Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan hukum di dunia berdasarkan atas sesuatu yang tersembunyi, akan tetapi berdasarkan atas apa yang terlihat oleh mata
Dorongan
untuk menghentikan setiap kemungkaran terkadang membuat seseorang lupa
akan kadar kemampuan yang sudah Allah patenkan kepada hamba-Nya perihal
yang ghaib, atau tersembunyi. Pun dalam mengorek informasi ghaib dalam
hati manusia, yang itu bukan kapasitasnya sebagai hamba. Jika demikian
saja tidak mampu, lantas bagaimana dia hendak membongkarnya?
Sebuah pitutur nabawi patut direnungkan dalam-dalam:
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده…
“Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaknya ia ubah dengan tangannya…” (HR. Muslim).
Sabda nabawi di atas sangat jelas memberikan informasi bahwa dalam menindak sebuah kemungkaran sangat bergantung kepada ru’yah atau apa yang disaksikan langsung oleh mata.
Karenanya, apabila sebuah kemaksiatan tidak terlihat oleh mata alias
tidak seorang pun dari kita menyaksikan sendiri, maka tidak layak
baginya untuk memaksakan diri menindak perkara tersebut. Berangkat dari
sini lah, tidak seorang pun berhak memvonis orang lain atas
perkara-perkara maksiat yang ada di dalam hati, seperti riya’, hasad,
sombong, dan semisalnya, karena ia tak terlihat oleh mata.
Tidak
dipungkiri, dalam pergaulan, orang yang paling dekat adalah yang paling
tahu kepribadian sahabatnya. Kebersamaan membuatnya mengenal betul
karakter seseorang dari kode-kode maupun gerak-geriknya. Persinggungan
sehari-hari antara seseorang dengan sahabatnya, tetangganya, rekan
kerjanya, maupun pertemanan di dunia maya membuat seseorang semakin
mengenal kepribadian saudaranya.
Pertanyaannya,
apakah semua itu cukup untuk menjadi garansi bahwa seseorang sangat
tahu apalagi selalu tahu apa yang ada dalam hati saudaranya? Dengan
berdalih menolak kemaksiatan hati, sebagian orang tidak merasa bersalah
bersikap merendahkan, dan berusaha menghentikan saudaranya mengerjakan
amal kebaikan lantaran ia dianggap hanya cari muka saja atau riya’.
Bolehkah sikap yang demikian?
Menarik untuk disimak tanggapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang to the point menyatakan kekeliruan sikap tersebut. Dalam Majmu Fatawa jilid 23, 173-176, beliau melansir empat argumen yang poin-poinnya sebagai berikut:
Pertama, bahwasanya sebuah
amal ibadah tidak boleh dicegah hanya karena khawatir terjatuh ke dalam
riya’, ia tetap lah amal yang disyari’atkan dan menuntut pelakunya
untuk menjaga keikhlasan. Manakala kita melihat orang lain mengerjakan amal tersebut, maka cukup kita amini dia telah mengerjakannya, meskipun kita yakin dia melakukannya karena riya’.
Tahukah Anda, bagaimana sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabat terhadap kaum munafikin yang sifat buruk mereka sudah terabadikan dalam Al Quran:
إِنَّ
الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا
إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ
اللَّهَ إِلا قَلِيلا
“Sesungguhnya
orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, dan Allah akan membalas
tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka lakukan
dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan
manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit.” (An Nisa: 142).
Beliau beserta para sahabat membiarkan mereka tetap menampakkan ibadahnya, meskipun sejatinya mereka melakukan semua itu atas dasar riya’ semata.
Itulah sebabnya mereka tidak dilarang untuk beribadah, karena mafsadah
yang timbul jika mereka meninggalkan ibadah yang sifatnya lahiriyah
lebih besar ketimbang mafsadahnya mereka mengerjakan ibadah atas dasar
riya’, seperti halnya mafsadah akibat menyembunyikan keimanan dan tidak
menampakkan shalat lima waktu lebih besar daripada mafsadahnya
melakukan dua amal tadi secara riya’.
Kedua, bahwasanya kemaksiatan yang boleh ditindak hanyalah yang ditampakkan saja dan demikianlah syari’at menyikapi. Sang Nabi bersabda:
إني لم أومر أن أنقب عن قلوب الناس ولا أشق بطونهم
“Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk membelah dada manusia, tidak pula membedah perutnya.” (HR. Bukhari).
Dalam hal ini Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu punya satu kaidah, “Barangsiapa
secara lahir berlaku baik kepada kami maka kita cintai, dan kita
berikan loyalitas kepadanya, meskipun yang ada dalam hatinya tidak
sama. Dan barangsiapa yang secara lahir berlaku buruk kepada kami maka
kami membencinya, meskipun ia mengaku-ngaku hatinya baik.”
