Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
Menuntut
ilmu agama untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan mewariskan amal
shalih adalah tanda kebaikan yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki
bagi para hamba yang dipilih-Nya, sekaligus merupakan jalan menuju
surga-Nya. Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhu bahwa
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
Barangsiapa
Allâh kehendaki baginya kebaikan maka Dia akan
menjadikannya paham (berilmu) tentang (urusan) agama (Islam)[1]
Dalam
hadits shahih lainnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
Barangsiapa
menempuh suatu jalan dengan tujuan untuk menuntut ilmu (agama), maka
Allâh akan mudahkan baginya jalan menuju Surga[2]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits
di atas (yang pertama) menunjukkan bahwa orang yang tidak dipahamkan
dalam urusan agama maka (berarti) Allâh Subhanahu wa Ta’ala
tidak menghendaki kebaikan baginya”[3]
Dan
tentu saja, pemahaman agama yang dimaksud di sini adalah ilmu yang
bermanfaat dan mewariskan amal shalih, inilah ilmu yang semakin
dipelajari maka semakin menguatkan iman dan menumbuhkan rasa takut
kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allâh di antara para hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu [Fâthir/35:28]
Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ayat
ini merupakan dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu agama, karena hal
itu membangkitkan rasa takut kepada Allâh Azza wa Jalla.”[4]
Inilah
sebab utama yang menjadikan ilmu agama mempunyai kedudukan dan
keutamaan yang sangat besar, sebagaimana ucapan Imam Sufyan ats-Tsauri,
“Sesunguhnya ilmu agama
dipelajari tidak lain untuk meraih ketakwaan kepada Allâh Azza wa
Jalla, maka dengan sebab (tujuan mulia inilah) ilmu agama lebih
diutamakan (daripada amal lainnya). Kalau bukan karena tujuan ini maka
niscaya ilmu agama sama (kedudukannya) dengan yang lain.”[5]
Oleh
karena agungnya kedudukan dan keutamaan ilmu yang bermanfaat ini, maka
tentu untuk mendapatkannya seorang hamba harus mengikuti adab-adab
menuntut ilmu dan syarat-syaratnya, sebagaimana yang telah dijelaskan
oleh para Ulama Ahlus sunnah dalam kitab-kitab mereka yang menjelaskan
adab-adab tersebut.
Di antara adab dan syarat yang paling penting dalam hal ini adalah mengetahui
sumber pengambilan ilmu yang benar dan memahami siapa yang pantas
dijadikan sebagai rujukan dan guru dalam menimba ilmu agama.
Imam besar Ahlus sunnah dari generasi Tabi’in, Muhammad bin Sirin berkata, “Sesungguhnya
ilmu agama (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu
meraih ketakwaan kapada Allâh), maka telitilah dari siapa kamu
mengambil (ilmu) agamamu.”[6]
Artinya,
janganlah kamu mengambil ilmu agama dari sembarang orang, kecuali orang
yang telah kamu yakini keahlian dan kepantasannya untuk menjadi tempat
mengambil ilmu.[7]
Fenomena Pemilihan Guru Agama Di Tengah Kaum Muslimin
Jika
kita memperhatikan kondisi mayoritas kaum Muslimin dalam memilih guru
atau sumber rujukan dalam ilmu agama, maka kita akan dapati kenyataan
yang sangat menyedihkan dan bahkan memprihatinkan.
Kebanyakan
kaum Muslimin justru lebih teliti dan berhati-hati dalam memilih dan
menyeleksi sumber rujukan dalam urusan-urusan dunia mereka, seperti
ketika mereka ingin berkonsultasi tentang kesehatan atau mengobati
penyakit yang mereka rasakan, maka mereka akan sangat teliti mencari
dokter yang spesialis, terkenal dan berpengalaman, bahkan termasuk
memperhatikan alat-alat dan fasilitas canggih yang dimiliki oleh dokter
tersebut. Demikian pula ketika mereka ingin memperbaiki kendaraan
mereka misalnya, maka mereka akan sangat selektif mencari mekanik yang
ahli, terkenal, perpengalaman dan memiliki peralatan serta fasilitas
yang lengkap.
Adapun
untuk urusan agama, maka kita dapati kebanyakan mereka sangat tidak
selektif dalam mencari sumber rujukannya, bahkan terkesan ‘asal comot’ dan hanya memperturutkan hawa nafsu.
Di antara mereka, ada yang memilih guru agama atau penceramah hanya karena orang tersebut pandai melucu atau melawak, ada juga yang hanya karena orang tersebut populer dan sering muncul di televisi, bahkan ada juga yang hanya karena orang tersebut mantan artis terkenal dan seterusnya.
