Al-Imam An-Nasaa’iy rahimahullah berkata
:
أخبرني أحمد بن
يحيى الصوفي قال حدثنا أبو نعيم قال حدثنا العلاء بن زهير الأزدي قال حدثنا عبد
الرحمن بن الأسود عن عائشة أنها اعتمرت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم من
المدينة إلى مكة حتى إذا قدمت مكة قالت يا رسول الله بأبي أنت وأمي قصرت وأتممت
وأفطرت وصمت قال أحسنت يا عائشة وما عاب علي
Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Yahyaa
Ash-Shuufiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, ia berkata
: Telah menceritakan kepada kami Al-‘Allaa’ bin Zuhair Al-Azdiy, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman Al-Aswad, dari ‘Aaisyah :
Bahwasannya ia pernah melakukan perjalanan ‘umrah dari Madinah menuju Makkah.
Saat saat tiba di Makkah ia berkata : “Wahai Rasulullah, demi ayahku dan ibuku,
engkau mengqashar shalat sedangkan aku menyempurnakannya. Engkau berbuka
sedangkan aku tetap berpuasa”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai ‘Aaisyah, engkau telah berbuat kebaikan. Dan itu tidak tercela
bagiku” [As-Sunan no. 1456].
Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa (3/142
no. 5429) dari jalan Abu Nu’aim.
Ahmad bin Yahyaa, ia adalah Ibnu Zakariyyaa
Al-Audiy, Abu Ja’far Al-Kuufiy Ash-Shuufiy Al-‘Aabid; seorang yang tsiqah [lihat Taqriibut-Tahdziib,
hal. 101 no. 125].
Abu Nu’aim, ia adalah ‘Amr bin Hammaad bin Zuhair
bin Dirham Al-Qurasyiy At-Taimiy Ath-Thalhiy, Abu Nu’aim Al-Malaaiy Al-Kuufiy;
seorang yang tsiqah tsabt [lihat Taqriibut-Tahdziib,
hal. 782 no. 5436].
Al-‘Allaa’ bin Zuhair Al-Azdiy, seorang yang tsiqah [lihat Taqriibut-Tahdziib,
hal. 760 no. 5272].
‘Abdurrahman bin Al-Aswad bin Yaziid bin Qais
An-Nakha’iy, Abu Hafsh; seorang yangtsiqah [lihat Taqriibut-Tahdziib,
hal. 570 no. 3827].
Jadi, sanad riwayat di atas adalah shahih.
Abu Nu’aim dalam sanad di atas mempunyai mutaba’ah dari
: Al-Qaasim bin Al-Hakam sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy (3/162
no. 2294) dan dari jalannya Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa (3/142
no. 5428) : Telah menceritakan Al-Husain bin Ismaa’iil : Telah menceritakan
kepada kami Ahmad bin Muhammad At-Tubba’iy : Telah menceritakan kepada kami
Al-Qaasim bin Al-Hakam : ….. selanjutnya seperti sanad di atas.
Ad-Daaruquthniy mengatakan sanad riwayat tersebut
hasan.
Al-Qaasim bin Al-Hakam, ia adalah Ibnu Katsiir bin
Jundab bin Rabii’ bin ‘Amr, Abu Ahmad Al-Kuufiy. Abu Shaalih Ahmad bin Khalaf
berkata : “Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, Yahyaa bin Ma’iin, Abu
Khaitsamah, Khalaf bin Saalim Al-Mukharrimiy, dan ‘Abdurrahman bin Numair
tentangnya, mereka menjawab : ‘tsiqah”. Abu Zur’ah berkata : “Shaduuq”.
Abu Haatim berkata : “Tempatnya kejujuran, ditulis haditsnya, namun tidak boleh
berhujjah dengannya”. An-Nasa’iy berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan
berkata : “Mustaqiimul-hadiits”. Abu Nu’aim berkata : “Padanya
terdapat kelalaian (ghaflah)”. Al-‘Uqailiy berkata : “Terdapat
pengingkaran dalam haditsnya, dan tidak punya mutaba’ah pada
banyak haditsnya”. Ibnu Hajar berkata dalam At-Taqriib : “Jujur,
padanya terdapat kelemahan (shaduuq, fiihi layyin)”. Adz-Dzahabiy
mentsiqahkannya. Al-Albaaniy berkata : “Hasanul-hadiits, insya
Allahu ta’ala, kecuali jika terdapat penyelisihan”.
Penghukuman yang benar terhadap Al-Qaasim adalah
seperti perkataan Al-Albaaniy (yaitu hasanul-hadiits). Pen-tautsiq-an
para imam menunjukkan kelalaian yang ada pada diri Al-Qaasim adalah ringan; dan
pengingkaran dalam haditsnya sebagaimana dikatakan Al-‘Uqailiy adalah sedikit.
