Baca pembahasan sebelumnya Sepuluh Kaidah dalam Menyucikan Jiwa (Bag. 3)
Kaidah ketiga: Al-Qur’an Al-Karim adalah sumber mata air penyucian jiwa
Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ
مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ
أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman
ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan
mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan
Al-Hikmah.”(QS. Ali ‘Imran [3]: 164)
Al-Qur’an adalah sarana terbesar untuk menyucikan jiwa. Al-Qur’an adalah kitab penyucian jiwa yang
menjadi sumber dan mata air penyucian jiwa. Barangsiapa yang
menginginkan kesucian jiwa, hendaklah mencarinya dalam Al-Qur’an.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
ضَمِنَ
اللَّهُ لِمَنِ اتَّبَعَ الْقُرْآنَ أَنْ لَا يَضِلَّ فِي الدُّنْيَا وَلَا
يَشْقَى فِي الْآخِرَةِ» ، ثُمَّ تَلَا: ” {فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا
يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى}
“Allah menjamin bagi orang yang mengikuti ajaran Al-Qur’an bahwa dia
tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” Kemudian
Ibnu ‘Abbas membacakan ayat (yang artinya), “Lalu barangsiapa yang
mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”(QS. Thaha [20]: 123)” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 35926)
Allah Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ
لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada
dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”(QS. Yunus [10]: 57)
Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala berkata,
فَالْقُرْآنُ هُوَ الشّفَاءُ التّامّ مِنْ جَمِيعِ الْأَدْوَاءِ الْقَلْبِيّةِ وَالْبَدَنِيّةِ وَأَدْوَاءِ الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Al-Qur’an adalah obat yang paling sempurna untuk
seluruh penyakit hati dan jasmani; serta untuk penyakit dunia dan
akhirat.”(Zaadul Ma’aad, 4: 119)
Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ
“Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka
membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya.”(QS. Al-Baqarah [2]: 121)
Yang dimaksud dengan “bacaan yang sebenarnya“ adalah dengan
membaca, menghafal, memahami, merenungkan dan mengamalkannya,
sebagaimana penjelasan (tafsir) dari para sahabat dan tabi’in.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
كان الرجلُ منا إذا تعلَّم عشرَ آياتٍ لم يجاوزهن حتى يعرف معانيَهُن والعمل بهن
“Dulu, orang-orang di antara kami jika mempelajari sepuluh ayat (dari
Al-Qur’an), tidak akan berpindah (ke ayat yang lainnya) sampai dia
memahami makna dan mengamalkannya.”(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad no. 23482)
Membaca Al-Qur’an tanpa memahami makna dan mengamalkan isi
kandungannya, tidaklah dianggap “membaca” dengan sebenarnya. Oleh karena
itu, Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu Ta’ala berkata,
إنما نزل القرآن ليعمل به، فاتخذ الناس قراءته عملا
“Al-Qur’an itu diturunkan semata-mata untuk diamalkan. Sedangkan
manusia menyangka dengan cukup membaca Al-Qur’an, mereka telah
mengamalkannya.”(Diriwayatkan oleh Al-Aajuri dalam Akhlaq hamalatul Qur’an, hal. 41)
Jika Allah Ta’ala memuliakan hamba-Nya dengan (memberikan taufik agar
dapat) membaca, merenungkan makna, dan memaksa jiwa dalam mengamalkan
al-Quran, niscaya dia akan meraih kesucian jiwa.
[Bersambung]
***
@Kantor Jogja, 22 Shafar 1440/ 31 Oktober 2018
Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Referensi:
Diterjemahkan dari kitab ‘Asyru qawaaida fi tazkiyatin nafsi, hal. 18-19, karya Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala.