Prolog : Ada
satu tulisan yang cukup menarik sehingga mendorong saya untuk memuatnya
di Blog ini. Sebuah nasihat yang diberikan oleh Dr. Daud Rasyid, salah
seorang aktifis pergerakan, tentang aktifitas para tokoh dakwah yang
terlibat di panggung politik. Khususnya mereka yang aktif di PKS
(Partai Keadilan Sejahtera). Secara umum, inti nasihat ini adalah
nasihat ataupun kritikan yang sering dikatakan oleh ikhwah salafiyyun.
Harapan saya, barangkali jika yang menasihati adalah tokoh dakwah
mereka, mereka mau introspeksi dan kembali dari kesalahan mereka dalam
ghulluw berpolitik. Semoga Allah memberikan petunjuk bagi kita semua.
******
Dakwah di jalan Allah (ad-da'wat ilallah)
adalah pekerjaan mulia yang dijanjikan dengan pahala yang besar. Dalam
hadits Shahih disebutkan, bahwa menunjuki ke jalan yang baik sama
seperti melakukan perbuatan baik itu sendiri (muttafaq alaih). Begitu juga dalam hadits lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam, menyatakan, jika anda mampu menjadi sebab bagi seseorang mendapat petunjuk Allah ta'ala,
itu lebih baik dari 'unta merah' (sebuah symbol kemewahan pada masa
dahulu). Dari dua hadits ini, kita bisa memahami bahwa profesi dakwah
adalah profesi terhormat di mata Allah ta'ala.
Dakwah
di era kontemporer ini bertujuan untuk mengembalikan kehidupan kaum
Muslimin ke garis yang benar, demi mengarahkan mereka kepada ibadatullah dalam
segala aspeknya. Para du'at itu mendakwahi ekonom dan bisnismen, tanpa
harus mereka berprofesi sebagai pebisnis. Mereka mendakwahi politisi
dan negarawan, tanpa harus mereka beralih profesi dari da'I menjadi
politisi. Mereka mendakwahi artis, tanpa harus menjadi artis.
Mendakwahi preman, tanpa harus jadi preman. Untuk merubah sesuatu,
khususnya sebuah dunia gelap, tidak mengahruskan kita menceburkan diri
dalam dunia itu. Dari contoh-contoh dakwah pendahulu pun, tidak
melakukan hal itu. Karena untuk menjadi pebisnis, begitu juga politisi,
tidak semudah yang dikhayalkan oleh banyak orang.
Asumsi
bahwa jika kita masuk ke sebuah dunia, kita bisa merubah dunia itu,
atau merubah banyak di dunia itu, ini lebih kepada teori indah, tapi
ketika dikerjakan, amatlah sungguh berat. Karena dunia bisnis dan
politik itu, sarat dengan kebohongan, ketidak jujuran, khianat, halal
menjadi haram, halal menjadi haram. Sehingga yang terjadi ialah
perubahan akhlak dan identitas keislaman da'i-dai' yang masuk ke
dalamnya. Sikap wara' menjadi
rapuh. Kebohongan menjadi biasa. Syubhat menjadi keharusan. Yang
sebelumnya takut pada yang syubhat, belakangan terkesan menjadi berani
pada yang syubhat bahkan mungkin juga pada yang haram. Kewara'an dan
zuhud yang menjadi muwashofat seorang da'I, nyaris menjadi tak
popular. Penilaian juga ikut berubah. Hal-hal (baca : uang)
yang sebelumnya dianggap haram, harus dihindari, dan merusak kewara'an,
belakangan sudah dianggap biasa, atau tuntutan berbisnis atau
berpolitik. Untuk menjustifikasi tindakan-tindakan itu, digunakanlah
kaidah-kaidah fiqh secara berani dan tidak proporsional. Seolah-olah
yang menetapkan hukum dan fatwa, orang-orang sekaliber Abu Hanifah,
Malik dan asy-Syafi'i. Kalau Imam Malik dulu, lebih banyak menjawab
"tidak tahu" dari 40 masalah yang diajukan kepadanya, padahal dia
seorang Imam Mujtahid, sementara di zaman sekarang banyak peneliti
agama, menjawab dengan berani masalah apa saja yang diajukan kepada
mereka, dengan dalih ijtihad, maslahat.
