Ditulis Oleh: Mushlih bin Syahid
Abu Sholeh Al-Madiuniy –saddadahulloh-.
Dammaj Harosahalloh
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، وبه نستعين، والصلاة والسلام على سيد
المرسلين، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد:
Alloh –subhanahu wa ta’ala– berfirman dalam
surat Al-Maidah yang dikenal oleh para ulama sebagai ‘ayat wudhu’:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian
hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan
siku. Usaplah kepala dan basuh kaki kalian sampai dengan kedua mata
kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Ayat tersebut diawali dengan seruan Alloh
-ta’ala- kepada orang-orang mukmin. Hal ini menunjukkan akan pentingnya perkara
wudhu ini, karena dengan seruan tersebut mengharuskan adanya perhatian dari
yang diseru. Kemudian seruan tersebut diarahkan kepada orang-orang yang
beriman, sehingga menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum wudhu dalam ayat tersebut
secara baik dan tepat merupakan konsekuensi iman. Sebaliknya, jika dilakukan
secara serampangan, maka dapat mengurangi kualitas keimanan seorang mukmin.
(lihat Tadwinul Faidah, oleh Syaikhuna Yahya –hafidzohulloh-,
hal. 22)
Di samping itu, wudhu termasuk syarat sahnya
sholat seseorang, Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda:
لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Tidak diterima sholat salah seorang dari
kalian jika berhadats, sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhori dan Muslim dari
Abu Huroiroh –rodhiyallohu ‘anhu-)
Banyak hadits-hadits Rosululloh –shollallohu
‘alaihi wa sallam– yang shohih menjelaskan perincian ayat tersebut, yaitu
tata-cara berwudhu sesuai As-Sunnah yang jikalau umat Islam mengamalkan
petunjuk Nabi mereka -baik dalam peribadatan maupun mu’amalah-, maka akan
mendapatkan keutamaan yang banyak dan barokah serta kesejahteraan hidup, baik
di dunia maupun di akherat kelak. Ini semua merupakan bentuk kasih sayang dan
rahmat beliau-‘alaihis-sholatu was-salam- terhadap umat akhir zaman ini.
Demikian pula para sahabat beliau –rodhiyallohu
‘anhum-, telah bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam menyampaikan sunnah Rosululloh
–shollallohu ‘alaihi wa sallam– kepada generasi setelah mereka para salafush-sholeh dan
seterusnya, sehingga ajaran Islam yang murni ini -termasuk tata cara bersuci-
sampailah kepada kita dengan sempurna dan terang-benderang -malamnya bagaikan
siang-. Tidaklah seseorang itu berpaling dan enggan untuk menerimanya,
melainkan ia akan hidup sengsara dan binasa.
Inilah sahabat Ali bin Abi Tholib –rodhiyallohu
‘anhu– ketika berwudhu mengatakan kepada siapa yang waktu itu berada di
sekitarnya: “Siapa yang ingin mengetahui wudhu Rosululloh -shollallohu
‘alaihi wa sallam-, maka inilah dia.” (Riwayat Abu Dawud)
Demikian juga ‘Utsman bin ‘Affan –rodhiyallohu
‘anhu-, ketika berwudhu dengan membasuh anggota wudhunya sebanyak tiga kali,
berkata kepada siapa yang ada di sekitarnya: “Aku telah melihat Rosululloh
-shollallohu ‘alaihi wa sallam- berwudhu seperti wudhuku ini.”(Riwayat Bukhori
dan Muslim)
Para salaf pun demikian bersemangat untuk
menanyakan bagaimana tata cara wudhu Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam–
dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan mengajarkannya, sampai-sampai di
antara mereka ada yang dikenal sebagai ‘Ibnu Syaikh Wudhu’ (anak
syaikh wudhu); yaitu Ahmad bin Muhammad bin Ibrohim Ash-Shofadiy (wafat 799H).
Hal itu karena ayahnya dahulu suka mengajari orang-orang awam tata-cara
berwudhu, sehingga dijuluki sebagai ‘Syaikh Wudhu’. (lihat Syudzurot
Adz-Dzahab: 6/357)
PENTINGNYA KESEMPURNAAN DALAM BERWUDHU
Wudhu yang sempurna adalah wudhu yang sesuai
dengan sunnah Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam-, dengan memenuhi
kewajiban-kewajiban, sunnah-sunnahnya serta menghindari kesalahan-kesalahan
yang terjadi. Dengan demikian, seorang muslim yang membaguskan wudhunya akan
mendapatkan manfaat dan keutamaan yang besar dari amalan tersebut, diantaranya
adalah sebagai berikut:
Kesempurnaan wudhu separoh dari keimanan
Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda:
إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ شَطْرُ الْإِيمَانِ
“Kesempurnaan wudhu adalah separoh dari
keimanan.” (HR. An-Nasa’iy dan Ibnu Majah dari Abu Malik Al-Asy’ariy –rodhiyallohu
‘anhu-, dishohihkan oleh Syaikhuna Yahya –hafidzohulloh– dalam Tadwinul
Faidah, hal. 18)
Diantara makna hadits ini adalah bahwasanya
yang dimaksud iman di sini adalah sholat, sebagaimana dalam firman Alloh –subhanahu
wa ta’ala-:
وَمَا كَانَ الله لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
“Alloh tidak akan menyia-nyiakan iman kalian
(yaitu sholat kalian ketika masih berkiblat ke Baitul Maqdis).” (QS.
Al-Baqoroh: 143)
Sedangkan wudhu adalah syarat sahnya sholat,
maka seolah-olah ia adalah separoh sholat. Tidak melazimkan bahwa yang
dimaksudkan dengan separoh di sini adalah secara hakiki. (lihat Syarh
Shohih Muslim, no. 223; karya Imam An-Nawawiy –rohimahulloh-)
Wudhu yang baik penyebab datangnya ampunan
Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda:
لَا يَتَوَضَّأُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ فَيُصَلِّي
صَلَاةً إِلَّا غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الصَّلَاةِ الَّتِي
تَلِيهَا
“Tidaklah seorang muslim membaguskan wudhunya
kemudian melakukan sholat, kecuali Alloh akan memberikan ampunan untuknya di antara
sholat yang satu dengan sholat berikutnya.” (HR. Muslim dari ‘Utsman bin
‘Affan –rodhiyallohu ‘anhu)
Yang dimaksud dengan membaguskan wudhu di sini
adalah melakukan sifat (tata cara) dan adab wudhu secara sempurna. Dalam hadits
ini pula mengandung anjuran untuk mempelajari syarat-syarat, tata cara,
adab-adab berwudhu dan beramal dengannya secara hati-hati serta
bersungguh-sungguh untuk berwudhu secara sempurna. (lihat Syarh Shohih
Muslim, no. 333)
Wudhu yang sempurna sebab dihapuskannya
dosa-dosa
Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam–
bersabda:
مَنْ أَتَمَّ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللهُ تَعَالَى، فَالصَّلَوَاتُ
الْمَكْتُوبَاتُ كَفَّارَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ
“Siapa yang menyempurnakan wudhunya
sebagaimana yang diperintahkan oleh Alloh ta’ala, maka sholat lima waktu itu
sebagai penghapus dosa di antara sholat-sholat tersebut.” (HR. Muslim dari
‘Utsman bin ‘Affan –rodhiyallohu ‘anhu-)
Hadits ini berlaku bagi seseorang yang
mencukupkan diri dengan melakukan kewajiban-kewajiban dalam berwudhu, tanpa
melakukan perkara-perkara sunnah mustahabbah dalam berwudhu.
Jika seseorang menyempurnakan wudhunya dengan melakukan perkara-perkara sunnah,
maka akan lebih banyak pula dosa-dosa yang dihapuskan. (lihat Syarh Shohih
Muslim, no. 231)
Sebab dibukakannya pintu-pintu masuk jannah
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ – أَوْ فَيُسْبِغُ
– الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ
الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاء
“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu
dan membaguskan wudhunya, lalu mengucapkan: “Asyhadu all-laa ilaaha
illalloh, wa anna Muhammadan ‘abdullohi wa rosuuluh,” melainkan akan
dibukakan untuknya delapan pintu-pintu jannah, silahkan ia memasukinya dari
pintu manapun yang dikehendaki.” (HR. Muslim dari Umar bin Al-Khotthob –rodhiyallohu
‘anhu-)
SIFAT (TATA-CARA) WUDHU NABI
Banyak diantara para salaf menjelaskan
tata-cara berwudhu dengan cara praktek langsung di hadapan orang-orang. Hal ini
telah dimaklumi bersama, bahwa hal itu lebih mudah untuk diingat dan dipahami
daripada hanya sekedar teori.
