Seiring dengan makin jauhnya zaman dari
masa kenabian shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka semakin banyak
pula kesesatan dan bid’ah yang tersebar di tengah kaum muslimin[1], sehingga indahnya sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan kebenaran makin asing dalam pandangan mereka.
Bahkan lebih dari pada itu, mereka menganggap perbuatan-perbuatan bid’ah yang
telah tersebar sebagai kebenaran yang tidak boleh ditinggalkan, dan sebaliknya
jika ada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
dihidupkan dan diamalkan kembali, mereka akan mengingkarinya dan memandangnya
sebagai perbuatan buruk.
Sahabat yang mulia, Hudzaifah bin
al-Yaman rahdiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang
jiwaku di tangan-Nya, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan bermunculan (di
akhir zaman) sehingga kebenaran (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam) tidak lagi terlihat kecuali (sangat sedikit) seperti cahaya yang
(tampak) dari celah kedua batu (yang sempit) ini. Demi Allah, sungguh
perbuatan-perbuatan bid’ah akan tersebar (di tengah kaum muslimin),
sampai-sampai jika sebagian dari perbuatan bid’ah tersebut ditinggalkan,
orang-orang akan mengatakan: sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
telah ditinggalkan!”[2].
Keadaan ini semakin diperparah
kerusakannya dengan keberadaan para tokoh penyeru bid’ah dan kesesatan, yang
untuk mempromosikan dagangan bid’ah, mereka tidak segan-segan
memberikan iming-iming janji keutamaan dan pahala besar bagi orang-orang yang
mengamalkan ajaran bid’ah tersebut.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
kalau pada saat ini tidak sedikit kaum muslimin yang terpengaruh dengan
propaganda tersebut, sehingga banyak di antara mereka yang lebih giat dan
semangat mengamalkan berbagai bentuk zikir, wirid maupun shalawat bid’ah yang
diajarkan para tokoh tersebut daripada mempelajari dan mengerjakan amalan yang
bersumber dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.
Tentu saja ini termasuk tipu daya setan
untuk memalingkan manusia dari jalan Allah Ta’ala yang lurus.
Allah Ta’ala berfirman,
{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا}
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi
tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari
kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan
perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” (QS al-An’aam:112).
Bahkan setan berusaha menghiasi
perbuatan-perbuatan bid’ah dan sesat tersebut sehingga terlihat indah dan baik
di mata manusia, dengan mengesankan bahwa dengan mengerjakan amalan bid’ah
tersebut hati menjadi tenang dan semua kesusahan yang dihadapi akan teratasi
(??!!). Pernyataan-pernyataan seperti ini sangat sering terdengar dari para
pengikut ajaran-ajaran bid’ah tersebut, sebagai bukti kuatnya cengkraman tipu daya
setan dalam diri mereka. Allah Ta’ala berfirman,
{أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}
“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya
yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan
dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan
siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya” (QS Faathir:8).
Sumber Ketenangan dan Penghilang Kesusahan
yang Hakiki
Setiap orang yang beriman kepada
Allah Ta’ala wajib meyakini bahwa sumber ketenangan jiwa dan
ketentraman hati yang hakiki adalah dengan berzikir kepada kepada Allah Ta’ala,
membaca al-Qur’an, berdoa kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang maha
Indah, dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
{الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ}
“Orang-orang yang beriman dan hati
mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS ar-Ra’du:28).
Artinya: dengan berzikir kepada
Allah Ta’ala segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan
berganti dengan kegembiraan dan kesenangan[3].
Bahkan tidak ada sesuatupun yang lebih
besar mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi
berzikir kepada Allah Ta’ala[4].
Salah seorang ulama salaf berkata,
“Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan
meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling
besar di dunia ini”. Maka ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia
ini?” Ulama ini
menjawab, “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri
kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika
berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya”[5].
Inilah makna ucapan yang masyhur dari
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah Ta’ala merahmatinya
– , “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum
masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di
akhirat nanti”[6].
Makna “surga di dunia” dalam ucapan beliau
ini adalah kecintaan (yang utuh) dan ma’rifah (pengetahuan yang sempurna)
kepada Allah Ta’ala (dengan memahami nama-nama dan
sifat-sifat-Nya dengan cara baik dan benar) serta selalu berzikir kepada-Nya,
yang dibarengi dengan perasaan tenang dan damai (ketika mendekatkan diri)
kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan (mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa
takut, berharap, bertawakkal (berserah diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan
(kecintaan dan keridhaan) Allah Ta’ala satu-satunya yang
mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan kehendak seorang hamba. Inilah
kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya yang sekaligus merupakan qurratul
‘ain (penyejuk dan penyenang hati) bagi orang-orang yang mencintai dan
mengenal Allah [7].
Demikian pula jalan keluar dan
penyelesaian terbaik dari semua masalah yang dihadapi seorang manusia adalah
dengan bertakwa kepada Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya,
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ}
”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang
dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya”
(QS. ath-Thalaaq:2-3).
Ketakwaan yang sempurna kepada Allah tidak
mungkin dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah, serta menjauhi
semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh Allah Ta’ala[8].
