Segala
puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau
hingga akhir zaman.
Artikel berikut adalah artikel yang merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang membahas tentang akal (Mendudukkan Akal pada Tempatnya).
Kami harap pembaca sekalian bisa membaca terlebih dahulu tulisan sebelumnya di sini.
Akal Tidak Bisa Berdiri Sendiri
Walaupun
akal bisa digunakan untuk merenungi dan memahami Al Qur’an, akal
tidaklah bisa berdiri sendiri. Bahkan akal sangat membutuhkan dalil
syar’i (Al Qur’an dan Hadits) sebagai penerang jalan. Akal
itu ibarat mata. Mata memang memiliki potensi untuk melihat suatu
benda. Namun tanpa adanya cahaya, mata tidak dapat melihat apa-apa.
Apabila ada cahaya, barulah mata bisa melihat benda dengan jelas.
Jadi
itulah akal. Akal barulah bisa berfungsi jika ada cahaya Al
Qur’an dan As Sunnah atau dalil syar’i. Jika tidak ada
cahaya wahyu, akal sangatlah mustahil melihat dan mengetahui sesuatu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Bahkan akal
adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan
sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal
tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki
instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika
ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur’an
barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika
bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui
sesuatu.” (Majmu’ Al Fatawa, 3/338-339)
Intinya, akal bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh dalil syar’i yaitu dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.
Ketika Akal dan Dalil Syar’i Bertentangan
Jika
kita sudah mengetahui bahwa akal tidaklah bisa berfungsi kecuali dengan
adanya penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka tentu saja
akal yang benar tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil syar’i. Jika bertentangan, maka akal yang patut ditanyakan dan dalil syar’i lah yang patut dimenangkan. Kami dapat memberikan deskripsi tentang akal dan dalil syar’i sebagai berikut.
Ada orang awam ingin bertanya suatu hal pada seorang ulama. Akhirnya dia dibantu oleh Ahmad. Ahmad pun menunjukkan orang awam tadi pada ulama tersebut. Dalam suatu masalah, Ahmad menyelisihi pendapat ulama tadi. Lalu Ahmad mengatakan pada orang awam tadi, “Aku yang telah menunjuki engkau pada ulama tersebut, seharusnya engkau mengambil pendapatku bukan pendapat ulama tadi.” Tentu saja orang awam tadi akan mengatakan, “Engkau memang yang telah menunjukiku pada ulama tadi. Engkau menyuruhku untuk mengikuti ulama tadi, namun bukan untuk mengikuti pendapatmu. Jika aku mengikuti petunjukmu bahwa ulama tadi adalah tempat untuk bertanya, hal ini bukan berarti aku harus mencocokimu dalam setiap yang engkau katakan. Jika engkau keliru dan menyelisihi ulama tadi padahal dia lebih berilmu darimu, maka kekeliruanmu pada saat ini tidaklah membuat cacat tentang keilmuanmu bahwa dia adalah ulama.”
Ini
adalah permisalan dengan seorang ulama yang mungkin saja salah. Lalu
bagaimanakah jika pada posisi ulama tersebut adalah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mungkin keliru dalam
penyampaian berita dari Allah?
Dari
deskripsi ini, akal dimisalkan dengan si Ahmad yang jadi petunjuk
kepada ulama tadi. Sedangkan ulama tersebut adalah permisalan dari
dalil syar’i. Inilah sikap yang harus kita miliki tatkala kita
menemukan bahwa akal ternyata bertentangan dengan dalil syar’i.
Sikap yang benar ketika itu adalah seseorang mendahulukan dalil
syar’i daripada logika. Sebagaimana kita mendahulukan ulama tadi
dari si Ahmad sebagai petunjuk jalan. Jika dalil syar’i
bertentangan dengan akal, maka dalil lah yang harus didahulukan. Namun
hal ini tidak membuat akal itu cacat karena dia telah menunjuki kepada
dalil syar’i.
Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu jika akal bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah, maka dalil syar’i lebih harus kita dahulukan dari akal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika seseorang mengetahui dengan akalnya bahwa ini adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ada berita
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ternyata
berita tersebut menyelisihi akal. Pada saat ini, akal harus pasrah dan
patuh. Akal harus menyelesaikan perselisihan ini dengan menyerahkan
pada orang yang lebih tahu darinya yaitu dari berita Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat ini, akal tidaklah boleh
mendahulukan hasil pemikirannya dari berita Rasul. Karena sebagaimana
diketahui bahwa akal manusia itu memiliki kekurangan dibandingan dengan
berita Rasul. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu saja lebih
mengerti mengenai Allah Ta’ala, nama dan sifat-sifat-Nya, serta
lebih mengetahui tentang berita hari akhir daripada akal.” (Dar-ut Ta’arudh, 1/80)
Akal Tidak Mungkin Bertentangan dengan Dalil Al Qur’an dan As Sunnah
Inilah
yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah yaitu dalil akal
tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As
Sunnah yang shahih sama sekali. Maka tidaklah tepat jika seseorang mengatakan bahwa logika (dalil akal) bertentangan dengan dalil syar’i. Jika ada yang menyatakan demikian, maka hal ini tidaklah lepas dari beberapa kemungkinan:
[Pertama] Itu sebenarnya syubhat (kerancuan) dan bukan logika (dalil akal) yang benar.
[Kedua] Dalil
syar’i yang digunakan bukanlah dalil yang bisa diterima, mungkin
karena dalilnya yang tidak shahih atau adanya salah pemahaman.
[Ketiga] Hal ini karena tidak mampu membedakan antara sesuatu yang mustahil bagi akal dan sesuatu yang tidak dipahami oleh akal dengan sempurna.
Syari’at itu datang minimal dengan dalil yang tidak dipahami oleh
akal secara sempurna. Dan Syari’at ini tidak mungkin datang
dengan dalil yang dianggap mustahil bagi akal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَالرُّسُلُ جَاءَتْ بِمَا يَعْجِزُ الْعَقْلُ عَنْ دَرْكِهِ . لَمْ تَأْتِ بِمَا يُعْلَمُ بِالْعَقْلِ امْتِنَاعُهُ
“Rasul
itu datang dengan wahyu minimal tidak digapai oleh akal dengan
sempurna. Namun beliau tidaklah datang dengan wahyu yang mustahil bagi
akal untuk memahaminya.” (Majmu’ Al Fatawa, 3/339).
Semoga kita dapat memahami hal ini.
Sikap Ekstrim dan Pertengahan dalam Mendudukkan Akal
Ada dua sikap ekstrim dalam mendudukkan akal.
Sikap pertama: Yang menjadikan akal sebagai satu-satunya landasan ilmu sedangkan dalil Al Qur’an atau dalil syar’i hanya sekedar taabi’ (pengikut).
Akal pun dianggap sebagai sumber pertama dan dianggap akal tidak butuh
pada iman dan Al Qur’an. Inilah sikap yang dimiliki oleh Ahlul
Kalam.
Sikap kedua:
Yang sangat mencela dan menjelek-jelekan akal, juga menyelisihi dalil
logika yang jelas-jelas tegasnya, serta mencela dalil logika secara
mutlak. Inilah sikap dari kaum Sufiyah. (Majmu’ Al Fatawa, 3/338)
Sikap yang benar dan pertengahan adalah sikap yang menjadikan akal sebagai berikut:
- Akal adalah petunjuk untuk mengetahui dalil syar’i (dalil Al Qur’an dan As Sunnah)
- Akal tidak bisa berdiri sendiri namun butuh pada cahaya dalil syar’i. Tanpa adanya cahaya dalil Al Qur’an dan As Sunnah, akal tidaklah mungkin bisa memandang atau memahami suatu perkara dengan benar.
- Jika akal bertentangan dengan dalil syar’i, maka dalil syar’i yang harus didahulukan karena akal hanya sekedar petunjuk untuk mengetahui dalil sedangkan dalil syar’i memiliki ilmu dan pemahaman yang lebih dibanding akal.
- Akal (logika) yang benar tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah.
- Akal yang tercela adalah akal yang bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah.
Mendudukkan Akal dalam Beberapa Kasus
Di
antara penggunaan akal yang keliru adalah penggunaannya dalam
memikirkan perkara-perkara ghaib seperti memikirkan sifat-sifat Allah
dan keadaan hari kiamat.
[Contoh pertama]
Hadits tentang nuzul yaitu turunnya Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَنْزِلُ
رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ
الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ
يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ
يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb
kita tabaroka wa ta’ala setiap malamnya turun ke langit dunia
hingga tersisa sepertiga malam terakhir. Rabb mengatakan,
“Barangsiapa yang berdo’a kepadaKu, maka akan Aku kabulkan.
Barangsiapa meminta padaKu, maka akan Aku berikan. Barangsiapa meminta
ampun padaKu, Aku akan mengampuninya”.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)
Sebagian
orang menanyakan, “Bagaimana mungkin Allah turun ke langit dunia?
Ini berarti ‘Arsy-Nya kosong. ” Atau mungkin ada yang
menyatakan, “Kalau begitu Allah akan terus turun ke langit dunia
karena jika di daerah A adalah sepertiga malam terakhir, bagian bumi
yang lain beberapa saat akan mengalami sepertiga malam juga. Ini akan
berlangsung terus menerus.”
Inilah
akal-akalan yang muncul dari sebagian orang. Jawabannya sebenarnya
cukup mudah. Ingatlah dalam masalah ini, kita harus bersikap pasrah,
tunduk dan menerima dalil. Tugas Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam hanyalah menyampaikan wahyu, sedangkan tugas kita adalah
menerima secara lahir dan batin. Kalau kita tidak memahami hal ini, itu
mungkin saja logika atau akal kita yang tidak memahaminya dengan
sempurna. Jadi, sama sekali logika kita tidak bertentangan dengan dalil
tersebut. Hanya saja kita kurang sempurna dalam memahaminya.