Para imam itu dahulu, enggan menjawab masalah padahal dia mengetahuinya, karena mengingat riwayat yang popular di kalangan fuqoha' : "Ajro'ukum ala al-Futya ajro'ukum ala an-Nar". (orang yang paling berani di antara kalian berfatwa, adalah orang yang paling berani masuk neraka.)
Memang
masih ada orang yang mampu bertahan dengan idealismenya di dunia rawan
seperti itu, tapi jumlah mereka hanya berapa? Tapi yang umum adalah
terbawa oleh arus utama dalam dunia yang baru dihadapinya. Di dalam Shohih Muslim,
terekam nasehat Nabi Saw kepada Abu Zar. Beliau mengatakan, Hai Abu
Zar. Aku mencintaimu sebagaimana aku mencintai diriku sendiri. Kulihat
engkau sosok yang lemah,janganlah memimpin dua orang (apalagi orang
banyak), dan janganlah mengurusi harta anak yatim.
Inilah
pesan Nabi kepada salah seorang Sahabat dekatnya. Apa yang bisa kita
pahami dari kisah ini? Bahwa dunia tertentu seperti kepemimpinan publik
menuntut qualifikasi tertentu. Artinya, tak setiap orang soleh bisa
terjun ke dunia politik. Rasul sama sekali tak meragukan kesolehan dan
ketakwaan Abu Zarr, beliau adalah seorang sohaby yang mulia. Tetapi
kepemimpinan publik adalah dunia yang tak cukup mengandalkan hanya
kesolehan pribadi. Batu-batu licin dan batu terjal nan tajam yang
membahayakan berhamparan di sana. Padahal di jaman itu yang hidup
adalah para sahabat, generasi terbaik dengan segala keistimewaannya.
Namun Rasul tidak merekomendasi Abu Zar untuk terjun ke dunia publik,
karena faktor-faktor pribadi yang beliau lihat pada Abu Zar.
Yang
terjadi dari zaman ke zaman dalam uji coba terjun ke dunia politik oleh
para aktifis dakwah, mirip dengan gambaran Abu Zar itu. Semangat awal
memang cukup menakjubkan, yaitu ingin merubah dunia hitam menjadi dunia
cemerlang. Uji coba seperti itu bukan baru pertama kali dilakukan.
Generasi-generasi sebelumnya di negeri ini juga sudah melakukan itu.
Tetapi hasilnya serupa. Tak berubah. Orang yang masuk kesana, bukan
merubah, tapi ikut berubah. Bukan mewarnai, tetapi terwarnai. Bagaimana
jika yang terwarnai ini adalah sebuah rombongan besar yang bercita-cita
menegakkan mega proyek Islam?Bukankah siasat itu menjadi praktik 'bunuh
diri' danset back atau
mundur dalam memahami materi-materi dakwah? Orang lain pun akan
mengatakan, kenapa anda tidak belajar dari pengalaman saudara-saudara
anda sebelumnya? Apakah anda terlalu percaya diri atau anda telah jatuh
dalam isti'jal(terburu-buru mencapai tujuan)?
Persoalan
yang dihadapi bukan satu-satu soal uang, risywah dan sejenisnya,
walaupun ini telah banyak merubah orientasi aktifis Islam dari idealism
eke fragmatisme. Tapi ada hal-hal yang sudah masuk wilayah 'Aqidah.
Seorang Mukmin yang aqidahnya sudah tershibghoh tawhid, bagaimana dapat
bekerjasama dengan kaum yang menghalalkan segala cara, bahkan
menghalalkan kekufuran dan kefasikan? Bukankah Allah Subhanah Wata'ala mengingatkan NabiNya dengan peringatan yang keras, tak ada peringatan sekeras itu dalam firman-Nya: "Dan
jika Kami tidak menetapkan hatimu, hampir-hampir saja engkau condong
sedikit kepada mereka. Jika itu terjadi, pasti Kami rasakan kepadamu
siksaan berlipat ganda di dunia dan begitu pula siksaan berlipat ganda
setelah mati, dan kamu tidak akan mendapatkan seorang
penolongpun terhadap Kami." (Al-Isro' 74-75).