Adapun jarh Abu Haatim, tetap tidak menurunkan derajatnya dari
hasan. Selain beliau termasuk imam yang ketat dalam pemberian jarh terhadap
perawi, di sini Al-Qaasim mempunyai mutaba’ah dari Abu Nu’aim
sebagaimana telah lewat penyebutannya.
[lihat Tahdziibul-Kamaal 23/342-346
no. 4785, Tahdziibut-Tahdziib 8/311-312 no. 565,Man
Tukullima fiihi wahuwa Muwatstsaqun au Shaalihul-Hadiits hal. 429-430
no. 284, dan Irwaaul-Ghaliil 8/187].
Ahmad bin Muhammad bin Sa’iid bin Abaan Al-Qurasyiy
Al-Hamdzaaniy At-Tubba’iy; seorang yang tsiqah. Abu Haatim berkata
: “Shaduuq”. Al-Khaathib telah mentsiqahkannya. Adapun Adz-Dzahabiy
berkata : “Al-imaam ats-tsiqah, muhaddits Hamdzaan”. [selengkapnya
lihat Al-Jarh wat-Ta’diil 2/72 no. 138, Taariikh
Baghdaad6/145-146 no. 2632, dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 12/612
no. 236].
Terakhir, Al-Husain bin Ismaa’iil bin Muhammad bin
Ismaa’iil bin Sa’iid bin Abaan Adl-Dlabbiy Al-Baghdaadiy Al-Muhaamiliy, seorang
yang tsiqah [lihat Taraajim Rijaal Ad-Daaruquthniy fii
Sunanihi oleh Muqbil Al-Wadi’iy hal. 194 no. 466].
Kesimpulan sanad mutaba’ah ini
adalah hasan, namun menjadi shahih dengan keseluruhan jalannya.
Ad-Daaruquthniy (3/162 no. 2293) dan Al-Baihaqiy
dalam Al-Kubraa (3/142 no. 5427) membawakan sanad lain dimana
antara ‘Abdurrahman bin Al-Aswad dan ‘Aisyah terdapat perantara ayah ‘Abdurrahman.
Oleh karena itu, sebagian huffadh menyatakan riwayat ini idlthirab.
Namun ta’lil idlthirab ini tidak bisa diterima dengan alasan :
a. Sanad riwayat pertama lebih kuat dibandingkan sanad kedua.
b. Abu Bakr An-Naisabuuriy, salah satu perawi hadits, berkata
saat mengomentari sanad Al-Baihaqiy (3/142 no. 5429) : “Begitulah yang
dikatakan Abu Nu’aim, dari ‘Abdurrahman, dari ‘Aaisyah. Barangsiapa yang
mengatakan ‘dari ayahnya’[1] dalam (sanad) hadits ini,
maka ia telah keliru”.
Maka, yang raajih dari dua sanad
di atas adalah sanad pertama tanpa perantaraan ayah ‘Abdurrahman bin Al-Aswad.
Sebagian muhadditsin juga men-ta’lil sanad
pertama dengan inqitha’ antara ‘Abdurrahman bin Al-Aswad
dengan ‘Aaisyah. Mereka mengambil perkataan Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal tentang
kemursalannya. Juga, dengan perkataan Ibnu Abi Haatim : “Aku mendengar ayahku
berkata : ‘Abdurrahman bin Al-Aswad masuk menemui ‘Aaisyah saat masih kecil,
dan ia tidak mendengar darinya” [Al-Maraasil, no. 129].
Namun perlu dicatat bahwa dalam As-Sunan,
Ad-Daaruquthniy memberikan penghukuman yang berbeda, yaitu sanad riwayat
tersebut hasan – sehingga mengandung pengertian tidak ada inqitha’ antara
‘Abdurrahman dengan ‘Aaisyah. Ad-Daaruquthniy sendiri mengatakan :
“’Abdurrahman bertemu dengan ‘Aaisyah, dan ia pernah masuk menemuinya yang saat
itu ia hampir baaligh (muraahiq) bersama ayahnya. Dan
ia mendengar dari ‘Aaisyah” [As-Sunan, 3/162].
Adapun terhadap perkataan Abu Haatim, Al-‘Alaa-iy
memberikan sanggahan dengan membawakan perkataan ‘Abdurrahman bin Al-Aswad
sendiri bahwa ketika telah ihtilaam(baligh), ia meminta
idzin dan memberikan salam kepada ‘Aisyah, dan ‘Aisyah pun mendengar suaranya”
[Jaami’ut-Tahshiil no. 422]. Tentu saja, yang menetapkan lebih
didahulukan daripada yang menafikkan, sebagaimana telah ma’ruf dalam
kaedah. Apa yang dikatakan Al-‘Alaa’iy ini disebutkan pula oleh Al-Bukhaariy
dalam At-Taariikh Al-Kabiir (5/252-253 no. 815) dimana
‘Abdurrahman memang benar-benar telah mendengar dari ‘Aisyah dan bercakap-cakap
dengannya.
Tidak diragukan lagi bahwa hadits ‘Aaisyah ini
adalah shahih.
Fiqh Hadits
Hadits ini menjadi dalil yang terang bagi pendapat
jumhur ulama madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah[2] bahwa menyempurnakan shalat (4
raka’at) ketika safar adalah diperbolehkan, dan qashar hukumnya merupakan rukhshah yang
diberikan Allah ta’ala kepada hamba-Nya.
Dalil lain yang memperkuat pendapat jumhur adalah
firman Allah ta’ala :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ
كَفَرُوا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka
tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang
orang-orang kafir” [QS. An-Nisaa’ : 101].
Peniadaan dosa (falaisa ‘alaikum junaah)
menunjukkan bahwa mengqashar shalat itu adalah satu kebolehan, bukan kewajiban.
عن يعلي بن أمية؛ قال: قلت لعمر بن الخطاب: {ليس عليكم جناح أن
تقصروا من الصلاة إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا} [4/النساء/ الآية-101] فقد أمن
الناس! فقال: عجبت مما عجبت منه. فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك. فقال
"صدقة تصدق الله بها عليكم. فاقبلوا صدقته".
Dari Ya’laa bin Umayyah, ia berkata : Aku berkata
kepada ‘Umar bin Al-Khaththaab tentang ayat : ‘Maka tidaklah mengapa
kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang
kafir’ (QS. An-Nisaa’ : 101) : “Sungguh orang-orang telah berada dalam
kondisi aman”. Maka ia berkata : “Aku juga sempat heran seperti keherananmu
itu. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai
hal tersebut. Beliau bersabda : ‘Itu adalah shadaqah yang telah Allah
shadaqahkan kepada kalian. Terimalah shadaqah-Nya itu” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 686].
Pengungkapan qashar dengan kata ‘shadaqah’
menunjukkan kebolehan, bukan wajib. Dan shadaqah jika disebutkan secara mutlak,
maka maknanya menunjukkan shadaqah sunnah – bukan shadaqah wajib.
عن عبد الرحمن بن يزيد قال : صلّى عثمان بمنىً أربعاً، فقال عبد اللّه بن مسعود: صليت مع
النبي صلى اللّه عليه وسلم ركعتين، ومع أبي بكر ركعتين، ومع عمر ركعتين، زاد عن
حفص: ومع عثمان صدراً من إمارته ثم أتمّها، …ثمَّ
تفرَّقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين، قال الأعمش:
فحدثني معاوية بن قرة عن أشياخه أن عبد اللّه صلى أربعاً قال: فقيل له: عبت على
عثمان ثم صليت أربعاً قال: الخلاف شرٌّ.
Dari ‘Abdurrahman bin Yaziid, ia berkata :
‘Utsman radliyallaahu ‘anhu shalat di Mina empat raka’at, maka
berkatalah Abdullah bin Mas’ud dalam rangka mengingkari perbuatannya : “Aku
shalat (ketika safar) bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dua
raka’at, bersama Abu Bakar dua raka’at, dan bersama ‘Umar dua raka’at, dan
bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, kemudian beliau melakukannya dengan
sempurna (empat raka’at – tidak diqashar), kemudian kalian berselisih, dan aku
ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at (sebagaimana
dilakukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam)”. Akan tetapi kemudian
Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Maka ditanyakan kepadanya : Engkau telah
mencela perbuatan ‘Utsman, namun engkau sendiri shalat empat raka’at ?”. Maka
beliau menjawab : “Khilaaf (perselisihan) itu jelek” [Diriwayatkan
oleh Abu Dawud no. 1960; shahih].
‘Utsmaan telah
mengqashar shalat di awal pemerintahannya, namun kemudian menyempurnakannya
kemudian. Walau sempat protes, Ibnu Mas’uud dan kemudian diikuti semua shahabat
yang lain tetap shalat di belakang ‘Utsman dengan sempurna (4 raka’at). Jika
melakukan shalat tamam (sempurna 4 raka’at) itu tidak
diperbolehkan, tentu Ibnu Mas’ud akan menjelaskannya dan tidak sekedar
beralasan menghindari khilaf.
Kita tidak mengatakan bahwa ‘Utsmaan sengaja
melanggar apa yang telah diwajibkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Justru perbuatannya itu (dan juga perbuatan shahabat lain yang
mengikutinya) menunjukkan pemahamannya bahwa qashar dalam safar bukanlah
sesuatu yang diwajibkan ketika safar.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 1431 H].
[2] Asy-Syarhul-Kabiir (1/358), Al-Majmuu’ (4/337), Kasyful-Qanaa’ (1/324), Al-Mughniy(2/197), Bidayatul-Mujtahid (1/241), Nailul-Authaar (3/239),
dan Al-Haawiy oleh Al-Mawardiy 2/363-365.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2010/03/hukum-menqashar-shalat-dalam-perjalanan.html
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2010/03/hukum-menqashar-shalat-dalam-perjalanan.html