Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama kita ini, sebagai mana yang dinyatakan dengan tegas dalam firman-Nya:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
“Pada
hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agama mu, dan telah Aku
cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridlo Islam menjadi
agamamu.” (Al Maidah : 3)
Ibnu
Katsir mengomentari ayat ini dengan berkata: “Disempurnakannya
agama islam merupakan kenikmatan Allah Ta’ala yang paling besar
atas umat ini, karena Ia telah menyempurnakan agama mereka, sehingga
mereka tidak memerlukan lagi kepada agama lainnya, dan tidak pula
kepada seorang nabi selain Nabi mereka sendiri shollallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karena itu Allah Ta’ala menjadikannya sebagai penutup para
nabi, dan mengutusnya kepada seluruh jin dan manusia. Dengan demikian
tidak ada suatu yang halal, melainkan yang beliau halalkan, dan tidak
ada yang haram, melainkan yang beliau haramkan, dan tidak ada agama,
melainkan agama yang beliau syari’atkan, setiap yang beliau
kabarkan pasti benar lagi jujur, tidak ada mengandung kedustaan
sedikitpun, dan tidak akan menyelisihi realita.” (Tafsirul Qur’anil Adlim 2/12)
Ayat ini, sebagaimana telah diketahui, diturunkan kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pada hari arafah, pada hajjatul wada’. Imam Al Bukhori meriwayatkan dari Thoriq bin Syihab, ia mengkisahkan: “Orang-orang
Yahudi berkata kepada Umar bin Khottab rodiallahu ‘anhu:
‘Sesungguhnya kalian membaca satu ayat, seandainya ayat itu turun
pada kami kaum Yahudi, niscaya (hari diturunkannya ayat itu) akan kami
jadikan I’ed (perayaan).’ Maka Umar berkata: ‘Sungguh
aku mengetahui kapan dan dimana ayat itu diturunkan, dan dimana
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berada disaat ayat itu
diturunkan, yaitu di padang arafah, dan kami juga sedang berada di
padang arafah, yaitu firman Allah:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
“Pada
hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah aku cukupkan
atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridlo Islam menjadi agamamu.'” (Shohih Bukhori, 4/1683, hadits no: 4330)
Pada
riwayat ini, dapat kita ketahui, bahwa kesempurnaan agama islam ini
bukan hanya diketahui dan disadari oleh kaum muslimin saja, bahkan
orang-orang Yahudi pun mengetahuinya, bukan hanya sebatas itu, mereka
berangan-angan seandainya ayat ini diturunkan kepada mereka, niscaya
mereka akan merayakannya.
Sebagai
bukti lain bahwa orang-orang non islam menyadari akan kesempurnan agama
islam, ialah kisah berikut: Ada sebagian orang musyrikin berkata kepada
sahabat Salman Al Faris rodiallahu ‘anhu: “Sungguh Nabi kalian telah mengajarkan kalian segala sesuatu, hingga pun tata cara buang hajat,” maka Sahabat Salman menimpalinya dengan berkata: “Benar,
beliau sungguh telah melarang kami untuk menghadap ke arah kiblat di
saat buang air besar atau buang air kecil, atau beristinja’
menggunakan tangan kanan, atau beristijmar dengan bebatuan kurang dari
tiga batu, atau beristijmar menggunakan kotoran binatang atau dengan
tulang-belulang.” (Shohih Muslim, 1/223, hadits no: 261)
Bila
kesempurnaan agama islam dalam segala aspek kehidupan telah diakui dan
diketahui oleh orang-orang non islam, maka betapa sengsara dan bodohnya
bila ada orang islam yang masih merasa perlu untuk mencari alternatif
lain dalam beragama, yaitu dengan cara menambah, atau memodifikasi,
atau menggabungkan, atau dengan cara mengadopsi teori-teori dan
ajaran-ajaran umat lain, baik asalnya dari negeri India, atau Mesir,
atau Yunani dan Barat. (*)
(*) Suatu
fakta yang memilukan, di saat di negeri kita sedang menjamur
sekolahan-sekolahan islam, dimulai dari SDIT hingga perguruan tinggi,
akan tetapi ternyata teori-teori pendidikan yang diterapkan, ialah
teori pendidikan barat, dan bukan teori pendidikan islam, diantaranya
ialah teori pendidikan yang melarang seorang guru mengajarkan muridnya
dengan metode perintah, juga melarang dari memberikan hukuman fisik
-misalnya: pukulan dll-, ini semua tidak selaras dengan prinsip dan
tahapan amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam agama islam, wallahul
musta’an.