Jika
yang berjuang itu Nabi Allah, yang menetapkan hatinya adalah Allah Swt,
dan wahyu turun menegurnya, bila terjadi pembelokan dalam gerak
dakwahnya. Tapi jika yang berjuang itu manusia biasa, wahyu apakah yang
turun mengingatkannya? Yang mengingatkan hanyalah manusia yang masih
ingin memelihara orisinalitas dakwahnya. Tapi musibah besar jika yang
memberi nasehat dianggap sebagai penghalang jalan dakwah. Padahal
andaikan tidak ada si 'penghalang' itu, mereka bisa terjerumus
seluruhnya kepada kebinasaan.
Peringatan keras Robbany seperti di atas seharusnya juga dipahami sebagai peringatan untuk para da'i yang berjuang menegakkan dienullah.
Mereka harus benar-benar konsisten di jalan dakwah dan tidak tergiur
oleh rayuan-rayuan manusia dan bisikan-bisikan syaitan untuk merubah
arah, pemahaman dan metodologi dakwah mereka.
Adalah
peringatan Nabi kepada Para Sahabatnya dilaporkan oleh Abu Sa'id
al-Khudry yang menceritakan: "Ketika kami duduk di sekitar mimbar
Rasul, Beliau bersabda, sesungguhnya yang paling kutakuti menimpa
kalian, adalah jika dunia terbuka lebar di depan kalian, kesenangan nya
terhampar di hadapan kalian." (muttafaq alaihi).
Jadi
cobaan yang dikhawatirkan bukan cobaan yang datang dari luar, tetapi
cobaan dari dalam diri sendiri, menganggap diri sudah besar, sudah
berpengaruh, dapat simpati besar, dunia pun terbentang di hadapan.
Inilah awal ketergelinciran. So. Siapakah yang mau merenung, Fahal min muddakir?
[selesai, saya ambil dari : http://daudrasyid.com/index.php?option=com_content&task=view&id=50&Itemid=35].
Dalam kesempatan lain Dr. Daud Rasyid berkata :
Ba’da tahmid wa sholawat
Ayyuhal muslimuun, ikhwah fillah yang dirahmati Allah, syukur alhamdulillah yang tidak henti-hentinya kita panjatkan kehadirat Allah SWT -subhanahu wa ta’ala-
yang masih meneguhkan semangat kita walaupun dari sana sini SMS ataupun
panggilan ataupun lobi-lobi untuk orang-orang tertentu agar tidak ikut
dan tidak berhubungan dengan forum kader peduli, tetapi ternyata
alhamdulillah ana lihat mesjid ini, dari sejak pertemuan yang lalu
bahkan makin penuh. Ada apa ini, antum ini semua? Makin ditakut-takuti
makin penuh, makin banyak yang hadir. Sebenarnya ini menunjukkan sebuah
kerinduan kepada asshoolatudda’wah (orisinalitas dakwah).
Kita ingin kembali kepada materi-materi yang dulu kita pelajari sejak awal. Al walaa-u lillaah, al baroo’ ‘an kulli ath-Thowaghit. Berpihak kepada Allah. Innama waliyyukumullaahu warrasuuluhu walladziina aamanu, sesungguhnya wali kamu itu adalah Allah, rasulNya dan orang-orang beriman.
Sekarang
sudah menjadikan pahlawan orang-orang yang tak jelas arah hidupnya.
Dijadikan sebagai tokoh, sebagai wali. Diangkat nama-nama orang yang
dalam sejarah telah tercatat permusuhan mereka itu kepada Islam.
