Islam Pedoman Hidup: Pelestarian Situs Sejarah Dalam Timbangan Islam

Selasa, 15 September 2015

Pelestarian Situs Sejarah Dalam Timbangan Islam


PELESTARIAN SITUS SEJARAH DALAM TIMBANGAN ISLAM
Oleh
Ustadz Abu Minhâl
Sejak pertama kemunculannya, risalah Islam sangat menentang praktek yang mengarah pada pengakuan atau keyakinan adanya kekuasaan selain Allah Ta’ala di alam semesta ini, dan demikianlah substansi Islam. Yaitu risalah yang mengajarkan tauhid. Dan selanjutnya menyeru kepada manusia, supaya beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mewanti-wanti agar manusia tidak terbawa kepada perbuatan syirik, karena ketundukan itu hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik) ….” [az-Zumar/39:3].
Syirik itu sendiri merupakan fenomena yang begitu kuat melekat dalam peri kehidupan masyarakat jahiliyah waktu itu. Meskipun kebiasaan-kebiasaan lain yang tidak sejalan dengan asas-asas Islami juga berkembang pesat – seperti penindasan terhadap kaum Hawa, praktek riba, perzinaan, minuman keras, fanatisme golongan (kesukuan), perbudakan dan lain-lain – akan tetapi perbuatan syirik sangat dominan, menempati posisi yang tinggi, baik dalam hal tingkat kekeliruan maupun bahayanya. Sebab perbuatan syirik merupakan kezhaliman yang besar.
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“… Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar” [Luqmân/31:13].
Sebenarnya orang-orang jahiliyah meyakini adanya Rabb yang memiliki kemampuan untuk memenuhi segala yang mereka inginkan, menyelamatkannya dalam kesempitan. Namun kepercayaan ini dinodai dengan ketundukan dan penghambaan hati kepada berhala-berhala yang sebagian dibuat oleh tangan mereka sendiri, meskipun mereka menganggapnya tidak berbuat demikian.
Fenomena seperti itulah yang saat ini juga menghias peri kehidupan sebagian manusia, tak urung sebagian kaum muslimin. Tanpa disadari telah terjebak pada perbuatan syirik, karena keinginan untuk mempertahankan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya, yaitu para leluhur atau nenek moyangnya. Yakni mempertahankan tradisi-tradisi yang telah berjalan pada masa-masa terdahulu. Dengan berbagai dalih, yang seolah tak mempengaruhi prinsip tauhid. Padahal tak sedikit tradisi-tradisi ataupun peninggalan sejarah tersebut yang sangat mungkin bertentangan dengan Islam, baik ditinjau dari sisi tauhid maupun prinsip-prinsip umum lainnya.
RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TIDAK MEMERINTAHKAN UNTUK MELESTARIKAN SITUS SEJARAH ISLAM
Dalam masalah ini sangatlah jelas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak terlalu memikirkan situs-situs sejarah. Begitu pula beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merencanakan dengan niat secara khusus melakukan safar (perjalanan) ke tempat-tempat tersebut. Belum ditemukan ada riwayat yang menunjukkan diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan pendakian ke bukit-bukit bebatuan untuk mengunjungi Gua Hira, Gua Tsaur, Badr, atau tempat kelahiran beliau pada pasca hijrahnya[1]. Kalau ada yang menyatakan telah terjadi Ijma’ di kalangan sahabat mengenai disyariatkannya melestarikan tempat-tempat peninggalan sejarah, seperti rumah tempat kelahiran Nabi, Bi`ru (sumur) ‘Arîs, maka hal itu tidak bisa dibuktikan, walaupun hanya dengan satu pernyataan seorang sahabat [2]. Para sahabat dan orang-orang yang hidup pada qurûn mufadhdhalah (masa yang utama, yaitu generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in) tidak pernah melakukannya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkannya.
Demikian pula halnya dengan tempat-tempat yang dahulu pernah dijadikan sebagai tempat shalat atau pernah disinggahi oleh Rasulullah, maka sesungguhnya tidak boleh diyakini memiliki keberkahan dan keutamaan kecuali jika syariat telah menetapkannya. Misalnya Masjidil-Haram, Masjid Nabawi Masjidil-Aqsha. Bahwasanya shalat di tiga masjid tersebut mendapatkan keutamaan. Atau tempat-tempat lainnya yang telah disebutkan oleh nash.
WARISAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM YANG SEMESTINYA MENDAPAT PELESTARIAN
Para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, tidaklah melestarikan situs-situs sejarah seperti itu. Akan tetapi, yang mereka lestarikan ialah warisan peninggalan lainnya, yakni berupa hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencakup perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka sangat termotivasi untuk memelihara sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jalan yang mereka tempuh ialah dengan mempelajarinya, menghafal dan mengaplikasikannya, serta mengabadikannya dalam bentuk kitab-kitab, yang hingga kini sangat bermanfaat dan dipelajari oleh umat Islam.
