Pertanyaan:
Assalamu’laikum Warahmatullah Wabarakatuh
Apa
syarat diterimanya taubat? Bagaimana caranya kita benar-benar menyesali
dosa yang pernah diperbuat agar bisa bertobat dengan sungguh-sungguh?
Jazaakumullah khairan
Jazaakumullah khairan
Abu annas
Alamat: jakarta
Email: annaz_kuc***@yahoo.com
Alamat: jakarta
Email: annaz_kuc***@yahoo.com
Ustadz Kholid Menjawab :
Agar bertaubat dapat sungguh-sungguh dan diterima Allah maka dibutuhkan
syarat. Para ulama menjelaskan syarat- syarat taubat yaitu:
1. Islam, tidak
sah taubat dari dosa dan kemaksiatan kecuali dari seorang muslim, sebab
taubatnya orang kafir adalah masuk islam. Hal ini dijelaskan Allah
dalam firmanNya:
وَلاَ الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُوْلَـئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَاباً أَلِيماً
“Dan
tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di
dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang
pedih.” (Qs. An Nisaa:18)
2. Ikhlas. Tidak
sah taubat seseorang kecuali dengan ikhlas dengan cara menujukan
taubatnya tersebut semata mengharap wajah Allah, ampunan dan
penghapusan dosanya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إلاَّ مَا كَانَ خَالِصًا وَ ابْتَغَي بِهِ وَجْهَ الله
“Sesungguhnya Allah tidak menerima satu amalan kecuali dengan ikhlas dan mengharap wajahNya.”
Sehingga
seorang yang bertaubat atau meninggalkan perbuatan dosa karena bakhil
atas hartanya atau takut dicela orang atau tidak mampu melakukannya
tidak dikatakan bertaubat secara syar’I menurut kesepakatan para
ulama. Oleh karena itu kata taubat dalam Al Qur’an mendapat
tambahan kata ‘kepada Allah’, seperti firman Allah:
إِن تَتُوبَآ إِلَى اللهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا
“Jika
kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua
telah condong (untuk menerima kebaikan)” (Qs. At Tahrim:4)
3. Mengakui dosanya. Tidak
sah taubat kecuali setelah mengetahui, mengakui dan memohon keselamatan
dari akibat jelek dosa yang ia lakukan, sebagaimana disampaikan
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada A’isyah dalam kisah Fitnatul Ifki:
بَعْدُ
يَا عَائِشَةُ فَإِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي عَنْكِ كَذَا وَكَذَافَإِنْ
كُنْتِ بَرِيئَةً فَسَيُبَرِّئُكِ اللَّهُ وَإِنْ كُنْتِأَلْمَمْتِ
بِذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرِي اللَّهَ وَتُوبِي إِلَيْهِ فَإِنَّالْعَبْدَ
إِذَا اعْتَرَفَ بِذَنْبِهِ ثُمَّ تَابَ إِلَى اللَّهِ تَابَاللَّهُ
عَلَيْه
Amma
ba’du, wahai A’isyah sungguh telah sampai kepadaku berita
tentangmu bagini dan begitu. Apabila kamu berlepas (dari berita
tersebut) maka Allah akan membersihkanmu dan jika kamu berbuat dosa
tersebut, maka beristighfarlah kepada Allah dan bertaubatlah kepadaNya.
Karena seorang hamba bila mengakui dosanya kemudian bertaubat kepada
Allah niscaya Allah akan menerima taubatnya. (HR Al Bukhori).
4. Menyesali perbuatan dosa yang pernah dilakukannya. Penyesalan
memberikan tekad, kemauan dan pengetahuan kepada pelakunya bahwa
kemaksiatan yang dilakukannya tersebut akan menjadi penghalang dari
Rabbnya, lalu ia bersegera mencari keselamatan dan tidak ada jalan
keselamatan dari adzab Allah kecuali berlindung kepadaNya, sehingga
muncullah taubat dalam dirinya. Oleh karena itu tidak terwujud taubat
kecuali dari penyesalan, sebab tidak menyesali perbuatannya adalah
dalil keridhoan terhadap kemaksiatan tersebut, seperti disabdakan
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
النَّدَمُ تَوْبَةٌ
“Penyesalan adalah taubat.”
