PERTANYAAN: Assalaamu’alaikum
Wa Rahmatullaahi Wa Barakaatuhu
Syaikh yang mulia…
Sebagian saudara kami di Indonesia telah menyempitkan pemahaman Ulil Amri
(penguasa) sebatas kepada: penguasa yang berhukum dengan Kitabullah
(Al-Qur’an) dan Sunah Rasul-Nya, berdalil dengan sabda Nabi -shallallaahu
‘alaihi wa sallam-:
إِنْ أُمِّرَ
عَلَيْكُم عَبْدٌ مُـجَدَّعٌ أَسْوَدُ؛ يَقُوْدُكُمْ بِكِتَابِ اللهِ تَعَالَـى:
فَـاسْـمَعُوْا لَهُ وَأَطِيْعُوْا
“Apabila diangkat
bagi kalian pemimpin yang dia adalah seorang budak yang buntung (hidungnya dan
lainnya) serta hitam (kulitnya); yang meminpin kalian dengan Kitabullah
-Ta’aalaa-: maka dengarlah dan ta’atlah!”
Adapun orang yang
berhukum dengan undang-undang (buatan manusia); maka bukanlah Ulil Amri.
Seperti itulah
ucapan mereka.
Dan ini mengantarkan
mereka untuk tidak mendengar dan tidak ta’at kepada pemimpin negara, dan mereka juga membicarakan keburukan pemimpin padahal dia (pemimpin
itu) seorang muslim. Apakah perbuatan ini benar?
-Murid anda: Abu
Abdirrahman [Agus Jaelani] dari Indonesia-
Baarakallaah Fiikum
Wa Jazaakumullaahu Khairan.
JAWABAN SYAIKH DOKTOR IBRAHIM
BANI SALAMAH -hafizhahullaah-:
Wa ‘Alaikumus Salaam
Wa Rahmatullaahi Wa Barakaatuhu
Saudaraku yang
dimuliakan…
Pemahaman ini -tidak
ragu lagi- adalah pemahaman yang sakit; yang
tidak ada dalilnya sama sekali.
Yang demikian dikarenakan:
[PERTAMA]:
Sunnah telah
menjelaskan bahwa: PENGUASA YANG WAJIB DITA’ATI ADALAH SEORANG MUSLIM; walaupun
bermaksiat -selama tidak kafir-, dan telah datang hadits-hadits yang banyak
yang menjelaskan hal ini; di antaranya:
1. Hadits ‘Ubadah
bin Ash-Shamit -radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata:
بَايَعَنَا رَسُوْلُ
اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي
الْيُسْرِ وَالْعُسْرِ، وَالْمَنْشَطِ والْمَكْرَهِ، وَعَلِى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا،
وَعَلَى أَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا
بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Kami membai’at
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- untuk mendengar dan ta’at (kepada
pemimpin): di saat susah dan senang, di saat semangat dan malas, (bahkan) dalam keadaan dia (pemimpin) menggunakan (harta rakyat)
untuk kepentingan sendiri tanpa diberikan kepada kami, dan agar
kami tidak mencabut kepemimpinan dari ahlinya; kecuali
jika kalian melihat kekufuran yang jelas dan kalian memiliki bukti dari Allah.” Muttafaqun
‘Alaihi
2. Hadits Ummu
Salamah -radhiyallaahu ‘anhaa-, ia berkata: sesungguhnya Rasulullah
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
((إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ
عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ، فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ، فَمَنْ كَرِهَ؛ فَقَدْ
بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ؛ فَقَدْ سَلِمَ، وَلٰكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ))
قَالُوْا: أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: ((لَا، مَا صَلَّوْا)) أَخْرَجَهُ
مُسْلِمٌ
“Sungguh, akan
diangkat untuk kalian: para pemimpin; yang kalian menganggap ma’ruf (sebagian)
perbuatan mereka dan kalian mengingkari (perbuatan) yang lainnya. Maka
barangsiapa yang membenci (perbuatannya); maka ia telah berlepas diri. Dan
barangsiapa yang mengingkari; maka ia telah selamat. Akan tetapi bagi yang
ridha dan mengikuti; (merekalah yang celaka).” Mereka (para
Shahabat) bertanya: Tidakkah kita memerangi mereka? Beliau menjawab: “Tidak! SELAMA MEREKA MASIH SHALAT.” HR.