Lalu jika ada yang mengemukakan kerancuan di atas, cukup kita katakan, “Hal semacam ini tidaklah pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah mendapatkan tafsiran mengenai hal ini. Jadi, dalam masalah menanyakan hakikat (kaifiyah) turunnya Allah, kita hendaknya stop dan tidak angkat bicara. Kita meyakini dan memahami adanya sifat nuzul (turunnya Allah ke langit dunia), namun mengenai hakikatnya kita katakan wallahu a’lam (Allah yang lebih mengetahui).”
Jadi pertanyaan semacam di atas tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat, sehingga dalam hal ini kita seharusnya tidak menanyakannya pula.
Mungkin yang kita
bayangkan tadi: “Bagaimana Allah bisa turun ke langit dunia?
Berarti ‘Arsy-Nya kosong”; yang kita bayangkan sebenarnya
adalah keadaan yang ada pada makhluk. Dan ingatlah bahwa Allah itu jauh
berbeda dengan keadaan makhluk, janganlah kita samakan. Allah
Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS. Asy Syuraa: 11). Jika sesuatu tidak mungkin terjadi pada makhluk,
maka ini belum tentu tidak bisa terjadi pada Allah yang Maha Besar.
[Contoh kedua]
Disebutkan dalam suatu hadits bahwa pada hari kiamat nanti posisi matahari akan begitu dekat dengan manusia.
Dari Al Miqdad bin Al Aswad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيلٍ
“Matahari akan didekatkan pada makhluk pada hari kiamat nanti hingga mencapai jarak sekitar satu mil.”
Sulaiman bin ‘Amir, salah seorang perowi hadits ini mengatakan
bahwa dia belum jelas mengenai apa yang dimaksud dengan satu mil di
sini. Boleh jadi satu mil tersebut adalah seperti jarak satu mil di
dunia dan boleh jadi jaraknya adalah satu celak mata. (HR. Muslim no.
7385)
Jadi, intinya matahari ketika itu akan didekatkan dengan jarak yang begitu dekat.
Ada mungkin yang mengatakan, “Saat ini jika matahari didekatkan ke bumi dengan jarak satu mil –padahal suhu matahari begitu tinggi (suhu permukaannya sekitar 6000oC)-, tentu saja bumi akan hangus terbakar. Lalu apa yang terjadi jika matahari didekatkan ke kepala dengan jarak yang begitu dekatnya?!”
Dalam hadits riwayat muslim di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,
فَيَكُونُ
النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِى الْعَرَقِ فَمِنْهُمْ مَنْ
يَكُونُ إِلَى كَعْبَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ
وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى حَقْوَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ
الْعَرَقُ إِلْجَامًا
“Keringat
manusia ketika itu sesuai dengan kondisi amalannya. Ada di antara
mereka yang keringatnya sampai di mata kaki. Ada pula yang keringatnya
sampai di paha. Ada yang lain sampai di pinggang. Bahkan ada yang
tenggelam dengan keringatnya.”
Jika
kita memperhatikan, hadits ini terasa bertentangan dengan logika kita.
Namun sebenarnya dapat kita katakan, “Kekuatan manusia ketika
hari kiamat berbeda dengan kekuatannya ketika sekarang di dunia. Namun
manusia ketika hari kiamat memiliki kekuatann yang luar biasa. Mungkin
saja jika manusia saat ini berdiam selama 50 hari di bawah terik
matahari, tanpa adanya naungan, tanpa makan dan minum, pasti dia akan
mati. Akan tetapi, sangat jauh berbeda dengan keadaan di dunia. Bahkan
di hari kiamat, mereka akan berdiam selama 50 ribu tahun, tanpa ada
naungan, tanpa makan dan minuman.” (Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, hal. 370)
Intinya, logika kita tidaklah mungkin bertentangan dengan akal. Jika bertentangan, maka logika kitalah yang patut dipertanyakan.
Demikian
beberapa penjelasan dari kami mengenai cara mendudukkan akal. Semoga
Allah selalu memberi taufik dan hidayah kepada kita untuk memahami
ajaran Al Qur’an dan As Sunnah, juga semoga kita dapat
mendudukkan akal sesuai tempatnya.
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala
Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Rujukan:
- Dar-ut Ta’aarudh Al ‘Aqli wan Naqli, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, Darul Kanuz Al Adabiyah Riyadh
- Ma’alim Ushul Fiqh ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jaizaniy, Dar Ibnul Jauziy
- Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, Darul Wafa’
- Shahih Al Bukhari, Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, Mawqi’ Wizarotil Awqof
- Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Daarul ‘Aqidah
- Zaadul Muhajir – Ar Risalah At Tabukiyah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Hadits
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.com
Selesai disusun di Panggang, Gunung Kidul, 4 Rajab 1430 H
Sumber : https://rumaysho.com/778-ketika-akal-bertentangan-dengan-dalil-syari.html