5. Berlepas dan meninggalkan perbuatan dosa tersebut apabila
kemaksiatannya adalah pelanggaran larangan Allah dan bila
kemaksiatannya berupa meninggalkan kewajiban maka cara meninggalkan
perbuatan dosanya adalah dengan melaksanakannya. Ini termasuk syarat
terpenting taubat. Dalilnya adalah firman Allah:
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah,
lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain dari pada Allah – Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui.” (Qs.
Al Imran:135)
Al Fudhail bin Iyaadh menyatakan: “Istighfar tanpa meninggalkan kemaksiatan adalah taubat para pendusta.”
6. Berazzam dan bertekad tidak akan mengulanginya dimasa yang akan datang.
7. Taubat dilakukan pada masa diterimanya taubat. Apa
bila bertaubat pada masa ditolaknya seluruh taubat manusia, maka tidak
berguna taubatnya. Masa tertolaknya taubat ini di tinjau dari dua sisi:
a.
Dari pelaku itu sendiri, maka waktu taubatnya sebelum kematian. Apabila
bertaubat setelah sakaratul maut, maka taubatnya tidak diterima. Hal
ini dijelaskan Allah dalam firmanNya :
وَلَيْسَتِ
التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ
أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ وَلاَ الَّذِينَ
يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُوْلَـئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَاباً
أَلِيماً
“Dan
tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan
kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara
mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat
sekarang” Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati
sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami
sediakan siksa yang pedih.” (Qs. 4:18)
Hal inipun disampaikan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْد مَا لَمْ يُغَرغِرْ
“Sesungguhnya Allah menerima taubat hambaNya selama belum sakaratul maut.”
Oleh karena itu Allah tidak menerima taubat Fir’aun ketika tenggelam, seperti dikisahkan dalam firmanNya:
وَجَاوَزْنَا
بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ
بَغْياً وَعَدْواً حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ
أَنَّهُ لا إِلِـهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ
وَأَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ آلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ مِنَ
الْمُفْسِدِينَ فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ
خَلْفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيراً مِّنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا
لَغَافِلُونَ
Dan
Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh
Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan
menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam
berkatalah dia:”Saya percaya bahwa tidak ada Ilah melainkan yang
dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah)”. Apakah sekarang (baru kamu
percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan
kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini
Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari
manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami. (Qs. Yunus:90-92)
b. Dari manusia secara umum. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyatakan :
الْهِجْرَةُ لاَ تَنْقَطِعُ حَتَّى تَنْقَطِعَ الْتَوْبَةُ وَلاَ تَنْقَطِعُ الْتَوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Hijroh tidak terputus sampai terputusnya taubah dan taubat tidak terputus sampai matahari terbit dari sebelah barat.”
Dan sabda beliau :
إِنَّاللهَ
يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَمُسِيئُ النَّهَارِوَيَبْسُطُ
يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّىتَطْلُعَ
الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala selalu membuka tangan-Nya di waktu malam untuk
menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan
Allah membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orang
yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari
terbit dari barat.”
Apabila matahari telah terbit dari barat maka taubat seorang hamba
tidak bermanfaat, sebagaimana ditegaskan Allah dalam firmanNya :
هَلْ
يَنظُرُونَ إِلاَّ أَن تَأْتِيهُمُ الْمَلآئِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ
أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ
رَبِّكَ لاَ يَنفَعُ نَفْساً إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِن قَبْلُ
أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْراً قُلِ انتَظِرُواْ إِنَّا
مُنتَظِرُونَ
“Yang
mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada
mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Rabbmu atau
kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu tidaklah bermanfa’at lagi
iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu,
atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah:”Tunggulah olehmu sesungguhnya kamipun menunggu(pula)” “. (Qs. Al An’am: 158)
8. Khusus yang berhubungan dengan orang lain maka ada tambahan berlepas dari hak saudaranya, apabila
itu berupa harta atau sejenisnya, maka mengembalikannya kepadanya dan
bila berupa hukuman menuduh (zina) maka memudahkan hukuman atau memohon
maaf darinya dan bila berupa ghibah, maka memohon dihalalkan dari
ghibah tersebut.