Sebagian yang lain ada yang memilih guru hanya dengan pertimbangan keindahan bahasa dan retorika
dalam menyampaikan ceramah atau khutbah, atau pertimbangan-pertimbangan
lain yang tentu jauh dari kriteria ilmu yang benar dan bermanfaat
sebagaimana yang dijelaskan oleh para Ulama Salaf.
Semoga
Allâh Azza wa Jalla meridhai dan merahmati Sahabat yang mulia,
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu yang berkata di hadapan
murid-muridnya para Tabi’in, “Sesungguhnya
kalian (saat ini) berada di jaman yang banyak terdapat orang-orang yang
(benar-benar) berilmu, tapi sedikit yang pandai berkhutbah atau
berceramah, dan akan datang setelah kalian nanti suatu jaman yang (pada
waktu itu) banyak orang yang pandai berceramah tapi sedikit orang yang
(benar-benar) berilmu.”[8]
Bahkan
lebih dari itu, ilmu yang benar dan bermanfaat tidak hanya berupa
hafalan yang kuat terhadap ilmu tapi tanpa melahirkan rasa takut kepada
Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan mewariskan amal shalih,
sebagaimana firman-Nya:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allâh diantara para hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allâh) [Fâthir/35:28].
Ketika mengomentari ayat di atas, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Bukanlah
ilmu (yang bermanfaat) itu (hanya) dengan banyak (menghafal) hadits,
akan tetapi ilmu itu (timbul) dari besarnya rasa takut (kepada
Allâh Azza wa Jalla).”[9]
Ilmu Yang Bermanfaat Dan Sumber Pengambilannya
Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata, “Ilmu
yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan seksama
dalil-dalil dari al-Qur’an dan Sunnah Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta (berusaha) memahami
kandungan maknanya, dengan mendasari pemahaman tersebut dari penjelasan
para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, para Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para
Sahabat), dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dalam
memahami kandungan al-Qur’an dan Hadits, (begitu pula) dalam
(memahami penjelasan) mereka dalam masalah halal dan haram, pengertian
zuhud, amalan hati (pensucian jiwa), pengenalan (tentang nama-nama dan
sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla) dan pembahasan-pembahasan ilmu
lainnya, dengan terlebih dahulu berusaha untuk memisahkan dan memilih
(riwayat-riwayat) yang shahih (benar) dan (meninggalkan
riwayat-riwayat) yang tidak benar, kemudian berupaya untuk memahami dan
menghayati kandungan maknanya.”[10]
Pemaparan
di atas menunjukkan bahwa ilmu yang benar dan bermanfaat memiliki
sumber yang jelas, yaitu al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih
dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan
pemahaman yang benar dari penjelasan para Sahabat dan para Ulama
Ahlu sunnah yang mengikuti jalan mereka dengan benar.
Mereka inilah yang direkomendasikan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ
اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan)
orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha
kepada-Nya, dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar[At Taubah/9:100].
Jadi ilmu yang benar dan bermanfaat bukan hanya sekedar kepandaian berceramah atau menyusun kata-kata dan retorika yang indah, bahkan bisa jadi orang yang pandai berceramah dan menyampaikan kata-kata yang indah bukan orang yang memiliki ilmu yang benar.
Di
atas telah dinukil ucapan Sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu anhu yang berkata di hadapan murid-muridnya para Tabi’in.
Inilah
di antara alasan utama yang menjadikan para Ulama Ahlus sunnah sangat
berhati-hati dalam memilih guru dan mereka sangat keras memperingatkan
para penutut ilmu dalam masalah ini.
Ini
tentu sangat wajar dan pantas, karena mempelajari ilmu agama adalah
sebab utama, dengan taufik dari Allâh Azza wa Jalla, yang akan
menumbuhkan keimanan dan ketakwaaan kepada Allâh Subhanahu wa
Ta’ala, maka untuk mewujudkan tujuan ini tentu sangat membutuhkan
pembimbing dan guru yang baik. Karena dalam hal ini guru yang baik akan
menjadi sumber kebaikan yang memberikan pengaruh baik kepada
orang-orang yang belajar ilmu darinya. Ketika guru itu sendiri tidak
memiliki kebaikan dan ilmu yang bermanfaat, maka bagaimana dia akan
bisa memberikan pengaruh baik kepada orang lain? Salah satu ungkapan
Arab yang terkenal mengatakan, “Orang yang tidak memiliki sesuatu maka dia tidak bisa memberikan apa-apa.”[11]
Dalam atsar yang telah dinukil di atas, Muhammad bin Sirin berkata, “Sesungguhnya
ilmu agama (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu
meraih ketakwaan kapada Allâh), maka telitilah dari siapa kamu
mengambil (ilmu) agamamu.”[12]
Imam Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i berkata, “Dulu
para Ulama Salaf ketika datang kepada seorang (guru) untuk menimba ilmu
agama, maka mereka meneliti (terlebih dahulu) bagaimana shalatnya,
(pengamalannya terhadap) sunnah Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan penampilannya, kemudian barulah mereka
mengambil ilmu darinya.”[13]
Bahkan
dulunya para Ulama Salaf sangat teliti mencari informasi dan bertanya
tentang keadaan, akhlak dan tingkah laku seseorang yang akan mereka
jadikan sebagai guru untuk menimba ilmu agama.
Imam ‘Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi berkata, “Dulunya
para Ulama (Ahlus sunnah) sangat ketat dan teliti dalam menyeleksi para
rawi (guru dalam periwayatan hadits). Salah seorang Ulama Salaf, yaitu
al-Hasan bin Shalih bin Hayy (rawi hadits yang terpercaya dari generasi Atba’ut tabi’in) berkata, ‘Dulu
jika kami ingin mendengar (mengambil riwayat) hadits dari seorang guru,
maka kami akan bertanya (dengan teliti) tentang keadaannya,
sampai-sampai ada yang bertanya, ‘Apakah kalian ingin
menikahkannya?”[14]
Siapakah Yang Pantas Dijadikan Sebagai Guru Dan Siapa Yang Tidak Pantas?
Para
Ulama Salaf, sejak jaman para Sahabat Radhiyallahu anhum dan kemudian
diikuti oleh para Imam Ahlus sunnah setelah itu, mereka senantiasa
membedakan dan menjelaskan siapa orang yang pantas diambil ilmu darinya
dan siapa yang tidak pantas.
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujâhid bin Jabr al-Makki, dia berkata, “Suatu
hari datang Busyair bin Ka’ab al-‘Adawi kepada
‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu , lalu Busyair
mulai menyampaikan hadits dan berkata, ‘Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda …
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda … Tetapi Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu
tidak mendengarkan hadits yang disampaikannya dan tidak menoleh
kepadanya. Maka Busyair berkata, ‘Wahai
Ibnu ‘Abbas! Mengapa aku melihat kamu tidak mau mendengarkan
hadits yang aku sampaikan? (Pantaskah) aku menyampaikan kepadamu hadits
dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
kamu tidak mau mendengarkannya? Maka Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya
kami (para Sahabat Radhiyallahu anhum) dulunya, ketika kami mendengar
seseorang menyampaikan sabda Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka kami segera menoleh kepadanya dan
langsung mengarahkan pendengaran kami kepadanya, akan tetapi tatkala
manusia telah menempuh jalan yang terpuji dan tercela, maka kamipun
tidak mau mengambil ilmu dari mereka kecuali yang telah kami kenal.”[15]
Prinsip yang lurus ini kemudian diterapkan oleh generasi yang datang setelah para Sahabat, Imam besar dari generasi Tabi’in, Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Dulunya
para Salaf tidak menanyakan tentang sanad (riwayat hadits), lalu ketika
terjadi fitnah (dengan banyaknya orang-orang yang menyimpang dan
menyelisihi sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam) para Salafpun (mulai bertanya tentang sanad riwayat hadits).
Mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami rawi-rawi (hadits yang)
kalian (sampaikan),’ Kemudian para Salaf melihat kepada
(rawi-rawi tersebut) jika mereka adalah Ahlus sunnah maka hadits riwayat merekapun diterima, tapi jika mereka adalah ahli bid’ah maka hadits riwayat mereka ditolak.”[16]
Imam
kota Madinah di jamannya, Imam Malik bin Anas rahimahullah, menjelaskan
hal ini dengan lebih rinci dalam ucapan beliau, “Tidak boleh
mengambil ilmu (agama) dari empat (type manusia) dan boleh mengambil
ilmu dari selain mereka; Tidak boleh mengambil ilmu dari mubtadi’ (ahli
bid’ah) yang mengajak (orang lain) kepada bid’ahnya; Tidak
boleh mengambil ilmu dari orang dungu yang menampakkan kedunguannya
terang-terangan; Tidak boleh mengambil ilmu dari orang yang selalu
berdusta ketika berbicara dengan orang lain, meskipun dia jujur dalam
(menyampaikan) hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam; Dan tidak boleh mengambil ilmu dari orang yang
tidak mengetahui (ahli dalam) ilmu agama.”[17]
Bahkan
pembahasan masalah penting ini dicantumkan oleh para Ulama Ahlus sunnah
dalam kitab-kitab mereka yang memuat adab-adab menuntut ilmu agama.
Seperti kitab Hilyatu Thâlibil ‘Ilmi karya Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid rahimahullah. Beliau mencantumkan pembahasan khusus tentang larangan at-talaqqi ‘an al-mubtadi’ (larangan mengambil ilmu agama dari Ahli bid’ah). Beliau berkata, “Jauhilah abul jahl (orang
yang bodoh) ahli bid’ah, yang terjangkiti penyimpangan akidah dan
tertimpa awan pemikiran yang kacau. Dialah orang yang berhukum dengan
hawa nafsu dan menamakannya sebagai akal (logika), serta berpaling dari
dalil (al-Qur’an dan hadits yang shahih), padahal logika yang
benar tidak lain ada pada dalil. Dialah orang yang selalu berpegang
dengan (hadits) yang lemah dan berpaling dari (hadits yang) shahih.
Orang seperti ini juga disebut sebagai ‘ahli syubhat’ (orang yang memiliki pemahaman agama yang rancu dan rusak) dan ‘ahli hawa’ (pengekor hawa nafsu). Oleh karena itu, Imam ‘Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah menyebut Ahli bid’ah sebagai ‘al-asha-gir’ (orang-orang yang kecil/kerdil)”[18].
Termasuk yang diperingatkan oleh para Ulama untuk tidak dijadikan sebagai guru dalam ilmu agama adalah orang yang tidak dikenal pernah mempelajari dan mendalami ilmu sunnah sehingga pemahaman agamanya rancu atau minimal diragukan kebenarannya.
Imam
‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir asy-Syami rahimahullah berkata,
“Tidak boleh mengambil ilmu kecuali kepada orang yang
dipersaksikan (pernah) menuntut ilmu (sunnah).”[19]
Imam Syu’bah bin al-Hajjaj al-Bashri rahimahullah berkata, “Ambillah ilmu dari orang-orang yang dikenal.”[20]
Dalam
hal ini Imam al-Khathib al-Bagdadi rahimahullah berkata,
“Sepantasnya bagi penuntut ilmu untuk memilih guru yang dikenal
pernah mempelajari hadits (sunnah) Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam, serta diakui ketelitian dan kedalaman
ilmunya.”[21]
Apakah Setiap Orang Yang Dikenal Shalih Dan Rajin Beribadah Secara Lahir Pantas Dijadikan Sebagai Guru Ilmu Agama?
Tidak
diragukan lagi bahwa orang yang shalih dan taat beribadah adalah orang
yang pantas untuk kita jadikan sebagai teman dekat dan panutan dalam
amal shalih. Akan tetapi untuk menjadikan seseorang sebagai guru ilmu
agama bukan hanya dengan melihat keshalihan dan ketekunan beribadah
orang tersebut, kriteria yang juga harus ada pada orang tersebut adalah
pemahaman Islam yang lurus dan jauh dari syubhat (kerancuan dalam memahami Islam), kedalaman dan penguasaan terhadap ilmu agama, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas.
Imam besar dari generasi Tabi’in, Abu
az-Zinad ‘Abdullah bin Dzakwan al-Madani rahimahullah berkata,
“Aku pernah menjumpai di kota Madinah seratus orang (shalih) yang
semuanya sangat jujur dan amanah, tapi tidak ada yang mempelajari ilmu
hadits dari mereka, karena mereka bukan ahlinya (tidak pantas dijadikan
guru).”[22]
Imam
Malik rahimahullah berkata, “Aku pernah menjumpai di kota ini
(kota Madinah) para syaikh yang utama, shalih dan rajin beribadah,
mereka menyampaikan ilmu hadits, tapi aku tidak pernah mendengar
(mempelajari) satu haditspun dari mereka, karena mereka tidak
mengetahui (mendalami) ilmu hadits.”[23]
Bahkan
beberapa ulama Salaf menjelaskan bahwa tidak sedikit dari orang-orang
shalih yang tidak memiliki keahlian dalam menyampaikan ilmu agama,
justru dengan sebab itu mereka banyak melakukan kesalahan dalam
menyampaikan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sehingga riwayat hadits mereka tertolak.