Bentuk kongkret pelestarian lainnya, ialah penjagaan mereka terhadap kemurnian syariat Islam ini, sehingga terjaga dari virus bid’ah. Mereka kesampingkan perkara-perkara baru yang tidak pernah dijalankan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat [3].
MENGAMBIL HIKMAH KEPUTUSAN KHALIFAH ‘UMAR BIN AL-KHATHTHÂB MENEBANG POHON BAI’ATUR-RIDHWAN
Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththâb, muncul gejala pada sebagian kaum muslimin yang memiliki ketergantungan kepada barang-barang peninggalan dan situs-situs sejarah yang tidak tercantum keutamaannya dalam nash. Fenomena ini dapat mempengaruhi dalm hal beragama. Maka Khalifah ‘Umar bin al-Khaththâb dan para sahabat melarang dan memperingatkan manusia dari perbuatan tersebut.
Ibnu Wadhdhâh meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Ma’rur bin Suwaid, ia bercerita:
Kami pergi untuk mengerjakan haji bersama ‘Umar bin al-Khaththâb. Di tengah perjalanan, sebuah masjid berada di depan kami. Lantas, orang-orang bergegas untuk mengerjakan shalat di dalamnya. ‘Umar pun bertanya,”Kenapa mereka itu?”
Orang-orang menjawab,”Itu adalah masjid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat di masjid itu,” maka ‘Umar berkata: “Wahai manusia. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa, lantaran mereka melakukan perbuatan seperti ini, sampai akhirnya nanti mendirikan masjid baru di tempat tersebut. Siapa saja yang menjumpai shalat (wajib), maka shalatlah di situ. Kalau tidak, lewatilah saja”[4].
Ibnu Wadhdhâh juga meriwayatkan, bahwasanya ‘Umar bin al-Khaththâb memerintahkan untuk menebang sebuah pohon di tempat para sahabat membaiat Rasulullah di bawah naungannya (yaitu yang dikenal dengan Syajaratur-Ridhwân). Alasannya, karena banyak manusia mendatangi tempat tersebut untuk melakukan shalat di bawah pohon itu. Beliau Radhiyallahu ‘anhu mengkhawatirkan timbulnya fitnah (kesyirikan) pada mereka nantinya, seiring dengan perjalanan waktu [5].
Dari keputusan ‘Umar bin al-Khaththâb ini dapat kita ketahui bila di kalangan para sahabat tidak terdapat Ijma’ tentang bertabaruk (mencari berkah) melalui situs-situs sejarah peninggalan masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Riwayat yang ada justru menyatakan adanya larangan bertabarruk ataupun beribadah di tempat-tempat tersebut.
Keputusan Amirul-Mukminin ‘Umar bin al-Khaththâb ini juga sudah cukup untuk menjelaskan sikap Pemerintah Saudi yang memberi akses kemudahan menuju tempat-tempat bersejarah yang ada di Makkah, terutama jalan menuju Gua Hira maupun Gua Tsaur yang terjal lagi berbatuan tajam. Meski demikian, sejumlah kaum muslimin tetap nekad dan rela bersusah payah, dan tidak menutup kemungkinan mempertaruhkan nyawa berupaya mencapai tempat-tempat itu, kemudian berdesak-desakan untuk mengerjakan shalat di sana, dan ngalap berkah (mencari berkah) di tempat yang tidak dianjurkan oleh syariat.
MEWASPADAI ALASAN PELESTARIAN
Ketegasan yang brilian dari Amirul-Mukminin ‘Umar bin al-Khaththaab itu sangat berbeda dengan yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini. Bahkan di sebagian daerah, situs-situs bersejarah itu sangat mendapatkan perhatian. Sehingga dicanangkan usaha rehabilitasi dan pemugaran supaya lebih menarik. Dengan dalih, mempunyai potensi dapat meningkatkan pendapatan daerah, menjaga kekayaan literatur budaya, atau lainnya. Karenanya, dinas pariwisata setempat berupaya kuat “menjualnya” untuk menarik wisatawan domestik maupun dari manca negara.