Dalam ayat berikutnya Allah berfirman,
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS.
ath-Thalaaq:4).
Artinya: Allah akan meringankan dan
memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi
yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)[9].
Adapun semua bentuk zikir, wirid maupun
shalawat yang tidak bersumber dari petunjuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, meskipun banyak tersebar di masyarakat muslim, maka
semua itu adalah amalan buruk dan tidak mungkin akan mendatangkan ketenangan
yang hakiki bagi hati dan jiwa manusia, apalagi menjadi sumber penghilang
kesusahan mereka. Karena semua perbuatan tersebut termasuk bid’ah[10] yang jelas-jelas telah diperingatkan
keburukannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya
semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah
sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka”[11].
Hanya amalan ibadah yang bersumber dari
petunjuk al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
bisa membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat
yang mengotorinya, yang dengan itulah hati dan jiwa manusia akan merasakan
ketenangan dan ketentraman.
Allah Ta’ala berfirman,
{لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}
“Sungguh Allah telah memberi karunia
(yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada
mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat Allah, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka
Al Kitab (Al Qur-an) dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS.
Ali ‘Imraan:164).
Makna firman-Nya “mensucikan (jiwa)
mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan
perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari
kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah I)[12].
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ}
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit
dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman” (QS Yuunus:57).
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan perumpamaan petunjuk dari Allah Ta’ala yang
beliau bawa seperti hujan baik yang Allah Ta’ala turunkan dari
langit, karena hujan yang turun akan menghidupkan dan menyegarkan tanah yang
kering, sebagaimana petunjuk Allah Ta’ala akan menghidupkan
dan menentramkan hati manusia.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu
yang Allah wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allah
turunkan ke bumi…“[13].
Ketenangan Batin yang Palsu
Kalau ada yang berkata, realitanya di
lapangan banyak kita dapati orang-orang yang mengaku merasakan ketenangan dan
ketentraman batin (?) setelah mengamalkan zikir-zikir, wirid-wirid dan
shalawat-shalawat bid’ah lainnya.
Jawabannya: Kenyataan tersebut di atas
tidak semua bisa diingkari, meskipun tidak semua juga bisa dibenarkan, karena
tidak sedikit kebohongan yang dilakukan oleh para penggemar
zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut untuk melariskan
dagangan bid’ah mereka.
Kalaupun pada kenyataannya ada yang
benar-benar merasakan hal tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa itu
adalah ketenangan batin yang palsu dan semu, karena berasal dari tipu daya
setan dan tidak bersumber dari petunjuk Allah. Bahkan ini termasuk perangkap
setan dengan menghiasi amalan buruk agar telihat indah di mata manusia.
Allah Ta’ala berfirman,
{أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}
“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya
yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan
dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan
siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya” (QS Faathir:8).
Artinya: setan menghiasi perbuatan mereka
yang buruk dan rusak, serta mengesankannya baik dalam pandangan mata mereka[14].
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا}
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi
tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari
kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan
perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” (QS al-An’aam:112).
Artinya: para setan menghiasi
amalan-amalan buruk bagi manusia untuk menipu dan memperdaya mereka[15].
Demikianlah gambaran ketenangan batin
palsu yang dirasakan oleh orang-orang yang mengamalkan
zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah, yang pada hakekatnya bukan
ketenangan batin, tapi merupakan tipu daya setan untuk menyesatkan manusia dari
jalan Allah Ta’ala, dengan mengesankan pada mereka bahwa
perbuatan-perbuatan tersebut baik dan mendatangkan ketentraman batin.
Bahkan sebagian mereka mengaku merasakan kekhusyuan
hati yang mendalam ketika membaca zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut
melebihi apa yang mereka rasakan ketika membaca dan mengamalkan
zikir-zikir/wirid-wirid yang bersumber dari wahyu Allah Ta’ala.
Padahal semua ini justru merupakan bukti
nyata kuatnya kedudukan dan tipu daya setan bersarang dalam diri mereka. Karena
bagaimana mungkin setan akan membiarkan manusia merasakan ketenangan iman dan
tidak membisikkan was-was dalam hatinya?
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah membuat
perumpaan hal ini[16] dengan seorang pencuri yang ingin
mengambil harta orang. Manakah yang akan selalu diintai dan didatangi oleh
pencuri tersebut: rumah yang berisi harta dan perhiasan yang melimpah atau
rumah yang kosong melompong bahkan telah rusak?
Jawabnya: jelas rumah pertama yang akan
ditujunya, karena rumah itulah yang bisa dicuri harta bendanya. Adapun rumah
yang pertama, maka akan “aman” dari gangguannya karena tidak ada hartanya,
bahkan mungkin rumah tersebut merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan
tempat tinggal dan sarangnya.
Demikianlah keadaan hati manusia, hati yang dipenuhi tauhid dan keimanan yang
kokoh kepada Allah Ta’ala, karena selalu mengamalkan petunjuk-Nya,
akan selalu diintai dan digoda setan untuk dicuri keimanannya, sebagaimana
rumah yang berisi harta akan selalu diintai dan didatangi pencuri.
