Kesyirikan Zaman Dahulu “hanya” Terjadi di Waktu Lapang
Realita
ke dua yang menunjukkan bahwa kondisi kesyirikan zaman sekarang lebih
parah daripada kesyirikan pada zaman Rasulullah adalah kesyirikan zaman
Rasulullah dahulu hanya terjadi ketika dalam kondisi lapang. Adapun
kalau sedang ditimpa kesempitan, kesusahan, atau terancam bahaya,
mereka mengikhlaskan ibadah mereka kepada Allah Ta’ala semata. Di
antara bukti yang menunjukkan bahwa kesyirikan orang musyrik jahiliyyah
hanya di waktu lapang saja adalah beberapa ayat berikut ini.
Ayat pertama, Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ
الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ حَتَّى إِذَا كُنْتُمْ
فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا
جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ
وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ لَئِنْ أَنْجَيْتَنَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ
الشَّاكِرِينَ (22) فَلَمَّا أَنْجَاهُمْ إِذَا هُمْ يَبْغُونَ فِي
الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا بَغْيُكُمْ
عَلَى أَنْفُسِكُمْ مَتَاعَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَيْنَا
مَرْجِعُكُمْ فَنُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (23)
“Dia-lah
Rabb yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di
lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah
bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan
angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin
badai. Dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan
mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka
berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya
semata-mata. (Mereka berkata), ‘Sesungguhnya jika Engkau (Allah)
menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk
orang-orang yang bersyukur.’ Maka
ketika Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman
di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Wahai manusia, sesungguhnya
(bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri. (Hasil kezalimanmu)
itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah
kembalimu. Lalu kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan” (QS. Yunus [10]: 22-23).
Ayat kedua, Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا
بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ
فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ (53) ثُمَّ إِذَا كَشَفَ الضُّرَّ عَنْكُمْ إِذَا
فَرِيقٌ مِنْكُمْ بِرَبِّهِمْ يُشْرِكُونَ (54)
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. Kemudian
apabila dia telah menghilangkan kemudharatan itu dari kamu, tiba-tiba
sebagian dari kamu mempersekutukan Rabb-nya dengan (yang lain)”
(QS. An-Nahl [16]: 53-54).
Ayat ketiga, Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا
مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ
فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الْإِنْسَانُ
كَفُورًا
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka ketika dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu selalu tidak berterima kasih” (QS. Al-Isra’ [17]: 67).
Ayat keempat, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا
رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Maka ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 65).
Ayat kelima, Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا
غَشِيَهُمْ مَوْجٌ كَالظُّلَلِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ فَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمَا يَجْحَدُ
بِآيَاتِنَا إِلَّا كُلُّ خَتَّارٍ كَفُورٍ
“Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Maka
ketika Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian
mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari
ayat-ayat kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar” (QS. Luqman [31]: 32).
Dengan
merenungkan ayat-ayat tersebut, jelaslah bagi kita bahwa orang musyrik
jahiliyyah berbuat kesyirikan hanya di waktu lapang. Namun, apabila
apabila mereka sedang tertimpa kesempitan, kesusahan, atau terancam
bahaya, mereka mengikhlaskan doa dan ibadah mereka kepada Allah
Ta’ala dan melupakan segala sesembahan selain Allah. Mereka
tidak menyeru atau berdoa kepada selain Allah Ta’ala karena
mereka mengetahui bahwa tidak ada sesembahan mereka yang dapat
menyelamatkannya dari bahaya tersebut kecuali Allah Ta’ala saja.
Sehingga mereka tidak berdoa kepada Latta, ‘Uzzza, Manat, pohon,
batu, dan makhluk lainnya, namun mereka hanya berdoa dan menyeru kepada
Allah Ta’ala semata.