Dan
pada firman-Nya yang lain, Allah menegaskan bahwa pada Al Qur’an
Allah telah menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia:
ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين
“Dan
telah Kami turunkan kepadamu Al Kitab ( Al Qur’an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira
bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An Nahel: 89)
Ibnu mas’ud rodiallahu ‘anhu berkata: Telah dijelaskan kepada kita dalam Al Qur’an ini seluruh ilmu dan segala sesuatu.
Dan Al Mujahid berkata: Seluruh halal dan haram telah dijelaskan.
Setelah
Ibnu Katsir menyebutkan dua pendapat ini, belaiu berkata:
“Pendapat Ibnu Mas’ud lebih umum dan menyeluruh, karena
sesungguhnya Al Qur’an mencakup segala ilmu yang berguna, yaitu
berupa kisah-kisah umat terdahulu, dan yang akan datang. Sebagaimana Al
Qur’an juga mencakup segala ilmu tentang halal dan haram, dan
segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, dalam urusan kehidupan
dunia dan agama mereka.” (Tafsirul Qur’anil ‘Adlim 2/582).
Oleh karena itu, orang yang paling hafal dan memahami ilmu Al Qur’an dan sunnah-sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam,
kemudian mengamalkannya adalah orang yang paling berguna bagi
perjalanan umat, baik untuk masa kini atau masa depan mereka, di dunia
atau di akhirat. Mereka itulah para ulama’ rabbaniyyin,
yang ucapannya patut dijadikan panutan dan fatwanya dijadikan pedoman.
Merekalah yang akan dapat menegakkan kebenaran, dan memperjuangkannya.
Merekalah yang akan menepis dan menyingkap tabir dan kedok setiap musuh
yang menyusup ke barisan umat. Dan mereka pulalah yang memadamkan api
dalam sekam, dan menangkap musuh dalam selimut, dan mereka pulalah
tonggak kekuatan umat islam. Karena mereka adalah ahli waris Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, yang mewarisi ilmu dan semangat perjuangan beliau.
العلماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ بحظ وافر
“Para
ulama’ ialah ahli waris para nabi, dan sesungguhnya para nabi
tidaklah mewariskan dinar, juga tidak dirham, yang mereka wariskan
hanyalah ilmu, maka barang siapa yang mendapatkan ilmu, maka ia telah
mendapatkan bagian warisan yang banyak.” (Hadits
Abi Ad Darda’, dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad 5/196, Abu Dawud,
3/317, hadits no: 3641, At Tirmizy 5/48, hadits no: 2682, Ibnu Majah
1/81, hadits no: 223, dll.)
Inilah
sebabnya, mengapa setan dan ahli warisnya paling berang bila melihat
ulama’ yang benar-benar komitmen dengan Al Qur’an dan As
Sunnah, sehingga mereka berusaha menghalang-halangi setiap usaha dan
gerak para ulama’ dan menjauhkan mereka dari kehidupan
masyarakat, dengan berbagai cara. Semua ini mereka lakukan agar mereka
dapat dengan leluasa menebarkan makar dan tipu muslihatnya. Kadang
kala, dengan kekuatan, dan kadang kala pula dengan cara-cara yang
lembut, yaitu dengan melontarkan berbagai tuduhan buruk kepada ahli
waris Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana dahulu mereka telah melakukan usaha-usaha ini guna menghadapi dakwah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.
Diantara
sebab terjadinya perolok-olokan terhadap ulama’ ialah
merajalelanya kebodohan terhadap ilmu syari’at, dalam pepatah
arab dinyatakan:
الإنسان عدو لما يجهله
“Manusia itu akan senantiasa memusuhi setiap yang tidak ia ketahui.”
Sebagaimana
yang kita rasakan, betapa banyak dari kaum muslimin pada zaman ini yang
menentang syari’at islam dan mengatakan bahwa islam itu keji, dan
tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Ini semua salah satu bukti
bahwa kaum muslimin telah jauh dan bodoh tentang ajaran islam, dan
bahwa islam senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Sehingga
tidak heran bila mereka memusuhi ulama’ yang komitmen dengan
ajaran Al Qur’an dan As Sunnah.
