Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ
جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا مُتَّفّقٌ عَلَيْه
وَمَعْنَاهُ :لاَ هِجْرَةَ مِنْ مَكَّةَ لأَنَّهَا صَارَتْ دَارَ
إِسْلاَمِِ
“Artinya : Dari ‘Aisyah, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota
Mekkah, akan tetapi jihad dan niat, dan jika kalian diminta untuk pergi
berjihad maka pergilah”[1]
Maknanya : Tidak ada hijrah dari Mekkah karena dia telah menjadi negeri Islam.[2]
Permasalahan jihad yang hukumnya fardhu ‘ain merupakan permasalahan
besar yang belum banyak diketahui oleh kaum muslimin. Sehingga banyak
para da’i berfatwa dan menyerukan jihad yang hukumnya (dianggap) fardhu
‘ain terhadap setiap pribadi tanpa dasar kaidah yang jelas, dan
terkadang dibuat dalam rangka mewujudkan keinginan-keinginan pribadi dan
sekelompok orang tertentu saja. Oleh karena itu dalam kesempatan ini,
kami merasa perlu memuat suatu penjelasan singkat tentang hal tersebut
dari seorang alim ulama yang telah dikenal ilmu dan kesholehannya, agar
kita semua dapat beramal diatas ilmu, dan mudah-mudahan Allah memberi
taufiq-Nya kepada kita untuk berjalan di jalan yang lurus.
Syarah Hadits.
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan
tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Mekkah dengan sabdanya :
لاَ هِجْرَةَ
Tidak ada hijrah.
Peniadaan ini bukan untuk keumumannya, maknanya hijrah tersebut tidak batal dengan penaklukan kota Mekkah, karena hijrah tersebut tidak akan hilang sampai hari kiamat sebagaimana telah ada dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَلاَ
تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Artinya : Hijrah tidak terputus sampai taubat terputus, dan taubat
tidak terputus sampai matahari terbit dari sebelah barat” [3]
Akan tetapi yang dimaksud dengan tidak ada hijrah disini adalah tidak
adanya hijrah dari Mekkah, sebagaimana dinyatakan oleh penulis (Imam
Nawawi) diatas, karena setelah penaklukan kota Mekkah menjadi negeri
Islam dan setelah itu tidak akan kembali menjadi negeri kafir, dengan
dasar inilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan hijrah
setelah penaklukan Mekkah.
Mekkah dahulu di bawah kekuasaan kaum musyrikin, mereka telah
mengusir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam darinya, kemudian
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah dengan izin Rabbnya ke
Madinah. Setelah delapan tahun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
di Madinah, beliau kembali ke Mekkah dan menaklukannya sehingga kota
Mekkah menjadi negeri iman dan Islam, dan dengan demikian tidak ada lagi
hijrah dari sana.
Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa Mekkah tidak akan
kembali menjadi negeri kafir, tetapi tetap menjadi negeri Islam sampai
datang hari kiamat atau sampai waktu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
kehendaki.
Kemudian sabda beliau :وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ “Akan tetapi jihad dan niat”
Bermakna : Perintah setelah ini adalah jihad, yaitu penduduk Makkah
keluar dari Makkah untuk berjihad. Dan “waniyyatun” bermakna : Niat yang
baik untuk berjihad di jalan Allah, yaitu dengan cara berniat adalah
jihadnya untuk meningkatkan kalimat Allah.
Kemudian beliau bersabda : : وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا “Dan jika kalian diminta untuk pergi berjihad maka pergilah”.
Bermakna : Jika waliyul amri (pemerintah) meminta kalian untuk pergi
berjihad di jalan Allah, maka kalian wajib berangkat berjihad, dan hukum
jihad pada saat itu adalah fardhu ‘ain. Maka jangan seorangpun tidak
memenuhinya, kecuali orang yang telah mendapat udzur Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan dalil firman-Nya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَالَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ
انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى اْلأَرْضِ أَرَضِيتُم
بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ اْلأخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ قَلِيلٌ إِلاَّ تَنفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ
عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلاَتَضُرُّوهُ
شَيْئًا وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila
dikatakan kepada kamu : ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan
Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu. Apakah kamu puas
dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal
kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat
hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya
Allah akan menyiksa dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan
kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan
kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [At-Taubah :
38-39]
Ini merupakan salah satu keadaan jihad yang diuhukumi fardhu a’in.
Keadaan kedua : Jika musuh mengepung satu Negara, bermakna musuh
datang menyerang Negara tersebut dan mengepungnya, maka jihad diwaktu
itu menjadi fardhu ‘ain. Dalam keadaan seperti ini setiap orang wajib
berperang, termasuk para wanita dan orang tua yang mampu berjihad.
Karena ini merupakan jihad membela diri (jihad difa’) dan perang membela
diri ini berbeda dengan perang menyerang mush (jihad tholab), sehingga
dalam keadaan seperti ini seluruh orang berangkat untuk membela Negara
mereka.
