Mabuk beragama dalam menyikapi covid
di sini bentuknya adalah mengajak kaum muslimin untuk beribadah ke
masjid, tetapi tidak memandang mudarat yang ditimbulkan di saat kasus
covid-19 meningkat tajam saat ini. Coba renungkan!
Penyikapan Wabah di Masa Silam yang Keliru
Coba baca dulu kisah
ini disebutkan kejadian nyata yang terjadi di masa Ibnu Hajar
Al-Asqalani dan pada masa sebelum beliau, sama-sama dulu pernah terjadi
wabah. Namun salah dalam penyikapan karena berbuat hal yang tidak
diizinkan dalam agama.
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menceritakan dalam Badzlu Al-Maa’uun fii Fadhli Ath-Thaa’uun (hlm. 329), “Aku
coba ceritakan, telah terjadi di masa kami ketika terjadi wabah
ath-tha’un di Kairo pada 27 Rabiul Akhir 833 Hijriyah. Awalnya baru
jatuh korban meninggal di bawah empat puluh. Kemudian orang-orang pada
keluar menuju tanah lapang pada 4 Jumadal Ula, setelah sebelumnya
orang-orang diajak untuk berpuasa tiga hari sebagaimana dilakukan untuk
shalat istisqa’ (shalat minta hujan). Mereka semua berkumpul, mereka
berdoa, kemudian mereka berdiri, dalam durasi satu jam lalu mereka
pulang. Setelah acara itu selesai, berubahlah korban yang meninggal
dunia menjadi 1.000 orang di Kairo setiap hari. Kemudian jumlah yang
jatuh korban pun terus bertambah.”
Di halaman sebelumnya, Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “Adapun
kumpul-kumpul (untuk mengatasi wabah) sebagaimana dilakukan, maka
seperti itu termasuk bid'ah. Hal ini pernah terjadi saat wabah
ath-tha’un yang begitu dahsyat pada tahun 749 Hijriyah di Damaskus. Aku
membacanya dalam Juz Al-Munbijy setelah ia mengingkari pada orang yang
mengumpulkan khalayak ramai di suatu tempat. Di situ mereka berdoa,
mereka berteriak keras. Ini terjadi pada tahun 764 H, ketika itu juga
tersebar wabah ath-tha’un di Damaskus. Ada yang menyebutkan bahwa hal
itu terjadi pada tahun 749 H, di mana orang-orang keluar ke tanah
lapang, masa jumlah banyak ketika itu keluar di negeri tersebut, lantas
mereka beristighatsah (minta dihilangkan bala). Ternyata setelah itu
wabah tadi makin menyebar dan makin jatuh banyak korban, padahal
sebelumnya korban tidak begitu banyak.”
Sindrom “Mabuk Beragama” dalam Menyikapi Corona
Ustadz Fahmi Salim, Lc., M.A. (Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah) menjelaskan berikut ini.
"Umat
Islam saat menghadapi pandemi Covid-19 ternyata ada yang terkena
sindrom “mabuk beragama”. Menganggap kesalehan ibadah hanya bisa
diwujudkan dengan berjamaah di masjid dalam situasi apapun, baik itu
bencana alam, perang, konflik, epidemi atau normal. Pakai kacamata kuda.
"
Padahal Imam Syafi’i saja sangat menghormati profesi dan otoritas
dokter serta mengikuti hasil kajian medis dalam fatwa-fatwanya.