Diantara riwayat yang lengkap dalam
menggambarkan sifat wudhu Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– adalah dari
‘Utsman bin ‘Affan –rodhiyallohu ‘anhu– dalam Shohih Bukhori dan Muslim:
دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ،
ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ
غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ
يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ
الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ
ذَلِكَ. ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ
رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِه. قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ: هَذَا الْوُضُوءُ
أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلَاةِ.
“Beliau meminta air wudhu, lalu memulai
berwudhu dengan mencuci kedua telapak tangan sebanyak tiga kali. Kemudian
berkumur-kumur disertai dengan memasukkan air ke dalam hidung dan
mengeluarkannya. Kemudian mencuci wajah sebanyak tiga kali. Lalu mencuci tangan
kanan sampai siku sebanyak tiga kali, demikian juga tangan kirinya. Kemudian
mengusap kepala. Lalu mencuci kaki kanannya sampai mata kaki sebanyak tiga
kali, demikian juga kaki kirinya. Lalu beliau berkata: “Aku telah melihat
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berwudhu seperti wudhuku ini.”
Kemudian menyampaikan sabda Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-: “Siapa
yang berwudhu seperti wudhuku ini, lalu mendirikan sholat dua rokaat dengan
khusyu’, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Ibnu Syihab Az-Zuhriy –rohimahulloh– berkata:
“Ulama kami dahulu mengatakan: “Ini adalah cara wudhu terbaik yang dilakukan
seseorang untuk mendirikan sholat.”
Banyak riwayat-riwayat lainnya secara rinci
melengkapi hadits ini dalam tata-cara wudhu, sehingga dapat disimpulkan secara
singkat bahwa sifat wudhu Nabi secara urut dan sempurna adalah sebagai berikut:
- Pertama, berniat wudhu dalam hati; lalu
mencuci kedua telapak tangan (tiga kali);
- Kemudian berkumur disertai dengan memasukkan
air ke dalam hidung (istinsyaq) dan mengeluarkannya (istintsar) sebanyak tiga
kali;
- Lalu mencuci atau membasuh seluruh permukaan
wajah (tiga kali); disertai dengan menyela-nyela jenggot (jika berjenggot lebat
sampai menutup kulit di bawahnya);
- Lalu mencuci kedua tangan: dari ujung jari
sampai siku (tiga kali);
- Kemudian mengusap kepala sebanyak satu kali,
dimulai dari arah depan tempat tumbuhnya rambut kepala sampai ke belakang, lalu
mengembalikannya kembali ke depan disertai dengan mengusap kedua telinga,
dengan memasukkan ujung jari telunjuk ke dalam lobang telinga dan mengusap
bagian dalam telinga dangan jari telunjuk dan bagian luar dengan ibu jari; atau
mengusap ‘imamah jika sedang mengenakannya (sebagai ganti mengusap
kepala);
- Kemudian mencuci kedua kaki sampai mata kaki
(tiga kali); atau mengusap bagian atas kedua khuf (sepatu tinggi yang
menutupi mata kaki atau kaos kaki) jika sedang mengenakannya;
- Kemudian yang terakhir membaca dzikir setelah
wudhu sebagaimana telah tersebut dalam hadits Umar –rodhiyallohu ‘anhu– di atas
(asy-syahadatain).
- Semuanya dilakukan secara tertib dan
terus-menerus tanpa ada jeda dalam waktu yang lama tanpa adanya udzur
syar’iy.
Adapun perincian sifat wudhu Nabi
selengkapnya, baik kewajiban-kewajiban atau sunnah-sunnahnya yang disertai
dengan dalil-dalilnya, maka tidaklah disebutkan di sini, tetapi memerlukan
risalah tersendiri. Semoga Alloh –subhanahu wa ta’ala– memudahkannya di waktu
mendatang.