Kesyirikan pada Zaman Sekarang: dalam Kondisi Lapang dan Sempit
Adapun
kaum musyrikin zaman sekarang ini, maka kesyirikan mereka terus-menerus
berlangsung, baik dalam kondisi lapang maupun sempit. Mereka tidak
mengikhlaskan ibadah mereka kepada Allah Ta’ala, meskipun sedang
berada dalam kondisi kesempitan dan kesusahan. Bahkan, setiap kali
kesusahan dan kesempitan yang mereka alami semakin parah, maka semakin
parah pula kesyirikan yang mereka lakukan dengan menyeru kepada Hasan,
Husein, Abdul Qadir Jailani, Rifa’i, atau kepada orang-orang mati
lainnya. Hal ini adalah sesuatu yang telah diketahui oleh kita semua.
Di antara mereka, apabila sedang tertimpa bahaya di lautan, mereka
justru memanggil nama-nama para wali dan orang shalih yang telah mati
dalam rangka berdoa agar mereka menyelamatkannya dari bahaya tersebut.
Oleh
karena itu, tidak ragu lagi bahwa kesyirikan zaman sekarang lebih parah
daripada kesyirikan pada zaman dahulu. Karena orang musyrik zaman
sekarang berbuat kesyirikan dalam dua keadaan (yaitu dalam kondisi
lapang dan sempit). Sedangkan orang musyrik zaman dahulu hanya berbuat
syirik dalam satu keadaan saja (yaitu dalam kondisi lapang), dan
mentauhidkan Allah Ta’ala dalam kondisi sempit [1].
Penulis
mengajak kita semua untuk melihat realita yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat kita saat ini. Tentu kita masih ingat dengan ancaman badai
tropis lebih dari 10 tahun yang lalu. Di tengah-tengah ancaman badai
tropis tersebut, masyarakat kita justru “masih sempat”
berbuat syirik dengan membuat sayur lodeh sebagai bagian dari tolak bala’. Entah
apa yang berada dalam pikiran masyarakat tersebut, namun inilah realita
yang terjadi. Ancaman musibah tersebut tidak menyadarkan mereka agar
meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala semata, namun justru
meminta kepada selain Allah Ta’ala.
Kalaulah mereka beralasan bahwa sayur lodeh tersebut sebagai wasilah (perantara)
saja, apa dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mengajarkan
adanya kaitan antara membuat sayur lodeh dengan tolak bala? Kita
lihat juga realita yang lain, apabila tertimpa musibah berupa penyakit
yang tidak kunjung sembuh, dan telah ada tanda-tanda tidak akan mampu
bertahan lebih lama lagi, sebagian masyarakat kita justru “masih
sempat” berbuat syirik dengan mendatangi dukun atau paranormal
agar membantu menyembuhkan penyakit yang mereka derita. Sungguh amat
kasihan ketika kita melihat orang yang bertauhid di kala sehatnya,
namun menjadi musyrik di kala sakitnya. Apalagi sakit itulah yang
akhirnya menjadi sebab tercabutnya nyawanya. Kematian manakah yang
lebih tragis dari kematian dalam keadaan musyrik?
Masyarakat yang lain, ketika punya hajatan (misalnya pernikahan, membangun rumah, ataupun yang lainnya) mereka memberikan sesajen ke tempat-tempat yang dianggap keramat. Ketika suatu ketika terkena musibah, mereka beranggapan bahwa mereka telah kuwalat terhadap yang mbaurekso (jin
penunggu) kampungnya kemudian meminta ampun dan berdoa kepadanya agar
menghilangkan musibah itu atau pergi ke dukun untuk menghilangkannya.
Inilah beberapa realita di masyarakat kita yang menunjukkan bahwa
mereka berbuat syirik di waktu lapang dan sempit. [Bersambung]
***
Selesai disempurnakan ba’da subuh, Rotterdam NL 10 Dzulhijjah 1438/01 September 2017
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Catatan kaki:
[1] Penjelasan ini diringkas dari kitab Syarh Al-Qawa’idul Arba’, hal. 15-16 oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah dan kitab Syarh Al-Qawa’idul Arba’, hal. 40-42 oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah.
Share Ulang:
- Citramas, Cinunuk Bandung
- from=https://muslim.or.id/32729-kesyirikan-pada-zaman-sekarang-ternyata-lebih-parah-02.html