Muslim
3. Hadits Ibnu
‘Abbas- radhiyallaahu ‘anhumaa-, dari Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-,
beliau bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْ
أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ؛ فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ
الْـجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ؛ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang melihat pada
pemimpinya ada sesuatu yang dia benci; maka bersabarlah! Karena sungguh, barangsiapa yang meninggalkan Jama’ah (kaum muslimin) sejengkal
saja, kemudian ia mati; maka ia mati sebagai bangkai jahiliyah.” Muttafaqun
‘Alaihi
4. Hadits ‘Auf bin
Malik Al-Asyja’i -radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
((خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ:
الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ، وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ
وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ. وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ: الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ
وَيُبْغِضُوْنَكُمْ، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ)) قَالَ: قُلْنَا: يَا
رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ [بِالسَّيْفِ]؟ فَقَالَ: ((لَا، مَا أَقَامُوْا
فِيْكُمُ الصَّلَاةَ، إِلَّا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِيْ
شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ؛ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِيْ مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ،
وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ)) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
“Sebaik-baik
pemimpin kalian adalah: yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai
kalian, serta kalian mendo’akan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendo’akan
kebaikan untuk kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin adalah: yang kalian benci
kepada mereka dan mereka pun benci kepada kalian, serta kalian melaknat mereka
dan mereka pun melaknat kalian.” Para Shahabat
berkata: Wahai Rasulullah, bolehkah bagi kami mengangkat [pedang] untuk
melawan mereka? Beliau bersabda: “Tidak! Selama mereka masih
Shalat bersama kalian! Ketahuilah, barangsiapa
yang dipimpin oleh seorang penguasa, kemudian ia melihat penguasanya mendatangi
sebagian dari maksiat kepada Allah; maka bencilah kemaksiatannya,
dan janganlah membatalkan bai’at ketaatan.” H.R. Muslim
5. Hadits ‘Abdullah
bin ‘Umar -radhiyallahu ‘anhumaa-, ia berkata: Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi
wa sallam- bersabda:
((مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ
طَاعَةٍ؛ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ
وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ؛ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً)) أَخْرَجَهُ
مُسْلِمٌ
“Barangsiapa yang
melepaskan diri dari ketaatan; maka ia akan bertemu dengan Allah pada Hari
Kiamat dengan tidak memiliki hujjah yang membelanya. Dan barangsiapa yang mati
dan tidak ada bai’at di lehernya; maka ia akan mati sebagai
bangkai jahiliyah.” HR. Muslim
6. Hadits Hudzaifah
-radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata: Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda:
((يَكُوْنُ بَعْدِيْ
أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُوْنَ بِـهَدْيِيْ، وَلَا يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ،
وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِيْ
جُثْمَانِ إِنْسٍ)) قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنْ
أَدْرَكْتُ ذٰلِكَ؟ قَالَ: ((تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ
ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ؛ فَاسْـمَعْ وَأَطِعْ))
“Akan ada setelahku: para pemimpin (penguasa) yang tidak mengambil petunjuk dariku, dan
tidak mengambil Sunnahku. Dan akan ada sekelompok lelaki di antara mereka yang hati mereka adalah hati setan dalam tubuh manusia.” Aku bertanya: Apa yang harus aku lakukan apabila aku menemui yang demikian;
wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Engkau dengar dan ta’at kepada pemimpin; walaupun punggungmu
dipukul dan hartamu diambil, maka dengar dan ta’atlah!” HR.
Muslim
Dalam riwayat yang
lain: “Engkau tetap bersama jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.” Hudzaifah bertanya:
Apabila mereka tidak memiliki jama’ah dan imam? Beliau bersabda: “Tinggalkanlah seluruh kelompok itu walaupun engkau sampai
menggigit akar pepohonan; sampai kematian menghampirimu dan engkau dalam
keadaan seperi itu.” Muttafaqun ‘Alaih.
Seluruh hadits ini membicarakan
bahwa: pemimpin (penguasa) wajib dita’ati selama tidak kafir, walaupun
dia bermaksiat atau fasik.
[KEDUA]:
Mereka membalik
makna kalimat ini:
يَقُوْدُكُمْ
بِكِتَابِ اللهِ
“memimpin kalian dengan
Kitabullah”
[Yakni: mereka
menganggap bahwa: “Kalau tidak memimpin dengan
Kitabullah; berarti tidak wajib dita’ati”]
Maka, makna yang
benar terhadap kalimat ini adalah: ENGKAU MENTA’ATI PENGUASA INI
DAN MELAKSANAKAN PERINTAHNYA; SELAMA TIDAK MEMERINTAHKAN KEMAKSIATAN, apabila
ia memerintahkan kemaksiatan; maka tidaklah kita menta’ati kemaksiatan
tersebut; akan tetapi keta’atan padanya tetap ada selain pada kemaksiatan ini,
maksudnya: Ulil Amri tetap dita’ati dan engkau
benar-benar jauhi maksiatnya itu, sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- :
عَلَى الْمَرْءِ
الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ مَا لَـمْ يُؤْمَرَ بِـمَعْصِيَةِ اللهِ،
فَإِنْ أُمِرَ بِـمَعْصِيَةٍ؛ فَلَا سَـمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib bagi seorang
muslim: untuk mendengar dan ta’at selama tidak diperintahkan dengan kemaksiatan
kepada Allah. Dan apabila diperintahkan kepada kemaksiatan; maka tidak mendengar
dan tidak ada keta’atan.”
[KETIGA]:
Bahwasanya mereka
mendahulukan “Mafhuum Mukhaalafah” (pemahaman kebalikan) atas “Manthuuq”
(pemahaman asli) dari Nash (dalil) yang jelas dan gamblang yang telah
disebutkan [Yakni: wajibnya ta’at kepada penguasa walaupun ia tidak menjalankan
syari’at, ia zhalim, atau fasik].
