ARISAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Hampir seluruh penduduk di pelosok tanah air mengenal yang namanya
arisan. Arisan yang berkembang di masyarakat bermacam-macam bentuknya.
Ada arisan motor, arisan haji, arisan gula, arisan semen dan lain-lain.
Ternyata fenomena ini tidak hanya terjadi di negeri ini, di negara Arab
juga telah dikenal sejak abad ke sembilan hijriyah yang dilakukan oleh
para wanita Arab dengan istilah jum’iyyah al-muwazhzhafin atau al-qardhu
at-ta’awuni, hingga kini fenomena ini masih berkembang dengan pesat.
Bila demikian sudah mendunia, tentunya tidak lepas dari perhatian dan
penjelasan hukum syar’i bentuk mu’amalah seperti ini oleh para Ulama.
Apalagi permasalah ini termasuk kontemporer dan belum ada sebelumnya di
masa para salaful ummah dahulu. Fenomena ini demikian semarak dilakukan
kaum Muslimin karena adanya kemudahan dan banyak membantu mereka serta
bagaimana sebenarnya hukum arisan dalam Islam?
HAKEKAT ARISAN
Kata Arisan adalah istilah yang berlaku di Indonesia. Dalam kamus Bahasa
Indonesia disebutkan bahwa arisan adalah pengumpulan uang atau barang
yang bernilai sama oleh beberapa orang, lalu diundi diantara mereka.
Undian tersebut dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota
memperolehnya. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Wjs. Poerwadarminta, PN
Balai Pustaka, 1976 hlm:57)
Ini sama dengan pengertian yang disampaikan Ulama dunia dengan
istilah jum’iyyah al-Muwazhzhafin atau al-qardhu al-ta’awuni. Jum’iyyah
al-muwazhzhafin dijelaskan para Ulama sebagai bersepakatnya sejumlah
orang dengan ketentuan setiap orang membayar sejumlah uang yang sama
dengan yang dibayarkan yang lainnya. Kesepakatan ini dilakukan pada
akhir setiap bulan atau akhir semester (enam bulan) atau sejenisnya,
kemudian semua uang yang terkumpul dari anggota diserahkan kepada salah
seorang anggota pada bulan kedua atau setelah enam bulan –sesuai dengan
kesepakatan mereka-. Demikianlah seterusnya, sehingga setiap orang dari
mereka menerima jumlah uang yang sama seperti yang diterima orang
sebelumnya. Terkadang arisan ini berlangsung satu putaran atau dua
putaran atau lebih tergantung pada keinginan anggota.
Hakekat arisan ini adalah setiap orang dari anggotanya meminjamkan
uang kepada anggota yang menerimanya dan meminjam dari orang yang sudah
menerimanya kecuali orang yang pertama mendapatkan arisan maka ia
menjadi orang yang berhutang terus setelah mendapatkan arisan, juga
orang yang terakhir mendapatkan arisan, maka ia selalu menjadi pemberi
hutang kepada anggota.
Berdasarkan hal ini, apabila salah seorang anggota ingin keluar dari
arisan pada putaran pertama diperbolehkan selama belum pernah berhutang
(belum menarik arisannya). Apabila telah berhutang maka ia tidak punya
hak untuk keluar hingga selesai putaran arisan tersebut sempurna atau
melunasi hutang-hutang kepada setiap anggota arisan.
Berdasarkan definisi diatas, para Ulama memberikan tiga bentuk arisan yang umum beredar di dunia; yaitu:
Pertama : Sejumlah orang bersepakat untuk masing-masing mereka
membayarkan sejumlah uang yang sama yang dibayarkan pada setiap akhir
bulan atau akhir semester dan semisalnya. Kemudian semua uang yang
terkumpul dari anggota diserahkan dalam bulan pertama untuk salah
seorang dari mereka dan pada bulan berikutnya untuk yang lain dan
seterusnya sesuai kesepakatan mereka. Demikian seterusnya hingga setiap
orang menerima jumlah uang yang sama dengan yang diterima oleh anggota
sebelumnya. Arisan ini bisa berlanjut dalam dua putaran atau lebih
tergantung kesepakatan dan keridhaan peserta. Dalam bentuk ini tidak ada
syarat harus menyempurnakan satu putaran.
Kedua : Bentuk ini menyerupai bentuk yang pertama, namun ada tambahan
syarat semua peserta tidak boleh berhenti hingga sempurna satu putaran.
Ketiga : Bentuk ini mirip dengan bentuk kedua, hanya saja ada tambahan syarat harus menyambung dengan putaran berikutnya.
Hukum Arisan Secara Umum
Ada dua pendapat para Ulama dalam menghukumi arisan dalam bentuk yang
dijelaskan dalam hakekat arisan diatas, tanpa ada syarat harus
menyempurnakan satu putaran penuh.