Imam
Yahya bin Sa’id al-Qaththan dan Abu ‘Ashim an-Nabil
berkata, “Kamu tidak akan melihat (mendapati) orang-orang yang
shalih lebih banyak berdusta (melakukan kesalahan) dalam suatu hal
melebihi (ketika meriwayatkan) hadits Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[24]
Imam
Muslim ketika mengomentari ucapan di atas, beliau rahimahullah berkata,
“Lisan mereka melafazkan sesuatu yang dusta (karena salah dalam
meriwayatkan hadits) tetapi mereka tidak sengaja berdusta.”[25]
Lebih
lanjut, Imam at-Tirmidzi menjelaskan hal ini dalam ucapan beliau,
“Terkadang ada orang shalih yang sangat rajin beribadah, tetapi
dia tidak bisa menegakkan persaksian dan tidak bisa menghafalnya,
demikian pula (dalam meriwayatkan) hadits Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hafalannya yang buruk dan
kelalaiannya yang sangat parah.”[26]
Bahkan
yang lebih parah dari semua itu, tersebarnya hadits-hadits palsu yang
dinisbatkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan diantara sebabnya adalah riwayat dari orang-orang shalih
tersebut, yang kemudian mudah diterima oleh kaum Muslimin karena
bersangka baik dengan hanya melihat keshalihan mereka, sehingga
kemudian hadits-hadits palsu tersebut mudah tersebar di tengah-tengah
umat Islam.
Imam
Ibnu ‘Adi rahimahullah berkata, “Orang-orang yang shalih
selalu melakukan ini. Mereka meriwayatkan hadits-hadits yang palsu dan
batil (rusak) tentang keutamaan amal-amal ibadah, beberapa orang di
antara mereka yang dituduh oleh para Ulama ahli hadits sebagai pemalsu
hadits-hadits tersebut.”[27]
Imam
an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para pemalsu hadits (atas nama
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam) ada
beberapa kelompok, yang paling besar bahayanya adalah orang-orang yang
dianggap zuhud (ahli ibadah) yang memalsukan hadits dengan niat ibadah,
kemudian hadits-hadits palsu tersebut mudah tersebar (di tengah umat
Islam) karena percaya kepada mereka.”[28]
Antara Berprasangka Baik Dan Memilih Guru Yang Pantas
Sebagian
dari kaum Muslimin ada yang berkata, “Yang penting orang tersebut
terlihat baik dan tidak terlihat menyimpang, maka kita boleh mengambil
ilmu darinya, meskipun kita tidak mengenal keadaannya secara rinci,
karena kita diperintahkan untuk berprasangka baik kepada setiap Muslim
sampai ada bukti nyata dan jelas tentang keburukan dan
kesalahannya.”
Apakah ucapan dan alasan ini bisa dibenarkan dalam hal memilih guru? Jawabannya: ucapan dan alasan tersebut jelas keliru, ditinjau dari beberapa segi, di antaranya:
1.
Memang benar kita diperintahkan untuk berprasangka baik kepada setiap
Muslim, selama tidak terlihat padanya keburukan dan kesalahan yang
nyata. Akan tetapi dalam masalah memilih guru harus ada kriteria lain
yang dipenuhi, yaitu pemahaman Islam yang lurus serta keahlian dan
penguasaan terhadap ilmu agama, sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas.
Oleh karena itu, mayoritas Ulama ahli hadits membantah dan menyalahkan Imam Ibnu Hibban yang menulis kitab ats-Tsiqât (rawi-rawi
yang terpercaya) dan mencantumkan di dalamnya sejumlah rawi hadits yang
tidak dikenal keadaannya oleh para Ulama ahli hadits, karena beliau
hanya melihat penampilan lahir dari para rawi tersebut.
Imam Ibnu Hibban rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang yang ‘adil (terpercaya) adalah orang yang tidak diketahui ada al-jarh (kritikan
atau celaan) padanya, karena kritikan adalah lawan dari pujian, maka
barangsiapa yang tidak dicela berarti dia adalah orang yang dipuji
sampai jelas adanya kritikan padanya.”[29]
Imam
Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah menyanggah ucapan Imam Ibnu
Hibban tersebut, beliau berkata, “Pendapat Ibnu Hibban
rahimahullah ini adalah pendapat yang aneh dan ditentang oleh mayoritas
Ulama. Inilah metode yang ditempuh oleh Ibnu Hibban rahimahullah dalam
kitab ats-Tsiqât yang
ditulisnya. Dia mencantumkan sejumlah rawi dalam kitab tersebut
(menganggapnya sebagai rawi-rawi yang terpercaya) padahal Imam Abu
Hâtim (ar-Râzi) dan imam-imam lainnya menegaskan bahwa
rawi-rawi tersebut adalah majhûl (tidak dikenal keadaannya)”[30].