Oleh karena itu, dalam sebuah hadits
shahih, ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membisikkan (dalam)
diriku dengan sesuatu (yang buruk dari godaan setan), yang sungguh jika aku
jatuh dari langit (ke bumi) lebih aku sukai dari pada mengucapkan/melakukan
keburukan tersebut. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah maha besar, Allah maha besar, Allah maha besar, segala puji bagi
Allah yang telah menolak tipu daya setan menjadi was-was (bisikan dalam jiwa)”[17].
Dalam riwayat lain yang semakna,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah
(tanda) kemurnian iman”[18].
Dalam memahami hadits yang mulia ini ada
dua pendapat dari para ulama:
– Penolakan dan kebencian orang tersebut
terhadap keburukan yang dibisikkan oleh setan itulah tanda kemurnian iman dalam
hatinya
– Adanya godaan dan bisikkan setan dalam
jiwa manusia itulah tanda kemurnian iman, karena setan ingin merusak iman orang
tersebut dengan godaannya[19].
Adapun hati yang rusak dan kosong dari
keimanan karena jauh dari petunjuk Allah Ta’ala, maka hati yang
gelap ini terkesan “tenang” dan “aman” dari godaan setan, karena hati ini telah
dikuasai oleh setan, dan tidak mungkin “pencuri akan mengganggu dan merampok di
sarangnya sendiri”.
Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah
bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika ada yang mengatakan kepada
beliau, “Sesungguhnya orang-orang Yahudi menyangka bahwa mereka tidak diganggu
bisikan-bisikan (setan) dalam shalat mereka”. Abdullah bin ‘Abbas menjawab, “Apa
yang dapat dikerjakan oleh setan pada hati yang telah hancur berantakan?”[20].
Nasehat dan Penutup
Tulisan ringkas ini semoga menjadi
motivasi bagi kaum muslimin untuk meyakini indahnya memahami dan mengamalkan
petunjuk Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang
hanya dengan itulah seorang hamba bisa meraih kebahagiaan dan ketenangan jiwa yang
hakiki dalam kehidupannya. Allah Ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}
“Hai orang-orang beriman, penuhilah
seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi
(kemaslahatan)[21] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).
Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Ta’ala merahmatinya
– berkata, “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat (indah)
hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan
Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang bahagia dan indah)… Maka
kehidupan baik (bahagia) yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi
seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin”[22].
Sebagai penutup, akan kami kutip nasehat
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu yang berbunyi,
“Wahai saudarakau sesama muslim, waspada
dan hindarilah (semua) bentuk zikir dan wirid bid’ah yang akan menjerumuskanmu
ke dalam jurang syirik (menyekutukan Allah Ta’ala). Berkomitmenlah
dengan zikir (wirid) yang bersumber dari (petunjuk) Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang berbicara bukan dengan landasan hawa nafsu,
(melainkan dari wahyu Allah Ta’ala). Dengan mengikuti (petunjuk)
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, (kita akan meraih) hidayah
Allah Ta’ala dan keselamatan (di dunia dan akhirat).
(Sebaliknya) dengan menyelisihi (petunjuk) beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam, menjadikan amal perbuatan kita tertolak (tidak diterima oleh
Allah Ta’ala). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan (dalam agama Islam) yang tidak
sesuai dengan petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak” (HSR Muslim)[23].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
______________________________
Kota Kendari, 23 Syawwal 1431 H
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat ucapan imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “I’laamul
muwaqqi’iin” (4/118).
[2] Dinukil oleh imam asy-Syaathibi dalam
kitab “al-I’tishaam” (1/106 – Tahqiiq syaikh Salim al-Hilali).
[3] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir
Rahmaan” (hal. 417).
[4] Ibid.
[5] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam
kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/72).
[6] Dinukil oleh murid beliau Ibnul
Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal 69).
[7] Lihat kitab “al-Waabilush shayyib”
(hal. 69).
[8] Lihat penjelasan Ibnu Rajab
al-Hambali dalam “Jaami’ul uluumi wal hikam” (hal. 197).
[9] Tafsir Ibnu Katsir (4/489).
[10] Semua perbuatan yang diada-adakan
dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan
oleh Rasulullah r.
[11] HSR Muslim (no. 867), an-Nasa-i (no.
1578) dan Ibnu Majah (no. 45).
[12] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (1/267).
[13] HSR Al Bukhari (no. 79) dan Muslim
(no. 2282).
[14] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir
Rahmaan” (hal. 685).
[15] Lihat kitab “Ma’aalimut tanziil”
(3/180).
[16] Dalam kitab beliau “al-Waabilush
shayyib” (hal. 40-41).
[17] HR Ahmad (1/235) dan Abu Dawud (no.
5112).
[18] HSR Mualim (no. 132).
[19] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim
dalam kitab “al-Fawaa-id” (hal. 174).
[20] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam
kitab beliau “al-Waabilush shayyib” (hal. 41).
[21] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).
[22] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 121- cet.
Muassasatu ummil qura’).
[23] Kitab “fadha-ilush shalaati
wassalaam” (hal. 49).
Sumber: https://muslim.or.id/5389-meraih-ketenangan-hati-yang-hakiki.html