Kenapa
dulu syari’at Islam terganjal pada tahun 45? Dalam Piagam
Jakarta, kita semua tahu sejarah. Padahal pada waktu diproklamasikannya
itu kemerdekaan, dasar-dasar daripada negara ini, itu didasarkan kepada
Undang-undang Dasar 45 yang mengacu kepada Piagam Jakarta. Yang
intinya, ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya. Tanggal 18, sehari, berubahlah itu, dicoretlah itu. Oleh
siapa? Kelompok nasionalis yang kita tahu siapa. Mereka inilah yang
ditokohkan sebagai pahlawan sekarang dan dalam iklan-iklan di televisi
itu.
Jadi
kita ini berubah 180 derajat, dari sebuah jama’ah (kelompok) umat
Islam yang ingin mengerahkan wala’ nya kepada Allah menjadi
berwala’ kepada syaithon danthowaaghiit. Na’udzubillaahi min dzalik. Kita tidak mau. Saya yakin inilah yang mendasari kehadiran antum.
Sebenarnya
ikhwah fillah, ana mencium perubahan ini sudah sejak awal, pada waktu
adanya mukernas di Depok, di mana diundang berorasi bekas musuh kita
— yang sudah meninggal — tokoh sekuler di Indonesia. Antum
masih ingat? Disuruh, diminta, dihormati, diagungkan untuk berorasi.
Saya tidak perlu sebut nama, karena antum semua sudah tahu, betul ndak?
Pada
waktu itu hari Jum’at. Ana gak habis pikir, pusing kepala. Apa
dasarnya ini orang diundang? Yang dulu kita ludahi, yang dulu kita
hujat sebagai tokoh sekuler, tiba-tiba disambut, dihormati, diagungkan
seperti guru. Laa hawla wala quwwata illa billaah. Pada saat itu betul-betul ana, secara pribadi, hati ini tersayat-sayat. Seperti meludah, dijilat kembali ludahnya.
Oleh
karena itu, pada saat itu, ana ingat kembali ini ceritanya. Begitu dia
naik, ana langsung keluar. Ditahanlah ana oleh tiga orang.
“Ustadz, ustadz, tunggu dulu, sebentar saja ustadz!”
“Oh tidak ada. Tidak pantas bagiku untuk menghormati, menghadapi muka orang yang dulu memusuhi Islam. “
Waktu
itu dia diagungkan, dijadikan rujukan sebagai bapak intelektual
Indonesia. Dan seperti orang yang mengilhami gerakannya yang disebut
dengan partai da’wah.
Dari
situ saja, waktu itu, saya sudah mulai membayangkan, ini bagaimanapun
ke depannya akan menjadi kelompok sekuler. Sudah mulai hilang
rambu-rambu yang dipelajari, al walaa-u lillaah. Maka hari demi hari
makin menunjukkan. Betul kata salah seorang ikhwah kita di dalam forum
SMS itu, hari-hari ini belakangan terus akan memberitahukan kepada
engkau, apa yang dulunya engkau tak tahu. Apa yang dulunya masih
tertutup rahasia, hari ke depan akan makin lama makin tersingkap
rahasia tabir-tabir yang dulu tersembunyi.
Kita mengira bahwa kita itu berjalan di atas sebuah thariiqudda’wah yang shahihah,thariiqul anbiya wal mursaliin, ‘ibadatullaahi wahdah, al kufru liththaghuut.
Tetapi ternyata belakangan kitapun diajak berdamai, cair, lemah lembut.
Menunjukkan wajah yang senyum kepada orang-orang mujrimin yang
menghancurkan negara ini, yang menjual negara ini. Kitapun disuruh
untuk berbaik-baik kepada mereka. Bagaimana mungkin seorang kader
da’wah bisa menerima seperti itu?
Oleh
karenanya ikhwah fillaah rahimakumullaah, mari kita tetap berpegang.
Perbanyak antum tilawatil Qur’an, insyaAllah orang-orang yang
terus senantiasa berpegang kepada kitabullah, ini tidak akan mau
tergelincir. “Laa tajtami’u ummati ‘ala dhalaalah”, kata nabi kita SAW -shallallahu ‘alaihi wa sallam- . “Tidak akan mungkin ummatku bersatu dalam sebuah kesesatan.”