KESALAHAN-KESALAHAN DALAM BERWUDHU
Hal ini merupakan inti pembahasan risalah ini
yang bertujuan agar kaum muslimin menghindarkan diri dari hal-hal yang
dapat mengurangi kesempurnaan wudhunya, bahkan diantara kesalahan-kesalahan tersebut
ada yang merusak sahnya wudhu seseorang.
Batasan kesalahan dalam berwudhu
Yang dimaksudkan dengan melakukan kesalahan
dalam berwudhu adalah jika seseorang:
- Meninggalkan kewajiban-kewajiban wudhu,
seperti niat, membasuh wajah, tangan, kaki, mengusap kepala dan sebagainya.
- Melakukan hal-hal yang tidak ada dalilnya sama
sekali.
- Melakukan atau meninggalkan sesuatu sebagai
bentuk penyelisihan terhadap dalil-dalil yang jelas dan shohih serta mengikuti
pendapat yang sangat lemah.
Beberapa kesalahan dalam berwudhu
1. Melafadzkan niat.
Niat adalah syarat sahnya suatu amalan,
termasuk wudhu ini. Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا
نَوَى
“Hanyalah amalan-amalan itu dengan niat-niat
dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhoriy dan
Muslim dari Umar –rodhiyallohu ‘anhu-)
Niat adalah amalan hati, yaitu kehendak hati
untuk melakukan sesuatu dan bukan amalan lisan. Melafadzkan niat dalam berwudhu
dan ibadah lainnya tidaklah disyariatkan, karena hal itu tidak pernah dilakukan
dan dituntunkan oleh Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam-, juga tidak
seorang pun dari para khulafaur-rosyidin, para sahabat, salafush-sholeh dan
para ulama muslimin melakukannya. Itu hanyalah perkara yang diada-adakan oleh
orang-orang belakangan yang tidak merasa cukup dengan apa yang telah
dituntunkan oleh syariat yang telah sempurna ini.
Alloh –subhanahu wa ta’ala– maha mengetahui
niat-niat yang ada dalam hati-hati manusia, sehingga tidak ada perlunya lagi
bersusah payah untuk melafadzkannya. Apakah masuk akal, jika seseorang hendak
makan -misalnya-, lalu ia mengatakan: “Aku berniat makan ini dan itu untuk
menghilangkan rasa lapar…” Maka demikian pula dalam berwudhu ataupun amalan
lainnya, tidaklah perlu dia berkata: “Aku berniat untuk berwudhu untuk
menghilangkan hadats…” Tidaklah hal itu dilakukan, kecuali oleh orang yang
jahil dan kurang akalnya. Maka hal itu tertolak, baik secara tabiat maupun syariat.
Syaikhul Islam –rohimahulloh– mengatakan
bahwa hal itu merupakan kebid’ahan menurut kesepakatan ulama. Siapa yang
melakukannya dengan berkeyakinan bahwa hal itu disyariatkan, maka ia adalah
seorang jahil dan sesat serta pantas mendapatkan hukuman. (lihat Majmu’
Fatawa Syaikhul Islam -rohimahulloh-: 22/218 & 236)
Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang melakukan suatu amalan bukan dari
tuntunan kami (kebid’ahan), maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim
dari ‘Aisyah –rodhiyallohu ‘anha-)
2. Mencuci kedua mata bagian dalam.
Perbuatan ini tidak disunnahkan, baik dalam
berwudhu maupun mandi wajib, karena Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– tidak
pernah melakukannya dan tidak pula menuntunkannya, bahkan dapat mengganggu
kesehatan mata. Adapun pendapat sebagian orang akan disunnahkannya perbuatan
tersebut, sama sekali tidaklah didukung dengan dalil.
