
dari hutangmu“, hal ini menunjukan tentang bolehnya membayar hutang secara
cicilan, ini tentu dengan melihat keadaan yang disesuaikan
dengan kemampuan yang ada, dan hal ini bila tidak ada perjanjian
sebelumnya.
Kalau ada perjanjian dari sebelumnya misalnya bayar
tunai maka harus lakukan.
Apa yang diputuskan oleh Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam ini juga mengandung pelajaran bagi yang memberi
hutang untuk melihat atau mengerti keadaan orang yang dihutangkan.
Kalau yang memberi hutang masih memiliki banyak harta
atau belum membutuhkan harta yang dia hutangkan kepada yang lainnya maka
dia memberikan tangguh sampai orang yang hutang itu memiliki kemampuan,
dan ini masuk dalam bab ta’awun (bekerja sama) di atas kebaikan
dan termasuk sikap yang bijak.
Dan pada kelompok ini kalau mereka “mengikhlaskan” apa
yang mereka hutangkan kepada orang lain yang tidak mampu membayar
hutangnya, maka ini suatu kebaikan dan mereka mendapatkan keutamaan karena
telah membantu saudara mereka, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam berkata:
«وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ
كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ
اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ».
“Dan barang siapa yang keberadaannya pada hajat
saudaranya maka Alloh pada hajatnya, dan barang siapa membebaskan dari
seorang muslim terhadap suatu kesulitan maka Alloh membebaskan darinya
suatu kesulitan dari kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat”. Diriwayatkan
oleh Al-Bukhoriy dan Muslim dari hadits Abdulloh bin ‘Umar Rodhiyallohu
‘anhuma.
Dengan keutamaan seperti ini maka Abu Qotadah
Al-Anshoriy Rodhiyallohu ‘anhu memberi jaminan untuk membayarkan
hutang seorang shohabat yang meninggal, Jabir Rodhiyallohu ‘anhu berkata:
“كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم لاَ يُصَلِّى عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَأُتِىَ بِمَيِّتٍ
فَقَالَ: «أَعَلَيْهِ دَيْنٌ». قَالُوا: نَعَمْ دِينَارَانِ. قَالَ: «صَلُّوا
عَلَى صَاحِبِكُمْ». فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ الأَنْصَارِىُّ: هُمَا عَلَىَّ يَا
رَسُولَ اللَّهِ. فَصَلَّى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم”.
“Dahulu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak
mensholatkan seseorang meninggal yang dia memiliki hutang.
Didatangkan kepada beliau dengan seorang jenazah, maka beliau berkata: “Apakah
dia memiliki hutang?”, mereka menjawab: “Iya, dia memiliki hutang
dua dinar”, maka beliau berkata: “Sholatlah kalian untuk
saudara kalian!”. Maka Abu Qotadah Al-Anshoriy berkata: “Dua dinar
itu aku yang akan bayar wahai Rosululloh, maka Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam mensholatkannya”.
Pada hadits ini terdapat dua permasalahan:
Pertama: Hutang teranggap suatu beban berat bagi
seseorang, baik ketika hidupnya atau setelah matinya, maka hendaknya
seseorang berhati-hati dalam masalah ini, dan tidak bermudah-mudahan dalam
masalah hutang melainkan kalau memang darurot dan mengharuskannya untuk
hutang.
Kedua: Keutamaan bagi yang membayarkan hutang
saudaranya, hal ini sebagaimana Rosululloh Shollallohu’Alaihi wa Sallam dahulu
memberikan jaminan bagi yang hutang, Jabir Rodhiyallohu ‘anhu berkata:
“فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ
نَفْسِهِ فَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِوَرَثَتِهِ».
“Tatkala Alloh telah membukakan (pintu kemenangan)
kepada RosulullohShollallohu ‘Alaihi wa Sallam maka beliau berkata: “Saya
lebih utama terhadap setiap mu’min dari dirinya, maka barang siapa meninggalkan
hutang maka aku yang akan membayarnya, dan barang siapa meninggalkan harta
maka harta itu untuk para pewarisnya”.
Maka suatu keberuntungan bagi siapa yang meringankan
beban saudaranya dengan membayar hutangnya.
Dan juga suatu kebanggaan dan kesejahteraan bagi yang
memiliki harta banyak yang dia suka menghutangkan hartanya kepada orang
lain, kita katakan demikian karena orang yang menghutangkan hartanya
kepada orang lain otomatis dia telah menabung suatu tabungan yang akan
menghasilkan dua bunga sekaligus; di dunia dia akan mendapatkan ganti
ketika orang yang hutang membayar hutangnnya dan di akhirat dia
mendapatkan pahala karena telah membantu saudaranya.
Kami menjelaskan seperti ini jangan kemudian disalah
fahami atau dimanfaatkan yaitu dengan bermudah-mudahan dalam berhutang,
karena sebagian orang tidak mau berusaha ya’ni tidak mau bekerja namun
senang hutang ke sana kemari dengan niat tidak dibayar, ini
adalah perbuatan batil.
__________
from=https://ashhabulhadits.wordpress.com/2014/05/06/hukum-menagih-hutang/