Jadi
mudah-mudahan kita ini penyelamat agar saudara-saudara kita yang lain
tidak sampai sesat. Kita ini sebagai pengontrol mereka. Sekali lagi
kita ingin tegaskan, kita ini bukan mau merebut sebuah qiyadah. Apa
yang mau direbut? Kita ndak punya kemampuan apa-apa. Kita ini bukan mau
mengganjal, kita ini bukan mau menggagalkan, tidak. Tetapi jalan
da’wah yang sudah dari awal dibangun secara benar, ini jangan
sampai miring, seperti orang yang mabuk, tidak lihat jelas jalannya
yang mana yang harus ditempuh, ke kiri atau ke kanan. Kita tidak mau
seperti itu, karena semuanya kita ini punya patokan, punya dasar
kitabullah, sunnah rasulillah. Tidak akan lahir mujtahid-mujtahid baru
yang akan mempunyai ta’wil-ta’wil untuk menjustifikasi
kebijakan-kenijakan yang nyeleneh dan kontroversial. Tidak bisa itu,
dan itu tidak akan kita biarkan. Dan kalau kita tetap dituduh sebagai
orang-orang yang ingin menggembosi, yang ingin menciptakan
jama’ah baru, biarlah mereka nanti tahu bahwa kita tidak punya
keinginan untuk membuat apa-apa yang baru. Kita hanya ingin meluruskan
jalan yang sudah ada.
Oleh
karenanya mereka seharusnya membuka hati dan harusnya mereka itu
berterimakasih ada yang mengingatkan. Kan begitu seharusnya? Mereka
harusnya ruju’ kepada yang benar. Berterimakasih, bukan justru
menteror, beberapa saudara kita diteror lewat SMS, dan seterusnya dan
seterusnya. Maka oleh karena itu, kita tidak akan berhenti dalam
menegakkan amal amru bil ma’ruf wan nahi ‘anil munkar, kapanpun dan di manapun.
Dan kita yakin, insyaAllah,
dengan do’a-do’a kita, kita berdo’a agar ikhwah kita
akan kembali seluruhnya ke jalan yang benar. Dan kita tidak perlu
berdo’a agar mereka celaka, tidak. Mereka itu sedang menghadapi
sebuah cobaan yang disebut dengan dunia. Supaya mereka sadar akan
cobaan itu, dan tidak larut tergelincir, akhirnya mereka pun terpental
dari jalan da’wah. Nanti, akhirnya yang disebut oleh Said Hawwa, al mutasaqithuuna fii thariiqidda’wah,
jangan dibalik, jangan dibilang kita ini orang-orang yang berguguran di
jalan da’wah. Sekarang ada pemutarbalikan istilah, orang lurus
dibilang bengkok, yang bengkok dibilang lurus. Ini berarti kacamata
sudah tidak benar. Kalau kacamata sudah tidak benar, itu memang betul.
Hitam kelihatan putih, putih kelihatan hitam.
Jadi
oleh karenanya, sekali lagi, mari kita tamassuk bi kitabillaah. Apa
yang dulu biasa kita lakukan, tilawatil Qur’an adalah merupakan
tugas seorang akh untuk berusaha mengkhatamkan Qur’an itu minimal
satu bulan sekali. Ini adalah tugas-tugas kita sebagai akh di dalam
jama’ah ini. Begitu juga ikhwah, kita menghidupkan sunnah, jangan
kita anggap kecil, sepele sunnah-sunnah. Sunnah-sunnah nabi itu
semuanya mulia. Rasulullah sudah berpesan kepada kita, jangan kamu
anggap sepele. “Taroktu fiikum Amroini, Maa intamassaktum bihima Lan tadhillu ba’di abada”.
Biar orang lain menyepelekan sunnah, menganggap bahwa dirinya sudah
berubah, kita sudah maju, kita sudah meninggalkan masa lalu.
