Khutbah Pertama:
إِنَّ
الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ،
وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
بَلَّغَ الرِسَالَةَ وَاَدَّى الأَمَانَةَ، أَمَّا بَعْدُ: ( يَآ أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاْ تَمُوتُنَّ
إِلاّ وَأنتُمْ مُسلِمُونَ )
Ibadallah,
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahihnya dari Sahl bin Saad, ia berkata,
مَرَّ
رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
لرَجُلٍ عِنْدَهُ جَالِسٍ مَا رَأْيُكَ فِي هَذَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ
أَشْرَافِ النَّاسِ هَذَا وَاللَّهِ حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ يُنْكَحَ
وَإِنْ شَفَعَ أَنْ يُشَفَّعَ قَالَ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ مَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ لَهُ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا رَأْيُكَ فِي
هَذَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا رَجُلٌ مِنْ فُقَرَاءِ
الْمُسْلِمِينَ هَذَا حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ لَا يُنْكَحَ وَإِنْ
شَفَعَ أَنْ لَا يُشَفَّعَ وَإِنْ قَالَ أَنْ لَا يُسْمَعَ لِقَوْلِهِ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا خَيْرٌ
مِنْ مِلْءِ الْأَرْضِ مِثْلَ هَذَا
Ada
seorang laki-laki melewati Rasulullah ﷺ, lalu beliau berkata kepada
orang yang duduk di dekat beliau, “Apa pendapat kalian dengan laki-laki
ini?” Ia menjawab, “Ia seorang yang terpandang di kalangan manusia.
Ini, demi Allah, sudah pantas bila melamar, pasti akan diterima, dan
bila dimintai bantuan pasti akan dibantu.” Nabi ﷺ diam. Beberapa saat
kemudian, lewatlah seorang laki-laki lain, lalu Rasulullah ﷺ bertanya
kepadanya, “Apa pendapatmu dengan orang ini?” Dia menjawab, “Wahai
Rasulullah, menurutku, orang ini adalah orang termiskin dari kalangan
kaum muslimin. Apabila ia melamar sudah pantas lamarannya untuk
ditolak. Jika dimintai pertolongan dia tidak akan ditolong. Dan apabila
berkata, perkataannya tidak akan didengar.” Rasulullah ﷺ bersabda,
“Sungguh orang ini (orang yang terlihat miskin) lebih baik dari dunia
dan seisinya daripada orang yang ini (orang yang pertama).”
Sesungguhnya
bentuk tertipu terhadap dunia adalah berusaha mencari ketenaran. Banyak
orang berusaha bagaimana kiranya agar tersebar berita tentang dirinya.
Berusaha menjadi pembicara dalam suatu forum. Atau menjadi seseorang
yang didengar ucapannya. Atau dicatat. Karena keinginan ini, sebagian
orang berusaha menempuh segala cara agar hal ini dapat terwujud. Ia
cinta popularitas dan dikenal. Ini adalah seruan jiwa yang sakit. Mulai
muncul perasaan meremehkan orang lain. Memandang remeh jiwa yang merasa
berkecukupan. Hilanglah dari pikirannya sabda Nabi ﷺ,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya
bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’)
adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam pembahasan tauhid, mencari ketenaran adalah sesuatu yang dicela. Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ
اَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ
اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ:
فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ
قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ ِلأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ, فَقَدْ
قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ
النَّارِ, وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأََ اْلقُرْآنَ
فَأُُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا
عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ
فِيْكَ اْلقُرْآنَ, قَالَ:كَذَبْتَ, وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ
لِيُقَالَ: عَالِمٌ وَقَرَأْتَ اْلقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِىءٌٌ ،
فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى
اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَاَعْطَاهُ مِنْ
اَصْْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ
فَعَرَفَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: مَاتَرَكْتُ مِنْ
سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ,
قَالَ: كَذَبْتَ ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ
قِيْلَ, ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي
النَّارِ. رواه مسلم (1905) وغيره
“Sesungguhnya
manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati
syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya
kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun
mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang engkau
lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang
semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman,
‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah
berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’
Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya
(tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Berikutnya
orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan
mengajarkannya serta membaca Alquran. Ia didatangkan dan diperlihatkan
kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian
Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan
kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu dan
mengajarkannya, serta aku membaca Alquran hanyalah karena engkau.’
Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan
seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca Alquran supaya
dikatakan (sebagai) seorang qari’ (pembaca Alquran yang baik). Memang
begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan
(malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam
neraka.
Berikutnya
adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta
benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya
kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah
bertanya, ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia
menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan
yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena
Engkau.’ Allah berfirman, ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian
itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah
yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat)
agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka’.”
(HR. Muslim dan selainnya).
Ketiga
orang ini menampakkan amalan ketaatan mereka. Mati syahid. Mengajar dan
mempelajari Alquran. Menginfakkan harta. Tapi pahala mereka musnah
karena mereka mencari popularitas dengan amalan tersebut. Mereka cinta
menjadi terkenal dan terpandang. Merekala orang pertama yang menyalakan
api Jahannam.
