IQÂMAT ADALAH HAK IMAM
Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Atsari
3. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
4. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:
5. Riwayat dari Sahabat Ali Radhiyallahu anhu.
Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Atsari
Islam adalah agama yang sempurna. Islam telah mengatur segala perkara
dengan sebaik-baiknya. Islam memberikan hak kepada orang yang berhak
mendapatkannya. Maka tidak boleh seseorang melanggar hak orang lain yang
telah ditetapkan oleh agama Islam.
Di antara hak yang telah diatur oleh Islam adalah bahwa iqâmat di
dalam shalat berjama’ah merupakan hak Imam. Jika iqâmat dikumandangkan
tanpa izin imam, atau sebelum imam datang, maka akan terjadi kekacauan.
Oleh karena itu selain perlu ditetapkan jarak antara adzan dan iqâmat,
harus juga diperhatikan bahwa yang berhak memerintahkan iqâmat adalah
imam.
DALIL-DALIL
Banyak dalil yang menunjukkan bahwa iqâmat adalah hak imam, di antaranya:
1. Hadits Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu.
Beliau berkata:
كَانَ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللهِ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– يُمْهِلُ فَلاَ يُقِيمُ، حَتَّى إِذَا رَأَى رَسُولَ اللهِ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– قَدْ خَرَجَ أَقَامَ الصَّلاَةَ حِينَ يَرَاهُ.
Kebiasaan muadzin Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menunggu, sehingga ia tidak mengumandangkan iqâmat sampai ia melihat
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar (dari rumahnya). Ia
mengumandangkan iqâmat saat melihat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam [HR. At-Tirmidzi, no. 202. Hadits ini dinilai sebagai hadits hasan oleh Syaikh al-Albani]
Setelah meriwayatkan hadits ini, Imam Tirmidzi rahimahullah mengatakan,
وَهَكَذَا قَالَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ: إِنَّ الْمُؤَذِّنَ أَمْلَكُ بِالأَذَانِ، وَالإِمَامُ أَمْلَكُ بِالإِقَامَةِ
Demikianlah sebagian ahli ilmu mengatakan: bahwa muadzin lebih
berhak terhadap adzan, sedangkan Imam lebih berhak terhadap iqâmat. [Sunan Tirmidzi, 1/275]
2. Hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ هَذِهِ الصَّلاَةَ فَجَاءَ عُمَرُ فَقَالَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، رَقَدَ النِّسَاءُ وَالوِلْدَانُ، فَخَرَجَ وَهُوَ يَمْسَحُ
المَاءَ عَنْ شِقِّهِ يَقُولُ: «إِنَّهُ لَلْوَقْتُ لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ
عَلَى أُمَّتِي»
Dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengakhirkan atau menunada shalat ini (Isya). Umar datang lalu
berkata, ‘Wahai Rasûlullâh! Para
wanita dan anak-anak telah tidur.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
keluar sambil menyeka air dari badannya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Ini adalah waktu (Isya’), jika aku tidak memberatkan
umatku”. [HR. Al-Bukhâri, no. 7239]
Tampak dari kejadian ini bahwa para Sahabat menunggu Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai-sampai Umar Radhyallahu anhu
mengabari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk segera shalat
Isya’ karena para wanita dan anak-anak telah tidur. Ini menunjukkan
bahwa waktu sudah cukup malam.
أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ بِالأُولَى مِنْ صَلاَةِ الْفَجْرِ
قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ
بَعْدَ أَنْ يَسْتَبِينَ الْفَجْرُ ، ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ
الأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلإِقَامَةِ
Dari ‘Aisyah Radhiyallahua anhuma, dia berkata, “Kebiasaan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika muadzin telah selesai dari adzan
Shubuh, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri melakukan Shalat
dua raka’at yang ringan sebelum Shalat fajar atau Shubuh setelah fajar
(warna merah/putih dari arah timur sebelum terbit matahari) terang.
Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring pada lambung
kiri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai muadzin mendatangi
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk (mengumandangkan) iqâmat”. [HR. Al-Bukhâri, no: 629]
Hadits ini menunjukkan bahwa muadzin terkadang mendatangi rumah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum melakukan iqâmat.
لَمَّا مَرِضَ النَّبِيُّ –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ أَتَاهُ بِلاَلٌ يُوذِنُهُ بِالصَّلاَةِ، فَقَالَ: «مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ»
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit yang Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berujung wafatnya Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam , Bilal mendatangi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberitahukan tentang shâlat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Perintahkan Abu Bakar shâlat (menjadi Imam)”. [HR. Al-Bukhâri, no. 712, 713 dan Muslim, no. 418/95]
Hadits ini menunjukkan bahwa Bilal mendatangi rumah Nabi sebelum
melakukan iqâmat, ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lama tidak
keluar dari rumah karena sakit.
ﺍﻟْﻤُﺆَﺫِّﻥُ ﺃَﻣْﻠَﻚُ ﺑِﺎﻟْﺄَﺫَﺍﻥِ ﻭَﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡُ ﺃَﻣْﻠَﻚُ ﺑِﺎﻟْﺈِﻗَﺎﻣَﺔِ
Muadzin lebih berhak dalam hal adzan, dan imam lebih berhak dalam hal iqâmat.” [Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf, Abu Hafsh al-Kattani, dan al-Baihaqi dalam as-Sunan ash-Shughra. Hadits ini dihukumi sebagai hadits shahih oleh syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdits adh-Dha’îfah pada pembahasan hadits, no. 46691]
PENJELASAN ULAMA
Masalah ini juga dijelaskan oleh para Ulama dahulu dan sekarang. Maka
sudah sepantasnya kita mengikuti jalan mereka, karena Ulama itu pewaris
ilmu para Nabi. Inilah di antara pernyataan para Ulama dalam masalah
ini:
1. Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (wafat th 321 H)
Beliau rahimahullah mengatakan:
فَكَانَتِ الْإِقَامَةُ لِلصَّلَاةِ إِلَى الْإِمَامِ , لَا
إِلَى الْمُؤَذِّنِ , فَعَقَلْنَا بِذَلِكَ أَنَّ طَلَبَ وَقْتِهَا إِلَى
الْإِمَامِ , لَا إِلَى الْمُؤَذِّنِ , فَكَانَ الْإِثْمُ فِي التَّقْصِيرِ
عَنْهَا عَلَيْهِ , لَا عَلَى الْمُؤَذِّنِ
Iqâmat shalat diserahkan kepada imam, bukan kepada muadzin. Dengan
ini kita mengetahui bahwa meminta waktu iqâmat shalat adalah kepada
imam, bukan kepada muadzin. Maka menyepelekan iqâmat shalat dosanya
menjadi tanggungan imam, bukan muadzin”. [Kitab Syarh Musykil al-Atsar, 5/441]
2. Imam Ibnu Qudâmah (wafat th 620 H)
Beliau rahimahullah mengatakan:
وَلَا يُقِيمُ حَتَّى يَأْذَنَ لَهُ الْإِمَامُ، فَإِنَّ
بِلَالًا كَانَ يَسْتَأْذِنُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ –
Muadzin tidak boleh mengumandangkan iqâmat sampai imam
mengijinkannya. Karena Bilal biasa meminta izin kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam”. [Kitab al-Mughni, 1/302]
3. Imam an-Nawawi (wafat th 676 H)
Beliau rahimahullah mengatakan,
قَالَ أَصْحَابُنَا وَقْتُ الْأَذَانِ مَنُوطٌ بِنَظَرِ
الْمُؤَذِّنِ لَا يَحْتَاجُ فِيهِ إلَى مُرَاجَعَةِ الْإِمَامِ وَوَقْتُ
الْإِقَامَةِ مَنُوطٌ بِالْإِمَامِ فَلَا يُقِيمُ الْمُؤَذِّنُ إلَّا
بِإِشَارَتِهِ
Ulama yang semazhab dengan kami berkata, ‘Waktu adzan diserahkan
kepada pandangan muadzin. Ia tidak perlu bertanya dulu kepada imam.
Adapun waktu iqâmat diserahkan kepada imam, sehingga muadzin tidak boleh
mengumandangkan iqâmat melainkan dengan isyarat/perintah dari imam.”
[Kitab Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, 3/128]
4. Imam Mushthafa bin Sa’ad bin Abduh as-Suyuthi (wafat th 1243 H)
Beliau rahimahullah mengatakan:
(وَوَقْتُ إقَامَةٍ) مُفَوَّضٌ (لِإِمَامٍ) ، فَإِنْ أَرَادَ
الْمُؤَذِّنُ إقَامَةَ الصَّلَاةِ (فَبِإِذْنِهِ) – أَيْ: الْإِمَامِ –
(يُقِيمُ) تَأَدُّبًا، قَالَ فِي” الْجَامِعِ”: وَيَنْبَغِي لِلْمُؤَذِّنِ
أَنْ لَا يُقِيمَ حَتَّى يَحْضُرَ الْإِمَامُ، وَيَأْذَنَ لَهُ فِي
الْإِقَامَةِ، نَصَّ عَلَيْهِ فِي رِوَايَةِ عَلِيِّ بْنِ سَعِيدٍ، وَقَدْ
سَأَلَهُ عَنْ حَدِيث عَلِيٍّ ” الْإِمَامُ أَمْلَكُ بِالْإِقَامَةِ ”
فَقَالَ: الْإِمَامُ يَقَعُ لَهُ الْأَمْرُ، أَوْ تَكُونُ لَهُ الْحَاجَةُ،
فَإِذَا أَمَرَ الْمُؤَذِّنَ أَنْ يُقِيمَ أَقَامَ.انْتَهَى. وَفِي
الصَّحِيحَيْنِ «إنَّ الْمُؤَذِّنَ كَانَ يَأْتِي النَّبِيَّ – صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -» فَفِيهِ إعْلَامُ الْمُؤَذِّنِ لِلْإِمَامِ
بِالصَّلَاةِ وَإِقَامَتِهَا، وَفِيهِمَا قَوْلُ عُمَرَ: «الصَّلَاةَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ، رَقَدَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ» .
Waktu iqâmat diserahkan kepada imam. Jika muadzin menghendaki iqâmat,
maka (harus) dengan izin imam dia melakukan iqâmat, demi menjaga adab.
Penulis kitab Al-Jami’ berkata, ‘muadzin tidak pantas
mengumandangkan iqâmat sampai imam datang dan mengizinkan melakukan
iqâmat. Itu disebutkan di dalam riwayat Ali bin Said. Dia telah bertanya
kepadanya tentang hadits Ali, “Imam lebih berhak terhadap iqâmat”, dia
menjawab, ‘Terkadang terjadi sesuatu pada imam, atau ada kebutuhan
tertentu padanya, maka jika imam telah memerintahkan muadzin untuk
melakukan iqâmat, dia melakukan iqâmat’.
Di dalam Shahîhain diriwayatkan, “Sesungguhnya
muadzin biasa mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”, ini
menunjukkan muadzin memberitahu shalat dan iqâmat kepada imam. Juga di
dalam Shahihain
diriwayatkan perkataan Umar Radhiyallahu anhu, “Shalat, wahai
Rasûlullâh! Para wanita dan anak-anak telah tidur’
[Kitab Mathalib Ulin Nuha fî Syarhi Ghoyatil Muntaha, 1/300-301]
5. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz (wafat th 1420 H).
Said bin Ali Al-Qahthâni, penulis kitab Shâlatul Mukmin berkata:
وَسَمِعْتُ اَلْعَلَّامَةَ عَبْدَ الْعَزِيْزِ بنَ عَبْدِ اللهِ
ابنِ باَز – رَحِمَهُ اللهُ – يَقُوْلُ:لَا يعجل بِالْإِقَامَةِ حَتَّى
يَأْمرَ بِهَا اَلْإِمَامُ، وَيَكُوْنُ ذَلِكَ رُبُع سَاعَة أَوْ ثُلُث سَاعَة
أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ، وَإِذَا تَأَخَّرَ الْإِمَامُ تَأَخُّرًا بَيِّنًا
جَازَ أَن يَتَقَدَّمَ بَعْضُ الْحَاضِرِيْنَ فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ
Aku telah mendengar al-‘Allâmah Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz
rahimahullah berkata, “Tidak boleh menyegerakan iqâmah hingga imam
memerintahkan. Jarak (adzan dengan iqâmat) itu sekitar seperempat jam
(15 menit) atau sepertiga jam (20 menit) atau yang mendekatinya. Jika
imam terlambat dalam waktu cukup lama, orang lain boleh maju menjadi
imam”. [Shalâtul Mukmin, hlm. 157-158]
6. Syaikh Masyhur Hasan Salman
Beliau –hafîzhahullâh– mengatakan:
وَلَيْسَ لِلْمُؤَذِّنِ أَن يُقِيْمَ الصَّلَاةَ بِغَيْرِ
إِذْنِ الْإِمَامِ، وَغَيْرَ الْمُؤَذِّنِ أَوْلَى بِذَلِكَ، فَعَلَى
الْمُصَلِّيْنَ مُرَاعَاةً ذَلِكَ، وَعَلَيْهِمْ أَن يَعْرِفُوا هَذَا
الْحَقَّ لِلْإِمَامِ، فَلاَ يَتَدَخَّلُ أَحَدٌ فِي أَمْرِ إِقَامَةِ
الصَّلَاةِ حَتَّى يَأْذَنَ بِهَا الْإِمَامُ، وَفَقَ اللهُ الْجَمِيْعَ
لِمَا يُحِبُّهُ وَيَرْضَاهُ.
Muadzin tidak boleh mengumandangkan iqâmat tanpa izin imam. Selain
muadzin lebih tidak boleh. Seluruh jama’ah harus memperhatikan hal itu.
Mereka semua harus mengetahui hak imam ini. Dengan demikian, tidak
boleh seorangpun ikut campur memerintahkan iqâmat Shalat sampai
diizinkan imam. Semoga Allâh memberikan taufik kepada kita semua
terhadap hal-hal yang Dia sukai dan Dia ridhai.” [Al-Qaulul Mubîn fî Akhthâ-il Mushallîn, hlm. 204]
KESIMPULAN:
Iqâmat adalah hak Imam. Muadzin tidak boleh melakukan iqâmat sebelum izin Imam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XX/1438H/2017M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961,
Redaksi 08122589079]