Pendapat pertama mengharamkannya. Inilah pendapat Syaikh
Prof.Dr.Shalih bin Abdillah al-Fauzan, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah
Alu Syaikh (mufti Saudi Arabia sekarang) dan Syaikh Abdurrahman
al-Barak.
Argumentasi mereka adalah:
1. Setiap peserta dalam arisan ini hanya menyerahkan uangnya dalam akad
hutang bersyarat yaitu menghutangkan dengan syarat diberi hutang juga
dari peserta lainnya. Ini adalah hutang yang membawa keuntungan (qardh
jarra manfaatan). Padahal para Ulama sepakat semua hutang yang
memberikan kemanfaatan maka itu adalah haram dan riba, seperti
dinukilkan oleh Ibnu al-Mundzir dalam kitab al-Ijma’, halaman ke-120 dan
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni 6/346.
2. Hutang yang disyariatkan adalah menghutangkan dengan tujuan
mengharap wajah Allah dan membantu meringankan orang yang berhutang.
Oleh karena itu dilarang orang yang menghutangkan menjadikan hutang
sebagai sarana mengambil keuntungan dari orang yang berhutang.
3. Dalam arisan ada persyaratan akad (transaksi) di atas transaksi.
Jadi seperti dua jual beli dalam satu transaksi (bai’atain fi bai’ah)
yang dilarang oleh Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘alihi wa sallam yang berbunyi:
نَهَى النَّبِيُّ صلّ الله عليه وسلّم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jual beli dalam satu
jual beli [HR. Ahmad dan dihasankan Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul
Ghalil 5/149]
Itu adalah pendapat sekelompok Ulama yang pertama, sedangkan kelompok
yang lain berpendapat bahwa arisan itu boleh. Inilah fatwa dari
al-hafizh Abu Zur’ah al-‘raqi (wafat tahun 826), (lihat Hasyiyah
al-Qalyubi 2/258) fatwa mayoritas anggota dewan majlis Ulama besar
(Hai’ah Kibaar al-Ulama) Saudi Arabia, diantara mereka Syaikh Abdulaziz
bin Baz (mufti Saudi Arabia terdahulu) dan Syaikh Muhammad bin shalih
al-Utsaimin serta Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Jibrin.
Argumentasi mereka adalah:
1. Bentuk seperti ini termasuk yang diperbolehkan syariat, karena hutang
yang membantu meringankan orang yang berhutang. Orang yang berhutang
dapat memanfaatkan uang tersebut dalam waktu tertentu kemudian ia
mengembalikannya sesuai dengan jumlah uang yang diambilnya tanpa ada
penambahan dan pengurangan. Inilah hakekat hutang (al-qardh al-mu’tad)
yang sudah diperbolehkan berdasarkan nash-nash syariat dan ijma’ para
Ulama. Arisan adalah salah satu bentuk hutang. Hutang dalam arisan
serupa dengan hutang-hutang biasa, hanya saja dalam arisan berkumpul
padanya hutang dan menghutangkan (piutang) serta pemanfaatan lebih dari
seorang. Namun kondisi ini tidak menyebabkan dia terlepas dari hakekat
dan penamaan hutang.
2. Hukum asal dalam transaksi muamalah adalah halal. Semua transaksi
yang tidak ada dalil syariat yang mengharamkannya diperbolehkan. Anggap
saja arisan ini tidak termasuk jenis hutang, maka ia tetap pada hukum
asalnya yaitu diperbolehkan selama tidak ada dalil shahih yang
melarangnya.
3. Arisan berisi unsur kerjasama, tolong-menolong dalam kebaikan dan
takwa, karena ia adalah salah satu cara menutupi kebutuhan orang yang
butuh dan menolong mereka untuk menjauhi mu’amalat terlarang.
4. Manfaat yang didapatkan dari arisan ini tidak mengurangi sedikit
pun harta orang yang minjam uang dan kadang orang minjam mendapatkan
manfaat yang sama atau hampir sama dengan yang lainnya. Sehingga
mashlahat (kebaikannya) didapatkan dan akan dirasakan oleh seluruh
peserta arisan dan tidak ada seorang pun yang mengalami kerugian atau
mendapatkan tambahan manfaat pada pemberi hutangan yang menjadi
tanggungan peminjam. Syariat yang suci ini tidak akan mengharamkan
kemashlahatan yang tidak berisi kemudharatan.
PENDAPAT YANG RAJIH
Setelah melihat argumentasi para Ulama di atas, penulis buku Jum’iyyah
al-Muwadzafin Prof.DR.Abdullah bin Abulaziz al-Jibrin merajihkan
pendapat yang membolehkan dengan alasan:
1. Kuatnya argumentasi pendapat ini
2. Lemahnya pendapat yang mengharamkannya, karena:
2. Lemahnya pendapat yang mengharamkannya, karena:
• Alasan pertama pendapat ini lemah disebabkan arisan tidak termasuk
hutang bersyarat, sebagaimana telah diungkapkan oleh pemilik pendapat
yang membolehkan.