Dan
seandainya masyarakat mengetahui bahwa peran ulama’ sangat besar,
dan tugas yang mereka emban suci lagi berat, dan berkat -setelah rahmat
dari Allah- perjuangan dan jasa mereka Allah menurunkan berbagai
kenikmatan dan kerahmatannya, sehingga seluruh penghuni langit dan bumi
senantiasa memohonkan ampunan untuk mereka (*), niscaya tidak akan ada
orang yang memperolok-olokkan mereka.
(*) Sebagaimana
yang disebutkan dalam hadits Abi Ad Darda’ rodiallahu
‘anhu: “Barang siapa yang menempuh suatu perjalanan guna
menuntut ilmu, niscaya dengannya Allah akan memudahkan baginya jalan
menuju ke surga. Dan para malaikat akan menutupkan sayapnya, karena ia
suka dengan seorang penuntut ilmu. Dan sungguh seorang ulama’
akan dimohonkan ampunan oleh seluruh penghuni langit dan bumi, sampai
pun ikan di lautan….” (Lihat takhrij hadits ini pada
footnote sebelumnya).
Dan
diantara perangkap yang mereka pasang dan upaya yang mereka tempuh guna
menjauhkan masyarakat dari ulama’ ialah tuduhan baru tapi kuno.
Baru, karena dikemas dengan ungkapan-ungkapan yang seakan-akan sopan,
kuno karena kandungannya keji dan jahat dan tujuannya sama dengan
tujuan setiap ahli waris setan di setiap zaman. Tuduhan ini ialah
mengatakan: bahwa mereka para ulama’ tua sudah kadaluwarsa, habis
masa berlakunya, mereka hanya dapat membaca kitab-kitab kuning yang
telah usang diterpa zaman, sehingga mereka tidak memahami realita dan
perkembangan zaman. Mereka hanya mampu memahami dan mengajarkan
berbagai masalah seputar haid dan nifas, atau ilmu mereka tidak lebih
dari sebatas celana dalam wanita. Bahkan ada lagi yang lebih keji
tuduhannya dengan mengatakan: mereka hanya memahami kulit luar agama
islam, sedangkan inti dan kandungannya belum atau tidak mereka pahami.
(*)
(*) Syeikh
Ahmad bin Yahya An Najmi berkata: “Agama islam semuanya haq,
tidak ada salahnya, benar lagi jujur tidak ada dustanya, sungguh-sungguh
tidak ada faktor main-main, dan semuanya inti tidak ada kulitnya. Saya
takutkan orang yang menyangka bahwa dalam ajaran agama islam ada yang
dianggap kulit, ia telah keluar dari keislaman dan telah menjadi
murtad.” (Al Maurid Al Azbu Al Zulaal 235).
Syeikh
Sholeh bin Fauzan Al Fauzan mengatakan tentang kenyataan ini dengan
berkata: “Ada oknum-oknum yang berusaha menjatuhkan kedudukan
para ulama’, melalui media elektronik, dan koran-koran, di sana
juga ada orang yang mencela ulama’-ulama’ terdahulu,
seperti Imam Ahmad, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syeikhul Islam
Muhammad bin Abdil Wahhab, dan lainnya. Di sana juga ada oknum-oknum
yang meremehkan peran ulama’-ulama’ sekarang, dengan
mengatakan: mereka ekstrim, dangkal pemikiran, picik pandangan, tidak
memahami realita, mereka hanya ulama’ picisan, gila jabatan, kaki
tangan pemerintah, dan julukan-julukan jelek lainnya. Kemudian mereka
berusaha mempropagandakan para penyeru pembaharuan dan intelek, yang
tidak menguasai hukum-hukum syari’at, dan hanya memiliki
pengetahuan umum, tidak mampu membedakan antara akidah yang benar dan
yang salah.” (Majalah Al Jazirah edisi 12 rajab 1424)
Mungkin
ada yang mengatakan, ah ini kan hanya sebatas tuduhan saja. Guna
membuktikan bahwa orang semacam ini ada dan bahkan banyak berkeliaran
di mana-mana, akan saya nukilkan perkataan salah seorang dari mereka.
Penulis
buku (خطوط رئيسية لبعث الأمة الإسلامية) berkata: “Dan pada hari
ini, -sangat disayangkan- kita memiliki ulama’ (syuyukh)
yang hanya memahami kulit agama islam, layaknya ia sedang hidup pada
zaman dahulu, padahal sistem kehidupan dan metode transaksi masyarakat
telah berubah. Apa gunanya seorang ulama’ yang membaca ayat-ayat
riba’ sedangkan ia tidak memahami berbagai transaksi riba’
yang berjalan pada zaman sekarang, dan apa gunanya seorang ulama’
yang tidak mampu untuk membantah perkataan seorang atheis yang
mengatakan bahwa hukuman potong tangan bagi pencuri ialah tindakan
bengis, dan menikah dengan empat wanita itu gaya hidup orang-orang
rimba dan tidak moderen …………”
(Dinukil melalui kitab Al Maurid Al Azbu Az Zulaal, hal. 234)
Tuduhan ini dalam bahasa arab sering disebut dengan (فقه الواقع)
Syeikh Ibnu Baz -rahimahullah–
tatkala mengomentari tuduhan-tuduhan ini berkata: “Kewajiban
setiap orang muslim untuk selalu menjaga lisannya dari hal-hal yang
tidak layak, dan hendaknya ia tidak berbicara kecuali dengan dasar
pengetahuan. Ucapan bahwa si fulan tidak memahami realita,
memerlukan pengetahuan, dan tidak boleh dikatakan kecuali oleh orang
yang berilmu, hingga ia dapat menghukumi bahwa dia benar-benar tidak
memahami realita. Adapun mengucapkannya dengan tanpa dasar, dan
mengklaim atas dasar pemikiran sendiri tanpa ada bukti, maka ini adalah
kemungkaran besar, tidak boleh dilakukan. Dan untuk mengetahui bahwa
pemberi fatwa ternyata tidak memahami realita, membutuhkan bukti, dan
ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh para ulama’.” (Majalah Rabithoh Alam Islamy, edisi 313, dengan perantara kitab: Qowaid fi Ta’amul ma’a Al Ulama’, oleh Syeikh Dr. Abdur Rahman bin Mu’alla Al Luwauhiq)
Komentar beliau ini singkat tapi padat dan penuh dengan pelajaran penting, diantaranya:
Pelajaran
Pertama: Bahwa menuduh ulama’ dengan tuduhan semacam ini ialah
suatu tindakan yang tidak layak, bahkan haram hukumnya, karena ucapan
ini selain merupakan penghinaan terhadap orang lain, juga berakibat
terwujudnya jurang pemisah antara ulama’ para panutan umat dengan
masyarakat. Dan bila antara mereka telah terbentang jurang pemisah,
niscaya yang akan terjadi ialah seperti yang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sabdakan:
إن
الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض
العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير
علم فضلوا وأضلوا
“Sesungguhnya
Allah tidaklah mengangkat ilmu dengan cara mencabutnya dari manusia,
akan tetapi Ia mengangkat ilmu dengan cara mematikan para ulama’,
hingga bila Allah tidak menyisakan lagi seorang ulama’-pun,
niscaya manusia akan mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin
mereka, kemudian mereka ditanya, dan mereka pun menjawab dengan tanpa
ilmu, maka mereka pun sesat dan menyesatkan.” (Hadits Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash rodiallahu ‘anhu, diriwayatkan oleh Al Bukhori 1/50, hadits no: 100, dan Muslim 4/2058, hadits no: 2673)
Syeikh
Sholeh bin Fauzan Al Fauzan berkata: “Orang-orang yang
melontarkan tuduhan-tuduhan tersebut kepada para ulama’,
berkeinginan untuk menggeser kepercayaan masyarakat kepada mereka, dan
memisahkan mereka -terutama para pemuda- dari para ulama’, dan
ini merupakan tindak penghancuran dan pengrusakan. Seorang penyair
berkata:
متى يبلغ البنيان يوم تمامه إذا كنت تبني وغيرك بهدم
Kapan pembangunan akan dapat terlaksana
Bila engkau membangun, sedang orang lain merusaknya
Penyair lain berkata:
أرى ألف بان لا تقوم لهادم فكيف ببان خلفه ألف هادم
Ku kira seribu pembangun tak kuasa menghadapi seorang perusak
Bagaimana halnya seorang pembangun dengan seribu perusak
Bila
problematika umat tidak dikembalikan kepada para ulama’ yang
telah mendalam ilmunya, dan orang-orang yang memiliki pemikiran jernih,
niscaya akan kacau dan rusak tolok ukur mereka, sebagaimana disinyalir
oleh seorang penyair:
لا يصلح الناس فوضى لا سراة لهم ولا سراة إذا جهالهم سادوا
Masyarakat tak layak tuk hidup kacau, tanpa pemimpin
Dan tiada kepemimpinan bila orang pandirlah yang memimpin.” (Fatawa al Aimmah fi An Nawazil al Mudlahimmah 291)
Pelajaran
Kedua: Bahwa ucapan semacam ini tidak boleh diucapkan kecuali oleh
orang-orang yang berilmu, sehingga ucapannya dapat dipercaya dan
dipertanggung jawabkan. Karena perlu kita ingat bahwa kata (الفقه)
dalam bahasa arab semakna dengan kata (الفقه) pemahaman. Dan pemahaman
atau fiqih, dalam ilmu syari’at terbagi menjadi dua, sebagaimana
yang dinyatakan oleh Ibnul Qayyim dalam perkataannya berikut:
“Seorang mufti atau hakim tidak akan dapat berfatwa dan menghakimi dengan benar, melainkan dengan dua jenis pemahaman:
- Pemahaman terhadap kasus atau kejadian, dan mengetahui hakikat kejadian itu dengan menggunakan berbagai qorinah, tanda dan bukti-bukti hingga ia benar-benar menguasai ilmu tentang kejadian itu.
