Tanya : Apakah mencegah kemunkaran dengan memakai tangan adalah hak setiap orang ? Atau merupakan hak bersyarat, yaitu bagi umaraa’(pemerintah/penguasa) dan orang-orang yang diberi wewenang oleh mereka ?
”Mengubah kemunkaran adalah hak bagi setiap orang. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرا فَلْيُغَيّرْهُ بِيَدِهِ. فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ. فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ. وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الإِيمَانِ
”Barangsiapa
yang melihat kemunkaran, maka hendaknya ia mengubah dengan tangannya.
Bila tidak mampu, maka (ubahlah) dengan lisannya. Bila tidak mampu
(juga), maka hendaklah dengan hatinya. Dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman” [Diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, dan Ahlus-Sunan][1].
Akan tetapi, mengubah kemunkaran dengan tangan diperuntukkan bagi seseorang yang mempunyai qudrah (kekuasaan) yang tidak akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar atau kejelekan yang semakin banyak. Hendaknya seseorang mengubahkemunkaran dengan menggunakan tangan dalam rumahnya, seperti pada anak-anaknya, istrinya, atau pembantunya.[2] Dan bagi seorang pegawai pada haiah (instansi) khusus yang diberi wewenang untuk perbaikan, ia boleh menggunakan tangannya.[3] Jika tidak demikian, maka tidak boleh mengubah kemunkaran
dengan menggunakan tangan bagi orang yang tidak memiliki wewenang.
Sebab jika orang yang tidak memiliki wewenang menggunakan tangannya,
akan menyebabkan kejelekan yang semakin banyak, musibah yang tidak
sedikit, keburukan yang semakin besar antara ia dan orang lain, atau
antara ia dan negara. Seharusnya ia mengubah kemunkaran dengan mengatakan (misalnya) :”Takutlah pada Allah wahai Fulan, ini tidak boleh”. (Atau :) ”Ini haram ! Ini wajib ! ; dengan dalil-dalil syar’iy melalui
lisannya. Adapun menggunakan tangan, maka pada tempat yang ia mampu,
seperti di rumahnya, kepada orang yang berada di bawahnya, atau orang
yang memang diberikan ijin dari pihak sulthan (penguasa) agar
memerintahkan yang bijak, seperti instansi-instansi yang ditunjuk
(diperintahkan) penguasa dan diberi wewenang untuk perbaikan. Maka,
mereka mengubahnya sesuai dengan wewenang yang diberikan dengan ketentuan syar’iy yang disyari’atkan oleh Allah dengan tidak menambah-nambah.”
Wallaahu a’lam.
[Al-Ma’lum min Wajib Al-Allaqah Bainal-Haakim wal-Mahkum. Jum’iyyah Ihyaa’ At-Turaats – catatan 2008 – abul-jauzaa’].
[1] Diriwayatkan oleh Muslim no. 49, Ahmad 3/10 & 20 & 49 & 50, Abu Daawud no. 1140 &4340; At-Tirmidziy no. 2172; An-Nasaa’iy no. 5008-5009, dan Ibnu Maajah no. 1275 & 4013.
[2] Seperti seorang ayah terhadap istri dan anaknya. Allah ta’ala telah berfirman :
وَاللاّتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنّ فَعِظُوهُنّ وَاهْجُرُوهُنّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنّ سَبِيلاً
“Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya” [QS. An-Nisaa’ : 34].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَرُّوا
الصِّبْيَانَ بِالصَّلاةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا
فِيْ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي اْلمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah
anak-anak (kalian) untuk shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan
pukullah mereka (bila tidak mau shalat) pada usia sepuluh tahun. Dan
pisahkan di antara mereka (anak laki-laki dan perempuan) pada tempat
tidurnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 494 dan Al-Haakim no. 708; shahih].
[3] Kalau di negeri kita (Indonesia) seperti aparat kepolisian dan yang semisalnya.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2015/06/mencegah-kemunkaran-dengan-tangan.html
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2015/06/mencegah-kemunkaran-dengan-tangan.html