• Alasan kedua juga lemah karena hutang diperbolehkan walaupun tidak
diniatkan mendapatkan pahala dan keridhaan Allah. Karena hutang pada
hakekatnya disyariatkan untuk membantu orang yang membutuhkannya.
• Alasan ketiga juga lemah karena hadits larangan dua jual beli dalam satu akad tidak pas diterapkan pada arisan ini.
3. Pendapat yang membolehkan lebih pas dan sesuai dengan ushul dan
kaedah syariat, karena seluruh syariat dibangun di atas dasar “mengambil
maslahat dan menolak kemudharatan dan kerusakan”.
Dengan demikian jelaslah hukum Arisan tanpa syarat yang menjadi bentuk pertama ini hukumnya adalah boleh.
HUKUM BENTUK KEDUA YAITU ARISAN DENGAN SYARAT HARUS SEMPURNA SATU PUTARAN
Dalam bentuk yang kedua ini, para Ulama pun berbeda pendapat sama dengan
bentuk yang pertama. Pendapat yang mengharamkannya menganalogikan
(qiyas) kepada pengahraman bentuk pertama. Sehingga argumentasi seputar
pengaharaman bentuk ini sama dengan bentuk yang pertama dengan
ditambahkan adanya syarat tambahan syarat manfaat untuk yang
menghutangkan. Syarat tambahan itu adalah adanya pihak ketiga atau lebih
yang meminjamkan uangnya (dengan membayar iuran arisan tersebut). Ini
tidak diperbolehkan karena riba disebabkan adanya tambahan manfaat
keuntungan yang didapatkan oleh pemberi hutang.
Pendapat ini dapat dijawab bahwa syarat yang disepakati para Ulama
dalam mengaharamkan dan memberlakukan hukum riba pada sesuatu adalah
adanya penetapan syarat manfaat berupa keuntungan yang dirasakan dan
diperoleh oleh pemberi hutang dari orang yang berhutang hanya karena
semata-mata hutang. Dan ini tidak ada dalam bentuk arisan ini; karena
manfaat keuntungan yang disyaratkan disini tidak diberikan oleh
penghutang sama sekali dan juga manfaat keuntungannya dirasakan oleh
semua peserta arisan kecuali yang dapat urutan terakhir karena ia hanya
memberikan hutang terus dan tidak berhutang kepada yang lainnya.
Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh Abdullah bin Jibrin membolehkan arisan bentuk ini.
PENDAPAT YANG RAJIH
Prof. DR. Abdullah Ali Jibrin setelah meneliti dan menjelaskan
argumentasi para Ulama seputar masalah ini, beliau mengatakan,”Belum
nampak bagiku adanya faktor yang menyebabkan terlarangnya arisan yang
bersyarat seperti ini. Tidak ada dalil kuat yang dapat dijadikan
sandaran dalam mengharamkannya. Hukum asal dalam mu’amalat itu halal.
Arisan ini memiliki manfaat untuk semua pesertanya tanpa menimbulkan
madharat pada salah satu dari mereka. [Jum’iyyah al-Muwadzaffin,hlm 53].
Dengan demikian bentuk kedua inipun diperbolehkan secara syariat.
BENTUK KETIGA BERSYARAT SELURUH PESERTA HARUS MENYEMPURNAKAN LEBIH DARI SEKALI PUTARAN
Hakekat model arisan seperti ini adalah arisan dengan syarat pemberi
hutang memberikan syarat kepada orang yang akan berhutang kepada mereka
untuk menghutangkan kepadanya di putaran kedua dan seterusnya.
Hukum masalah ini pun berkisar pada masalah bolehkah orang yang
menghutangkan sesuatu menetapkan syarat pada yang berhutang untuk
memberinya hutangan di waktu yang akan datang dan apakah syarat tersebut
memberikan tambahan manfaat keuntungan pada pemberi hutang pertama?
Yang rajih dalam bentuk ini adalah haram, karena ada padanya syarat
tambahan manfaat keuntungan untuk yang menghutangkan hanya karena hutang
yang pertama tadi.
Demikianlah hukum arisan yang belum mengalami perubahan dan
tambahan-tambahan. Sedangkan arisan-arisan yang berkembang dewasa ini,
masih harus diteliti kembali kehalalannya dengan melihat sistem yang
dibuat dalam arisan tersebut. Apabila sesuai dengan yang telah
dijelaskan hakekatnya maka hukumnya adalah yang sudah dijelaskan diatas.
Apabila tidak sesuai maka harus diteliti dan dihukumi sesuai dengan
system yang diperlakukan dalam bentuk arisan tersebut.
Wallahu a’lam.
(Makalah ini disarikan dari buku Jum’iyyah al-Muwadzdzafin (al-Qardh
at-Ta’awuni) karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdulaziz Ali Jibrin, hlm
5-56, terbitan Dar alam al-Fawaid, cetakan pertama/Dzulqa’dah 1419H)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]