3. Berlebihan dalam penggunaan air wudhu.
Dahulu Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa
sallam– menggunakan sedikit air wudhu. Seringnya beliau berwudhu dengan
satu mud air (kurang lebih sebanyak dua telapak tangan orang dewasa),
sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik –rodhiyallohu ‘anhu– riwayat Bukhori
dan Muslim. Bahkan beliau pernah berwudhu hanya dengan dua pertiga mud,
sebagaimana dalam hadits Ummu ‘Umaroh –rodhiyallohu ‘anha– riwayat Abu Dawud
dan An-Nasa’iy (dishohihkan oleh Imam Al-Wadi’iy –rohimahulloh– dalam Ash-Shohihul
Musnad: 2/544)
Tidak apa-apa jika seseorang berwudhu dengan
menggunakan air lebih dari satu mud jika dibutuhkan, selama tidak
berlebihan. Hal ini karena tidak ada dalil tentang batasan air terbanyak yang
boleh digunakan. Berwudhu secara sempurna dengan menggunakan sedikit air
menunjukkan tingkatan fiqih seseorang dan ini termasuk madzhab Ahlussunah
wal jama’ah, berbeda dengan kelompok ‘Ibadhiyah dan Khowarij yang
suka berlebihan dalam menggunakan air wudhu. Kelompok ini muncul pada zaman
tabi’in dan banyak atsar-atsar salaf diriwayatkan sebagai bentuk
pengingkaran terhadap perbuatan mereka. (lihat At-Tamhid: 8/105, karya
Imam Ibnu ‘Abdil Barr –rohimahulloh-)
4. Mencuci atau membasuh anggota wudhu
lebih dari tiga kali.
Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam– berwudhu
secara sempurna dengan membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali dan
menganjurkan umatnya untuk melakukan yang demikian, sebagaimana dalam hadits
‘Utsman bin ‘Affan –rodhiyallohu ‘anhu– riwayat Bukhoriy dan Muslim tersebut di
atas.
Beliau juga pernah berwudhu dua kali-dua kali
sebagaimana dalam hadits ‘Abdulloh bin Zaid –rodhiyallohu ‘anhu– riwayat
Bukhoriy dan satu kali-satu kali sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas –rodhiyallohu
‘anhuma– riwayat Bukhoriy. Terkadang beliau mencuci atau membasuh sebagian
anggota wudhu tiga kali dan sebagian yang lain dua kali dalam sekali berwudhu,
sebagaimana dalam hadits ‘Abdulloh bin Zaid –rodhiyallohu ‘anhu– juga riwayat
Bukhoriy dan Muslim.
Semuanya boleh dilakukan meskipun yang afdhol adalah
cara pertama. Akan tetapi beliau –shollallohu ‘alaihi wa sallam– melarang
umatnya untuk sengaja membasuh lebih dari tiga kali dengan sabda beliau setelah
berwudhu:
هَكَذَا الْوُضُوءُ، فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَسَاءَ
وَتَعَدَّى وَظَلَمَ
“Demikianlah wudhu itu, siapa yang menambah
dari ini (lebih dari tiga kali basuhan), maka dia telah melakukan kejelekan,
melanggar dan berbuat dzolim.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’iy dari
‘Abdulloh bin ‘Amr –rodhiyallohu ‘anhuma, dihasankan oleh Syaikhuna Ibnu
Hizam dalam Fathul ‘Allam: 1/148)
5. Mengusap kepala lebih dari sekali.
As-Sunnah yang shohih menunjukkan secara jelas
bahwa kepala hanyalah diusap sekali saja, sebagaimana dalam hadits ‘Utsman,
‘Abdulloh bin Zaid dalam Ash-Shohihain dan juga hadits ‘Ali bin Abi
Tholib –rodhiyallohu ‘anhum– dalam Sunan Abu Dawud dengan sanad yangshohih bahwasanya
Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– mengusap kepalanya sebanyak satu kali dan
ini adalah pendapat jumhur ulama. (lihat Fathul ‘Allam: 1/151)
Adapun yang berpendapat bahwa kepala juga
diusap sebanyak tiga kali sebagaimana anggota wudhu lainnya, berdalil dengan
keumuman hadits bahwa Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– berwudhu tiga kali
sebagaimana tersebut di atas. Akan tetapi hadits ini bersifat global, telah
diperjelas oleh hadits-hadits lainnya secara terperinci yang hendaknya
seseorang itu beramal dengannya sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
ilmu ushul fiqih.