Padahal “Mafhuum
Mukhaalafah” adalah dalil yang lemah menurut ulama Ushul Fiqh, sehingga tidak
boleh bersandar kepadanya ketika ada Nash (dalil) yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata: “…Telah diketahui: wajibnya mendahulukan Nash atas
pendapat, dan mendahulukan syari’at atas hawa nafsu.
Maka pokok yang
membedakan antara orang-orang beriman kepada para rasul dengan orang yang
menyelisihi para rasul- adalah: mendahulukan Nash-Nash atas pendapat dan
mendahulukan syari’at atas hawa nafsu. Sedangkan
pokok kejelekan adalah: mendahulukan pendapat atas Nash.” “(Minhaajus
Sunnah” (VIII/218)
[KEEMPAT]:
Kalaulah kita
anggap “Mafhuum Mukhaalafah” adalah dalil kuat yang diamalkan; maka
sesungguhnya dia adalah dalil pengiring yang dihukumi
dengan Nash-Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah; sehingga tidak boleh
diamalkan bersama dengan adanya Nash. Karena Nash lebih didahulukan atas
“Mafhuum” (pemahaman kebalikan) -dan ini disepakati oleh Ulama-. Contohnya:
apakah kita memahami secara kebalikan firman Allah -Ta’aalaa-:
…وَلَا تُكْرِهُوْا
فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا…
“…Dan janganlah kamu
paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran; sedang mereka sendiri
menginginkan kesucian…” (QS. An-Nuur: 33)
Apakah (dengan “Mafhuum”
kemudian kita katakan bahwa): apabila mereka tidak ingin menginginkan kesucian;
berarti kita boleh memaksa mereka untuk berzina dan melacur!!!
[KELIMA]:
Sesungguhnya mereka berupaya membesarkan (atau mempropaganda) kesalahan
(penguasa); untuk menjadikan sebagian kesalahan penguasa: sebagai alasan untuk mengkafirkan mereka, kemudian
mensifati masyarakat: bahwa mereka adalah orang-orang yang dipimpin dengan hawa
nafsu, serta bahwa negeri tersebut bukanlah negeri Islam. Ini adalah
kebathilan. Karena sungguh, sebagian besar syi’ar Islam
bisa nampak di negeri Islam.
Syaikh Ibnu
‘Utsaimin berkata: “Negeri Islam adalah negeri
yang ditegakkan syariat Islam di dalamnya -tanpa melihat penguasanya- WALAUPUN
DIPIMPIN OLEH SEORANG KAFIR, DAN WALAUPUN PENGUASANYA TIDAK MEMERINTAH DENGAN
SYARI’AT ISLAM; maka negeri tersebut tetap dikatakan
negeri Islam; selama Adzan dikumandangkan, Shalat ditegakkan, Shalat Jum’at
didirikan, di dalamnya ada Hari Raya (’Id) yang syar’i, ada Shaum (puasa),
(kaum muslimin dibolehkan menunaikan) ibadah Haji (ke Baitullah), dan yang
semisalnya. Maka yang seperti ini adalah negeri Islam; walaupun para penguasanya adalah orang-orang kafir.
Karena Rasulullah
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan kita apabila melihat kekafiran
yang jelas maka; kita memerangi mereka; sehingga maknanya adalah: bahwa negeri kita tetap negeri Islam, yang kita memerangi pemimpin
kafir ini dan melengserkannya dari pemerintahan.”
[KEENAM]:
Bahwa banyak dari
peraturan yang berlaku di negeri kita -yang disangka oleh orang-orang yang pendek pemahamannya: adalah
undang-undang buatan-, pada dasarnya adalah tata cara dan aturan yang bersumber
dari aturan maslahat syar’i; seperti: aturan lalu lintas,
paspor, diplomasi, dan selainnya.
[KETUJUH]:
Apa yang terjadi dari
kekurangan dalam mempraktekkan aturan dan kaidah syariat di sebagian
Negara; maka tidak ragu lagi bahwa itu merupakan kemaksiatan dan kekurangan. Akan
tetapi kewajiban seorang muslim adalah: berusaha menyempurnakannya dengan cara yang hikmah dan nasihat
yang baik; tanpa menimbulkan fitnah atau merusak keamanan. Maka setetes darah yang tertumpah (terbunuhnya seorang muslim): di sisi
Allah adalah lebih besar dibandingkan hancurnya dunia; sebagaimana
sabda Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا
أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ سَفْكِ دَمِ امْرِءٍ مُسْلِمٍ
“Hancurnya dunia adalah lebih
ringan dibandingkan tercecernya darah seorang
muslim.”
Wallaahu A’lam.
______
Diterjemahkan oleh:
Dika Wahyudi Lc.
Penanya: Agus
Jaelani Abu Abdirrahman
Catatan:
1- Tambahan
penjelasan dalam kurung [ ] adalah dari kami.
2- Syaikh banyak
membawakan Hadits secara makna; jelas sekali bahwa beliau menulisnya dengan
hafalan.
sumber:https://www.facebook.com/dika.wahyudi.140/posts/823474451139750