SYARAT, RUKUN DAN KEWAJIBAN DALAM AQAD NIKAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya:
1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul
• Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita.
Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya,
lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya,
kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman.
[1]
Ibnu
Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf
tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri,
al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali
dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan
paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu
tidak memiliki hak wali.” [2]
Disyaratkan
adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita
sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan
mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi
wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus aqad
nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan
apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ،
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا
الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنِ اشْتَجَرُوْا
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ.
“Siapa
saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil
(tidak sah), pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang
menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar dengan sebab
menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sulthan
(penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” [3]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak sah nikah melainkan dengan wali.” [4]
Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ
“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” [5]
Tentang
wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila seorang
gadis atau janda menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah.
Tidak
sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang
shahih dan juga berdasarkan dalil dari Al-Qur’anul Karim.
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ
يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ
ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ ۗ ذَٰلِكُمْ أَزْكَىٰ لَكُمْ وَأَطْهَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Dan
apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa
‘iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah
(lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di
antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada
orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir.
Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan
kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]
Ayat
di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu satu
riwayat berikut ini. Tentang firman Allah: “Maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka,” al-Hasan al-Bashri rahimahullaah
berkata, Telah menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar,
sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata,
زَوَّجْتُ
أُخْتًا لِيْ مِنْ رَجُلٍ فَطَلَّقَهَا حَتَّى إِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا
جَاءَ يَخْطُبُهَا، فَقُلْتُ لَهُ: زَوَّجْتُكَ وَفَرَشْتُكَ
وَأَكْرَمْتُكَ فَطَلَّقْتَهَا ثُمَّ جِئْتَ تَخْطُبُهَا؟ لاَ، وَاللهِ
لاَ تَعُوْدُ إِلَيْكَ أَبَدًا! وَكَانَ رَجُلاً لاَ بَأْسَ بِهِ
وَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تُرِيْدُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَيْهِ. فَأَنْزَلَ اللهُ
هَذِهِ اْلآيَةِ ( فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ ) فَقُلْتُ: اْلآنَ أَفْعَلُ يَا
رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: فَزَوَّجَهَا إِيَّاهُ
“Aku
pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki,
kemudian laki-laki itu menceraikannya. Sehingga ketika masa
‘iddahnya telah berlalu, laki-laki itu (mantan suami) datang
untuk meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya, ‘Aku telah
menikahkan dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu
engkau menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk meminangnya?!
Tidak! Demi Allah, dia tidak boleh kembali kepadamu selamanya!
Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan wanita itu pun menghendaki
rujuk (kembali) padanya. Maka Allah menurunkan ayat ini: ‘Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka.’ Maka aku berkata,
‘Sekarang aku akan melakukannya (mewalikan dan menikahkannya)
wahai Rasulullah.’” Kemudian Ma‘qil menikahkan
saudara perempuannya kepada laki-laki itu.[6]
Hadits
Ma’qil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih lagi mulia. Hadits
ini merupakan sekuat-kuat hujjah dan dalil tentang disyaratkannya wali
dalam akad nikah. Artinya, tidak sah nikah tanpa wali, baik gadis
maupun janda. Dalam hadits ini, Ma’qil bin Yasar yang
berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara
perempuannya yang akan ruju’ dengan mantan suaminya, padahal
keduanya sudah sama-sama ridha. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat
yang mulia ini (yaitu surat al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan
menghalangi pernikahan mereka. Jika wali bukan syarat, bisa saja
keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya, wali
sebagai syarat sahnya nikah.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, “Para ulama berselisih tentang
disyaratkannya wali dalam pernikahan. Jumhur berpendapat demikian.
Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan
dirinya sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah
disebutkan di atas tentang perwalian. Jika tidak, niscaya penolakannya
(untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada
artinya. Seandainya wanita tadi mempunyai hak menikahkan dirinya,
niscaya ia tidak membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu Mundzir
menyebutkan bahwa tidak ada seorang Shahabat pun yang menyelisihi hal
itu.” [7]
Imam
asy-Syafi’i rahimahullaah berkata, “Siapa pun wanita yang
menikah tanpa izin walinya, maka tidak ada nikah baginya (tidak sah).
Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Maka
nikahnya bathil (tidak sah).’”[8]
Imam
Ibnu Hazm rahimahullaah berkata, “Tidak halal bagi wanita untuk
menikah, baik janda maupun gadis, melainkan dengan izin walinya:
ayahnya, saudara laki-lakinya, kakeknya, pamannya, atau anak laki-laki
pamannya…” [9]
Imam
Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, “Nikah tidak sah kecuali
dengan wali. Wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula
selain (wali)nya. Juga tidak boleh mewakilkan kepada selain walinya
untuk menikahkannya. Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak sah.
Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan tetapi kita
memiliki dalil bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Pernikahan tidak sah, melainkan dengan adanya wali.”
• Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan
Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka
merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di
bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta
persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang
gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى
تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ:
أَنْ تَسْكُتَ
“Seorang
janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya.
Sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta
ijinnya.” Para Shahabat berkata, “Wahai Rasulullah,
bagaimanakah ijinnya?” Beliau menjawab, “Jika ia diam
saja.” [11]
Dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang
gadis yang mendatangi Rasulullah shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam
dan mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedangkan ia tidak
ridha. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan
pilihan kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia
ingin membatalkannya). [12]
• Mahar
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Dan
berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai
pemberian yang penuh kerelaan.” [An-Nisaa’ : 4]
Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan.
Mahar
(atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang
harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan
milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik
ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya.
Syari’at
Islam yang mulia melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan
dianjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِنَّ مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيْرُ خِطْبَتِهَا وَتَيْسِيْرُ صَدَاقِهَا وَتَيْسِيْرُ رَحِمِهَا
“Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya.” [13]
‘Urwah berkata, “Yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan.”
‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ
‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’” [14]
Seandainya
seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh
membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Qur’an yang dihafalnya.
[15]
• Khutbah Nikah
Menurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah
terlebih dahulu, yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
[16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah sebagai berikut:
إِنَّ
الْحَمْدَ ِللهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ،
وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ
لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
Segala
puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan
kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami
dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri
petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa
yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar
kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa
Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan
Rasul-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar
taqwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan
muslim.” [Ali ‘Imran : 102]
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا
كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ
وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Wahai
manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari
(diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya
kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.
Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”
[An-Nisaa’ : 1]
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَنْ
يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Wahai
orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah
perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan
meng-ampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya,
maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang besar.”
[Al-Ahzaab : 70-71]
Amma ba’du: [17]
[Disalin
dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin
Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor – Jawa Barat,
Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Al-Mughni (IX/129-134), cet. Darul Hadits.
[2]. Fat-hul Baari (IX/187).
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2083), at-Tirmidzi
(no. 1102), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad (VI/47, 165), ad-Darimi
(II/137), Ibnul Jarud (no. 700), Ibnu Hibban no. 1248-al-Mawaarid),
al-Hakim (II/168) dan al-Baihaqi (VII/105) dan lainnya, dari
‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Hadits ini dishahihkan Syaikh
al-Albani dalam kitabnya Irwaa-ul Ghaliil (no. 1840), Shahiih Sunan
Ibni Majah (no. 1524) dan Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 880).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2085), at-Tirmidzi
(no. 1101), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad (IV/394, 413), ad-Darimi
(II/137), Ibnu Hibban (no. 1243 al-Mawaarid), al-Hakim (II/170, 171)
dan al-Baihaqi (VII/107) dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari
radhiyallaahu ‘anhu.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq (VI/196, no.
10473), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XVIII/142, no. 299)
dan al-Baihaqi (VII/125), dari Shahabat ‘Imran bin Hushain.
Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih
al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7557). Hadits-hadits tentang syarat
sahnya nikah wajib adanya wali adalah hadits-hadits yang shahih.
Tentang takhrijnya dapat dilihat dalam kitab Irwaa-ul Ghaliil fii
Takhriij Ahaadiits Manaris Sabil (VI/235-251, 258-261, no. 1839, 1840,
1844, 1845, 1858, 1860).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (5130), Abu Dawud
(2089), at-Tirmidzi (2981), dan lainnya, dari Shahabat Ma’qil bin
Yasar radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Fat-hul Baari (IX/187).
[8]. Al-Umm (VI/35), cet. III/Darul Wafaa’, tahqiq Dr. Rif’at ‘Abdul Muththalib, th. 1425 H.
[9]. l-Muhalla (IX/451).
[10]. Dinukil secara ringkas dari kitab al-Mughni (IX/119), cet. Darul
Hadits-Kairo, th. 1425 H, tahqiq Dr. Muhammad Syarafuddin dan Dr.
As-Sayyid Muhammad as-Sayyid.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5136), Muslim
(no. 1419), Abu Dawud (no. 2092), at-Tirmidzi (no. 1107), Ibnu Majah
(no. 1871) dan an-Nasa-i (VI/86).
[12]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2096), Ibnu Majah (no. 1875).
Lihat Shahih Ibni Majah (no. 1520) dan al-Wajiiz (hal. 280-281).
[13]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/77, 91), Ibnu Hibban
(no. 1256 al-Mawaarid) dan al-Hakim (II/181). Hadits ini dihasankan
oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Irwaa-ul Ghaliil (VI/350).
[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2117), Ibnu
Hibban (no. 1262 al-Mawaarid) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul
Ausath (I/221, no. 724), dari ‘Uqbah bin ‘Amir
radhiyallaahu ‘anhu. Dishahihkan Syaikh al-Albani rahimahullaah
dalam Shahiihul Jaami’ (no. 3300).