Mereka juga berdalil dengan riwayat-riwayat
yang secara jelas menunjukkan bahwa beliau –shollallohu ‘alaihi wa sallam–
mengusap kepala sebanyak tiga kali, tetapi riwayat-riwayat tersebut sangat
lemah tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
6. Mengusap tengkuk.
Tidak ada dalil yang shohih dari
Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bahwasanya beliau mengusap tengkuknya
ketika berwudhu. Sebaliknya, riwayat-riwayat yang shohihah tentang
sifat wudhu tidak menyebutkan sama sekali bahwa beliau melakukan hal itu.
Dengan demikian, mengusap tengkuk ketika berwudhu termasuk perbuatan kebid’ahan
yang tertolak dalam agama ini. (lihat Fathul ‘Allam: 1/145) Nabi –shollallohu
‘alaihi wa sallam– bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa mengada-adakan suatu perkara dalam
urusan kami (agama ini) yang bukan darinya, maka ia tertolak.” (HR.
Bukhori dan Muslim dari ‘Aisyah –rodhiyallohu ‘anha-)
7. Mencukupkan diri dengan mengusap
telinga tanpa kepala.
Tidak sah wudhu seseorang yang hanya
mencukupkan diri dengan mengusap dua telinga dan meninggalkan untuk mengusap
kepala menurut kesepakatan (ijma’) para ulama. (lihat Al-Muhalla,
no. 199; karya Ibnu Hazm dan Syarhul Muhadzab: 1/415, karya Imam
An-Nawawiy –rohimahumalloh-)
8. Sekedar mengusap kedua kaki tanpa
mencucinya.
Telah mutawatir dari Rosululloh –shollallohu
‘alaihi wa sallam– bahwasanya beliau dalam berwudhu membasuh atau mencuci kedua
kaki sampai mata kaki jika tidak sedang mengenakan khuf. Tidak ada satu
riwayat pun yang shohih, bahwa beliau sekedar mengusap keduanya saja.
Bahkan beliau –shollallohu ‘alaihi wa sallam– mengingkari seseorang yang
sekedar mengusap kedua kaki tanpa membasuhnya dengan berseru:
وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ
“Neraka Wail (kecelakaan dengan sengatan api
neraka) bagi tumit-tumit (yang tidak terbasuh air wudhu)!” (HR. Bukhori
dan Muslim dari ‘Abdulloh bin ‘Amr –rodhiyallohu ‘anhuma-)
Oleh karena itu, membasuh kedua kaki dalam
berwudhu merupakan sunnah Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– yang wajib dilakukan
dan merupakan madzhab Ahlussunnah. Para sahabat Nabi –shollallohu ‘alaihi
wa sallam– telah bersepakat tentang hal ini. Tidak shohih dari seorang sahabat
pun yang menyelisihi hal ini, kecuali apa yang diriwayatkan dari ‘Ali, Ibnu
‘Abbas dan Anas –rodhiyallohu ‘anhum-. Akan tetapi telah shohih riwayat-riwayat
tentang rujuknya mereka semua kepada al-haq. (lihat Fathul
Bariy: 1/348, karya Ibnu Hajar –rohimahulloh-)
Adapun kelompok Rofidhoh, mereka
mengatakan bahwa kedua kaki hanya diusap saja tanpa dibasuh atau dicuci. Maka
mereka telah menyelisihi dalil-dalil As-Sunnah mutawatir tentang
membasuh kedua kaki. Syaikhul Islam -rohimahulloh– mengatakan: “Siapa yang
hanya mengusap kedua kaki, maka dia adalah seorang mubtadi’ (pelaku
bid’ah) menyelisihi As-Sunnah yang mutawatir dan juga Al-Quran.” (lihat Majmu’
Fatawa: 21/134)
9. Meninggalkan sebagian anggota wudhu
tidak terkena air.
Merupakan suatu kewajiban dalam berwudhu
adalah mengenakan air pada seluruh anggota wudhu. Hal ini merupakan syarat
sahnya wudhu. Tidak sah wudhu seseorang kecuali melakukan hal tersebut.
Terkadang seseorang tergesa-gesa dalam berwudhu, sehingga sebagian anggota
wudhunya tidak terkena air, seperti pada ujung siku, mata kaki, sela-sela jari,
baik tangan maupun kaki. Maka ini merupakan suatu kesalahan yang harus
dihindarkan agar wudhunya sah.