- Pemahaman tentang kewajiban yang berhubungan dengan kejadian itu, yaitu memahami hukum Allah yang Allah sebutkan dalam Al Qur’an atau melalui lisan Rasul-Nya tentang kejadian itu.
Kemudian
ia (mufti atau hakim) mencocokkan keduanya, maka barang siapa yang
telah mengerahkan seluruh daya dan upayanya guna menguasai dua hal ini,
niscaya ia tidak akan luput dari dua atau satu pahala. Karena
ulama’ ialah orang yang menjadikan pemahamannya tentang kejadian
sebagai sarana guna mengenali hukum Allah dan Rasul-Nya.” (I’ilamul Muwaqi’in 1/87-88)
Kemudian
permasalahannya bukan hanya sebatas ini saja, karena pemahaman jenis
pertama masih terbagi menjadi dua, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Syeikh Sholeh in Abdil Azizi Alu As Syeikh, dalam perkataannya berikut
ini:
“Sesungguhnya memahami realita (realita) -menurut ‘ulama- terbagi menjadi dua bagian:
Bagian
pertama: Pemahaman terhadap realita yang dibangun di atasnya hukum
syari’at, dan ini merupakan suatu keharusan, dan harus dipahami,
dan barangsiapa yang menghukumi suatu masalah, tanpa memahami
realitanya, maka dia telah salah. Dan Jika realita tersebut, memiliki
pengaruh dalam menentukan hukum, maka kita wajib untuk memahaminya.
Bagian
kedua: Realita yang tidak memiliki pengaruh dalam menentukan hukum
syari’at, misalnya: kejadiannya demikian dan demikian, dan kisah
cerita yang panjang lebar…, akan tetapi realita dan kisah
tersebut, tidak ada pengaruhnya sama sekali dalam menentukan hukum
syari’at. Ketika itulah, para ‘ulama tidak
memperdulikannya, walaupun mereka memahami realita tersebut. Dengan
demikian tidak setiap realita yang diketahui dibangun di atasnya hukum
syari’at.” (Ad Dhowabith As Syar’iyyah Li Mauqifi Al Muslim fi Al Fitan hal: 45)
Realita
jenis kedua ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan (الأوصاف
الطردية). Tentu kita semua tahu bahwa realita jenis ini tidak ada
pengaruhnya dalam menentukan hukum sesuatu, atau dengan kata lain
“ilmu yang bila diketahui tidak ada manfaatnya, dan bila tidak
diketahui juga tidak merugikan”. Untuk dapat membedakan antara
realita yang berpengaruh dalam menentukan hukum dengan realita yang
tidak berpengaruh sama sekali, kita harus mengetahui hal apa saja yang
diperhatikan oleh syaria’at dalam seluruh permasalahan dalam
fiqih, dan hal apa saja yang diperhatikan oleh syari’at dalam bab
tertentu -misalnya bab ibadat- dalam ilmu fiqih, dan hal apa saja yang
diperhatikan oleh syari’at dalam sub bab tertentu, -misalnya bab
wudlu dan menghilangkan najis/thoharoh– dalam ilmu fiqih.
