Segala
puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau
hingga akhir zaman.
Betapa
banyak orang yang mendewakan akal. Setiap perkara selalu dia
timbang-timbang dengan akal atau logikanya terlebih dahulu. Walaupun
sudah ada nash Al Qur’an atau Hadits, namun jika bertentangan
dengan logikanya, maka logika lebih dia dahulukan daripada dalil
syar’i. Inilah yang biasa terjadi pada ahli kalam. Lalu
bagaimanakah mendudukkan akal yang sebenarnya? Apakah kita menolak
dalil akal begitu saja? Ataukah kita mesti mendudukkannya pada
tempatnya?
Simak pembahasan kami ini (Mendudukkan Akal pada Tempatnya) secara tuntas dalam dua seri. Semoga Allah memberikan kepahaman.
Sebelum Melangkah Lebih Jauh
Terlebih
dahulu yang kita harus pahami, setiap insan beriman hendaklah bersikap
patuh dan tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya. Setiap wahyu yaitu Al
Qur’an dan Hadits itu berasal dari-Nya. Rasul memiliki kewajiban
untuk menyampaikan wahyu tersebut. Sedangkan kita memiliki kewajiban
untuk menerima wahyu tadi secara lahir dan batin.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan
taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka
sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah)
dengan terang.” (QS. At Taghabun: 12)
Az Zuhri –rahimahullah– mengatakan,
مِنَ اللَّهِ الرِّسَالَةُ ، وَعَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْبَلاَغُ ، وَعَلَيْنَا التَّسْلِيمُ
“Wahyu
berasal dari Allah. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah
menyampaikan kepada kita. Sedangkan kita diharuskan untuk pasrah
(menerima).” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitabut Tauhid secara mu’allaq yakni tanpa sanad)
Oleh
karena itu, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara,
maka tidak ada pilihan bagi seorang muslim untuk berpaling kepada
selainnya, kepada perkataan ulama A, kyai B, ustadz C atau pun
logikanya sendiri, padahal pendapat mereka telah nyata menyelisihi Al
Qur’an dan Sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)
Ibnul
Qayyim –rahimahullah- mengatakan, “Ayat ini menunjukkan
bahwa jika telah ada ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya dalam setiap
masalah baik dalam permasalahan hukum atau pun berita (seperti
permasalahan aqidah), maka seseorang tidak boleh memberikan pilihan
selain pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya tadi lalu dia berpendapat
dengannya. Sikap berpaling kepada ketetapan selain Allah dan Rasul-Nya
sama sekali bukanlah sikap seorang mukmin. Dari sini menunjukkan bahwa sikap semacam ini termasuk menafikan (meniadakan) keimanan.” (Zadul Muhajir-Ar Risalah At Tabukiyah, hal. 25). Baca artikel terkait di sini.
Perintah Menyimak dan Merenungkan Al Qur’an dengan Akal
Ketahuilah bahwa akal adalah syarat agar seseorang bisa memahami sesuatu, sehingga membuat amalan menjadi baik dan sempurna. Oleh karena itu, akal yang baik saja yang bisa mendapatkan taklif (beban
syari’at) sehingga orang gila yang tidak berakal tidak mendapat
perintah shalat dan puasa. Seseorang yang tidak memiliki akal adalah
keadaan yang serba penuh kekurangan. Setiap perkataan yang menyelisihi
akal adalah perkataan yang batil. Oleh karena itu, Allah telah
memerintahkan kita untuk memperhatikan dan merenungkan Al Qur’an
dengan menggunakan akal semisal dalam beberapa ayat berikut ini,
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an?” (QS. An Nisa’: 82 dan Muhammad: 24)
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Mengapa
kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan
diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)?
Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah: 44)
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآَخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dan
tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau
belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang
yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al An’am: 32)
أَفَلَمْ
يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَدَارُ الْآَخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا
أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Maka
tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan
orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya
kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka
tidakkah kamu memikirkannya?” (QS. Yusuf: 109)
وَمَا
أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا
وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dan
apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup
duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih
baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (QS. Al Qashash: 60)
Al Qur’an Menggunakan Dalil Akal (Logika)
Hal
ini sebagaimana dapat kita lihat dalam permisalan-permisalan yang
digunakan dalam Al Qur’an. Di antaranya firman Allah Ta’ala
mengenai penetapan tauhid bahwa Dialah satu-satunya Pencipta,
هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ
“Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah.”
(QS. Luqman: 11).
Lihatlah dalam ayat ini, Allah menggunakan qiyas atau
analogi permisalan untuk menunjukkan adakah sesembahan selain Allah
yang dapat mencipta.
Contoh lainnya adalah tentang ayat yang menunjukkan adanya hari
berbangkit. Allah misalkan dengan menjelaskan bahwa Dia dapat
menghidupkan tanah yang mati. Jika Allah mampu melakukan demikian,
tentu Allah dapat pula membangkitkan makhluk-makhluk yang sudah mati.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا كَذَلِكَ الْخُرُوجُ
“Dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (QS. Qaaf: 11)
Urgensi Akal dalam Syari’at Islam
Syari’at
Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal
manusia. Hal itu dapat dilihat pada beberapa point berikut ini.
[Pertama] Allah
hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal karena hanya
mereka yang dapat memahami agama dan syari’at-Nya.
وَذِكْرَى لأولِي الألْبَابِ
“Dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 43)
[Kedua] Akal merupakan
syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif
(beban syari’at) dari Allah Ta’ala. Hukum-hukum
syari’at tidak berlaku bagi orang yang tidak menerima taklif
seperti pada orang gila yang tidak memiliki akal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ
الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Pena
diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai
dia bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan [3] orang
gila sampai ia kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
[Ketiga] Allah
Ta’ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya, semisal
perkataan Allah pada penduduk neraka yang tidak mau menggunakan akal.
[Keempat] Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam Al Qur’an, yaitu untuk tadabbur dan tafakkur, seperti la’allakum tatafakkarun (mudah-mudahan kamu berfikir) atau afalaa ta’qilun (apakah kamu tidak berpikir).
Begitu pula Allah memuji ulul albab (orang-orang yang berakal/berfikir),
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا
وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ
فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka.” (QS. Ali Imron: 190-191)
Demikian pembahasan kami dalam seri pertama ini. Nantikan tulisan selanjutnya (seri terakhir).
______________
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.com
Selesai disusun hampir setahun yang silam di Panggang, Gunung Kidul, 4 Rajab 1430 H