Mereka menjadi orang pertama yang masuk neraka. Karena sewaktu mereka
di dunia mereka ingin menjadi orang pertama, yang paling unggul, paling
dihormati, paling dikenal, dan paling diakui. Sehingga Allah hukum
mereka dengan tujuan mereka tersebut. Dan balasan itu tergantung amal
perbuatannya.
وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
“Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya.” (QS:Fushshilat | Ayat: 46).
Mencari
ketenaran itu tercela sepenuhnya, walaupun mencari tenar dalam utusan
dunia. Maksudnya selain ketaatan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan,
مَا
يُخَالِطُ النُّفُوسَ مِنْ الشَّهَوَاتِ الْخَفِيَّةِ مَا يُفْسِدُ
عَلَيْهَا تَحْقِيقَ مَحَبَّتِهَا لِلَّهِ وَعُبُودِيَّتِهَا لَهُ
وَإِخْلَاصِ دِينِهَا لَهُ كَمَا قَالَ شَدَّادُ بْنُ أَوْسٍ : يَا
بَقَايَا الْعَرَبِ إنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرِّيَاءُ
وَالشَّهْوَةُ الْخَفِيَّةُ ، قِيلَ لِأَبِي دَاوُد السجستاني : وَمَا
الشَّهْوَةُ الْخَفِيَّةُ ؟ قَالَ : حُبُّ الرِّئَاسَةِ
Tidak ada sesuatu yang mencampuri jiwa yang lebih merusak daripada asy-syahwah al-khafiyyah.
Ia merusak perwujudan ibadah kepada Allah. Merusak meingkhlaskan agama
hanya kepada-Nya. Syaddad bin Aus mengatakan, ‘Wahai orang-orang Arab,
sesungguhnya yang paling kutakutkan atas kalian adalah riya’ dan asy-syahwah al-khafiyyah’. Abu Dawud ditanya, ‘Apa yang dimaksud dengan asy-syahwah al-khafiyyah’? Ia menjawab, ‘Suka menonjolkan diri’.”
Sampai-sampai
Nabi ﷺ melarang pakaian yang bisa membuat pemakainya terkenal gara-gara
pakaian tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu
Dawud, Nabi ﷺ bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِيْ الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ أَلْهَبَ فِيْهِ نَارًا
“Barangsiapa
mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia,
niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan kepadanya di hari kiamat lalu
membakarnya dengan api neraka.”
Popularitas
itu ibarat rasa lapar yang tidak pernah mengalami kenyang. Apabila
seseorang telah tergoda dengan yang demikian, maka sulit baginya untuk
lepas. Dan dapat membinasakan agama seseorang. Dari Ka’ab bin Malik
radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
“Dua
ekor srigala yang lapar, dilepas di suatu peternakan domba, hal ini
tidak lebih berbahaya dibanding seseorang yang bernafsu mengejar harta
dan kehormatan.”
Di
mata Allah, tidak setiap popularitas dan tenar itu adalah pencapaian.
Dan tidak dikenal itu bukan berarti kegagalan atau ketertinggalan.
Orang-orang yang cinta popularitas hanya menjadikan pandangan manusia
sebagai parameternya. Apa yang tidak menarik perhatian orang banyak,
maka ia pun tidak membutuhkannya.
Bandingkanlah keadaan ini dengan keadaan para sahabat Rasulullah ﷺ. Nabi ﷺ mengajari para sahabatnya dengan sabda beliau,
إنَّ الله يحبُّ العبد التَّقِيَّ الغنيَّ الخفيّ
“Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang merasa cukup dan menyepi (tidak suka populer).”
Para
sahabat Nabi ﷺ dulu sangat takut akan popularitas. Mereka khawatir
kalau perbuatan kebajikan mereka diketahui seseorang, jangan-jangan hal
itu akan membuatnya merasa bangga diri. Buraidah bin al-Hashib
radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku turut serta dalam Perang Khaibar. Aku
naik ke suatu tempat. Lalu aku berperang hingga aku dilihat orang. Saat
itu aku memakai pakaian berwarna merah. Aku tidak mengetahui dosa yang
lebih besar yang kulakukan dalam Islam lebih dari ini.”
Ketika
Muawiyah radhiallahu ‘anhu mendengar hadits tentang tiga golongan yang
pertama kali masuk neraka. Ia berkata, “Orang-orang itu telah melakukan
amalan yang hebat, lalu bagaimana dengan manusia yang lain?” Kemudian
ia menangis sejadi-jadinya, sampai orang-orang di sekitarnya mengira ia
dalam keadaan bahaya. Mereka berkata, “Orang ini datang kepada kita
dengan keburukan.” Lalu Muawiyah menyeka air matanya dan berkata,
“Benarlah Allah dan Rasul-Nya.
مَن
كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ
أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ * أُوْلَئِكَ
الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا
صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak
memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa
yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah
mereka kerjakan.” (QS:Huud | Ayat: 15-16).
