Islam Pedoman Hidup: Siapakah Sesungguhnya Pemimpin Yang Wajib Dita’ati?

Minggu, 12 Februari 2017

Siapakah Sesungguhnya Pemimpin Yang Wajib Dita’ati?



PERTANYAAN: Assalaamu’alaikum Wa Rahmatullaahi Wa Barakaatuhu

Syaikh yang mulia…
Sebagian saudara kami di Indonesia telah menyempitkan pemahaman Ulil Amri (penguasa) sebatas kepada: penguasa yang berhukum dengan Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunah Rasul-Nya, berdalil dengan sabda Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُم عَبْدٌ مُـجَدَّعٌ أَسْوَدُ؛ يَقُوْدُكُمْ بِكِتَابِ اللهِ تَعَالَـى: فَـاسْـمَعُوْا لَهُ وَأَطِيْعُوْا
Apabila diangkat bagi kalian pemimpin yang dia adalah seorang budak yang buntung (hidungnya dan lainnya) serta hitam (kulitnya); yang meminpin kalian dengan Kitabullah -Ta’aalaa-: maka dengarlah dan ta’atlah!”

Adapun orang yang berhukum dengan undang-undang (buatan manusia); maka bukanlah Ulil Amri.
Seperti itulah ucapan mereka.
Dan ini mengantarkan mereka untuk tidak mendengar dan tidak ta’at kepada pemimpin negara, dan mereka juga membicarakan keburukan pemimpin padahal dia (pemimpin itu) seorang muslim. Apakah perbuatan ini benar?

-Murid anda: Abu Abdirrahman [Agus Jaelani] dari Indonesia-
Baarakallaah Fiikum Wa Jazaakumullaahu Khairan.

JAWABAN SYAIKH DOKTOR IBRAHIM BANI SALAMAH -hafizhahullaah-:

Wa ‘Alaikumus Salaam Wa Rahmatullaahi Wa Barakaatuhu

Saudaraku yang dimuliakan…

Pemahaman ini -tidak ragu lagi- adalah pemahaman yang sakit; yang tidak ada dalilnya sama sekali.
Yang demikian dikarenakan:

[PERTAMA]:

Sunnah telah menjelaskan bahwa: PENGUASA YANG WAJIB DITA’ATI ADALAH SEORANG MUSLIM; walaupun bermaksiat -selama tidak kafir-, dan telah datang hadits-hadits yang banyak yang menjelaskan hal ini; di antaranya:

 1. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit -radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata:
بَايَعَنَا رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي الْيُسْرِ وَالْعُسْرِ، وَالْمَنْشَطِ والْمَكْرَهِ، وَعَلِى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَعَلَى أَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Kami membai’at Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- untuk mendengar dan ta’at (kepada pemimpin): di saat susah dan senang, di saat semangat dan malas, (bahkan) dalam keadaan dia (pemimpin) menggunakan (harta rakyat) untuk kepentingan sendiri tanpa diberikan kepada kami, dan agar kami tidak mencabut kepemimpinan dari ahlinya; kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas dan kalian memiliki bukti dari Allah.” Muttafaqun ‘Alaihi

 2. Hadits Ummu Salamah -radhiyallaahu ‘anhaa-, ia berkata: sesungguhnya Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
((إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ، فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ، فَمَنْ كَرِهَ؛ فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ؛ فَقَدْ سَلِمَ، وَلٰكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ)) قَالُوْا: أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: ((لَا، مَا صَلَّوْا)) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Sungguh, akan diangkat untuk kalian: para pemimpin; yang kalian menganggap ma’ruf (sebagian) perbuatan mereka dan kalian mengingkari (perbuatan) yang lainnya. Maka barangsiapa yang membenci (perbuatannya); maka ia telah berlepas diri. Dan barangsiapa yang mengingkari; maka ia telah selamat. Akan tetapi bagi yang ridha dan mengikuti; (merekalah yang celaka). Mereka (para Shahabat) bertanya: Tidakkah kita memerangi mereka? Beliau menjawab: Tidak! SELAMA MEREKA MASIH SHALAT.” HR. Muslim

 3. Hadits Ibnu ‘Abbas- radhiyallaahu ‘anhumaa-, dari Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, beliau bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ؛ فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْـجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ؛ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang melihat pada pemimpinya ada sesuatu yang dia benci; maka bersabarlah! Karena sungguh, barangsiapa yang meninggalkan Jama’ah (kaum muslimin) sejengkal saja, kemudian ia mati; maka ia mati sebagai bangkai jahiliyah. Muttafaqun ‘Alaihi

 4. Hadits ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i -radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
((خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ: الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ، وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ. وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ: الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ)) قَالَ: قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ [بِالسَّيْفِ]؟ فَقَالَ: ((لَا، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلَاةَ، إِلَّا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِيْ شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ؛ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِيْ مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ)) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah: yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, serta kalian mendo’akan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendo’akan kebaikan untuk kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin adalah: yang kalian benci kepada mereka dan mereka pun benci kepada kalian, serta kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.”  Para Shahabat berkata: Wahai Rasulullah, bolehkah bagi kami mengangkat [pedang] untuk melawan mereka? Beliau bersabda: “Tidak! Selama mereka masih Shalat bersama kalian!  Ketahuilah, barangsiapa yang dipimpin oleh seorang penguasa, kemudian ia melihat penguasanya mendatangi sebagian dari maksiat kepada Allah; maka bencilah kemaksiatannya, dan janganlah membatalkan bai’at ketaatan.” H.R. Muslim

 5. Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiyallahu ‘anhumaa-, ia berkata: Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
((مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ؛ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ؛ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً)) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Barangsiapa yang melepaskan diri dari ketaatan; maka ia akan bertemu dengan Allah pada Hari Kiamat dengan tidak memiliki hujjah yang membelanya. Dan barangsiapa yang mati dan tidak ada bai’at di lehernya; maka ia akan mati sebagai bangkai jahiliyah. HR. Muslim

 6. Hadits Hudzaifah -radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata: Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
((يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُوْنَ بِـهَدْيِيْ، وَلَا يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ، وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِيْ جُثْمَانِ إِنْسٍ)) قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذٰلِكَ؟ قَالَ: ((تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ؛ فَاسْـمَعْ وَأَطِعْ))
“Akan ada setelahku: para pemimpin (penguasa) yang tidak mengambil petunjuk dariku, dan tidak mengambil Sunnahku. Dan akan ada sekelompok lelaki di antara mereka yang hati mereka adalah hati setan dalam tubuh manusia. Aku bertanya: Apa yang harus aku lakukan apabila aku menemui yang demikian; wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Engkau dengar dan ta’at kepada pemimpin; walaupun punggungmu dipukul dan hartamu diambil, maka dengar dan ta’atlah! HR. Muslim
Dalam riwayat yang lain: Engkau tetap bersama jama’ah kaum muslimin dan imam mereka. Hudzaifah bertanya: Apabila mereka tidak memiliki jama’ah dan imam? Beliau bersabda: “Tinggalkanlah seluruh kelompok itu walaupun engkau sampai menggigit akar pepohonan; sampai kematian menghampirimu dan engkau dalam keadaan seperi itu. Muttafaqun ‘Alaih.

Seluruh hadits ini membicarakan bahwa: pemimpin (penguasa) wajib dita’ati selama tidak kafir, walaupun dia bermaksiat atau fasik.

[KEDUA]:

Mereka membalik makna kalimat ini:
يَقُوْدُكُمْ بِكِتَابِ اللهِ
“memimpin kalian dengan Kitabullah”
[Yakni: mereka menganggap bahwa: “Kalau tidak memimpin dengan Kitabullah; berarti tidak wajib dita’ati”]

Maka, makna yang benar terhadap kalimat ini adalah: ENGKAU MENTA’ATI PENGUASA INI DAN MELAKSANAKAN PERINTAHNYA; SELAMA TIDAK MEMERINTAHKAN KEMAKSIATAN, apabila ia memerintahkan kemaksiatan; maka tidaklah kita menta’ati kemaksiatan tersebut; akan tetapi keta’atan padanya tetap ada selain pada kemaksiatan ini, maksudnya: Ulil Amri tetap dita’ati dan engkau benar-benar jauhi maksiatnya itu, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- :

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ مَا لَـمْ يُؤْمَرَ بِـمَعْصِيَةِ اللهِ، فَإِنْ أُمِرَ بِـمَعْصِيَةٍ؛ فَلَا سَـمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib bagi seorang muslim: untuk mendengar dan ta’at selama tidak diperintahkan dengan kemaksiatan kepada Allah. Dan apabila diperintahkan kepada kemaksiatan; maka tidak mendengar dan tidak ada keta’atan.

[KETIGA]:

Bahwasanya mereka mendahulukan “Mafhuum Mukhaalafah” (pemahaman kebalikan) atas “Manthuuq” (pemahaman asli) dari Nash (dalil) yang jelas dan gamblang yang telah disebutkan [Yakni: wajibnya ta’at kepada penguasa walaupun ia tidak menjalankan syari’at, ia zhalim, atau fasik].

