Kaum moderat adalah sebuah madzhab baru di
abad ini. Mereka bertujuan menghidupkan kembali pemikiran-pemikiran Khawarij
dan Mu’tazilah. Kelompok yang satu ini dipelopori oleh sekelompok penulis
muslim yang memusatkan kemampuannya untuk menyelisihi para ulama dan imam
salaf. Mereka menganggap bahwa diri mereka mempunyai hak untuk berijtihad
dalam menafsirkan dan mena’wil. Mereka mengatakan : “Jika orang-orang terdahulu adalah ulama,
maka kami pun ulama juga”.
Pemikiran-pemikiran semacam ini, semenjak
permulaan abad ini, muncul secara tidak terang-terangan. Sebab, mereka khawatir
mendapat pertentangan yang teramat berat. Namun, untuk masa sekarang ini,
setelah mendapat dukungan dana dan kekuasaan, mereka berani melontarkan beragam
pemikiran busuknya. Kelompok ini merupakan segolongan orang yang memiliki
berbagai pemikiran yang tidak ada kaitan serta ikatan antara satu dengan
lainnya. Mereka terdiri dari para da’i, pemikir, intelektual, budayawan, dan
wartawan.
Timbulnya pemikiran kaum moderat ini
bermula pada pertengahan abad ke-19 di India. Pelopornya Sir Ahmad Khan,
seorang pegawai pada pemerintahan Inggris. Dia seorang pengagum berat terhadap
tradisi, budaya, dan akhlak bangsa Inggris. Dakwahnya didasarkan pada 3 faktor
berikut :
- Menafsirkan
Al-Qur’an selaras ilmu modern dan filsafat.
- Menjauhkan
sunnah nabawiyyah dan menolak
semua sunnah yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
- Menghancurkan
dan melecehkan ilmu ushul-fiqh dan membuka pintu ijtihad dengan hanya
menggunakan akal semata.
Dengan demikian, dia telah meletakkan batu
pertama dalam menafsirkan Al-Qur’an secara modern. Penafsiran yang dimaksud,
yaitu disesuaikan dengan hukum alam (qawanin ath-thabi’ah) berdasarkan
pemahaman masyarakat pada jamannya. Misal, dia menafsiri kisah tentang Nabi
Adam ‘alaihis-salaam dengan metode teori Darwin. Selain itu, dia meyakini bahwa
ada mukjizat yang tidak dapat diraba (hissi) dan menggambarkan bahwa malaikat
itu merupakan kekuatan alami, sedangkan kenabian adalah bakat yang tumbuh
dengan sendirinya bila disertai kesungguhan dari dirinya.
Selanjutnya dia menafsirkan pula
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membagi :
- Khusus
hanya untuk urusan agama.
- Khusus
hanya untuk urusan dunia.
Pernyataan kedua ini bukan merupakan tugas
para Rasul. Dengan demikian dia tidak mau mengakui hukum rajam, membolehkan
riba, membatasi nikah tidak lebih dari satu, dan tidak mau mengakui ijma’ sebagai
sumber syari’at. Dia juga berpendapat bahwa fiqh merupakan karya manusia yang
terbatas pada zamannya dan mengumandangkan agar pintu ijtihad dibuka
lebar-lebar tanpa membatasi peranan akal. [Lihat,
Mafhum Tajdiid Ad-Diin, Busthami Sa’id, Daar Ad-Da’wah, Kuwait, hal. 123-131;
Daar B.A., Religion Thought of SA. Khan, Lahore, 1957, hal. 160-273].
Modernisasi dan ‘Aqidah
Bahaya yang secara langsung mengancam
Islam, yakni datang dari mereka yang bersembunyi di balik dakwah modernisasi.
Dakwah yang dilancarkan oleh mereka tertipu oleh kepalsuan paham itu sendiri
yang menyesatkan kaum muslimin dari jalan yang lurus.
Orang-orang yang kagum dengan pemikiran
“modern” berkiblat dan mencintai kebudayaan Barat. Mereka memalingkan nash-nash
agar mencocoki keadaan masyarakat Barat yang mereka puja tersebut. Di satu
sisi, pemikiran Barat itu sendiri terkontaminasi oleh berbagai teori pemikiran,
diantaranya teori Darwin. Selanjutnya, Durkheim memunculkan teori
sosiologisnya, Sigmund Freud dengan libido seksual-nya dalam bidang psikologi,
dan Karl Marx dengan paham materialismenya.
Paham demikian tersebar dengan begitu saja
di kalangan kaum muslimin tanpa ada perlawanan berarti. Sesungguhnya penyebaran
ide semacam itu dengan kedok modernisasi merupakan ancaman yang sangat
berbahaya bagi masa depan umat. Untuk itu, wajib untuk senantiasa waspada
terhadap ‘modernisasi’ sebelum bertambah parah keadaannya. Dan pula gelombang
materialisme Barat pun senantiasa menerjang hingga bisa menghapuskan keimanan
dan keislaman seseorang. Dalam keadaan yang menyedihkan seperti ini, sungguh
sangat disayangkan terhadap sebagian umat Islam yang mengambil ilmu serta
budaya Barat dengan tanpa mempertimbangkan baik buruknya, sementara di sisi
lain dia meninggalkan warisan Islam nan luhur.
Di antara mereka ada yang menafsirkan
bahwa malaikat adalah kekuatan alami. Pendapat demikian dilontarkan semata-mata
agar bisa diterima secara akal. Mereka juga ada yang menghalalkan riba dan
khamar hanya dengan alasan darurat. Dengan demikian, tanpa disadari mereka
sebenarnya telah hanyut ke dalam budaya Barat yang menghalalkan segala cara.
Pada akhirnya, tak ada lagi Islam di hati mereka kecuali hanya tinggal nama.
Berikut, salah satu contoh pemikiran
berbahaya dari aliran yang berkedok ‘modernis’ yang tak lain menyadap pemahaman
kaum Mu’tazilah. Seperti, dalam menafsirkan ayat :
وَقُلْنَا يَا آَدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ
وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا
هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ * فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ
عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ
لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ
“Dan Kami berfirman : "Hai Adam,
diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang
banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon
ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. Lalu keduanya
digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula
dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang
lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai
waktu yang ditentukan" [QS. Al-Baqarah : 35-36].
Syaikh Muhammad ‘Abduh menafsirkan ayat
ini, bahwa yang dimaksud surga di situ adalah sebuah kebun yang berada di
sebuah bukit [Al-A’malu
Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh]. Penafsiran semacam ini adalah penafsiran model Mu’tazilah dan Qadariyah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qurthubi [Lihat Tafsir Ibni Katsir I, hal 116]. Begitu pula dengan Muhammad Iqbal, dia
terpengaruh pemikiran semacam ini dengan menafsirkan surga Nabi Adam yang ada
di dalam Al-Qur’an adalah suatu tempat kehidupan sederhana yang terputus dari
lingkungan sekitar, namun terpenuhi segala fasilitasnya. Dari penafsiran ini
dikatakannya, bahwa kisah turunnya Adam ke bumi, dalam Al-Qur’an, tidak ada
hubungannya dengan munculnya manusia pertama di muka bumi [Tajdiid Al-Fikr Ad-Diin fil-Islaam, Muhammad Iqbal].
Begitu pula dalam menafsirkan surat
Al-Fiil, Muhammad ‘Abduh masih memakai pola yang sama. Katanya : “….Di hari kedua, tentara Abrahah terjangkiti
penyakit cacar. ‘Ikrimah mengatakan, bahwa penyakit ini pertama kali muncul di
negeri ‘Arab. Ya’qub bin ‘Utbah menyatakan tentang kejadian ini, bahwa pada
tahun itu cacar menyerang ke seluruh tubuh mereka hingga hancur tubuh itu.
Kemudian Abrahah dan sebagian tentaranya menyingkir dari tempat tersebut dan
banyak diantaranya yang mati” [Al-A’malu Al-Kamilah, Muhammad
‘Abduh, jilid III, hal 473].
Latar belakang penafsiran semacam ini
dalam rangka agar diterima oleh pola pikir masyarakat Barat. Padahal, Allah
ta’ala telah secara jelas menyebutkan pengertian ayat tersebut yang tentu saja
tidak memerlukan kepada ta’wil. Firman-Nya :
تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ
“Yang melempari mereka dengan batu dari
tanah yang terbakar” [QS. Al-Fiil : 4].
Bila dilihat dalam kitab tafsirnya,
niscaya akan banyak ditemukan pemikiran Muhammad ‘Abduh yang semacam itu. Hal
itu tak mengherankan, sebab pemikirannya banyak dipengaruhi oleh orientalis,
yakni saat dirinya menetap di Perancis. Hubungan tersebut tetap terjalin meski
dirinya telah berpindah ke Mesir, baik melalui surat-menyurat atau saling
kunjung-mengunjungi. Tatkala dirinya menjabat sebagai mufti di Mesir, dia
pernah pula dikunjungi oleh orientalis. Dia juga menjalin hubungan yang cukup
erat dengan seorang hakim berkebangsaan Inggris di Mesir, yaitu Lord Kramer.
Hal itu bukan merupakan sesuatu yang rahasia lagi. [Lihat Waqi’unal-Mu’ashir, Muhammad Quthb, hal. 310-315].
Sebagaimana telah diketahui, bahwa pada
masa itu masyarakat Barat merupakan masyarakat yang masih dalam suasana
keterlepasan dari pengaruh kediktatoran gereja. Pada masa itu, di masyarakat
Barat, akal tengah diagungkan. Oleh karenanya, Muhammad ‘Abduh berusaha
membuktikan bahwa Islam selaras dengan akal. Atau dengan kata lain Islam itu
rasional. Adapun jika terdapat pertentangan akal dengan naql (Al-Qur’an dan
As-Sunnah), Muhammad ‘Abduh mengatakan : “Kaum muslimin telah bersepakat – dan hanya sedikit
yang menyelisihi – apabila akal bertentangan dengan naql, maka akal-lah yang
didahulukan” [Al-A’mal Al-Kamilah, Muhammad ‘Abduh, jilid 3, hal.
282]. Dengan kaidah dan
pemikiran seperti ini, Syaikh Muhammad ‘Abduh menolak seluruh mukjizat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kecuali Al-Qur’an Al-Kariim.
Sedang tokoh lainnya saat ini adalah Dr.
Muhammad ‘Imarah yang mengatakan dalam bukunya Tayyarat
Al-Fikr Al-Islamiy, halaman 87-88, bahwa secara kelompok dan
golongan, Mu’tazilah telah sirna di muka bumi. Akan tetapi, secara pemikiran, Mu’tazilah telah
begitu berpengaruh terhadap kelompok atau golongan lainnya. Hingga,
pemikirannya sangat melekat dan berkembang di benak orang-orang Arab dan kaum
muslimin. Dia juga mengetengahkan, bahwa akal di kalangan mereka mempunyai
kedudukan yang sangat tinggi. Kemudian dia mengatakan : “Demikianlah Mu’tazilah, mereka adalah para
bintangnya ahli-ahli pikir, agama, dan revolusi ! Sesungguhnya mereka telah
menjadikan filsafat, pikiran, dan kemajuan sebagai landasan ilmu pengetahuan
dan sebagai pengganti warisan kuno…”.
Kita akan menjumpai pula seorang penulis,
seperti Syaikh Muhammad Al-Ghazali, yang telah menjadikan manhaj ‘aqlani
(mengutamakan akal daripada nash) dalam buku karangannya. Nampak dalam banyak
tulisannya, ia memberikan kebebasan pada akal secara berlebih. Tidak cukup
baginya, jika akal hanyalah sebagai tempat untuk ber-istinbath saja. Akan
tetapi, ia menjadikan akal sebagai alat untuk mempengaruhi dan membantah
(hadits shahih – Red.). Hal ini menyerupai manhaj Mu’tazilah. [Al-Ghazali fii Majlisi Al-Inshaaf, hal. 83, oleh
Syaikh ‘Aidl Al-Qarniy[1]].
Manhaj ‘aqlani ini benar-benar tersebar di
berbagai bukunya, terutama dalam bukunya yang mendzalimi ilmu dan ahlinya,
yaitu yang berjudul As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina Ahli Fiqh wa Ahli Hadits.
Telah nampak secara jelas bahwa ia telah melakukan kezaliman terhadap sunnah
dan ahlinya. Hal ini dapat diketahui dari buku-buku bantahannya, seperti Hiwarun Hadi Ma’a Al-Ghazaliy oleh Syaikh Salman
Al-Audah.[2]
Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya ini
Nampak dengan jelas bahwa ia telah meletakkan manhaj baru dalam pemikiran
keislaman, yakni menjadikan akal sebagai mazhab baru. Pemikiran Al-Ghazali ini
telah merusak dan menghancurkan kaidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dalam
menyeimbangkan akal dan naql [Azmah Hiwar Ad-Diin, Jamal Sulthan, hal. 29].
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi petunjuk kepadanya. Adapun kesimpulan
dari pemikirannya : “Jika
ada sebuah hadits yang menyelisihi (bertentangan) dengan pemikiran manusia,
maka ia berhak menolak dan melempar sejauh-jauhnya, bagaimanapun sanadnya dan
siapapun yang menshahihkannya serta menguatkannya, walaupun para ulama dan para
imam kaum muslimin sekalipun” [Azmah Al-Hiwar Ad-Diin, Jamal
Sulthan, hal. 29].
Al-Ghazali mengatakan : “Hendaklah diketahui, apabila akal menghakimi
sesuatu itu batil, maka hal itu mustahil untuk menjadi agama…. Agama yang benar
adalah kemanusiaan yang sempurna. Kemanusiaan yang sempurna adalah akal yang
mengendalikan kebenaran, ilmu yang cemerlang, yang benci kepada khurafat, yang
menjauhi khayalan…. Dan kita selalu mengokohkan pendapat, bahwasannya setiap
hukum yang ditolak akal, setiap perbuatan yang tidak diterima oleh seorang yang
sehat akan ditentang oleh fitrah yang lurus, mustahil untuk menjadi agama ! [Majalah Adl-Dlaha’,
Qatar, edisi 101/Rajab 1404 H].
Inilah kalimat-kalimat yang sangat membahayakan.
Bukan hanya muncul dari manhaj ‘aqlani, akan tetapi lebih jauh dari itu. Oleh
karena itu, kita sering jumpai Al-Ghazali menolak (dengan penuh keberanian)
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dan tsabit, hanya
karena tidak sesuai dengan akalnya !
Di antara hadits-hadits shahih yang
ditolak ialah : menangisnya seseorang kepada si mayit, hadits-hadits yang
berkenaan kisah malaikat maut dan Musa, hadits tentang shalat wanita di masjid,
dan hadits terputusnya shalat. [Lihat Kasyfu Mauqif
Al-Ghazali minas-Sunnah wa Ahluha, Syaikh Rabi’ bin Hadi].
Seluruh hadits yang ditolaknya merupakan
hadits shahih dan sebagian besar tercantum dalam Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim. Masih banyak lagi penolakannya terhadap hadits-hadits shahih seperti
ini.
Kita berpindah kepada seorang yang bernama
Muhammad Ahmad Khalfullah. Ia mengatakan : “Sesungguhnya kehidupan manusia di atas bumi tidak
memerlukan lagi peraturan yang datangnya dari langit (wahyu) sebab manusia
sudah sampai pada tingkat kedewasaan berpikir. Selain itu, manusia telah dapat
mengatur dirinya sendiri” [Ghazwun min Ad-Dakhil, Jamal
Sulthan, hal 51].
Dia berpendapat bahwa wahyu dan kenabian
itu mengekang dan membekukan akal manusia. Oleh karena itu dengan berakhirnya
peraturan kenabian adalah sebagai sarana untuk memberikan kebebasan akal
manusia dari belenggu peraturan yang datangnya dari langit. [Lihat bukunya yang berjudul Al-Usus Al-Qur’aniyyah li
At-Taqaddum, hal. 4].
Selain nama tokoh-tokoh di muka, ada pula
seorang penulis yang bernama Dr. Husain Ahmad Amin. Dia anak dari Ahmad Amin,
pengarang Fajr Al-Islam dan Dluha Al-Islam dan lain-lain. Ayahnya mengirimnya
ke Barat untuk menimba ilmu. Jadi ia dibesarkan dalam pangkuan Barat. Tatkala
kembali ke negara asalnya, dia membawa pemikiran Barat dan berkeinginan untuk
menghancurkan agama. Dia banyak menulis banyak artikel beracun, diantaranya
artikel-artikel yang ditulis di Majalah Al-‘Arabi yang terbit di Kuwait. Dia mengatakan dalam salah satu artikelnya,
bahwa hukuman bagi seorang pencuri di zaman ini berbeda dengan hukuman di
lingkungan Baduy. Selain itu, dia katakan juga, bahwa perintah wajib hijab
hanya turun di Madinah, dan saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan
kota Kairo abad ke-20; sedangkan hukuman potong tangan bagi pencuri sebagaimana
ditetapkan Al-Qur’an adalah syariat badawiyyah, seperti halnya meyakini qadla
dan qadar ! [Dinukil dari Asatir Al-Mu’ashirin, Ahmad ‘Abdurrahman.
Hal. 152].
Begitu pula dengan Syaikh Muhammad
Al-Ghazali. Dia memakai pula istilah fiqh al-Baduy dalam bukunya As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina Ahli Fiqh wa Ahli Hadits. Tujuannya: mengejek ulama sunnah yang
memegang teguh manhaj Islam yang benar. Slogan-slogan seperti ruh keislaman,
toleransi, tidak fanatik, merupakan slogan yang selalu digembar-gemborkan oleh
orang-orang ‘aqlani. Slogan-slogan di atas memang bisa dibenarkan, akan
tetapi disalahgunakan oleh mereka !.
Dr. Hasan At-Turabi, yang namanya sedang
melambung lantaran pengaruhnya dalam pemerintahan Sudan yang menerapkan syariat
Allah. Dalam hal ini (keinginan untuk menegakkan hukum Allah di tanah Sudan)
merupakan kabar gembira bagi kaum muslimin. Akan tetapi, pemikiran At-Turabi
melalui ceramah dan karya-karyanya sangat menyimpang dari ajaran Allah dan
Rasul-Nya. Dia mengatakan – semoga Allah memberi petunjuk padanya – dalam
bukunya Tajdid Al-Fikr Al-Islamiy hal. 26 : “Satu-satunya marja’ (rujukan) asasi yang harus
dikembalikan kedudukannya sebagai landasan yang penting adalah akal…!”.
Dengan pemikiran ‘aqlani seperti ini,
secara tidak langsung dia mengatakan bahwa menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah
sebagai satu-satunya pedoman tidaklah cukup untuk memenuhi kehidupan manusia.
Dalam buku yang sama, hal. 25, dikatakan: “Di antara yang menghambat kemajuan kaum
muslimin saat ini lantaran adanya orang yang mengatakan : ‘Cukup bagi kami
Al-Qur’an dan As-Sunnah’. Inilah khayalan. Untuk itu para ulama dan fuqahaa
harus bangkit untuk menghasilkan fiqh baru untuk keadaan yang baru”.
Apa yang dimaksud At-Turabi dengan fiqh
baru? Apakah keluar dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak ada ikatan dengan
keduanya? Atau fiqh baru tersebut bersumber dari keduanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah)?
Jika yang pertama yang diinginkan, maka harus ditolak secara mentah-mentah !
Sebab, hal itu merupakan pintu menuju kemurtadan. Kita memohon kepada Allah
keselamatan. Jika yang kedua yang dimaksud, yakni bersumber pada kitab Allah
dan Rasul-Nya, maka hal itu akan membatalkan ucapannya yang terdahulu. [Lihat Al-‘Aqlaniyyun Afrakhu Al-Mu’tazilah
Al-‘Ashriyyun, hal. 68-69, Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Atsary].
Saat ceramah di Universitas Khartoum,
Sudan, dengan tema Tahkim Asy-Syari’ah, ia mengatakan : “Saya ingin menyampaikan bahwa dalam lingkup
negara yang telah bersatu dibolehkan bagi seorang muslim dan juga seorang
Masehi (Nashrani) untuk merubah agamanya” [Lihat buku Ash-Sharim
Al-Maslul fii Radd ‘alaa At-Turabi Syaatimu Ar-Rasul, hal. 12, Ahmad bin Malik]. Na'udzubillahi min dzalik.
At-Turabi juga telah mengingkari dengan
uslub-nya yang ‘aqlani mengenai hukum rajam. Dia menetapkan bagi seorang yang
minum khamr antara 20-40 kali cambukan. Atau orang tersebut dipenjara tidak
lebih dari satu bulan dan didenda dengan denda yang tidak ada artinya. [Idem].
Al-‘Allamah Syaikh ‘Ali bin Hasan bin
‘Abdil-Hamid Al-Halabi Al-Atsary dalam Al-‘Aqlaniyyun
Afrakhul-Mu’tazilah Al-‘Ashriyyun hal. 71, mengatakan : “…..dan untuk menguatkan pernyataan terdahulu, guna menyingkap
rahasia serta menambah keterangan seperti apa yang dikatakan Muhammad Surur
Zainal-‘Abidin dalam bukunya Dirasaat fii Sirah Nabawiyyah hal. 308, yakni
berkenaan pengalaman dirinya bersama At-Turabi (yang mengatakan dalam buku
tersebut), bahwa Dr. Hasan At-Turabi telah mengingkari turunnya Nabi ‘Isa
‘alaihissalam di akhir zaman nanti. Saya katakan kepadanya, ketika saya berada
di satu majelis lebih dari sebelas tahun yang lalu : ‘Bagaimana bisa
engkau mengingkari hadits mutawatir?’. At-Turabi menjawab : ‘Saya tidak meragukan hadits ini dari sisi
sanadnya, tetapi saya berpendapat, hadits ini bertentangan dengan akal,
sehingga akal harus didahulukan dari nash bila terjadi pertentangan !”.
Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Atsary mengatakan
dalam bukunya di muka (hal. 72-74) berkenaan Dr. Yusuf Al-Qaradhawi : “Dengan menyesal saya katakan, bahwa
pemikiran ‘aqlani terkadang nampak di sebagian karya Yusuf Al-Qaradhawi meski
disampaikan dengan uslub (cara) terselubung dan kata-kata yang halus, seperti
halnya Muhammad Al-Ghazali. Walaupun, hadits-hadits yang disebutkan
Al-Qaradhawi, kadang ditolak dan diingkari Muhammad Al-Ghazali. Dalam hal ini
keduanya mempunyai perbedaan dalam dua sisi :
- Yusuf
Al-Qaradhawi lebih berilmu dan lebih mengerti tentang kaidah-kaidah
fiqhiyyah daripada Al-Ghazali, dan dia lebih dekat kepada manhaj ilmiah
yang benar.
- Hadits-hadits
yang secara terang-terangan ditolak oleh Al-Ghazali, maka Al-Qaradhawi
hanya bersikap tawaqquf (mendiamkannya), kemudian ia menyebutkan
haditsnya.
Sikap Al-Qaradhawi semacam ini menghasilkan
sikap yang sama dengan Al-Ghazali, cuma dalam hal ini, Muhammad Al-Ghazali
caranya kasar dalam menolak hadits.
Uslub ‘aqlani Dr. Yusuf Al-Qaradhawi bisa
dilihat dalam bukunya Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyyah?. Salah satu
contoh pemikiran ‘aqlani-nya adalah sikap tawaquf-nya berkenaan dengan hadits yang
tercantum dalam kitab Shahih Muslim dari Anas, bahwa Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengatakan kepada seorang lelaki: “Sesungguhnya ayahku dan
ayahmu di dalam neraka” [Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah
Nabawiyyah, hal 97].
Kadang, pendapatnya condong kepada takwil
yang menyimpang dari nash itu sendiri, seperti yang dilakukannya ketika
menyikapi hadits riwayat muttafaqun ‘alaihi, yaitu :
الْمَوْتُ يُؤْتَى عَلَى هَيْئَةِ كَبْشٍ
أَمْلَحٍ
“Kematian itu didatangkan dalam bentuk
seekor domba yang berwarna kehitaman…”. [Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyyah, hal. 160].