Ketiga, jika sikap seperti ini dibiarkan, justru akan
memberi kesempatan kepada orang-orang fajir dan musyrik untuk mengejek
orang-orang shalih tatkala mengerjakan amal ibadah secara terang-terangan
dengan menyebut “paling cuma mau pamer”, sehingga orang-orang yang
sangat menjaga keikhlasan mulai enggan menampakkan perkara-perkara yang
baik agar terhindar dari celaan buruk tersebut.
Dampak
negatifnya, kebaikan semakin sepi, sementara orang-orang jahat semakin
berani memamerkan perilaku buruknya, dan tak seorang pun berani
menentang mereka. Inilah salah satu mafsadah paling besar efek dari
sikap di atas.
Keempat, sikap seperti ini termasuk syi’arnya orang munafik. Allah Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ
يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ
وَالَّذِينَ لا يَجِدُونَ إِلا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ
اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“(Orang-orang
munafik) yaitu mereka yang mencela orang-orang beriman yang memberikan
sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang hanya
memperoleh (untuk disedekahkan) sekadar kesanggupannya, maka
orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan
mereka, dan mereka akan mendapat azab yang pedih.” (al-Taubah: 79).
Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyemangati
para sahabat untuk menginfakkan hartanya di jalan Allah menjelang
perang Tabuk, ada di antara para sahabat datang menenteng bundelan
besar berisi kepingan uang yang saking beratnya hampir-hampir tangannya
tak kuasa menahan, lalu serta merta orang-orang munafik menyeletuk, “dasar mau pamer”. Kemudian sebagian lain datang menyumbang berbagai kebutuhan logistik, lagi-lagi mereka pun berkomentar, “Allah itu Maha Kaya, tidak butuh bantuan macam itu”.
Secara ringkas cukup kita yakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
menjadikan hukum di dunia berdasarkan atas sesuatu yang tersembunyi,
akan tetapi berdasarkan atas apa yang terlihat oleh mata. Adapun yang
tidak terlihat, maka ia sudah terwakili dengan yang terlihat.
Selanjutnya kita
sadari bersama bahwa dengan tidak adanya kewenangan seseorang untuk
menindak maksiat-maksiat hati, maka otomatis tugas itu menjadi
tanggungjawab setiap pribadi untuk memperbaiki kondisi hatinya. Bagi setiap jiwa yang merasa hatinya terjangkit maksiat hati agar segera memeriksanya dan mencarikan obat penawarnya.
Tak
lupa pula kita renungkan bahwa dalam perjalanan hidup ini banyak aral
yang melintang. Jika kita terlalu disibukkan untuk mencari-cari hal
semacam itu, habislah waktu kita. Lain halnya jika tiba-tiba ada aral
di depan kita, maka wajib kita singkirkan.
Sebelum
kita akhiri, kami ingin berbagi oleh-oleh untuk kita dari Ibnul Qayyim
terkait topik yang sedang kita bicarakan, di mana Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah pun turut mengapresiasi muridnya tersebut. “Aku pernah
bertanya perihal ini (was-was dengan penyakit hati, -pent) kepada
beberapa guruku, maka salah seorang dari mereka menjawab, “Perumpamaan
penyakit-penyakit hati itu seperti ular dan kalajengking yang
bertebaran di sekitar para pengguna jalan. Jika ia sibuk memeriksa
setiap jengkal dari jalan yang ia lalui, lalu membunuhnya satu-persatu,
maka ia tak akan pernah sampai tujuan. Oleh karena itu, jadikan lah
perjalananmu itu sebagai target utama, dan palingkan wajahmu dari
mengurusi hal-hal seperti itu. Akan tetapi, bila suatu waktu keduanya
tiba-tiba menghalangi jalanmu, baru lah saat itu Kau bunuh, lalu
lanjutkan lagi perjalanmu.”
Jika
mengurusi perkara hati diri sendiri saja cukup menyita waktu, lantas
bagaimana seseorang masih sempat menyibukkan dirinya dengan perkara
hati orang lain?
(Disarikan dari kitab ‘Amalul Qalbi Al Faridhah Al Ghaibah)
Ditulis di Asrama Kampus Islamic University, Saudi Arabia, pada hari Jum’at, 20 Dzulqa’dah 1436.
Ditulis di Asrama Kampus Islamic University, Saudi Arabia, pada hari Jum’at, 20 Dzulqa’dah 1436.
***
Penulis: Ganang Prihatmoko
Artikel Muslim.or.id
Sumber: http://muslim.or.id/26351-menuduh-orang-lain-telah-riya.html