Bahkan
Imam al-Khathib al-Bagdadi rahimahullah mencantumkan bab khusus untuk
menyanggah dan menjelaskan kesalahan pendapat ini dalam kitab beliau al-Kifâyah fi ‘ilmir riwâyah (hlm. 81), yaitu bab: Bantahan terhadap orang yang menganggap bahwa al-‘adâlah (keterpercayaan
dalam riwayat hadits) adalah (hanya) dengan menampakkan keislaman dan
tidak memperlihatkan kefasikan (keburukan) secara lahir.
Dalam
bab ini beliau menjelaskan bahwa di samping kebaikan Islam secara
lahir, sifat jujur serta amanah, kesucian (tidak menampakkan keburukan)
dan lurusnya pemahaman. Cara untuk mengetahui sifat terpercaya seorang
rawi sehingga riwayat haditsnya diterima adalah dengan menguji
keadaannya dan meneliti perbuatannya, yang dengan itu kita yakin bahwa
dia adalah rawi yang terpercaya atau tidak.[31]
Oleh
karena itu, mayoritas Ulama berpendapat bahwa keterpercayaan seorang
rawi dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang ini juga berlaku dalam hal menentukan
siapa yang pantas dijadikan sebagai guru agama, ditetapkan dengan salah
satu dari dua hal:
- Dikenalnya orang tersebut dengan sifat-sifat baik dan tersebarnya pujian kepadanya sebagai orang yang jujur, amanah dan terpercaya, seperti para Imam besar ahlus sunnah, misalnya Imam Malik bin Anas, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam al-Bukhâri dan lain-lain.
- Pernyataan dan penegasan dari para Imam Ahli hadits bahwa orang tersebut adalah terpercaya.[32]
2.
Para Ulama Salaf sangat teliti dan selektif dalam memilih guru agama,
bahkan mereka selalu mencari informasi yang lengkap tentang seseorang
yang akan dijadikan sebagai guru ilmu agama, sebagaimana yang telah
kami nukilkan di atas.
Imam
Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i berkata, “Dulu para Ulama
salaf ketika datang kepada seorang (guru) untuk menimba ilmu agama,
maka mereka meneliti (terlebih dahulu) bagaimana shalatnya,
(pengamalannya terhadap) sunnah Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan penampilannya, kemudian barulah mereka
mengambil ilmu darinya.”[33]
Imam
‘Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi berkata, “Dulunya
para Ulama (ahlus sunnah) sangat ketat dan teliti dalam menyeleksi para
rawi (guru dalam periwayatan hadits). Salah seorang Ulama salaf, yaitu
al-Hasan bin Shalih bin Hayy (rawi hadits yang terpercaya dari generasi Atba’ut tabi’in)
berkata, ‘Dulu jika kami ingin mendengar (mengambil riwayat)
hadits dari seorang guru, maka kami akan bertanya (dengan teliti)
tentang keadaannya, sampai-sampai ada yang bertanya: Apakah kalian
ingin menikahkannya?”[34]
Oleh karena itu, para Ulama Ahli hadits menolak dan menilai hadits seorang rawi yang keadaannya tidak dikenal (majhulul hal) sebagai hadits lemah.[35]
3.
Orang yang tidak dikenal dan diketahui keadaannya, menurut para Ulama
salaf, tidak pantas untuk dijadikan sebagai guru ilmu agama, meskipun
tidak terlihat padanya keburukan dan penyimpangan, sebagaimana dalam
jawaban poin pertama.
Di
atas telah kami nukil dan jelaskan bahwa para Ulama salaf menolak
mengambil ilmu dari orang-orang yang shalih dan rajin beribadah jika
mereka tidak memiliki kedalaman dan penguasaan terhadap ilmu agama,
sehingga tidak pantas dijadikan sebagai guru.
Kalau
orang yang telah jelas keshalihan, ketekunan beribadah dan kejujurannya
saja tidak bisa dijadikan sebagai guru jika tidak memenuhi kriteria
tersebut di atas, apalagi orang yang tidak dikenal keadaannya, maka
tentu lebih tidak pantas untuk dijadikan sebagai guru agama.
Mengapa Harus Mengikuti Metode Para Ulama Salaf?