Dia pun masih menyatakan keheranannya
kepada orang-orang yang selalu membawa-bawa hadits tentang lalat atau tentang
Nabi Musa ‘alaihis-salaam yang telah menempeleng Malaikat Maut. Dan masih
banyak lagi hal yang seperti ini di dalam bukunya.
Demikianlah beberapa contoh pemikiran
Mu’tazilah yang telah dikemukakan beberapa pemikir dari Timur Tengah. Adapun di
Indonesia, Nurcholish Madjid, bisa disebut sebagai salah seorang tokohnya.
Berikut ini diantara beberapa pemikirannya :
1. Alumni Chicago ini
mengklaim bahwa Islam yang disebutkan dalam Al-Qur’an bukan nama suatu agama,
tapi maksudnya berserah diri kepada Tuhan.
2. Sikap sangat
keberatannya terhadap kalimat haniifan musliman (tentang Nabi Ibrahim) untuk
diartikan Nabi Ibrahim ‘alaihis-salaam adalah seorang muslim, kendati ayat itu
dengan tegas menyebut musliman. [Dinukil dari dokumentasi
kliping Paramadina Cak Nur in Fokus pasca ceramah budaya di Taman Ismail
Marzuki, 21 Oktober 1992. Sumber : Tempo, Editor, Amanah, Panjimas, Matra,
Media Dakwah, Pelita, Harian Terbit, Salam, Fokus].
Masih banyak lagi pemikiran-pemikiran yang
dinilai, menurut kacamata Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, sangat menyimpang sehingga
tidak heran jika ia mendapat kecaman keras serta tuduhan berbagai macam dari
seluruh lapisan masyarakat.
Dengan demikian hendaknya kita selalu
waspada agar jangan sampai terjerumus ke dalam pemikiran-pemikiran sesat seperti
ini. Jangan terkecoh hanya dengan kemasan “intelektualisme”. Jadikan Al-Qur’an
dan As-Sunnah sebagai timbangan dalam menerima dan menolak (setiap pemikiran –
Red.).
Mata rantai generasi ‘aqlani ini terus
berlangsung sampai saat ini. Sedang nama-nama mereka banyak sekali yang belum
terungkap. Walau demikian, mereka bersifat congkak, tajam lisannya, dan kasar
perkataannya. Apabila mereka membaca atau menulis, seakan-akan tidak ada
kebenaran sama sekali kecuali datang dari mereka. [Kitab ‘Aqlaniyyun Afrakhu
Al-Mu’tazilah Al-‘Ashriyyun].
Sesungguhnya Rabb-ku
Mewahyukan Kebenaran
Orang-orang moderat tidak berpegang teguh
pada ushul yang merupakan manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah di dalam masalah
tafsir, hadits, dan fiqh. Mereka menafsirkan Al-Qur’an berbeda dengan
penafsiran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa dalam menafsirkan
Al-Qur’an harus selaras dengan beliau? Karena beliau lah satu-satunya orang
yang paling mengerti tentang Al-Qur’an; dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri berfungsi sebagai penafsir Al-Qur’an. Barangsiapa yang memahami
Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan yang diajarkan Rasul shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, maka dia tergolong orang-orang salaf (salafy). Barangsiapa yang
berpegang kepada jalan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, yang menjaga keutuhan
pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah, berarti dia sunniy salafy. Adapun kaum yang
mengaku dirinya moderat, tidaklah mereka berpegang teguh kepada Al-Qur’an,
kecuali dengan pemahaman yang bersifat umum. Satu-satunya pedoman mereka adalah
akal untuk menyesuaikan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan keadaan jaman. Mereka
tidak meletakkan As-Sunnah sebagai suatu landasan dalam membuat undang-undang,
hukum, dan ketetapan dengan landasan bahwa hal ini produk Muhammad selaku
manusia biasa yang tidak ma’shum. Oleh karena itu, tidak patut diteladani,
kecuali dalam perkara yang sumbernya dari wahyu. Sungguh, tidak ada individu
atau kelompok yang menolak hadits (hadits ahad, khususnya) sejak dahulu kala,
kecuali Khawarij dan Mu’tazilah.
