Masih terngiang-ngiang dalam ingatan kita ketika dulu zaman masih
sekolah SD atau SMP, kita diajarkan bahwa makna kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” adalah “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Inilah
makna yang selama ini terpatri dalam hati sanubari kita tanpa sedikit
pun kita berfikir tentang kebenaran makna tersebut. Karena memang itulah
yang diajarkan oleh guru-guru kita pada saat masih sekolah dulu dan
yang tertulis atau tercetak dalam buku-buku pelajaran agama kita.
Kesalahpahaman ini tidak hanya dialami oleh masyarakat awam, bahkan
orang-orang yang dikenal sebagai “cendekiawan” muslim pun salah paham
tentang makna kalimat tauhid ini. Buktinya, di antara mereka ada yang
mengartikan “laa ilaaha illallah” sebagai “Tidak ada tuhan (“t” kecil) selain Tuhan (“t” besar)”.
Untuk Apa Kita Membahas Makna Kalimat Tauhid?
Mungkin inilah pertanyaan yang muncul di benak para pembaca berkaitan
dengan pembahasan kita dalam tulisan ini. Ya, untuk apa kita membahas
makna kalimat tauhid? Toh kita sudah mengucapkannya, kita pun
sudah melaksanakan ajaran agama Islam seperti shalat lima waktu, setiap
hari Jumat kita pergi ke masjid untuk shalat Jumat, atau setiap bulan
Ramadhan kita berpuasa.
Perlu diketahui, kalimat “laa ilaaha illallah” adalah rukun
pertama dan rukun yang paling penting sehingga seseorang dapat disebut
sebagai seorang muslim. Karena seorang muslim adalah hamba yang taat dan
tunduk kepada Allah Ta’ala, dan hal itu tidaklah mungkin terlaksana
kecuali dia meyakini dalam hatinya tentang makna kalimat tersebut.
Kalimat tauhid merupakan pokok agama Islam dan sumber kekuatan Islam.
Adapun aqidah dan hukum-hukum Islam yang lain, semuanya dibangun di atas
landasan kalimat tauhid. Kekuatan bangunan Islam tidaklah mungkin kokoh
kecuali bersumber dari kekuatan kalimat tauhid. Apabila landasan
tersebut hancur, maka hancurlah pula Islam seseorang dan tidak akan
tersisa sama sekali. [1]
Yang perlu digarisbawahi juga adalah bahwa kalimat “laa ilaaha illallah” yang
diucapkan oleh seseorang tidak akan bermanfaat kecuali dengan memenuhi
seluruh syarat-syaratnya dan mengamalkan konsekuensinya, baik secara
lahir maupun batin. [2] Hal ini juga sebagaimana ibadah shalat
yang tidak akan sah kecuali dengan memenuhi syarat dan rukunnya, serta
tidak melakukan pembatal shalat.
Di antara syarat persaksian “laa ilaaha illallah” yang harus dipenuhi adalah seseorang harus mengetahui makna kalimat tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah.”[QS. Muhammad : 19]
Begitu juga Allah Ta’ala berfirman,
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui dengan benar (laa ilaha illallah) dan mereka meyakini(nya).” [QS. Az-Zukhruf : 86]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, maka dia akan masuk surga.”[HR. Muslim no. 145]
Dari dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tersebut, para ulama rahimahullah menyimpulkan bahwa salah satu syarat sah “laa ilaaha illallah” adalah seseorang mengetahui makna “laa ilaaha illallah” dengan benar.
Ketika seseorang bertanya kepada Wahab bin Munabbih rahimahullah, “Bukankah kalimat ‘laa ilaaha illallah’ itu adalah kunci surga?” maka beliau rahimahullah menjawab,
بَلَى ،
وَلَكِنْ لَيْسَ مِفْتَاحٌ إِلاَّ لَهُ أَسْنَانٌ ، فَإِنْ جِئْتَ
بِمِفْتَاحٍ لَهُ أَسْنَانٌ فُتِحَ لَكَ ، وَإِلاَّ لَمْ يُفْتَحْ لَكَ
“Benar. Akan tetapi, tidak ada sebuah kunci kecuali pasti memiliki
gerigi. Jika Engkau memasukinya dengan kunci yang memiliki gerigi, maka
pintu tersebut akan terbuka. Namun jika tidak memiliki gerigi, maka
pintu tersebut tidak akan terbuka.” [HR. Bukhari dengan shighat ta’liq di Kitab Al-Janaiz, Bab “Man Kaana Akhiru Kalaamihi Laa ilaaha Illallah”, 5/76]
Lalu, apakah yang menjadi gerigi dari kunci tersebut? Gerigi dari kunci “laa ilaaha illallah” tidak lain adalah syarat-syarat “laa ilaaha illallah.” [3] Dan di antara syarat “laa ilaaha illallah” adalah seseorang memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Makna dari Kalimat “Tidak Ada Tuhan selain Allah”
“Tidak ada Tuhan selain Allah” merupakan makna kalimat “laa ilaaha illallah” yang populer di kalangan kaum muslimin. Dalam hal ini, kata “ilah” diartikan dengan kata “Tuhan”. Namun perlu diketahui bahwa kata “Tuhan” di dalam percakapan bahasa Indonesia memiliki dua makna, yaitu:
Pertama, kata “Tuhan” yang identik dengan pencipta, pengatur,
pemberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang dapat
memberikan manfaat atau mendatangkan madharat. Ringkasnya, kata “Tuhan” di sini dimaknai dengan makna rububiyyah (sifat-sifat ketuhanan).
Kedua, kata “Tuhan” yang berarti sesembahan. Yaitu sesuatu yang menjadi tujuan segala jenis aktivitas ibadah. [4]
Karena terdapat dua makna untuk kata “Tuhan”, maka kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah” juga memiliki dua pengertian, yaitu:
Pengertian pertama, yaitu: “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain Allah.”
Pengertian kedua, yaitu: “Tidak ada sesembahan selain Allah.”
Oleh karena itu, dalam pembahasan selanjutnya kita akan meninjau apakah memaknai kalimat “laa ilaaha illallah” dengan dua pengertian tersebut sudah benar serta berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah?
[Bersambung]
***
@Rumah Lendah, 29 Rabiul Akhir 1440/ 6 Januari 2019
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
Catatan kaki:
[1] Mabaadi’ Al-Islam, hal. 87. Dikutip dari Al-Wala’ wa Al-Bara’ fil Islam, hal. 43.
[2] Lihat At-Tanbihaat Al-Mukhtasharah, hal. 33.
[3] Lihat Al-Wala’ wa Al-Bara’ fil Islam, hal. 23.
[4] Lihat Sucikan Iman Anda, hal. 17; karya guru kami, Ustadz Abu ‘Isa Abdullah bin Salam hafidzahullahu Ta’ala.