Sesembahan Orang Musyrik Dahulu “Lebih Mending” Shalihnya
Kesyirikan yang pertama kali terjadi di muka bumi ini adalah kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh ‘alaihis salaam. Kesyirikan tersebut terjadi karena sikap mereka yang ghuluw (berlebih-lebihan dalam memuji) terhadap orang-orang shalih [1]. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Dan
mereka berkata, ‘Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) terhadap tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali
kamu meninggalkan (penyembahan) terhadap Wadd, dan jangan pula
Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr’” (QS. Nuh [71]: 23).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan sesembahan-sesembahan kaum Nuh dalam ayat di atas,
أَسْمَاءُ
رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ ، فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى
الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنِ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمُ
الَّتِى كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا ، وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ
فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ
الْعِلْمُ عُبِدَتْ
“(Itu adalah) nama-nama orang shalih di
kalangan umat Nuh. Ketika mereka meninggal, setan membisikkan kepada
kaum Nuh untuk membuat patung-patung di tempat-tempat mereka beribadah,
serta menamai patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka. Kaum Nuh
pun menuruti bisikan tersebut, namun patung tersebut belum sampai
disembah. Ketika kaum Nuh tersebut meninggal, dan hilanglah ilmu,
patung-patung itu pun akhirnya disembah” (HR. Bukhari no. 4920).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Para ulama salaf mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang shalih di kalangan umat Nuh.
Ketika mereka meninggal, umat Nuh beri’tikaf di kubur-kubur
mereka serta membuat patung-patung mereka. Kemudian, seiring dengan
berjalannya waktu, umat Nuh pun akhirnya menyembah mereka.” [2]
Demikianlah, orang-orang musyrik pada zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan
sekutu bagi Allah Ta’ala dari dua kelompok. Kelompok pertama
adalah pohon, batu, dan yang lainnya. Sedangkan kelompok ke dua adalah
hamba-hamba Allah Ta’ala yang shalih, baik dari kalangan para
nabi, malaikat, ataupun wali. Karena menurut persangkaan mereka,
hamba-hamba Allah Ta’ala yang shalih ini dapat mendekatkan diri
mereka kepada Allah Ta’ala. Mereka mempunyai pemikiran bahwa
orang-orang shalih itu mempunyai kedudukan mulia di sisi Allah
Ta’ala. Sementara mereka merasa banyak berbuat dosa dan maksiat,
sehingga tidak pantas meminta langsung kepada Allah, tetapi harus
melalui perantara orang-orang shalih tersebut.
Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah berkata, “Orang-orang
musyrik dahulu menyembah hamba-hamba Allah yang shalih dan dekat di
sisi Allah, baik dari kalangan nabi, wali, atau malaikat. Atau mereka
menyembah batu dan pohon, yang merupakan makhluk yang taat kepada Allah
dan tidak pernah bermaksiat kepada-Nya. Sedangkan orang musyrik zaman sekarang, mereka menyembah manusia yang paling bejat. Orang-orang
yang mereka sembah ternyata adalah orang-orang yang tidak bisa menjaga
diri mereka dari zina, mencuri, meninggalkan shalat, dan
maksiat-maksiat lainnya. Sehingga masyarakat yang memiliki keyakinan
terhadap orang-orang shalih dan makhluk yang tidak pernah bermaksiat
(yaitu kaum musyrik zaman dahulu, pen.) lebih ringan (kesyirikannya)
daripada masyarakat yang memiliki keyakinan terhadap orang-orang yang
fasik dan rusak (yaitu kaum musyrik zaman sekarang, pen).” [3]
Marilah kita cocokkan perkataan Syaikh rahimahullah tersebut
dengan realita yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini. Saking
parahnya keadaan mereka, orang-orang yang telah mereka kenal sebagai
pelaku maksiat pun mereka sembah dan diharapkan berkahnya. Marilah kita
melihat betapa banyaknya orang yang berbondong-bondong “ngalap berkah” ke makam Pangeran Samudro dan Nyai Ontrowulan di Gunung Kemukus, Sragen, Jawa Tengah.
Dikisahkan
bahwa mereka berdua adalah seorang anak dan ibu tiri (permaisuri raja)
dari kerajaan Majapahit yang berselingkuh (baca: berzina). Kemudian
mereka diusir dari kerajaan dan menetap di Gunung Kemukus hingga
meninggal dunia. Konon sebelum meninggal, Pangeran Samudro berpesan
bahwa keinginan peziarah dapat terkabul jika mereka bersedia melakukan
seperti apa yang pernah dia lakukan bersama ibu tirinya (yaitu
berzina). Sehingga sebagai syarat “mujarab” untuk
mendapat berkah di sana adalah harus dengan berselingkuh terlebih
dahulu. Demikianlah kisah salah satu sesembahan orang-orang musyrik
zaman sekarang ini yang ternyata adalah seorang pezina (baca: pelaku
dosa besar).
Inilah
realita kesyirikan pada zaman ini. Kita dapat melihat bersama, betapa
orang-orang musyrik zaman dahulu lebih berakal daripada orang-orang
musyrik sekarang ini. Karena maraknya bentuk-bentuk kesyirikan dan
samarnya hal tersebut, maka sudah seharusnya bagi setiap kita untuk
mempelajari ilmu tauhid agar dapat menghindarkan diri sejauh-jauhnya
dari segala bentuk kesyirikan. Sungguh betapa bodohnya orang yang
mengatakan,“Untuk apa belajar tauhid pada zaman sekarang ini?” [Selesai]
***
Selesai disempurnakan ba’da subuh, Rotterdam NL 10 Dzulhijjah 1438/01 September 2017
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Catatan kaki:
[1] Lihat Al-Irsyad ila Shahihil I’tiqad, hal. 43-44.
[2] Ighatsatul Lahafan, 1/184. Dikutip dari Al-Irsyad ila Shahihil I’tiqad, hal. 44.
[3] At-Taudhihat Al-Kasyifat ‘ala Kasyfi Asy-Syubuhat, hal. 238.
Share Ulang:
- Nganjuk, Jawa Timur
- from= https://muslim.or.id/32731-kesyirikan-pada-zaman-sekarang-ternyata-lebih-parah-03.html