Untuk memperjelas penjelasan di atas, akan saya contohkan dengan beberapa contoh berikut:
Contoh realita bagian pertama:
A.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam hal riba’, apakah
berlakunya riba’ dalam jual beli emas dan perak, karena faktor
dijadikannya kedua benda ini sebagai alat untuk transaksi jual beli,
sehingga setiap hal yang menggantikan peranan emas dan perak dalam hal
ini berlaku pula hukum riba’, sehingga mata uang yang kita
gunakan sekarang ini berlaku padanya hukum-hukum riba’. Ataukah
karena faktor yang ada pada emas dan perak itu sendiri, sehingga selain
keduanya tidak berlaku hukum-hukum riba’? Ataukah karena keduanya
adalah logam berharga yang selalu ditimbang bila diperjual belikan?
Bila ada orang yang hendak berbicara tentang hukum-hukum riba’
pada zaman ini, kemudian tidak mengetahui realita ini, niscaya ia akan
berbicara dengan sembarangan dan terjerumus ke dalam jurang kebinasaan
dan berfatwa tanpa dasar ilmu.
B.
Kapankah seseorang dapat diklaim kafir, dan bagaimana tahapan-tahapan
untuk dapat sampai kepada kesimpulan bahwa si fulan kafir? Bila ada
suatu kejadian -misalnya- : ada si fulan yang bersujud kepada selain
Allah, kemudian kita ditanya apakah si fulan telah kafir dengan
perbuatannya itu? Maka kita harus tahu tentang realita si fulan itu
saat dia bersujud kepada selain Allah. Apakah saat itu dia sedang
sadar, berakal, baligh, tahu bahwa sujud kepada selain Allah itu kufur?
Atau barang kali ia saat bersujud kepada selain Allah sedang tertidur,
atau dipaksa seseorang, atau tidak paham bila sujud itu hanya ditujukan
kepada Allah semata…dst?. Bila seseorang hendak menghukumi orang
ini tanpa mengetahui realita ini semua, niscaya keputusan hukum yang ia
ambil salah dan menyelisihi kebenaran.
Contoh realita bagian kedua:
A.
Berlakunya hukum riba’ pada emas perak (dinar dan dirham) tidak
ada kaitannya dengan warna dan bentuk keduanya. Sehingga tidak setiap
yang berwarna kuning dan putih berkilau berlaku padanya hukum
riba’, walaupun realita emas berwarna kuning, dan perak berwarna
putih berkilau.
B.
Divonisnya seseorang telah kafir karena ia bersujud kepada selain
Allah, atau tidak, tidak ada kaitannya, apakah ia seorang lelaki atau
perempuan, ia sujud sekali, atau dua kali, ia sujud di waktu pagi atau
sore, ia orang seorang intelektual ahli baca koran atau bukan? Karena
syari’at islam tidak membedakan manusia berdasarkan hal-hal itu,
akan tetapi syariat memiliki tahapan-tahapan dan syarat-syarat yang
telah jelas dan baku dalam menghukumi seseorang. (Tahapan-tahapan yang
dimaksud ialah: (1) ditegakkannya hujjah kepada orang itu bahwa
perbuatannya itu benar-benar perbuatan kufur, (2) Di saat ia melakukan
perbuatan itu ia telah berakal baligh, (3) Disaat ia melakukan tindakan
itu dalam keadaan bebas, tidak dalam ancaman seseorang, (4) Di saat ia
melakukannya ia tahu dan sadar bahwa tindakan itu ialah kufur, dan ia
tidak memiliki takwil atau alasan sedikit pun. Untuk mendapatkan
penjelasan lebih luas, silahkan baca buku: Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, oleh DR. Ibrahim Ar Ruhaily, 1/163-222)
C.
Sebagai contoh lain, diharamkannya khomer, apakah hanya karena ia
terbuat dari jus anggur, sehingga minuman yang terbuat dari bahan-bahan
lain tidak haram, walaupun memabokkan? Apakah minuman yang diolah
dengan cara-cara yang moderen, dan disterilisasi, dan dikemas dengan
kemasan yang bagus lagi menarik, kemudian diminum di tempat-tempat yang
terhormat, di masjid misalnya, tidak dikatakan khomer sehingga halal?
Tentu orang yang memahami hukum syari’at tentang keharaman khomer
tidak akan berubah fatwanya hanya karena adanya perubah dalam hal-hal
ini, sebab Syari’at mengharamkan khomer, bukan karena bahan
bakunya, akan tetapi sifat memabokkan yang ada pada minuman itu. Dengan
demikian, setiap yang memabokkan dalam syariat disebut khomer, dan
setiap yang memabokkan ialah haram hukumnya.
