Sebagian orang enggan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, karena merasa belum mampu melakukan amalan ma’ruf
yang hendak ia perintahkan, atau meninggalkan kemungkaran yang hendak
ia larang. Dia khawatir termasuk ke dalam golongan orang yang mengatakan
apa yang tidak dia lakukan. Sebagaimana yang disinggung dalam firman
Allah ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا
تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا
تَفْعَلُونَ(3)
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kemurkaan Allah bila kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (QS. As-Shof: 2-3).
Pertanyaan yang harus kita temukan jawabannya adalah: apakah seorang
harus sempurna dulu amalannya, untuk bisa menasehati orang lain?
Kemudian apakah setiap orang yang tidak melakukannya apa yang ia
perintahkan, dan melanggar sendiri apa yang dia larang, masuk dalam
ancaman ayat di atas?
Syaikh Anis Thahir Al-Indunisy, saat kajian membahas kitab Iqtidho’ as-Shirot al-Mustaqiem, di masjid Nabawi malam Senin (20 Rabi’us Tsani 1436 H) menerangkan,
bahwa ada dua hal yang perlu dibedakan dalam masalah ini. Beliau
mengatakan,
فيه فرق بين أن تنصح غيرك وأنت عاجز عن العفل، وبين أن تنصح غيرك و أنت قادر على الفعل
“Bedakan, antara Anda menasehati seorang, sementara Anda belum ada
daya untuk melakukan apa yang Anda nasehatkan. Dengan Anda menasihati
seorang, sementara Anda mampu melakukan apa yang Anda nasehatkan.”
Jadi, ada dua jenis orang dalam masalah ini:
- Pertama, adalah orang yang menasehati orang lain, namun dia belum mampu melakukan amalan ma’ruf yang ia sampaikan, atau meninggalkan kemungkaran yang ia larang.
- Yang kedua, adalah orang yang menasehati orang lain sementara sejatinya dia mampu untuk melakukan pesan nasehat yang ia sampaikan. Akan tetapi justru mengabaikan kemampuannya dan ia terjang sendiri nasehatnya, tanpa ada rasa bersalah dan menyesal. Ia merasa nyaman dan biasa-biasa saja dengan tindakan kurang terpuji tersebut.
Orang jenis pertama, dia belum bisa melakukan amalan
ma’ruf yang dia perintahkan, karena dia belum memiliki daya untuk
melakukannya. Bisa jadi karena hawa nafsunya yang mendominasi, setelah
pertarungan batin dalam jiwanya. Sehingga, saat ia melanggar sendiri
apa yang dia nasehatkan, dia merasa bersalah dan menyesal atas
kekurangannya ini. Serta senantiasa memperbaharui taubatnya.
Saat ia tergelincir pada larangan yang ia larang, ia katakan pada dirinya, “Sampai
kapan… sampai kapan kamu seperti ini?! Kamu menasehati orang-orang
untuk menjauhi perbuatan ini.. sementara kamu sendiri yang
melakukannya?! Tidakkah kamu takut kepada Allah.”
Untuk orang yang seperti ini, hendaknya ia jangan merasa enggan untuk beramar ma’ruf dan nahi munkar.
Karena tidak menutup kemungkinan, nasehat yang ia sampaikan, akan
membuatnya terpacu untuk melaksanakan amalan ma’ruf yang dia
perintahkan, atau meninggalkan kemungkaran yang dia larang. Hal ini
sudah menjadi suatu hal yang lumrah dalam pengalaman seorang.
Adapun orang jenis kedua, dia menerjang sendiri
pesan nasehatnya, setelah adanya daya dan kemampuan untuk melakukan
nasehat tersebut. Namun justru dia abaikan. Saat menerjangnya pun, dia
tidak merasa menyesal dan bersalah atas tindakannya tersebut. Orang
seperti inilah yang termasuk dalam ancaman ayat di atas.
Seperti seorang ayah merokok di samping anaknya yang dia juga merokok. Lalu Sang Ayah menasehatikan anaknya, “Nak… jangan ngrokok. Ndak baik ngrokok itu..” .Sementara dia sendiri klepas-klepus ngrokok di samping anaknya, tanpa merasa menyesal dan bersalah.
Barangkali makna inilah yang disinggung dalam perkataan para salafus sholih dahulu.
Sa’id bin Jubair mengatakan, “Jika tidak boleh melakukan amar ma’ruf
dan nahi mungkar, kecuali orang yang sempurna niscaya tidak ada satupun
orang yang boleh melakukannya”. Ucapan Sa’id bin Jubair ini dinilai
oleh Imam Malik sebagai ucapan yang sangat tepat. (Tafsir Qurthubi, 1/410).
Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata kepada Mutharrif bin Abdillah,
“Wahai Mutharrif nasihatilah teman-temanmu”. Mutharrif mengatakan, “Aku
khawatir mengatakan yang tidak ku lakukan”. Mendengar hal tersebut,
Hasan Al-Bashri mengatakan, “Semoga Allah merahmatimu, siapakah di
antara kita yang mengerjakan apa yang dia katakan, sungguh setan
berharap bisa menjebak kalian dengan hal ini sehingga tidak ada seorang
pun yang berani amar ma’ruf nahi mungkar.” (Tafsir Qurthubi, 1/410).
Al-Hasan Al-Bashri juga pernah mengatakan, “Wahai sekalian manusia
sungguh aku akan memberikan nasihat kepada kalian padahal aku bukanlah
orang yang paling shalih dan yang paling baik di antara kalian. Sungguh
aku memiliki banyak maksiat dan tidak mampu mengontrol dan mengekang
diriku supaya selalu taat kepada Allah. Andai seorang mukmin tidak boleh
memberikan nasihat kepada saudaranya kecuali setelah mampu mengontrol
dirinya niscaya hilanglah para pemberi nasihat dan minimlah orang-orang
yang mau mengingatkan.” (Tafsir Qurthubi, 1/410).
___
Referensi :
- Faidah kajian pembahasan kitab Iqtidho’ as-Shirot al-Mustaqiem li mukholafati ash-Haabi al-Jahiim, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bersama Syaikh Anis Thahir Al-Indunisy. Setiap malam senin di Masjid Nabawi.
- Tulisan di Muslim.Or.Id, yang bertema “Antara Kata dan Perbuatan.” https://muslim.or.id/akhlaq-
dan-nasehat/antara-kata-dan- perbuatan.html
Penulis: Ahmad Anshori
Artikel: Muslim.Or.Id
______________
Share Ulang
- Citramas, Cinunuk.
- from= https://muslim.or.id/24617-haruskah-menjadi-sempurna-untuk-bisa-menasehati.html