Syaikh
Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin berkata: “Adapun bila dosa
tersebut antara kamu dengan manusia, apabila berupa harta, harus
menunaikannya kepada pemiliknya dan tidak diterima taubatnya kecuali
dengan menunaikannya. Contohnya kamu mencuri harta dari seseorang lalu
kamu bertaubat dari hal itu, maka kamu harus menyerahkan hasil curian
tersebut kepada pemiliknya. Juga contoh lain, kamu mangkir dari hak
seseorang, seperti kamu punya tanggungan hutang lalu mangkir darinya,
kemudian kamu bertaubat, maka kamu harus pergi kepada orang yang
bersangkutan dan memberikan pengakuan dihadapannya sehingga ia
mengambil haknya. Apabila orang tersebut telah meninggal dunia, maka
kamu berikan kepada ahli warisnya. Apabila tidak tahu atau ia
menghilang darimu dan kamu tidak mengetahui keberadaannya maka
bersedekahlah dengan harta tersebut atas namanya agar bebas dari
(kewajiban) tersebut dan Allahlah yang mengetahui dan menyampaikannya
kepadanya. Apabila kemaksiatan yang kamu lakukan terhadap orang lain
berupa pemukulan atau sejenisnya, maka datangilah ia dan mudahkanlah ia
untuk membalas memukul kamu seperti kamu memukulnya. Apa bila yang
dipukul punggung maka punggung yang dipukul dan bila kepala atau bagian
tubuh lainnya maka hendaklah ia membalasnya.
Hal ini didasarkan pada firman Allah:
وَجَزَاء سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa (Qs. 42:40)
فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُواْ عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
Dan firmanNya: Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.(Qs. 2:194)
Apabila
berupa perkataan (menyakitinya dengan perkataan), seperti kamu mencela,
menjelek-jelekinya dan mencacinya dihadapan orang banyak, maka kamu
harus mendatanginya dan meminta maaf darinya dengan apa saja yang telah
kamu berdua sepakati, sampai-sampai seandainya ia tidak memaafkan kamu
kecuali dengan sejumlah uang maka berilah. Sedang yang ke empat adalah
apabila hak orang lain tersebut berupa ghibah, yaitu kamu pernah
membicarakannya tanpa sepengetahuan nya dan kamu menjelek-jelekkannya
dihadapan orang banyak ketika ia tidak ada. Dalam masalah ini para
ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan ia harus mendatanginya
dengan menyatakan: “Wahai fulan saya pernah merumpi (menggibahi)
kamu dihadapan orang maka saya mohon kamu memaafkan saya dan
menghalalkannya”. Sebagian ulama menyatakan: “Tidak
menemuinya namun harus diperinci permasalahannya. Apabila orang
tersebut telah mengetahui perbuatan ghibah tersebut, maka harus
menemuinya dan minta dimaafkan. Namun bila tidak mengetahuinya maka
jangan berangkat menemuinya namun cukup memintakan ampunan untuknya dan
menyampaikan kebaikan-kebaikannya dimajlis-majlis yang kamu pernah
gunakan dalam menggibahinya, karena kebaikan-kebaikan menghapus
kejelekan”. Inilah pendapat yang rajih (kuat)”.
Sedangkan
Syaikh Saalim bin Ied Al Hilali memberikan syarat bila tidak
menimbulkan mafsadat yang lebih besar lagi. Beliau berkata:
“Apabila dosa itu berupa ghibah maka ia meminta dihalalkan
(dimaafkan) selama tidak menimbulkan mafsadat lain akibat dari
permintaan maaf itu sendiri. Apabila menimbulkan maka yang wajib
baginya adalah mencukupkan dengan mendoakan kebaikan untuknya.”
Lalu
bagaimana bisa menyesali perbuatan dosa tentunya dengan mengingat
kebesaran Allah yang kita maksiati dan akibat bruk dari dosa tersebut
di dunia dan akhirat.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber: UstadzKholid.Com