Inilah
metode para Ulama Salaf dalam menuntut ilmu dan memilih guru ilmu agama
yang benar, guna meraih ilmu yang bermanfaat dan mewariskan amal shalih.
Tentu
saja, metode inilah yang seharusnya kita ikuti dalam semua perkara
agama kita, apalagi dalam urusan menuntut ilmu agama yang merupakan
sebab utama limpahan taufik dari Allâh Azza wa Jalla untuk
kebaikan hamba-Nya.
Inilah metode beragama yang diridhai Allâh Azza wa Jalla dan dijamin kebaikannya, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ
اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan)
orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha
kepada-Nya, dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar[At-Taubah/9:100]
Dalam sebuah hadits yang shahih Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik
umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para Sahabat),
kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang
datang setelah mereka[36].
Ketika
menjelaskan makna hadits di atas, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberitakan (dalam hadits ini) bahwa generasi yang terbaik
secara mutlak[37] adalah
generasi di masa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (para
Sahabat Radhiyallahu anhum), dan ini mengandung pengertian keunggulan
mereka dalam seluruh aspek kebaikan (dalam agama ini), karena kalau
kebaikan mereka (hanya) dalam beberapa aspek (tidak sempurna dan
menyeluruh) maka mereka tidak akan dinamakan (oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai) generasi yang terbaik secara
mutlak.”[38]
Imam besar ahlus sunnah dari generasi Tabi’in,
al-Hasan al-Bashri rahimahullah menggambarkan dampak positif dari ilmu
yang bermanfaat di masa para Ulama salaf. Beliau rahimahullah berkata,
“Dulu jika seseorang menuntut ilmu agama, maka tidak lama
kemudian terlihat (pengaruh positif ilmu tersebut) pada sifat khusyu’ (tunduk)nya (kepada Allâh), tingkah lakunya, ucapannya, pandangannya dan (perbuatan) tangan (anggota badan)nya.”[39]
Beliau
juga berkata, “Orang yang memahami ilmu agama adalah orang yang
zuhud dalam (urusan) dunia, memiliki pemahaman yang dalam terhadap
agama dan selalu tekun beribadah kepada Rabbnya.”[40]
Semoga
Allâh Azza wa Jalla merahmati Imam Malik bin Anas yang berkata
dalam ucapannya yang populer, “Tidak akan baik (keadaan) generasi
terakhir umat ini kecuali dengan sesuatu (metode benar) yang telah
memperbaiki (keadaan) generasi pertama umat ini.”[41]
Nasehat Dan Penutup
Menuntut
ilmu adalah jalan menuju surga dan tanda kebaikan yang Allâh Azza
wa Jalla kehendaki bagi seorang hamba-Nya. Oleh karena itu, barangsiapa
mengikuti jalan yang benar dalam menuntut ilmu maka dia akan meraih
kebaikan tersebut, dan sebaliknya, barangsiapa menyelisihi jalannya
maka diapun tidak akan meraih kebaikan.
Syaikh
Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid rahimahullah mencantumkan perkara
agung ini sebagai adab yang sangat penting dalam menuntut ilmu. Beliau
rahimahullah berkata, “Jadilah kamu sebagai salafi (pengikut
manhaj Salaf) yang sebenarnya, (dengan menempuh) jalan (metode
beragama) para salaf yang shalih dari (generasi) Sahabat Radhiyallahu
anhum dan orang-orang yang setia mengikuti jejak mereka dalam semua
perkara agama, baik dalam tauhid (aqidah), ibadah dan lain-lain.
Istimewakan dirimu dengan selalu berkomitmen terhadap hadits-hadits
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
membiasakan diri selalu mengamakan sunnah Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam, serta meninggalkan perdebatan (tanpa faidah),
bantah-bantahan, berdalam-dalam membahas ilmu kalam, melakukan hal-hal
yang menimbulkan dosa dan menghalangi dari syariat Islam.”[42]
Akhirnya,
kami menutup tulisan ini dengan berdo’a dan memohon kepada
Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha
indah dan agung, serta sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan sempurna
agar Dia menganugrahkan kepada kita semua taufik-Nya untuk meraih ilmu
yang bermanfaat dan mewariskan amal shalih, serta menjadikan kita semua
tetap istiqamah di jalan-Nya yang lurus sampai kita menghadap-Nya
nanti, Aamiin.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961,
Redaksi 08122589079]
[2] HSR. Muslim, no. 2699
[3] Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/60
[4] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 688
[5] Dinukil oleh Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam kitab Hilyatul Auliyâ’, 6/362
[6] Dinukil oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahîh Muslim, 1/43-44 – Syarhu Shahîh Muslim
[7] Lihat penjelasan Imam al-Munawi dalam Faidhul Qadîr , 2/545 dan 6/383
[8] Atsar riwayat Imam al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, no. 789 dan Abdurrazzak dalam al-Mushannaf, no. 3787, dishahihkan oleh Ibnu hajar dalam Fathul Bâri, 10/510 dan dihasankan olah Syaikh al-Albani dalam ash-Shahîhah, no. 3189), juga diriwayatkan dari ucapan Rasûlullâh n dan dishahihkan olah Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah, no 2510
[9] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, 3/729
[10] Kitab Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf, hlm. 6
[11] Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab at-Tawassul, ‘Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu, hlm. 74
[12] Dinukil oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahîh Muslim (1/43-44 – Syarhu Shahih Muslim).