[15]. Berdasarkan hadits yang diriwauyatkan oleh al-Bukhari (no. 5087) dan Muslim (no. 1425).
[16]. Lihat kitab Khutbatul Haajah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1421 H, dan Syarah
Khutbah Haajah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, takhrij wa
ta’liq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Daarul Adh-ha,
th. 1409 H.
[17]. Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah
(ÎõØúÈóÉõ
ÇáúÍóÇÌóÉö),
yaitu khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan khutbah ini
kepada para Shahabatnya radhiyallaahu ‘anhum. Khutbah ini
diriwayatkan dari enam Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097
dan 2118), an-Nasa-i (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah
(no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi (no. 336), Abu
Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214 dan
VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu
‘anhu. Hadits ini shahih.
Hadits ini ada beberapa syawahid (penguat) dari beberapa Shahabat, yaitu:1. Shahabat Abu Musa al-Asy’ari (Majma’uz Zawaa-id IV/288).
2. Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas (Muslim no. 868, al-Baihaqi III/214).
3. Shahabat Jabir bin ‘Abdillah (Ahmad II/37, Muslim no. 867 dan al-Baihaqi III/214).
4. Shahabat Nubaith bin Syarith (al-Baihaqi III/215).
5. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha.
Lihat Khutbatul Haajah Allatii Kaana Rasuulullaah shallallaahu
‘alaihi wa sallam Yu’allimuhaa Ash-haabahu, karya Imam
Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, cet. IV/ al-Maktab
al-Islami, th. 1400 H dan cet. I/ Maktabah al-Ma’arif, th. 1421 H.
Di
setiap khutbahnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
selalu memulai dengan memuji dan menyanjung Allah Ta’ala serta
ber-tasyahhud (mengucapkan dua kalimat syahadat) sebagaimana yang
diriwayatkan oleh para Shahabat:
1. Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallaahu ‘anha, ia
berkata: “… Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: Amma
ba’du….” (HR. Al-Bukhari, no. 86, 184 dan 922)
2. ‘Amr bin Taghlib, dengan lafazh yang sama dengan hadits Asma’. (HR. Al-Bukhari, no. 923)
3. ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata:
“…Tatkala selesai shalat Shubuh Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam menghadap kepada para Shahabat, beliau
bertasyahhud (mengucapkan kalimat syahadat) kemudian bersabda: Amma
ba’du…” (HR. Al-Bukhari, no. 924)
4. Abu Humaid as-Sa’idi berkata: “Bahwasanya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri khutbah pada waktu petang
sesudah shalat (‘Ashar), lalu beliau bertasyahhud dan menyanjung
serta memuji Allah yang memang hanya Dia-lah yang berhak mendapatkan
sanjungan dan pujian, kemudian bersabda: Amma
ba’du…” (HR. Al-Bukhari no. 925).
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيْهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ.
“Setiap
khutbah yang tidak dimulai dengan tasyahhud, maka khutbah itu seperti
tangan yang berpenyakit lepra/kusta.” (HR. Abu Dawud no. 4841;
Ahmad II/ 302, 343; Ibnu Hibban, no. 1994-al-Mawaarid; dan selainnya.
Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 169).
Menurut
Syaikh al-Albani, yang dimaksud dengan tasyahhud di hadits ini adalah
khutbatul haajah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam kepada para Shahabat radhiyallaahu
‘anhum, yaitu: “Innalhamdalillaah…” (Hadits
Ibnu Mas’ud).
Kata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah: “Khutbah ini adalah
Sunnah, dilakukan ketika mengajarkan Al-Qur-an, As-Sunnah, fiqih,
menasihati orang dan semacamnya…. Sesungguhnya hadits Ibnu
Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, tidak mengkhususkan untuk
khutbah nikah saja, tetapi khutbah ini pada setiap ada keperluan untuk
berbicara kepada hamba-hamba Allah, sebagian kepada sebagian yang
lainnya…” (Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni
Taimiyyah, XVIII/286-287)
Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah berkata,
“…Sesungguhnya khutbah ini dibaca sebagai pembuka setiap
khutbah, apakah khutbah nikah, atau khutbah Jum’at, atau yang
lainnya (seperti ceramah, mengajar dan yang lainnya-pent.), tidak
khusus untuk khutbah nikah saja, sebagaimana disangka oleh sebagian
orang…” (Khutbatul Hajah (hal. 36), cet. I/ Maktabah
al-Ma’arif).
Kemudian
beliau melanjutkan: “ ” (Khutbatul
Haajah (hal. 40) cet. I/ Maktabah al-Ma’arif, dan an-Nashiihah
(hal. 81-82) cet. I/ Daar Ibnu ‘Affan/th. 1420 H.)
from= https://almanhaj.or.id/3230-syarat-rukun-dan-kewajiban-dalam-aqad-nikah.html