Mengenal Hukum Uang Kertas (1)
Ulama ahli
fiqih berbeda persepsi dan sikap menghadapi uang kertas setelah
masyarakat secara umum menggunakannya sebagai alat jual beli, berikut
saya akan menyebutkan secara global pendapat mereka:
Pendapat pertama:
Uang kertas adalah surat piutang yang dikeluarkan oleh suatu negara,
atau instansi yang ditunjuk. Di antara ulama yang berpendapat dengan
pendapat ini ialah syeikh Muhammad Amin As Syanqithy rahimahullah,
Ahmad Husaini dan penulis kitab Al Fiqhu ‘Ala Al Mazahib Al Arba’ah (baca Adwa’ul Bayan oleh asy-Syinqithy 8/500, Bahjatul Musytaaq Fi Hukmi Zakaat al-Auraaq, dan al-Fiqhu ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah 1/605).
Pendapat
ini lemah atau kurang kuat, dikarenakan bila pendapat ini benar-benar
diterapkan, berarti tidak dibenarkan membeli sesuatu yang belum ada
atau yang disebut dengan pemesanan atau salam, karena menurut pendapat
ini akad tersebut menjadi jual-beli piutang dengan dibayar piutang, dan
itu dilarang dalam syari’at Islam.
عن ابن عمر رضي الله عنهما : عن النبي صلّى الله عليه وسلّم : (أنه نهى عن بيع الكالئ بالكالئ). رواه الحاكم والدَّارقطني
“Dari
sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, bahwasannnya beliau melarang jual-beli piutang dengan
dibayar piutang.” (HR. al-Hakim, ad-Daraquthny dan didhaifkan oleh al-Albany).
Walaupun
hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama, akan tetapi larangan
jual-beli piutang dengan pembayaran dihutang telah disepakati oleh para
ulama (baca Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 30/264, I’ilamul Muwaqi’in oleh Ibnul Qayyim 3/340, Talkhishul Habir oleh Ibnu Hajar al-Asqalany 3/26).
Pendapat kedua:
Uang kertas adalah salah satu bentuk barang dagangan. Pendapat ini
dianut oleh banyak ulama madzhab Maliky, sebagaimana ditegaskan dalam
kitab al-Hawi ‘Ala ash-Showy (Al-Hawi ‘Ala ash-Showy Bi Hasyiyati asy-Syarh ash-Shaghir,
4/42-86). Dan di antara yang menguatkan pendapat ini ialah Syaikh
Abdurrahman as-Sa’dy rahimahullah (sebagaimana beliau nyatakan dalam
kitab Fatawa as-Sa’diyyah, hal. 319-324).
Sebagaimana
pendapat sebelumnya, pendapat ini ketika diterapkan dan dicermati
dengan seksama akan nampak berbagai sisi kelemahannya, di antaranya
ialah pendapat ini akan membuka lebar-lebar berbagai praktik riba dan
menggugurkan kewajiban zakat dari kebanyakan umat manusia. Hal ini
dikarenakan uang yang berlaku pada zaman sekarang terbuat dari kertas,
sehingga -konsekuensinya- tidak dapat di-qiyas-kan dengan keenam
komoditi riba di atas. Sebagaimana halnya zakat mal tidak dapat
dipungut dari orang yang kekayaannya terwujud dalam uang kertas,
berapapun jumlahnya, karena kertas bukan termasuk harta yang dikenai
zakat, bila tidak dijadikan sebagai barang perniagaan.
Pendapat ketiga:
Uang kertas disamakan dengan fulus (yaitu alat jual beli yang terbuat
dari selain emas dan perak, dan digunakan untuk membeli kebutuhan yang
ringan. Biasanya terbuat dari tembaga atau yang serupa. Dan biasanya
fulus semacam ini pada masyarakat zaman dahulu, berubah-rubah
pengunaannya, kadang kala berlaku, dan kadang kala tidak), dan pendapat
ini walaupun sekilas terlihat kuat, akan tetapi perbedaan fungsinya
dengan uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang menjadikannya
pendapat yang lemah. Sebab, fulus digunakan untuk membeli barang-barang
yang sepele, berbeda halnya dengan uang kertas yang berlaku pada zaman
sekarang.
Pendapat ketiga ini tidak jauh beda dengan dua pendapat
sebelumnya, yaitu memiliki banyak kelemahan, di antaranya: pendapat
ini tidak selaras dengan kenyataan, sebab uang kertas yang berlaku pada
zaman sekarang ini berfungsi sebagai alat jual-beli, bukan hanya dalam
hal-hal yang remeh dan murah, akan tetapi dalam segala hal, sampaipun
barang yang termahal dapat dibeli dengannya. Tentu fenomena ini
menyelisihi fenomena fulus pada zaman dahulu, yang hanya digunakan
sebagai alat jual-beli barang-barang yang remeh.
Pendapat keempat: Uang
kertas merupakan pengganti uang emas dan perak. Dengan demikian, uang
kertas yang beredar di dunia sekarang hanya terbagi menjadi dua jenis,
yaitu uang kertas sebagai pengganti emas atau perak. Pendapat ini
merupakan pendapat kebanyakan ulama fiqih pada zaman sekarang.
Walau
demikian, pendapat ini tidak sejalan dengan kenyataan, sebab uang
kertas yang beredar di dunia sekarang ini tidak sebagai pengganti emas
dan perak, dan juga tidak ada jaminannya dalam wujud emas atau perak.
Uang kertas berlaku hanya semata-mata diberlakukan oleh pemerintah
setempat, bukan karena ada jaminannya berupa emas atau perak.
Ditambah
lagi, pendapat ini tidak mungkin untuk diterapkan, terutama pada saat
kita hendak tukar menukar mata uang, karena -menurut pendapat ini- kita
harus terlebih dahulu menyelidiki, apakah asal-usul mata uang yang
hendak kita tukarkan, bila sama-sama berasalkan dari uang perak, maka
tidak dibenarkan untuk melebihkan nilai tukar salah satunya, dan bila
berbeda asal-usulnya, maka boleh membedakan nilai tukarnya, walau harus
dengan cara kontan.
Pendapat kelima: Uang kertas
adalah mata uang tersendiri sebagaimana halnya uang emas dan perak,
sehingga uang kertas yang beredar di dunia sekarang ini berbeda-beda
jenisnya selaras dengan perbedaan negara yang mengeluarkannya.
Pendapat
kelima inilah yang terbukti selaras dengan fakta dan mungkin untuk
diterapkan pada kehidupan umat manusia sekarang ini (bagi yang ingin
mendapatkan pembahasan panjang lebar tentang permasalahan hukum uang
kertas, silakan membaca kitab: Al-Waraq an-Naqdy oleh Syaikh Abdullah bin Sulaiman al-Mani’, Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 1 dan 39, dan Zakaat al-Ashum wa al-Waraq an-Naqdy oleh Syaikh Shaleh bin Ghanim as-Sadlaan).
________
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri
Artikel: www.pengusahamuslim.com