Sebagian orang ketika mencuci kedua tangan,
hanya mencukupkan diri dengan mencucinya mulai dari pergelangan tangan sampai
siku saja dan meninggalkan kedua telapak tangan dengan alasan, bahwa kedua
telapak tangan tersebut telah dicuci pertama kali ketika memulai wudhu. Ini
tidaklah benar, karena mencuci kedua telapak tangan ketika itu hukumnya sunnah
mustahabbah, sedangkan mencuci kedua tangan setelah wajah -mulai dari ujung
jari tangan sampai siku- adalah wajib, tidak sah wudhu seseorang tanpanya. Jadi
dibedakan antara yang pertama dengan kedua.
Demikian juga, seseorang yang terkena sesuatu
yang dapat menghalangi air untuk membasahi anggota wudhunya, seperti jika
terkena cat atau bahan-bahan lainnya. Sehingga ada sebagian anggota wudhu yang
tidak terkena air, maka tidak sah wudhunya. Maka hendaknya seseorang
berhati-hati dalam hal ini dengan memeriksa bagian tersebut dan menghilangkannya
ketika berwudhu.
Perlu diperhatikan pula jika jari-jari kakinya
rapat, sehingga kemungkinan besar air tidak masuk ke sela-sela jari kaki,
kecuali dengan menyela-nyelanya. Maka, wajiblah baginya untuk menyela-nyela
jari kaki atau tangannya agar sempurna wudhunya. Nabi –shollallohu ‘alaihi wa
sallam– bersabda:
أَسْبِغِ الوُضُوءَ، وَخَلِّلْ بَيْنَ الأَصَابِعِ
“Sempurnakanlah wudhu dan sela-selahilah
antara jari-jari kalian.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidziy, An-Nasaiy, Ibnu
Majah, dan selain mereka, dishohihkan oleh Syaikhuna Ibnu Hizam –hafidzohulloh-,
lihat Fathul ‘Allam: 1/160)
Para ulama menyatakan bahwa siapa yang
meninggalkan apa yang wajib dibasuh atau dicuci dalam berwudhu, meskipun hanya
selebar rambut, baik sengaja maupun tidak, maka tidak sah sholatnya dengan
wudhu tersebut sampai ia menyempurnakannya. Hal itu karena ia belumlah
teranggap mendirikan sholat dengan thoharoh (bersuci) yang
diperintahkan. Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda (maknanya): “Siapa
yang melakukan amalan bukan dari tuntunan kami, maka amalan itu tertolak.” (HR.
Muslim)
Ini adalah perkara yang telah disepakati oleh
para ulama. (lihat Al-Muhalla, no. 205; karya Ibnu Hazm dan Syarh
Shohih Muslim: 3/132)
10. Mengangkat tangan dan menghadap
kiblat setelah berwudhu.
Ini banyak dilakukan oleh awam kaum muslimin,
tidak ada dalilnya yang shohih dari Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– dan
tidak pula dilakukan para sahabat serta para salafush-sholeh sepeninggal
beliau. Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda (maknanya): “Siapa
yang mengada-adakan pada urusan agama ini perkara yang bukan darinya, maka ia
tertolak.” (Muttafaqun ‘alaih)
Mengangkat tangan dan menghadap kiblat adalah
termasuk perkara ibadah yang dibangun di atas dalil, karena asal dari suatu
peribadahan adalah terlarang (haram), kecuali ada dalilnya yang shohih.
11. Mengucapkan doa-doa yang tak ada
dalilnya.
Adapun mengucapkan do’a khusus pada setiap
kali membasuh anggota wudhu; ketika membasuh wajah, tangan, kaki dan
sebagainya, maka hal ini sama sekali tidak shohih dari Nabi –shollallohu
‘alaihi wa sallam-. Tidak diperkenankan bagi seorang muslim untuk melakukannya.