Padahal “Mafhuum Mukhaalafah” adalah dalil yang lemah menurut ulama Ushul Fiqh, sehingga tidak boleh bersandar kepadanya ketika ada Nash (dalil) yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “…Telah diketahui: wajibnya mendahulukan Nash atas pendapat, dan mendahulukan syari’at atas hawa nafsu.
Maka pokok yang membedakan antara orang-orang beriman kepada para rasul dengan orang yang menyelisihi para rasul- adalah: mendahulukan Nash-Nash atas pendapat dan mendahulukan syari’at atas hawa nafsu. Sedangkan pokok kejelekan adalah: mendahulukan pendapat atas Nash. “(Minhaajus Sunnah” (VIII/218)

[KEEMPAT]:

Kalaulah kita anggap “Mafhuum Mukhaalafah” adalah dalil kuat yang diamalkan; maka sesungguhnya dia adalah dalil pengiring yang dihukumi dengan Nash-Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah; sehingga tidak boleh diamalkan bersama dengan adanya Nash. Karena Nash lebih didahulukan atas “Mafhuum” (pemahaman kebalikan) -dan ini disepakati oleh Ulama-. Contohnya: apakah kita memahami secara kebalikan firman Allah -Ta’aalaa-:
وَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا
…Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran; sedang mereka sendiri menginginkan kesucian…” (QS. An-Nuur: 33)
Apakah (dengan “Mafhuum” kemudian kita katakan bahwa): apabila mereka tidak ingin menginginkan kesucian; berarti kita boleh memaksa mereka untuk berzina dan melacur!!!

[KELIMA]:

Sesungguhnya mereka berupaya membesarkan (atau mempropaganda) kesalahan (penguasa); untuk menjadikan sebagian kesalahan penguasa: sebagai alasan untuk mengkafirkan mereka, kemudian mensifati masyarakat: bahwa mereka adalah orang-orang yang dipimpin dengan hawa nafsu, serta bahwa negeri tersebut bukanlah negeri Islam. Ini adalah kebathilan. Karena sungguh, sebagian besar syi’ar Islam bisa nampak di negeri Islam.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Negeri Islam adalah negeri yang ditegakkan syariat Islam di dalamnya -tanpa melihat penguasanya- WALAUPUN DIPIMPIN OLEH SEORANG KAFIR, DAN WALAUPUN PENGUASANYA TIDAK MEMERINTAH DENGAN SYARI’AT ISLAM; maka negeri tersebut tetap dikatakan negeri Islam; selama Adzan dikumandangkan, Shalat ditegakkan, Shalat Jum’at didirikan, di dalamnya ada Hari Raya (’Id) yang syar’i, ada Shaum (puasa), (kaum muslimin dibolehkan menunaikan) ibadah Haji (ke Baitullah), dan yang semisalnya. Maka yang seperti ini adalah negeri Islam; walaupun para penguasanya adalah orang-orang kafir.

Karena Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan kita apabila melihat kekafiran yang jelas maka; kita memerangi mereka; sehingga maknanya adalah: bahwa negeri kita tetap negeri Islam, yang kita memerangi pemimpin kafir ini dan melengserkannya dari pemerintahan.”

[KEENAM]:

Bahwa banyak dari peraturan yang berlaku di negeri kita -yang disangka oleh orang-orang yang pendek pemahamannya: adalah undang-undang buatan-, pada dasarnya adalah tata cara dan aturan yang bersumber dari aturan maslahat syar’i; seperti: aturan lalu lintas, paspor, diplomasi, dan selainnya.

[KETUJUH]:

Apa yang terjadi dari kekurangan dalam mempraktekkan aturan dan kaidah syariat di sebagian Negara; maka tidak ragu lagi bahwa itu merupakan kemaksiatan dan kekurangan. Akan tetapi kewajiban seorang muslim adalah: berusaha menyempurnakannya dengan cara yang hikmah dan nasihat yang baik; tanpa menimbulkan fitnah atau merusak keamanan. Maka setetes darah yang tertumpah (terbunuhnya seorang muslim): di sisi Allah adalah lebih besar dibandingkan hancurnya dunia; sebagaimana sabda Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ سَفْكِ دَمِ امْرِءٍ مُسْلِمٍ
Hancurnya dunia adalah lebih ringan dibandingkan tercecernya darah seorang muslim.

Wallaahu A’lam.
______

Diterjemahkan oleh:
Dika Wahyudi Lc.
Penanya: Agus Jaelani Abu Abdirrahman

Catatan:
1- Tambahan penjelasan dalam kurung [ ] adalah dari kami.
2- Syaikh banyak membawakan Hadits secara makna; jelas sekali bahwa beliau menulisnya dengan hafalan.
sumber:https://www.facebook.com/dika.wahyudi.140/posts/823474451139750