Imam Asy-Syafi’i menjelaskan pentingnya ilmu kedokteran. Beliau berkata,
لاَ أَعْلَمُ عِلْمًا بَعْدَ الحَلاَلِ وَالحَرَامِ أَنْبَلُ مِنَ الطِّبِّ إِلاَّ أَنَّ أَهْلَ الكِتَابِ قَدْ غَلَبُوْنَا عَلَيْهِ
“Saya
tidak mengetahui sebuah ilmu -setelah ilmu halal dan haram- yang lebih
berharga yaitu ilmu kedokteran, akan tetapi ahli kitab telah
mengalahkan kita.” [Siyar A’lam An-Nubala, 8/528, Darul Hadits]
Imam Syafi’i juga menekankan bahwa di antara ilmu dunia, ilmu kedokteran salah satu yang paling penting. Beliau berkata,
إِنَّمَا العِلْمُ عِلْمَانِ: عِلْمُ
الدِّيْنِ، وَعِلْمُ الدُّنْيَا، فَالعِلْمُ الَّذِي لِلدِّيْنِ هُوَ:
الفِقْهُ، وَالعِلْمُ الَّذِي لِلدُّنْيَا هُوَ: الطِّبُّ
“Ilmu itu ada dua: ilmu agama dan ilmu dunia, ilmu agama yaitu fiqh (fiqh akbar: aqidah, fiqh ashgar: fiqh ibadah dan muamalah, pent). Sedangkan ilmu untuk dunia adalah ilmu kedokteran.” [Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 244, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah]
Imam Syafi’i membuat ungkapan sebagai berikut:
لَا تَسْكُنَنَّ بَلَدًا لَا يَكُوْنُ فِيْهِ عَالِمٌ يُفْتِيكَ عَن دِينِك، وَلَا طَبِيبٌ يُنْبِئُكَ عَنْ أَمْرِ بَدَنِك
“Janganlah
sekali-kali engkau tinggal di suatu negeri yang tidak ada di sana ulama
yang bisa memberikan fatwa dalam masalah agama, dan juga tidak ada
dokter yang memberitahukan mengenai keadaan (kesehatan) badanmu.” [Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 244, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah]
Kasihan sekali, banyak umat jadi
tertinggal akibat sikap ulamanya yg hanya memandang sisi keutamaan
ibadah tanpa memperhatikan aspek Sunnatullah dalam bidang medis. Kalau
Imam Syafii hidup saat ini pasti beliau akan terlepas diri dari
fatwa-fatwa ulama yg mabuk agama dan abai terhadap Sunnatullah.
Wallahu a’lam.
Sumber: mediamu.id, hajinews.id
Shalat Berjamaah dengan Menjaga Jarak Bukanlah Bid’ah dan Menyelisihi Manhaj
Syaikh Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah menyatakan, “Baris
shaf itu disunnahkan saling berdekatan jarak antara shaf depan dan
belakang, sekadar jarak di mana seseorang bisa sujud dalam shalat.
Namun, jika dibutuhkan, dikhawatirkan akan penyakit menular, atau sebab
lainnya, shaf depan dan belakangnya dibuat lebih lebar. Jika ada yang
shalat sendirian di belakang shaf, itu juga dibolehkan ketika mendesak.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah sendiri menganggap bahwa membentuk satu
baris shaf (al-mushaffah) itu wajib. Namun, beliau rahimahullah
membolehkan tidak dibuat barisan shaf ketika mendesak. Contoh keadaan
mendesak di sini adalah adanya penyakit menular. Akhirnya ada yang
melaksanakan shalat sendirian di belakang shaf, shalat seperti itu sah.
Jika tidak kondisi mendesak,
barisan shaf mesti dibentuk. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dari hadits ‘Ali bin Syaiban, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya.” (Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 17).
Memakai Masker Saat Shalat Berjamaah
Memakai masker saat shalat berjamaah saat pandemi covid-19 dibolehkan karena ada hajat (kebutuhan).
Shalat Jumat Saat Kasus Covid Meningkat
Jika shalat Jumat
ditiadakan karena kondisi wabah corona yang semakin menyebar, shalat
Jumat diganti shalat Zhuhur sebanyak empat rakaat.
Kuatkan Diri dengan Doa dan Dzikir Saat Kasus Covid Meningkat
Jangan Mudah Menyebarkan Berita yang Tidak Jelas, Bukan dari Pakarnya
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا
بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat: 6).
Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim berkata, “Allah
Ta’ala memerintahkan untuk melakukan kroscek terhadap berita dari orang
fasik. Karena boleh jadi berita yang tersebar adalah berita dusta atau
keliru.”
Hanya Allah beri taufik dan hidayah.
—
Ahad pagi, 23 Dzulqa’dah 1442 H
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Sumber
https://rumaysho.com/28661-sindrom-mabuk-beragama-dalam-menyikapi-meroketnya-kasus-covid.html?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+rumaysho%2FrFAC+%28Feed+Rumaysho.com%29