عن بن عمر رضي اله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (كل مسكر خمر وكل مسكر حرام). رواه مسلم
“Dari
Ibnu Umar rodiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam bersabda: (Setiap yang memabokkan adalah khomer,
dan setiap yang memabokkan adalah haram.” (HR. Muslim)
Untuk
lebih jelasnya, saya anjurkan kawan-kawan untuk mempelajari ilmu ushul
fiqih, dan secara khusus pembahasan qiyas, dan secara lebih khusus lagi
pembahasan (العلة ومسالكها).
Pelajaran
Ketiga: Orang yang menuduh ulama’ dengan tuduhan ini, ia harus
dapat mendatangkan bukti, bahwa mereka benar-benar tidak memahami
realita. Bila ia tidak dapat membuktikannya, berarti ia adalah pendusta
dan pembohong. Bila ucapan ini hanya sebatas berbicara tanpa bukti, menduga
tanpa dasar dari kenyataan, maka betapa mudahnya, dan setiap orang
dapat melakukannya, akan tetapi bila datang saatnya dituntut untuk
membuktikan, apalagi membuktikannya di depan pengadilan, maka tidak
semudah yang dibayangkan.
Kemudian
bila kita sedikit mengikuti keinginan orang-orang yang mendengungkan
fiqhul waqi’ ini, dan kita bertanya kepada mereka: Waqi’
dan realita yang mana dan bagaimana yang anda maksudkan? Niscaya kita
akan dapatkan bahwa yang mereka maksudkan secara khusus ialah seputar
permasalahan politik nasional atau internasional dan berbagai kebijakan
pemerintah.
Dan
bila kita bertanya kepada orang-orang yang mendakwakan dirinya memahami
realita (waqi’): Dari manakah anda dapat mengetahui waqi’
atau realita? Niscaya kita dapatkan jawabannya ialah: dari berita
radio, televisi, koran, majalah, ulasan si fulan dan si fulan yang di
siarkan di stasiun tertentu, yang tidak jarang bila kita teliti lebih
mendetail bahwa pengulas berita tersebut ialah orang fasik atau bahkan
kafir, atau orang yang memiliki kepentingan tertentu. Bahkan seringnya
mereka mengandalkan stasiun-stasiun berita milik orang kafir, semisal:
BBC London, CNN Amerika, dll, yang jelas-jelas memusuhi agama islam.
Ini
adalah suatu kesalahan besar, karena telah mempercayai berita dan
ulasan atau pemikiran orang-orang yang dalam syari’at islam tidak
dapat dipercaya. Allah Ta’ala berfirman:
يأيها الذين أمنوا إن جاءكم فاسق بنبإ فتبينوا أن تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين
“Wahai
orang-orang yang beriman, bila datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menjadikanmu
menyesali perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat: 6)
Bila
kita dilarang menelan bulat-bulat berita yang disampaikan oleh
orang-orang fasik, apalagi bila yang menyampaikannya adalah orang-orang
kafir.
Sebagian
ulama’ tatkala membahas kaidah (الحكم على الشيء فرع عن تصوره),
mereka menyebutkan bahwa tashowwur (gambaran/penjabaran tentang realita
suatu kejadian) yang dapat dijadikan dasar dan pedoman dalam berfatwa
ialah satu dari dua bentuk gambaran/penjabaran berikut:
1.
Gambaran yang disampaikan oleh orang yang meminta fatwa, sebab orang
tersebutlah yang sedang menghadapi masalah itu, jika dia bertanya atau
menjelaskan permasalahannya, niscaya akan didapatkan gambaran yang
jelas darinya, maka sang mufti akan dapat menjelaskan hukum agama,
sesuai dengan pertanyaannya.
2.
Gambaran tersebut diperoleh dari penjelasan orang muslim adil dan
terpercaya, dan ahli dalam bidangnya sehingga tidak ada kerancuan
sedikitpun dalam penjelasannya. Cara ini haruslah diambil dari orang
muslim adil dan berkompeten dalam masing-masing permasalahan.
