Islam Pedoman Hidup: Kedudukan Mempelajari Ilmu Duniawi (Sains) dalam Timbangan Syariat

Minggu, 13 Mei 2018

Kedudukan Mempelajari Ilmu Duniawi (Sains) dalam Timbangan Syariat


Sebagaimana yang kita ketahui, hukum mempelajari ilmu agama (ilmu syar’i) adalah kewajiban atas setiap muslim (fardhu ‘ain). Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

”Menuntut ilmu (agama) itu wajib atas setiap muslim.”  (HR. Ibnu Majah no. 224. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Ilmu syar’i adalah ilmu tentang agama Allah Ta’ala, yaitu ilmu yang bersumber dari kitabullah (Al-Qur’an) dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah).

Lalu, bagaimana dengan ilmu duniawi (ilmu sains)? Apakah mempelajari ilmu-ilmu tersebut menjadi tidak berpahala alias perbuatan sia-sia?

Jika Mendatangkan Kebaikan untuk Umat Islam, Hukum Mempelajari Ilmu Duniawi adalah Fardhu Kifayah 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullahu Ta’ala- pernah ditanya,
”Apakah (mempelajari) ilmu seperti ilmu kedokteran dan industri termasuk tafaqquh fid diin (mempelajari agama Allah Ta’ala, pen.)?

Beliau -rahimahullahu Ta’ala- menjawab,
“Ilmu-ilmu tersebut tidaklah termasuk dalam ilmu agama (tafaqquh fid diin). Karena dalam ilmu-ilmu tersebut tidaklah dipelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, ilmu tersebut termasuk dalam ilmu yang dibutuhkan oleh umat Islam.
Oleh karena itu, sebagian ulama berkata, ’Sesungguhnya mempelajari ilmu industri (teknologi), kedokteran, teknik, geologi, dan semisal itu, termasuk dalam fardhu kifayah. Bukan karena ilmu-ilmu tersebut termasuk dalam ilmu syar’i (ilmu agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, pen.), akan tetapi karena tidaklah maslahat bagi umat (Islam) ini bisa terwujud kecuali dengan mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
Oleh karena itu, aku ingatkan kepada saudara-saudaraku yang sedang mempelajari ilmu-ilmu tersebut agar mereka niatkan untuk dapat memberikan manfaat bagi kaum muslimin dan meningkatkan (derajat) umat Islam.” [1]

Di tempat yang lain, beliau -rahimahullahu Ta’ala- berkata,
“Dan sunguh banyak ulama telah menyebutkan bahwa mempelajari ilmu industri (teknologi) termasuk fardhu kifayah. Hal ini karena manusia harus (tidak boleh tidak) memiliki ilmu tersebut untuk dapat memasak (menyiapkan makanan, pen.), minum, atau perkara-perkara lainnya yang dibutuhkan. Jika tidak ditemukan orang yang menekuni ilmu tersebut, maka hukum mempelajarinya menjadi fardhu kifayah.” [2]

Apa yang dimaksud dengan fardhu (wajib) kifayah?  

Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di -rahimahullahu Ta’ala- berkata,
”(Yang dimaksud dengan) fardhu kifayah, (yaitu) jika sejumlah orang dalam jumlah yang mencukup telah melaksanakan kewajiban tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Jika tidak ada satu pun orang yang melaksanakannya, maka semua orang yang memiliki kemampuan (untuk melaksanakan kewajiban tersebut, pen.) menjadi berdosa.” [3]

Kesimpulannya, hukum mempelajari ilmu duniawi (sains) sangat tergantung pada tujuan, apakah untuk tujuan kebaikan atau tujuan yang buruk. [4]

Oleh karena itu, ketika ilmu duniawi menjadi sarana untuk menegakkan kewajiban dalam agama, maka hukum mempelajari ilmu tersebut juga wajib. Dan ketika menjadi sarana untuk menegakkan perkara yang hukumnya sunnah dalam agama, maka hukum mempelajarinya juga sunnah.
Ketika menjelaskan kaidah fiqhiyyah,
الوسائل لها أحكام المقاصد
“Hukum sarana itu sebagaimana hukum tujuan.”

Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di -rahimahullahu Ta’ala- berkata,
“Tercakup dalam kaidah pokok ini adalah wajibnya mempelajari ilmu industri (teknologi) yang dibutuhkan oleh manusia dalam perkara agama dan dunia mereka, baik perkara yang kecil maupun yang besar.” [5]

Semoga Allah Ta’ala mengkaruniakan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih.

***
Diselesaikan ba’da maghrib, Rotterdam 5 Rabiul Akhir 1438/3 Januari 2017
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Catatan kaki:
[1] Kitaabul ‘Ilmi, 1/125 (Maktabah Syamilah).
[2] Kitaabul ‘Ilmi, 1/2 (Maktabah Syamilah).
[3] Al-Qawaa’id wal Ushuul Al-Jaami’ah, hal. 39 (cet. Maktabah As-Sunnah).
[4] Kitaabul ‘Ilmi, 1/2 (Maktabah Syamilah).
[5] Al-Qawaa’id wal Ushuul Al-Jaami’ah, hal. 38.


____________________________
Share Ulang