Oh
tidak, kita tetap katakan, kita ini tetap dulu seperti yang dulu juga.
Kapanpun dan di manapun kita hidup, tetap saja manhaj yang kita pakai
manhaj yang lama.Manhajudda’wah anbiya wal mursaliin yang mengajak orang kepada ‘ibadatullaah, al waahidil qahhaar. Ikhwah fillah rahimakumullah,
kalaupun awalnya kita mau berpartai tujuannya adalah untuk mengajak
orang menyembah Allah, bukan mau mencari kekuasaan. Tak ada gunanya
mencari kekuasaan. Apa gunanya kekuasaan kalau akhirnya membuat kita
celaka. Karena Allah pun mengatakannya dalam al Qur’an
“Wa ‘adallaahulladzina amanu minkum wa ‘amilushshaalihaati, layastakhlifannahum fil ardhi, kamastakhlafalladzina min qablihim, wa layumakkinanna lahum diinahumulladzirtadha lahum, wa layubaddi lannahum min ba’di khawfi him amna ; ya’buduunani la yusyrikuuna bi syai-an”
“Wa ‘adallaahulladzina amanu minkum wa ‘amilushshaalihaati, layastakhlifannahum fil ardhi, kamastakhlafalladzina min qablihim, wa layumakkinanna lahum diinahumulladzirtadha lahum, wa layubaddi lannahum min ba’di khawfi him amna ; ya’buduunani la yusyrikuuna bi syai-an”
Allah
menjanjikan kepada orang beriman dan beramal sholeh. Antum ndak usah
ribut, pusing kepala cari kekuasan. Itu sudah janji Allah, akan
dikasihnya. Ndak usah sampai kamu mengorbankan idealisme menjual
tokoh-tokoh orang. Akhirnya sekarang yang punya tokoh pada marah semua.
Malu tidak itu? Malu sekali. NU nya marah, Muhammadiyahnya marah, orang
nasionalisnya marah. Sudah tidak ada harga diri lagi. Tokoh orang
disanjung-sanjung seolah-olah tidak punya tokoh kamu itu.
Padahal kita itu, qudwatuna Rasulullah SAW -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kita tidak perlu kepada tokoh-tokoh. Semua tokoh itu ada cacatnya, betul tidak? Yang bersih dari cacat Rasulullah SAW -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kenapa kamu sibuk menokohkan orang? Semua mereka itu punya cacat, yang cacatnya itu tidak tanggung-tanggung.
Oleh karenanya, kita kembali kepada manhaj, Allaahu ghayatuna, warrasul qaa’iduna.Rasulullah itu pemimpin kita yang insyaAllah tidak akan ada sesuatu yang negatif pada diri Rasulullah SAW -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kenapa kita sibuk mencari tokoh di luar tokoh yang sudah diajarkan kepada kita?
Kembali
kepada ayat yang tadi, Allah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan
beramal sholeh, akan diberinya kekuasaan. Nah ini dia… Jadi kamu
tidak usah pusing, sibuk, menjilat ke sana ke mari mencari perhatian
orang. Ada pepatah Arab, “Kullun yadda’i hubban bi Laila, wa Laila la tuqirru bi wahid”,
Semua laki-laki mengatakan Laila cinta pada saya, tetapi Laila tidak
pernah mengakui satu orangpun diantara mereka. Malu sekali.
Jadi
Allah akan memberikan yang namanya kekuasaan itu, layastakhlifannahum,
istikhlaaf, sebagaimana yang diberikannya kepada ummat sebelum kamu, wa layumakkinanna lahum diinahumulladzirtadha lahum, akan memberikan tamkiin, akan memantapkan posisi diin ini
di muka bumi, kemudian wa la yubadilannahum min ba’di khawfi him
amna, akan diganti Allah rasa takut menjadi rasa aman, tapi syaratnya
apa?ya’buduunani la yusyrikuuna bi syai-an.
Sekarang
kita itu sudah mulai menyerempet-nyerempet ke syirik, betul tidak?
Mengakui nasionalisme yang dibuat oleh orang-orang nasionalis yang
tidak mengenal Allah, yang tidak bertauhid kepada Allah Ta’ala.
Jadi kita sudah mulai nyerempet ke situ. Yang tadinya faham tentang
tauhid, yang tadinya memusuhi syirik tapi sekarang sudah berubah.
Bagaimana kita mau mendapatkan kekuasaan dari Allah Ta’ala? Yakin ana gak bakalan. Tidak bakal dikasih Allaah Ta’ala itu. Karena sudah dikatakan demikian, “ya’buduunani la yusyrikuna bi syai-an”. Mereka menyembah Aku dan tidak mensekutukan Aku dengan segala sesuatu apapun.
Oleh
karena itu, apapun namanya kita ini, mau jam’iyah mau
jama’ah mau hizbiyyah, tugas kita adalah mengajak orang untuk
‘ibadatillaahi wahdah. Sekarang sesudah jadi partai,
berani gak mengajak orang ke tauhid? Berani gak mengajak orang supaya
menyembah Allah? Tidak berani. Sesudah jadi partai akan berbicara
dengan bahasa-bahasa politik.
Dipikir mereka, mereka akan bisa diberikan Allah kekuasaan. Oh tidak. Jadi selama kita tidak menempuh jalur, manhaj, cara, thariiqah yang
dilakukan oleh para pendahulu kita dari ummat ini, maka Allah tidak
akan kasih. Kalaupun dikasihNya nanti, ya kekuasaan yang akhirnya
menghancurkan kita. Ada yang mau? Saya yakin semua kita tidak akan mau.
Gara-gara kekuasaan iman kita tergadai. Gara-gara kekuasaan aqidah kita
larut. Gara-gara kekuasaan yang haram menjadi halal. Tidak, lebih bagus
kita tidak punya kekuasaan
Ikhwah fillah rahimakumullah, jadi pertemuan kita ini sebenarnya ingin menghidupkan kembali apa yang dulu, yang biasa kita pelajari. Syahadatain, memantapkan maknasyahadatain itu kembali. Di mana lagi ada pengertian ilaah al marghuub fihi?
Sudah ndak ada lagi itu materi-materi seperti itu. Pertemuan-pertemuan
hanya dicekoki dengan pilkada di sini, pilkada di sana, menghadapi
2009, yang tidak ada hubungannya dengan keimanan.
Oleh
karenanya banyak para ikhwah itu mengeluh, datang ikut liqo tetapi iman
tidak terasa bertambah. Bahkan pulang liqo, pusing kepala. Kalau dulu
datang liqo, pulang, semangat keimanan membara, kecintaan kepada Allah
SWT -subhanahu wata’ala-. Sehingga habis malam itu
dihabiskan untuk sujud kepada Allah dan berdiri di hadapan Allah.
Sekarang, karena terlalu larut malam membicarakan masalah
agenda-agenda, pulang tengah malam, tidur, subuhpun lewat. Apakah
begitu kader da’wah?
Jadi oleh karenanya ikhwah fillah rahimakumullah,
biarpun sebagian saudara kita menuduh ini sebuah upaya untuk
menggembosi, kita katakan kepada mereka, tidak ada penggembosan. Yang
ada adalah penyadaran. Ana, antum semua, mari kita sama-sama
menyadarkan saudara-saudara kita yang sedang larut dengan dunia.
Kembalilah wahai ikhwah ke jalan yang benar, dan kami semuanya
saudaramu. Tidak ada keinginan diantara kami untuk memecah-belah dan
untuk menimbulkan permusuhan. Apabila kembali jama’ah ini kepada
khithah yang aslinya, insyaAllah, Allah akan memberikan kemenangan itu
di luar yang kita perhitungkan.
Allaahu akbar!
[selesai, saya ambil dari :http://abu0mushlih.wordpress.com/2009/04/16/kejujuran-seorang-doktor/]
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2009/04/nasihat-dr-daud-rasyid-kepada-aktifis.html