Apakah semua suudzan dilarang? Termasuk kepada orang yang memiliki gelagat buruk.
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Prasangka ada banyak macam, tidak semua tercela, sehingga tidak
semuanya dilarang. Bahkan ada beberapa prasangka yang dipuji dalam
syariat. Bahkan ada prasangka yang hukumnya wajib.
Mengenal Makna Dzan (Prasangka)
Prasangka [الظن] artinnya ragu namun cenderung kepada salah satu.
Kata yang semisal adalah syak [الشك], yang artinya keraguan namun tidak
bisa menentukan mana yang lebih kuat.
Kata dzan banyak digunakan dalam al-Quran. Ibnul Qayim menyebutkan,
penggunaan kata dzan (praduga) dalam al-Quran memiliki 5 makna;
[1] Ragu-ragu [الشك], tidak bisa menentukan mana yang lebih utama, sama sekali.
Seperti firman Allah,
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ
وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ
عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan
di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan
membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai
pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. (QS. al-Jatsiyah: 24)
Kata dzan dalam ayat di atas bermakna syak, yang artinya ragu tanpa
bisa menentukan mana yang lebih kuat. Karena orang kafir bicara tanpa
dasar.
[2] Yaqin [اليقين], kata dzan dalam hal ini disertai dugaan kuat hingga sampai tingkatan yakin
Seperti firman Allah,
قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ
“Orang-orang yang yakin mereka akan bertemu Allah…” (QS. Al-Baqarah: 249)
[3] Menuduh [التهمة]
Seperti firman Allah,
وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بظَنِينٍ
“Dia (Muhammad) bukanlah termasuk orang yang tertuduh terhadap hal yang ghaib.” (QS. At-Takwir: 24)
Berita ghaib yang beliau sampaikan adalah berita yang murni benar, jujur, dan tidak hasil mengarang.
[4] Mengira [الحسبان]
Seperti firman Allah,
وَلَٰكِن ظَنَنتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِّمَّا تَعْمَلُونَ
Akan tetapi kalian mengira, Allah tidak mengetahui banyak hal yang telah kalian lakukan. (QS. Fushilat: 22)
Seperti firman Allah,
وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka
tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya
persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran. (QS. An-Najm: 28)
(Nuzhatul A’yun, hlm. 425).Hukum Berprasangka
Selanjutnya, kita membahas rincian hukum berprasangka. Karena tidak
semua prasangka mengandung makna negatif, tidak semua prasangka
dilarang. Berikut rincian hukum prasangka,
[1] Wajib
Seperti berprasangka baik (husnudzan) kepada Allah. Karena kebalikan
dari itu, Su’udzan hukumnya haram jika ditujukan kepada Allah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللهِ الظَّنَّ
Jangan sampai kalian mati kecuali dalam keadaan husnudzan kepada Allah. (HR. Muslim 7410)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى
Allah berfirman, ‘Aku menurut prasangka hamba-Ku kepada-Ku.. dan Aku bersamanya ketika dia mengingat-Ku’ (HR. Bukhari 7405 & Muslim 6981)
Termasuk juga husnudzan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada mukmin yang sholeh, seperti para sahabat atau orang mukmin yang lahiriyahnya baik.
Tingkatan haramnya suudzan berbeda-beda. Suudzan yang paling haram adalah suudzan kepada Allah.
Allah mengancam akan memberikan hukuman kepada orang munafiq dan
orang musyrik karena mereka suudzan kepada Allah. Allah berfirman,
وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ
وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ
عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ
“Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan
orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka
buruk terhadap Allah.” (QS. Al-Fath: 6)
Kemudian suudzan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian suudzan kepada orang-orang soleh, seperti para sahabat.
Karena itu, Allah perintahkan agar semacam ini dijauhi. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Al-Qurthubi mengatakan,
إن الظن القبیح بمن ظاهره الخیر لا یجوز والاثم هو ما یستحقه الظان من العقوبة
Prasangka yang jelek kepada orang yang lahiriyahnya baik, tidak
diperbolehkan. Dan dosanya adalah hukuman yang akan didapatkan dari
orang yang memiliki prasangka. (Tafsir al-Qurthubi, 16/332).
Dzan (prasangka) yang dibolehkan, adalah prasangka yang tidak mengantarkan kepada dosa.
Allah berfirman,
إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Karena sebagian dari prasangka itu dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Pemahaman kebalikannya, ada sebagian prasangka yang bukan dosa.
Al-Qurthubi mengatakan,
والظن في الشریعة قسمان محمود ومذموم ، فالمحمود منه : ما سلم معه دین الظان والمظنون به عند بلوغه . والمذموم : ضده
Dzan dalam syariat ada 2: terpuji dan tercela. Dzan yang terpuji
adalah dzan yang tidak membahayakan agama orang yang berprasangka dan
orang yang menjadi sasaran prasangka, ketika itu sampai kepadanya.
Sementara dzan yang tercela adalah dzan kebalikannya. (Tafsir
al-Qurthubi, 16/332).
Kemudian al-Qurthubi menyebutkan firman Allah di surat al-Hujurat: 12.
Diantara dzan yang boleh adalah dzan kepada orang yang secara
lahiriyah dia jahat, atau terbiasa melakukan maksiat secara
terang-terangan.
As-Syaukani mengatakan,
فأما أهل السوء والفسوق ، فلنا أن نظن بهم مثل الذي ظهر منهم
Untuk orang jahat, berakhlak jelek, menurut kami, kita boleh memiliki suudzan sesuai yang mereka tampakkan. (Fathul Qadir, 7/16)
Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pernah suudzan kepada orang munafik. Beliau mengatakan kepada Aisyah,
مَا أَظُنُّ فُلاَنًا وَفُلاَنًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا
Saya menyangka fulan dan fulan sama sekali tidak mengerti agama kita. (HR. Bukhari 6067)
kata Laits bin Sa’d, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dua orang dari kalangan munafiq.
Ini juga yang dilakukan para sahabat, ketika mereka melihat ada orang yang secara lahiriyah bermasalah.
Seperti, prasangka para sahabat untuk orang yang tidak hadir shalat jemaah.
Ibnu Umar mengatakan,
إنا كنا إذا فقدنا الرجل في عشاء الآخرة أسأنا به الظن
Dulu, ketika kami tidak menemukan seseorang ketika jamaah isya, maka kami memiliki suudzan kepadanya.
Karena itu, boleh saja orang suudzan kepada orang lain yang memiliki gelagat bermasalah.
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)