Islam Pedoman Hidup: Kesyirikan pada Zaman Sekarang ternyata Lebih Parah (03)

Jumat, 27 Oktober 2017

Kesyirikan pada Zaman Sekarang ternyata Lebih Parah (03)


Sesembahan Orang Musyrik Dahulu “Lebih Mending” Shalihnya

Kesyirikan yang pertama kali terjadi di muka bumi ini adalah kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh ‘alaihis salaam. Kesyirikan tersebut terjadi karena sikap mereka yang ghuluw (berlebih-lebihan dalam memuji) terhadap orang-orang shalih [1]. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Dan mereka berkata, ‘Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) terhadap tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) terhadap Wadd, dan jangan pula Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr’” (QS. Nuh [71]: 23).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan sesembahan-sesembahan kaum Nuh dalam ayat di atas,
أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ ، فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنِ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمُ الَّتِى كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا ، وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ
“(Itu adalah) nama-nama orang shalih di kalangan umat Nuh. Ketika mereka meninggal, setan membisikkan kepada kaum Nuh untuk membuat patung-patung di tempat-tempat mereka beribadah, serta menamai patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka. Kaum Nuh pun menuruti bisikan tersebut, namun patung tersebut belum sampai disembah. Ketika kaum Nuh tersebut meninggal, dan hilanglah ilmu, patung-patung itu pun akhirnya disembah” (HR. Bukhari no. 4920).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, Para ulama salaf mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang shalih di kalangan umat Nuh. Ketika mereka meninggal, umat Nuh beri’tikaf di kubur-kubur mereka serta membuat patung-patung mereka. Kemudian, seiring dengan berjalannya waktu, umat Nuh pun akhirnya menyembah mereka.” [2]

Demikianlah, orang-orang musyrik pada zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan sekutu bagi Allah Ta’ala dari dua kelompok. Kelompok pertama adalah pohon, batu, dan yang lainnya. Sedangkan kelompok ke dua adalah hamba-hamba Allah Ta’ala yang shalih, baik dari kalangan para nabi, malaikat, ataupun wali. Karena menurut persangkaan mereka, hamba-hamba Allah Ta’ala yang shalih ini dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah Ta’ala. Mereka mempunyai pemikiran bahwa orang-orang shalih itu mempunyai kedudukan mulia di sisi Allah Ta’ala. Sementara mereka merasa banyak berbuat dosa dan maksiat, sehingga tidak pantas meminta langsung kepada Allah, tetapi harus melalui perantara orang-orang shalih tersebut.

Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah berkata, Orang-orang musyrik dahulu menyembah hamba-hamba Allah yang shalih dan dekat di sisi Allah, baik dari kalangan nabi, wali, atau malaikat. Atau mereka menyembah batu dan pohon, yang merupakan makhluk yang taat kepada Allah dan tidak pernah bermaksiat kepada-Nya. Sedangkan orang musyrik zaman sekarang,  mereka menyembah manusia yang paling bejat. Orang-orang yang mereka sembah ternyata adalah orang-orang yang tidak bisa menjaga diri mereka dari zina, mencuri, meninggalkan shalat, dan maksiat-maksiat lainnya. Sehingga masyarakat yang memiliki keyakinan terhadap orang-orang shalih dan makhluk yang tidak pernah bermaksiat (yaitu kaum musyrik zaman dahulu, pen.) lebih ringan (kesyirikannya) daripada masyarakat yang memiliki keyakinan terhadap orang-orang yang fasik dan rusak (yaitu kaum musyrik zaman sekarang, pen).” [3]

Marilah kita cocokkan perkataan Syaikh rahimahullah tersebut dengan realita yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini. Saking parahnya keadaan mereka, orang-orang yang telah mereka kenal sebagai pelaku maksiat pun mereka sembah dan diharapkan berkahnya. Marilah kita melihat betapa banyaknya orang yang berbondong-bondong “ngalap berkah” ke makam Pangeran Samudro dan Nyai Ontrowulan di Gunung Kemukus, Sragen, Jawa Tengah.

Dikisahkan bahwa mereka berdua adalah seorang anak dan ibu tiri (permaisuri raja) dari kerajaan Majapahit yang berselingkuh (baca: berzina). Kemudian mereka diusir dari kerajaan dan menetap di Gunung Kemukus hingga meninggal dunia. Konon sebelum meninggal, Pangeran Samudro berpesan bahwa keinginan peziarah dapat terkabul jika mereka bersedia melakukan seperti apa yang pernah dia lakukan bersama ibu tirinya (yaitu berzina). Sehingga sebagai syarat “mujarab” untuk mendapat berkah di sana adalah harus dengan berselingkuh terlebih dahulu. Demikianlah kisah salah satu sesembahan orang-orang musyrik zaman sekarang ini yang ternyata adalah seorang pezina (baca: pelaku dosa besar).

Inilah realita kesyirikan pada zaman ini. Kita dapat melihat bersama, betapa orang-orang musyrik zaman dahulu lebih berakal daripada orang-orang musyrik sekarang ini. Karena maraknya bentuk-bentuk kesyirikan dan samarnya hal tersebut, maka sudah seharusnya bagi setiap kita untuk mempelajari ilmu tauhid agar dapat menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari segala bentuk kesyirikan. Sungguh betapa bodohnya orang yang mengatakan,“Untuk apa belajar tauhid pada zaman sekarang ini?” [Selesai]

***
Selesai disempurnakan ba’da subuh, Rotterdam NL 10 Dzulhijjah 1438/01 September 2017

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,


Catatan kaki:
[1]     Lihat Al-Irsyad ila Shahihil I’tiqad, hal. 43-44.
[2]     Ighatsatul Lahafan, 1/184. Dikutip dari Al-Irsyad ila Shahihil I’tiqad, hal. 44.
[3]     At-Taudhihat Al-Kasyifat ‘ala Kasyfi Asy-Syubuhat, hal. 238.





Share Ulang: