Mengacungkan telunjuk di saat shalat, yang lazim dan umum di antara
kaum muslimin adalah saat duduk tasyahud, baik awal maupun akhir.
Bagaimana dengan mengacungkannya saat duduk di antara dua sujud? Apakah
juga disunnahkan untuk melakukan hal tersebut?
Dalam hadits di Shahih Muslim, Kitâb al-Masâjid
wa Mawâdhi’ ash-Shalât, Bâb Shifat
al-Julûs… (V/81 no. 1307) disebutkan bahwa Nabi shallallahu’alaihiwasallam manakala duduk saat shalat, beliau mengacungkan jari telunjuknya. Berikut redaksi lengkap hadits tersebut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ
قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
قَعَدَ فِي الصَّلَاةِ جَعَلَ قَدَمَهُ الْيُسْرَى بَيْنَ فَخِذِهِ
وَسَاقِهِ وَفَرَشَ قَدَمَهُ الْيُمْنَى، وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى
رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى، وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ
الْيُمْنَى، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ“.
Abdullah bin az-Zubair radhiyallahu’anhuma menuturkan, “Manakala
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam duduk dalam shalat, beliau
menyelipkan kaki kirinya di antara paha dan betisnya dan menjulurkan
kaki kanannya. Beliau meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya
dan meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya serta mengacungkan
jarinya”.
Masih di Shahih Muslim juga, dalam Kitab dan Bab yang sama, di (V/81 no. 1308) disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam jika duduk berdoa saat shalat, beliau mengacungkan jari telunjuknya.
Berikut redaksi lengkap haditsnya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ
قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
قَعَدَ يَدْعُو وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى
وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ
السَّبَّابَةِ وَوَضَعَ إِبْهَامَهُ عَلَى إِصْبَعِهِ الْوُسْطَى
وَيُلْقِمُ كَفَّهُ الْيُسْرَى رُكْبَتَهُ”.
Abdullah bin az-Zubair radhiyallahu’anhuma bertutur, “Tatkala
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam duduk berdoa, beliau meletakkan
tangan kanannya di atas paha kanannya dan tangan kirinya di atas paha
kirinya, serta mengacungkan jari telunjuknya sembari menggandengkan
antara jempol dengan jari tengahnya, dan mencengkeramkan telapak tangan
kirinya ke lututnya”.
Dua hadits di atas menunjukkan -secara global- disyariatkannya
mengacungkan telunjuk saat duduk ketika shalat. Dan dua hadits tersebut
masih bersifat umum, belum menjelaskan secara spesifik, duduk yang mana
yang dimaksud.1
Sebagaimana telah maklum bahwa duduk ketika shalat bermacam-macam.
Ada duduk tasyahud awal, duduk tasyahud tsani, duduk antara dua sujud
dan duduk istirâhah2.
Apakah dua hadits di atas dan yang senada mencakup empat jenis duduk
tersebut, atau yang dimaksud hanyalah duduk tasyahud awal dan tasyahud
tsani?
Ada beberapa hadits sahih yang menunjukkan bahwa duduk yang dimaksud di atas adalah duduk tasyahud, baik awal maupun tsani.
Di antaranya: hadits dalam Sunan an-Nasâ’i, Kitâb
al-Iftitâh, Bâb al-Isyârah bi al-Ushbu’
fî at-Tasyahhud al-Awwal (II/327), dan dinilai sahih oleh
al-Albany dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (V/313 no. 2248). Hadits tersebut berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ
قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
جَلَسَ فِي الثِّنْتَيْنِ أَوْ فِي الْأَرْبَعِ يَضَعُ يَدَيْهِ عَلَى
رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ أَشَارَ بِأُصْبُعِهِ“.
Abdullah bin az-Zubair radhiyallahu’anhuma menceritakan, “Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam manakala duduk di raka’at kedua, atau di
raka’at keempat, beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua
lututnya lalu mengacungkan jarinya”.