[13] Atsar riwayat Imam ad-Darimi dalam as-Sunan, 1/124 dengan sanad yang shahih.
[14] Kitab al-Anwârul Kâsyifah, hlm. 96. Atsar ini diriwayatkan oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi dalam al-Kifâyah fi ‘Ilmir Riwâyah, hlm. 92
[15] Atsar yang shahih dalam Shahîh Muslim, 1/12
[16] Atsar yang shahih dalam Shahîh Muslim, 1/12
[17] Dinukil oleh al-Khathiib dalam al-Kifâyah, hlm. 160 dan adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ’, 8/67
[18] Kitab Hilyatu Thâlibil ‘Ilmi, hlm. 39
[19] Dinukil oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam al-Jarhu wat Ta’dîl, 2/28
[20] Dinukil oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam al-Jarhu wat Ta’dîl, 2/28 dan al-Khathib al-Bagdadi dalam al-Jâmi’u li Akhlâqir Râwi wa Adâbis Sâmi’, 1/190
[21] Kitab al-Jâmi’u li Akhlâqir Râwi wa Adâbis Sâmi’, 1/189
[22] Atsar shahih dalam Muqaddimah Shahîh Muslim, 1/12
[23] Dinukil oleh Imam al-‘Uqaili dengan sanadnya dalam kitab adh-Dhu’afâ’ al-Kabîr, 1/13-14
[24] Semua dinukil oleh Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab Syarhu ‘Ilalit Tirmidzi, 1/387-388
[25] Kitab Muqaddimah Shahîh Muslim, 1/18
[26] Kitab Syarhu ‘Ilalit Tirmidzi, 1/387
[27] Kitab al-Kâmil fi Dhu’afâ-ir Rijâl, 3/216
[28] Kitab Tadrîbur Râwi, 1/332
[29] Kitab ats-Tsiqât, 1/13
[30] Kitab Lisânul Mîzân, 1/14
[31] Lihat kitab al-Kifâyah fi ‘Ilmir Riwâyah, hlm. 81
[32] Lihat kitab Dhawâ-bithul Jarhi wat Ta’dîl, hlm. 35-36
[33] Atsar riwayat Imam ad-Darimi dalam as-Sunan, 1/124 dengan sanad yang shahih.
[34] Kitab al-Anwârul Kâsyifah, hlm. 96. Atsar ini diriwayatkan oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi dalam al-Kifâyah fi ‘Ilmir Riwâyah, hlm. 92
[35] Lihat penjelasan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani t dalam kitab Taqrîbut Tahdzîb, hlm. 30 – cet. Daar Ibni Rajab
[36] HSR. Al-Bukhâri, 3/1335 dan Muslim, no. 2534
[37] Artinya kebaikan yang ada pada mereka adalah kebaikan yang sempurna dan menyeluruh pada semua aspek kebaikan dalam agama.
[38] Kitab I’lâmul Muwaqqi’în, 4/136- cet. Daarul jiil, Beirut, 1973
[39] Dinukil oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi dalam kitab al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwi wa Adâbis Sâmi’, 1/215
[40] Dinukil oleh Imam al-Khathib al-Mizzi dalam kitab Tahdzîbul Kamâl, 6/118
[41] Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidhâ-ush Shirâthil Mustaqîm, hlm. 367 dan Imam Ibnul Qayyim dalam Igâtsatul Lahfân, 1/200
[42] Kitab Hilyatu Thâlibil ‘Ilmi, hlm. 12
Share Ulang:
- Citramas, Cinunuk, Bandung
- from= https://almanhaj.or.id/7524-lihatlah-dari-siapa-kamu-mengambil-ilmu-agamamu.html