Orang-orang awam biasanya mengatakan ketika berkumur dalam wudhunya:
اللَّهمَّ اسقِنِي من حوض نبيِّك كأساً لا أظمأ بعده أبداً،
“Ya Alloh, berikanlah segelas air dari telaga
Nabi-Mu, sehingga aku tidak haus selamanya,”
ketika ber-istinsyaq membaca:
اللَّهمَّ لا تحرمنِي رائحةَ نعيمك وجنّاتك،
“Ya Alloh, janganlah Engkau haramkan atasku
aroma kenikmatan dan syurga-Mu,”
ketika mencuci wajah mengatakan:
اللَّهمَّ بيِّض وجهي يوم تبيَّض وجوه وتسودُّ وجوه،
“Ya Alloh, putihkanlah wajahku pada hari
diputihkan dan dihitamkannya wajah-wajah,”
ketika mencuci kedua tangan dengan mengatakan:
اللَّهمَّ أعطنِي كتابي بيميني، اللَّهمَّ لا تُعطنِي كتابي بشمالي،
“Ya Alloh, berikanlah catatan amalku dari arah
kananku. Ya Alloh, janganlah Engkau berikan catatanku dari arah kiriku,”
ketika mengusap kepala mengatakan:
اللَّهمَّ حرِّم شعري وبَشَرِي على النار،
“Ya Alloh, hindarkanlah rambut dan kulitku
dari api neraka,”
ketika mengusap kedua telinga membaca:
اللَّهمَّ اجعلنِي من الذين يستمعون القولَ فيتَّبعون أحسنه،
“Ya Alloh, jadikanlah aku sebagai orang yang
mendengarkan perkataan dan mengikuti yang terbaik,”
ketika mencuci kedua kaki mengatakan:
اللَّهمَّ ثبّت قدمي على الصراط،
“Ya Alloh, tegarkanlah kaki di atas shiroth.”
Maka semuanya itu termasuk perkara yang tidak
ada dalilnya sama sekali dari Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam-, tidak pula
dari shohabat, tabi’in dan para imam kaum muslimin setelah
mereka. Yang ada hanyalah hadits palsu, dusta atas nama Rosululloh –shollallohu
‘alaihi wa sallam-. (lihat Al-Wabilush-Shoyyib, hal. 316; karya Ibnul
Qoyyim –rohimahulloh-)
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk
mencukupkan diri dengan apa yang telah dituntunkan oleh As-Sunnah serta
menjauhi apa-apa yang diada-adakan oleh manusia setelah itu.
Wallohu ‘a’lam bish-showab.
Ini adalah beberapa kesalahan dalam berwudhu
yang dapat kami sampaikan pada kesempatan yang mubarok kali ini
sebagai isyarat kepada yang semisalnya. Mungkin para pembaca -yang dimuliakan
oleh Alloh- menemui bentuk-bentuk kesalahan lainnya termasuk dalam kategori
kesalahan yang telah tersebut di atas, maka hendaknya kita saling
nasehat-menasehati dalam kebaikan dan ketakwaan dengan cara yang baik dan
bijaksana dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar yang
merupakan salah satu pilar pokok agama ini dan kunci kejayaan umat Islam.
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي
إِلَّا بِالله عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Tidaklah aku bermaksud, kecuali mengadakan
perbaikan selama masih sanggup melakukannya dan tidak ada taufik bagiku
melainkan dengan pertolongan Alloh. Hanya kepada Alloh-lah aku bertawakkal dan
hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Huud: 88)
Walhamdulillahi Robbil ‘alamin.
__________
Sumber penulisan risalah: Asy-Syarhul
Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, karya Al-‘AllamahIbnu ‘Utsaimin –rohimahulloh-; Tadwinul
Fa’idah Fii Tafsir Ayatil-Wudhu’ Min Surotil-Ma’idah, karya Syaikhuna Yahya
bin ‘Ali Al-Hajuriy; Shifatu Wudhu’in-Nabiy -‘alaihis-sholatu was-salam-,
oleh Syaikh Abdulloh bin Ahmad Al-Iryaniy; Fathul ‘Allam Fii Dirosati
Ahadits Bulughil-Marom; oleh Syaikhuna Muhammad bin ‘Ali bin Hizam
Al-Ba’daniy –hafidzohumulloh-; Adzkarut-Thoharoh Was-Sholah, oleh Syaikh
Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr –waffaqohulloh–. http://www.ahlussunnah.web.id