Abdullah
bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu keluar dari rumahnya. Lalu orang-orang
mengikutinya. Lalu beliau bertanya, “Apakah kalian ada keperluan?”
Mereka menjawab, “Tidak ada. Kami hanya ingin berjalan bersamamu”. Ibnu
Mas’ud menegur mereka, “Pulanglah (jangan ikuti aku). Yang demikian itu
kehinaan bagi yang mengikuti dan fitnah (ujian ketenaran) bagi yang
diikuti”.
Orang yang diikuti akan terfitnah agamanya. Sedangkan yang mengikuti merendahkan dirinya sendiri.
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ وَالسُنَّةِ، وَنَفَعَنِيْ
وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِمَا مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ وَالحِكْمَةِ،
أَقُوْلُ مَا سَمِعْتُمْ وَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ .
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَحْدَهُ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مَنْ لَانَبِيَّ بَعْدَهُ، أَمَّا بَعْدُ :
Ibadallah,
Sesungguhnya
suka tenar dan popular adalah bentuk keterpedayaan dan takjub dengan
diri sendiri. Ia cenderung kepada hal-hal yang berbeda, sulit menerima
nasihat, dan berhadapan dengan fitnah.
Ibadallah,
Imam
ad-Darimi rahimahullah mengumpulkan riwayat-riwayat khusus tentang
tercelanya mencari popularitas dan para salaf sangat menghindari
popularitas. Beliau memuat riwayat-riwayat tersebut dalam Bab Man Karaha asy-Syuhrah wa al-Ma’rifah (Bab
mereka yang membenci tenar dan dikenal). Dalam bab tersebut
diriwayatkan ucapan seorang tabi’in, al-Harits bin Qays al-Ju’fi, murid
dari Abdullah bin Mas’ud. Ia sangat takjub dengan Abdullah bin Mas’ud.
Ia berkata, “Dia (Abdullah bin Mas’ud), apabila ada satu orang atau dua
orang yang berbicara dengannya, ia layani. Apabila telah banyak, ia pun
meninggalkan mereka.”
Ketika
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu wafat, ada seseorang berkata
kepada al-Qamah rahimahullah, “Seandainya aku memiliki kedudukan (ilmu)
seperti dia, aku akan mengajarkannya pada orang-orang.” Lalu al-Qamah
yang merupakan seorang ulama tabi’in mengatakan, “Maukah Anda
menggantikan posisiku.”
Imam
adz-Dzahabi mengatakan, “Suatu keharusan bagi orang yang berilmu untuk
berbicara dengan niat yang ikhlas dan maksud yang baik. Apabila ia
merasa takjub dengan ucapannya, hendaknya dia diam. Apabila diamnya
membuat dia bangga, maka berbicaralah. Janganlah malas untuk senantiasa
mengoreksi diri. Ketika kita malas, sungguh ia akan berganti menjadi
cinta popularitas dan pujian.”
Imam
Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan, “Aku ingin berada di tengah
masyarakat Mekah, sehingga aku tidak dikenal. Aku telah diberi ujian
popularitas. Sungguh aku berharap diwafatkan pada pagi atau sore ini.”
Imam
Ahmad tinggal di Baghdad Irak. Seandainya ia tinggal di Mekah,
seseorang tidak ada yang mengenali wajahnya. Karena zaman dulu hanya
nama yang tersebar di penjuru negeri, sedangkan wajah tidak. Karena
tidak ada lukisan atau foto.
Demikianlah keadaan salaf ash-shaleh dalam menghadapi popularitas. Dalam hal agama maupun dunia.
Ibadallah,
Ada
sebagian da’i, kiyai, ustadz, atau orang-orang shaleh, yang ditimpa
musibah popularitas, walaupun mereka lari dari popularitas itu. Mereka
tidak pernah menjadikan popularitas sebagai tujuan dari dakwah mereka.
Bagi Anda yang mengalami demikian, maka lawanlah terus dengan kadar
kemampuan Anda.
إِنَّ
اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِي يَا أَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
اَللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتُ
المُؤْمِنِيْنَ وَالصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ .
اَللَّهُمَّ
أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ
وَالمُشْرِكِيْنَ، اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فَرَجًا مِنْ عِنْدِكَ
لِإِخْوَانِنَا الْمُسْتَضْعَفِينَ فِي سَائِر بِلَادِ المُسْلِمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ فَرِّجْ كَرْبَهُمْ، وَارْحَمْ ضَعْفَهُمْ
اللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِالْبَاطِنِيِّينَ وَالصَّلِيبِيِّينَ وَمَنْ عَاوَنَهُمْ عَلَى
ظُلْمِهِمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ.
سُبْحَانَ رَبِّكَ …..
وَقُوْمُوْا اِلَى صَلَاتِكُمْ .
Oleh tim KhotbahJumat.com
Artikel www.KhotbahJumat.com
Artikel www.KhotbahJumat.com
from=https://khotbahjumat.com/4487-musibah-popularitas.html