Senada dengan hadits di atas, hadits dalam Shahîh Ibn Khuzaimah, Kitâb
ash-Shalat, Bâb Wadh’i al-Fakhidz al-Yumnâ
‘alâ al-Fakhidz al-Yusrâ… (I/367 no. 697),
dengan redaksi berikut:
عن وائل بن حجر قال : “صليت مع النبي صلى
الله عليه وسلم، فكبر حين دخل في الصلاة، ورفع يديه، وحين أراد أن يركع رفع
يديه، وحين رفع رأسه من الركوع رفع يديه ووضع كفيه وجافى يعني في السجود
وفرش فخذه اليسرى، وأشار بأصبعه السبابة يعني في الجلوس في التشهد“.
Wa’il bin Hujur radhiyallahu’anhu mengisahkan, “Aku
pernah shalat bersama Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Beliau bertakbir
sembari mengangkat kedua tangannya saat memulai shalat. Tatkala akan
ruku’ beliau mengangkat kedua tangannya, juga manakala bangkit dari
ruku’. Manakala sujud, beliau meletakkan kedua telapak tangannya dan
melebarkannya. Beliau menjulurkan kaki kirinya dan mengacungkan jari
telunjuknya, yakni tatkala duduk tasyahud”.
Hadits riwayat an-Nasa’i dan Ibn Khuzaimah di atas menunjukkan bahwa
yang dimaksud dengan duduk yang disyariatkan didalamnya mengacungkan
jari telunjuk, bukanlah sembarang duduk, namun yang dimaksud adalah
duduk saat tasyahud, baik awal maupun tsani.
Kaidah ilmu Ushul Fiqh menyatakan “Yuhmal al-Muthlaq ‘alâ al-Muqayyad” (nas yang bersifat global dipahami berdasarkan nas yang bersifat terperinci).
Adapun duduk antara dua sujud, juga duduk istirâhah, maka tidak
disyariatkan mengacungkan telunjuk, sebab tidak adanya dalil yang
menunjukkan praktek tersebut. 3
Namun demikian, barangkali ada pembaca yang berkomentar bahwa ada
ulama yang berpendapat disyariatkannya mengacungkan telunjuk saat duduk
antara dua sujud.4 Argumentasinya: hadits yang diriwayatkan dalam Mushannaf Abd ar-Razzâq, Bâb Takbîrah al-Iftitâh wa Raf’i al-Yadain (II/68 no. 2522), bunyinya:
عن وائل بن حجر قال: “رمقت النبي صلى الله
عليه وسلم … ثم جلس فافترش رجله اليسرى، ثم وضع يده اليسرى على ركبته
اليسرى، وذراعه اليمنى على فخذه اليمنى، ثم أشار بسبابته، ووضع الابهام على
الوسطى حلق بها، وقبض سائر أصابعه، ثم سجد…”.
Wa’il bin Hujur radhiyallahu’anhu bertutur, “Aku
memperhatikan Nabi shallallahu’alaihiwasallam (tatkala shalat) … Beliau
duduk dan menjulurkan kaki kirinya, sembari meletakkan tangan kirinya di
atas lutut kirinya, dan lengan kanannya di atas paha kanannya, lalu
mengacungkan jarinya dan membuat lingkaran dengan mempertemukan ibu
jarinya dengan jari tengah, kemudian beliau sujud.