Dahulu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam telah mengutus para shahabat secara ahad (individu), dan perintah beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dalam masalah puasa Ramadhan pada suatu kaum
dengan riwayat ahad. Kaum muslimin pada saat itu pun menerima berita tanpa
disertai keraguan dan pengingkaran terhadap kabar tersebut. Mereka menjadikan
perintah tersebut sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Adapun Imam Ahmad
berpendapat, bahwa hadits ahad memberikan pengetahuan yang meyakinkan dan tidak
ada yang menyelisihinya, kecuali Mu’tazilah dan Khawarij pada kurun waktu
seratus tahun setelah hijrah.
Seperti kita ketahui bahwa Mu’tazilah
adalah suatu kelompok yang mendahulukan akal daripada nash. Hal ini tidaklah
luput dari peran serta yang menghiasi pemikiran mereka dengan kebudayaan Yunani
yang bercampur dengan kebudayaan Nasrani. Mereka mengatakan, berdasarkan ucapan
Aristoteles bahwa Tuhan telah menciptakan alam semesta ini, kemudian dibiarkan
begitu saja dan tanpa campur tangan dari-Nya.
Dari pengaruh itu mereka mengutamakan akal
daripada nash dan mentakwilkan nash-nash hingga rusak. Gerakan mereka dilakukan
secara diam-diam. Hal itu dilakukan hingga mereka mendapat kekuasaan di zaman
Ma’mun bin Harun Al-Rasyid. Ma’mun Harun Al-Rasyid ini pun merupakan penganut
Mu’tazilah. Dia turut andil bagi tersebarnya fitnah tentang pemahaman bahwa
Al-Qur’an itu makhluk. Hingga, dari fitnah tersebut, berakibat timbulnya
berbagai intimidasi terhadap para penganut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Termasuk
di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal yang mengalami siksaan dan meringkuk dalam
penjara selama kurang lebih tujuh belas tahun.
Rasul shallallaahu ‘alaihi
wa sallam Teladan Kita
Menjadikan sunnah sebagai hujjah dalam
urusan dunia adalah dalil mutawatir dalam Al-Qur’an. Allah berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” [QS. Al-Hasyr : 7].
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ
أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang
menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 65].
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ
اللَّهَ
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah mentaati Allah” [QS. An-Nisaa’ : 80].
‘Umar radliyallaahu ‘anhu mengatakan : “Akan datang pada kalian suatu kaum yang
mendebatkan syubhat yang ada di dalam Al-Qur’an. Maka bantahlah mereka dengan
sunnah, karena orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah, mereka lah yang
paling mengerti tentang Kitab Allah”.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata : “Mereka yang mengukur
Kitab Allah dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan akalnya,
niscaya akan menjerumuskannya ke dalam perbuatan yang sia-sia. Yakni, dengan
cara melakukan pengingkaran terhadap kebenaran-kebenaran yang ada di dalamnya
melalui pemalsuan dan penyelewengan. Sesungguhnya pembicaraan mereka adalah
omong kosong belaka, dan perbuatan mereka adalah perbuatan orang-orang zindiq” [Bayan Talbis Jahmiyyah,
1/105, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Lihatlah Al-‘Ashriyyun Mu’tazilah
Al-Yaum, Yusuf Kamal, hal. 111-115].
================
[‘Abdurrahman At-Tamimi & Hanan
Bahanan – Majalah As-Sunnah Edisi 15/Th. Ke-2/1416 H-1996 M, hal. 29-38 –
ditulis ulang oleh Abul-Jauzaa’ 14 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 24
Rabi’ul-Awal 1430 H].
[1] Orang ini kemudian banyak
di-tahdzir oleh para ulama karena pemikirannya yang menyimpang dari manhaj
Ahlus-Sunnah. - Abu Al-Jauzaa’.
[2] Sama seperti ‘Aidl
Al-Qarniy, Salman Al-Audah kemudian banyak terpengaruh dengan paham melawan
kepada pemerintah yang menyimpang dari manhaj Ahlus-Sunnah, sehingga di-tahdzir
oleh para ulama. – Abu Al-Jauzaa’.
+++++++++++
Share Ulang:
- Citramas, 29 Sya’ban 1443 H
- Sumber: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/03/ragam-pemikiran-mutazilah.html