Sementara itu diketahui, pelestarian budaya yang digalakkan tersebut banyak memberi nuansa kesyirikan, dan di negeri ini cukup beragam bentuknya. Ada berupa telaga, yang konon mengandung air suci dan diyakini dapat menyembuhkan penyakit, pintu keraton, kereta kencana, upacara larung kepala kerbau untuk memberi persembahan kepada penjaga lautan, persembahan sesajen, ungkapan terima kasih kepada Dewi Sri (dewi padi) karena telah memberi panenan yang baik, tradisi-tradisi adat suku tertentu yang kadang dibarengi dengan pengagungan terhadap senjata-senjata pusaka. Sebagian contoh-contoh ini sangat berpotensi mengikis aqidah seorang muslim, karena banyak mengandung unsur kesyirikan maupun maksiat-maksiat lainnya. Adapun syirik, ia termasuk dosa terbesar. Dan lebih parah lagi orang yang menjajakan dan menyeru manusia kepada perbuatan syirik, yang berarti ia telah sesat dan menyesatkan orang lain. Dia telah menantang Allah di dalam kerajaan-Nya dengan mengajak orang lain untuk mengagungkan atau melakukan penyembahan kepada selain Allah. Seolah ia hendak melakoni peran yang dilakukan ‘Amr bin Luhay, yaitu yang pertama kali menggagas perbuatan syirik di bumi Arab dan merubah agama Nabi Ibrahim.[6]
Oleh karena itu, barang siapa yang memotivasi munculnya perbuatan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melestarikannya dengan dalih apapun, maka sesungguhnya ia telah membuka jalan keburukan. Selanjutnya ia akan menanggung dosa tersebut dan dosa orang-orang yang terperdaya oleh perbuatannya.
Jadi, pelestarian itu seharusnya memperhatikan kesucian aqidah dan bersesuaian dengan ketentuan-ketentuan yang diperbolehkan syariat.
Maraji`:
1. Al-Bayân li Ba’dhil-Akhthâ` al-Kuttâb, Syaikh Dr. Shalih al- Fauzân.
2. Ar-Raddu ‘alar-Rifâ’i wal-Bûthi fî Kadzibihima ‘ala Ahlis-Sunnati wa Da’watuhuma ilal-Bida’i wadh- Dhalâl Syaikh ‘Abdul Muhsin al ‘Abbad. Himpunan makalah dari Kutub wa Rasail ‘Abdul-Muhsin al-‘Abbâd Dar at Tauhiid Riyaadh Cet. I Th 1428 H
3. Bayân bid-Dalîl li Mâ fî Nashîhatir Râfi’i wa Muqaddimati al-Bûthi minal-Kadzibil-Wâdhihi wat- Tadhlîl dalam kitab al-Bayân li Ba’dhil-Akhthâ` al-Kuttâb, Syaikh Dr. Shalih al- Fauzân, Dar Ibnil-Jauzi, Cetakan I, Tahun 1425 H – 2005 M.
4. Dirâsatun fil Ahwâ wal-Firaqi wal- Bida’ wa Mauqifu as-Salafi minha, Prof. Dr. Nâshir bin ‘Abdil-Karîm al-‘Aql, Penerbit Kunûz Isybiliya, Cetakan I, Tahun 1425 H – 200 4 M.
5. Majallah Ummati, Edisi 21 Rabiuts-Tsâni 1427 H – Mei 2006 M.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnotes
[1]. Bayân bid-Dalîl li Mâ fî Nashîhatir Râfi’i wa Muqaddimati al-Bûthi minal-Kadzibil-Wâdhihi wat- Tadhlîl. Himpunan makalah dalam kitab al-Bayân li Ba’dhil-Akhthâ` al-Kuttâb, Syaikh Dr. Shalih al- Fauzân, hlm. 109.
[2]. Ar-Raddu ‘alar-Rifâ’i wal-Bûthi fî Kadzibihima ‘ala Ahlis-Sunnati wa Da’watuhuma ilal-Bida’i wadh- Dhalâl. Himpunan makalah dari Kutub wa Rasail ‘Abdul-Muhsin al-‘Abbâd, Syaikh ‘Abdul-Muhsin, hlm. 511.
[3]. Ar-Raddu ‘alar-Rifâ’i wal-Bûthi fî Kadzibihima ‘ala Ahlis-Sunnati wa Da’watuhuma ilal-Bida’i wadh- Dhalâl, 7/509.
[4]. Diriwayatkan oleh ‘Abdur-Rzzâq dalam Mushannaf, 2/118-119. Abu Bakr bin Abi Syaibah dalam Mushannaf, 2/376-377 dengan sanad shahîh.
[5]. Al-Bida’u wan-Nahyu ‘Anha, 42. Al-I’tsihâm, 1/346. Dinukil dari Dirâsatun fil Ahwâ wal-Firaqi wal- Bida’ wa Mauqifu as-Salafi minha, hlm. 222
[6]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang dia : “Aku melihat ‘Amr bin Luhai bin Qam’ah bin Khindif moyang Bani Ka’ab menyeret usus-ususnya di neraka (HR. al Bukhari Muslim) Lihat Mukhtasharu Sîratu ar-Rasûl hal. 50-51
[7]. Shaunu at-Tauhîd ‘an Adrâni at-Tandîd, Shalâh bin Dhâyif an-Nabhân, Majallah Ummati, Edisi 21 Rabiuts-Tsâni 1427 H – Mei 2006 M.


Sumber: https://almanhaj.or.id/2642-pelestarian-situs-sejarah-dalam-timbangan-islam.html