Zahir hadits di atas menunjukkan bahwa saat duduk antara dua sujud
pun juga disyariatkan mengacungkan telunjuk. Sebab hadits tersebut
menyatakan bahwa setelah mengacungkan jari telunjuk, Nabi shallallahu’alaihiwasallam sujud. Ini menunjukkan bahwa acungan telunjuk tersebut dilakukan di antara dua sujud.5
Jawabnya: hadits tersebut bermasalah dari sisi
keabsahannya. Para pakar hadits menjelaskan bahwa tambahan kalimat
“kemudian beliau sujud” setelah kalimat “mengacungkan jarinya” hanya ada
dalam riwayat Sufyan ats-Tsaury. Dan ini menyelisihi riwayat para
perawi lainnya yang tsiqah (terpercaya) dan jumlah mereka lebih banyak,
di mana mereka tidak menyebutkan tambahan kalimat “kemudian beliau
sujud” setelah kalimat “mengacungkan telunjuknya”. Bahkan banyak hadits
yang menjelaskan bahwa acungan jari tersebut dilakukan setelah sujud
kedua. Di antara para perawi tersebut: Za’idah bin Qudamah, Bisyr bin
al-Mufaddhal, Sufyan bin ‘Uyainah, Syu’bah, Abu al-Ahwash, Khalid,
Zuhair bin Mu’awiyah, Musa bin Abi Katsir dan Abu ‘Awanah.6
Dalam ilmu Musthalah Hadits, jenis riwayat bermasalah seperti
dicontohkan di atas, diistilahkan dengan hadits Syâdz. Definisinya:
riwayat yang dibawakan perawi tsiqah, namun riwayat tersebut menyelisihi
riwayat yang disampaikan para perawi lain yang lebih kuat. Dan hadits
jenis ini dikategorikan dha’if (lemah).7
Kesimpulan:
Mengacungkan telunjuk saat duduk dalam shalat hanya disyariatkan
dalam duduk tasyahud awal dan tasyahud tsani, adapun saat duduk di
antara dua sujud maupun duduk istirâhah maka tidak disunnahkan. Wallahu ta’ala a’lam. (Abdullah Zaen).
@Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 26 R Tsani 1432 / 31 Maret 2011
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, MA
Artikel www.muslim.or.id
Bahan Bacaan:
- Tamâm al-Minnah fî at-Ta’lîq ‘alâ Fiqh as-Sunnah, karya Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albany, Riyadh: Dar ar-Rayah, cet V, 1419/1998.
- Al-Mushannaf, karya Imam Abdurrazzaq ash-Shan’any, tahqiq Habiburrahman al-A’zhamy, Beirut: al-Maktab al-Islamy, cet II, 1403/1983.
- Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, tc, 1425/1995.
- Zâd al-Ma’âd fî Hady Khair al-‘Ibâd, karya Imam Ibn al-Qayyim, tahqiq Syu’aib al-Arna’uth dan Abdul Qadir al-Arna’uth, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, cet III, 1421/2000.
- Shahîh Ibn Khuzaimah, karya Imam Ibn Khuzaimah, tahqiq Dr. Muhammad Mushthafa al-A’zhamy, Beirut: al-Maktab al-Islamy, cet III, 1424/2003.
- Shahîh Muslim bi Syarh al-Imam an-Nawawy, karya Imam Muslim dan Imam an-Nawawy, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Beirut: Dar al-Ma’rifah, cet VI, 1420/1999.
- Sunan an-Nasâ’iy bi Syarh al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthy wa Hasyiyah as-Sindy, Karya Imam an-Nasa’i, as-Suyuthy dan as-Sindy, Beirut: Dar al-Fikr, cet I, 1348/1930.
- Muqaddimah Ibn Shalâh wa Mahâsin al-Ishtilâh, karya Imam Ibn Shalâh dan al-Bulqiny, tahqiq Dr. Aisyah Abdurrahman,Kairo: Dar al-Ma’arif, tc, tt.
- An-Nukat ‘alâ Nuz-hah an-Nazhar fî Taudhîh Nukhbah al-Fikr, karya al-Hafizh Ibn Hajar dan Syaikh Ali bin Hasan al-Halaby, Damam: Dar Ibn al-Jauzy, cet III, 1416/1995.
Duduk istirâhah adalah duduk sejenak
setelah sujud kedua di raka’at pertama dan ketiga sebelum bangkit ke
raka’at kedua dan keempat. Ada sebagian ulama yang memandang bahwa duduk
ini disyariatkan dalam shalat ada pula yang memandang sebaliknya.
Nampaknya pendapat pertama lebih kuat.