Keadaan ketiga : Jika terjadi pertempuran, kedua belah pihak yang
berperang saling berhadapan, barisan orang-orang kafir dengan barisan
kaum muslimin, maka jihad pada waktu itu hukumnya fardhu ‘ain dan tidak
boleh seorangpun berpaling, sebagaimana firman Allah.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَالَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
زَحْفًا فَلاَ تُوَلُّوهُمُ اْلأَدْبَار . وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ
دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ
فَقَدْ بَآءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ
الْمَصِيرُ
“Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang
yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi
mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu
itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan
diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali membawa
kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat
buruklah tempat kembalinya” [Al-Anfaal : 15-16]
Demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggolongkan kabur dari medan pertempuran termasuk dosa besar yang tujuh.[4]
Keadaan keempat : Jika seseorang dibutuhkan, contoh : tidak ada yang
mengetahui penggunaan senjata kecuali hanya satu orang saja, dan
orang-orang membutuhkan orang tersebut untuk menggunakan senjata baru,
maka wajib atasnya untuk berjihad walaupun imam (waliyul amri) tidak
memintanya berangkat dan kewajiban itu ada lantaran dia dibutuhkan.
Maka dalam empat keadaan inilah jihad menjadi fardhu ‘ain, dan yang selainnya adalah fardhu kifayah.
Ahlul Ilmi menyatakan bahwa wajib atas kaum muslimin untuk menjadikan
sebagian dari mereka berjihad setiap tahun sekali[5], berjihad
memerangi musuh-musuh Allah dalam rangka meninggikan kalimat Allah,
bukan karena sekedar membela Negara. Karena membela negara, semata-mata
sebagai satu negara, itu bisa dilakukan orang mukmin dan kafir.
Orang-orang kafir-pun membela negara mereka. Akan tetapi seorang muslim
hanya membela agama Allah, sehingga dia membela negaranya bukan karena
sekedar sebagai satu negara akan tetapi karena dia adalah negara Islam,
lalu dia membelanya dalam rangka menjaga Islam. Oleh karena itu wajib
atas kita pada keadaan yang kita hadapi sekarang ini, untuk mengingatkan
seluruh orang bahwa seruan untuk memerdekakan negara dan yang serupa
dengannya adalah seruan yang tidak pas, dan wajib bagi kita untuk
mendidik manusia dengan pendidikan agama. Dan hendaklah dikatakan : Kita
membela agama kita sebelum yang lainnya, karena Negara kita adalah
negara agama dan negara Islam yang membutuhkan perlindungan dan
pembelaan, maka kita harus membelanya dengan niat tersebut.
Adapun membela dengan niat nasionalisme atau kesukuan maka ini
terjadi pada orang mukmin dan kafir, dan perbuatan tersebut tidak
bermanfaat bagi pelakunya pada hari kiamat, jika terbunuh dalam keadaan
membela Negara dengan niat ini maka dia tidak mati syahid; karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang seseorang yang
berperang karena kebanggaan (gengsi) dan berperang karena keberanian
saja dan berperang karena ingin memperlihatkan kehebatannya, mana yang
dikatakan di jalan Allah lalu beliau berkata.
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Artinya : Siapa yang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi maka dialah yang berada di jalan Allah” [6]
Perhatikan syarat ini !! Jika kamu berperang karena negara, maka kamu
dan orang kafir sama, akan tetapi berperanglah karena ingin menegakkan
kalimat Allah yang dilaksanakan di negara kamu, karena negara kamu
adalah negara Islam, maka pada keadaan seperti ini mungkin perang
tersebut dapat dikatakan perang di jalan Allah.
Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
مَا مِنْ مَكْلُومٍ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاللهُ أَعْلَمُ
بِمَنْ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَمًا اللَّوْنُ لَوْنُ دَمٍ وَالرِّيحُ رِيحُ مِسْكٍ
“Artinya : Tidak ada luka yang terluka di jalan Allah dan Allah maha
tahu siapa yang terluka di jalan Allah kecuali datang pada hari kiamat
dalam keadaan lukanya mengeluarkan darah, warnanya warna darah tetapi
wanginya wangi misk (minyak kasturi)” [7]
Perhatikan bagaiman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyaratkan
mati syahid dengan berperang hanya dijalan Allah, maka wajib atas para
penuntut ilmu menjelaskan permasalahan ini kepada umat.
Wallahul Muwaffiq
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun V/1422H/2002M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.
8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______Footnote
[1]. [Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2783 kitab al-Jihad wa as-siyar dan Muslim No. 1864 kitab al-Imaarah
[2]. Keterangan dari Imam Nawawiy penulis kitab Riyadhush Sholihin (pent)
[3]. Dikeluarkan oleh Abu Dawud No. 2479 kitab Al-Jihad dan Ahmad dalam Musnadnya 4/99 dan dia ada di Shahihil Jami’ No. 7469
[4]. Isyarat kepada hadits Abi Hurairah secara marfu’ :
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ
الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ
مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ
“Artinya : Jauhilah tujuh dosa besar, mereka bertanya : Apakah itu
wahai Rasulullah ? Beliau menjawab : Syirik kepada Allah, sihir,
membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan
kebenaran, memakan uang riba, memakan harta anak yatim dan kabur dari
medan pertempuran serta menuduh kaum mukminat yang telah menikah yang
lalai dengan zinah” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2766 kitab
al-Washoya dan Muslim No. 89 kitab al-Iman]
[5]. Yakni suatu negara Islam wajib berjihad -paling sedikit sekali
dalam satu tahun- memerangi musuh untuk meningkatkan kalimat Allah, -red[6]. Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2810 kitab al-Jihad wa as-Siyar dan Muslim No. 1904 kitab al-Imarah
[7]. Dikeluarkan oleh al-Bukhari No. 2803 kitab al-Jihad dan Muslim No. 1876 (105) kitab al-Imaarah
_________
Posting Ulang:
- sumber= https://almanhaj.or.id/1022-jihad-jihad-yang-fardhu-ain.html
- Jl. Pal Merah Utara 3