Sebagai
contoh misalnya yang diterapkan oleh Hai’ah Kibarul Ulama’
di Kerajaan Arab Saudi, Majma’ Al Fiqh Al Islami dibawah OKI, dan
Al Majma’ Al Fiqhy Al Islamy di bawah pengawasan Rabithoh Al
‘Alam Al Islamy. Dimana tatkala mereka hendak mengeluarkan suatu
fatwa tentang permasalahan tertentu, baik yang berhubungan dengan
berbagai transaksi dalam dunia perbankan, atau kedokteran atau lainnya,
mereka mendatangkan para pakar dan ahli dalam masing-masing bidangnya.
Dengan demikian penjelasan dan gambaran tentang setiap permasalahan
yang hendak mereka hukumi telah jelas dan terpercaya. (Ibid).
Para
ulama’ -semisal anggota Hai’ah Kibarul Ulama’- mereka
telah menguasai ilmu syari’at, dan sistem islami dalam berbagai
aspek kehidupan, siyasah, transaksi perdagangan (mu’amalah), tatanan rumah tangga (munakahat),
hukum pidana dan perdata dll, sehingga acapkali disampaikan kepada
mereka sitem dan metode hasil karya pemikiran orang non muslim, mereka
dapat mengetahuinya dan membeberkan titik kesalahannya, ini berkat ilmu
syari’at yang telah mereka kuasai. Sehingga ilmu syari’at
mereka telah menjadi timbangan atau barometer dalam menghukumi setiap
hal baru atau kontemporer. Oleh karenanya mereka tidak merasa perlu
untuk mempelajari setiap sistem dan metode kehidupan orang-orang non
islam, dan mengikuti berita-berita yang disiarkan di berbagai mass
media.
Sebagai
penutup tulisan ini, saya akan sebutkan hukum memperolok-olok
ulama’. Para ulama’ membagi sikap mencela ulama’
kepada dua bagian:
1 .Mencela badan dan pribadi mereka, maka ini ialah perbuatan haram, berdasarkan firman Allah:
يأيها
الذين أمنوا لا يسخر قوم من قوم عسى أن يكونوا خيرا منهم ولا نساء من نساء
عسى أن يكن خير منهن ولا تلمزوا أنفسكم ولا تنابزوا بالألقاب بئس الاسم
الفسوق بعد الإيمان ومن لم يتب فأولئك هم الظالمون
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum memperolok-olokkan kaum
yang lain, boleh jadi mereka yang diperolok-olok lebih baik dari mereka
(yang memperolok-olokan), dan jangan pula wanita memperolok-olok wanita
lain, boleh jadi mereka yang diperolok-olok lebih baik dari yang
memperolok-olokkan. Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan
janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar (julukan-julukan) buruk.
Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan kefasikan sesudah keimanan, dan
barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim.” (QS. Al Hujurat: 11)
Dan ini merupakan kesombongan, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
الكبر بطر الحق وغمط الناس
“Kesombongan itu ialah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (Riwayat Imam Muslim, 1/93, hadits no: 90)
2 .
Mencela mereka disebabkan keimanan, ilmu, amalan, dakwah, dan komitmen
mereka terhadap Al Qur’an dan As Sunnah, maka celaan macam ini
adalah kekufuran, dan menjadikan pelakunya dikatakan murtad. Karena ini
pada hakekatnya adalah celaan terhadap Allah, Rasul-Nya shollallahu ‘alaihi wasallam, dan agama-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
ولئن سألتهم ليقولن إنما كنا نخوض ونلعب قل أبالله وأياته ورسوله كنتم تستهزؤون لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم
“Dan
jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu)
tentulah mereka akan menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanyalah
bersenda gurau, dan bermain-main saja.’ Katakanlah:
‘”Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu
selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah
kafir sesudah beriman.'” (QS. At Taubah: 65-66)
Al Lajnah Ad Da’imah berfatwa:
“Mencela
agama, dan memperolok-olok sebagian dari Al Qur’an dan As Sunnah,
dan memperolok-olok orang yang berpegang teguh dengan keduanya, karena
sikapnya mengamalkan keduanya, misalnya karena ia memanjangkan
jenggotnya, dan seorang muslimah karena ia berjilbab, maka ini bila
dilakukan oleh orang yang mukallaf adalah kekufuran, dan harus
dijelaskan kepada pelakunya bahwa ini adalah kekufuran, bila ia tetap
nekad setelah mengetahuinya, maka ia telah kafir. Allah Ta’ala
berfirman:
ولئن سألتهم ليقولن إنما كنا نخوض ونلعب قل أبالله وأياته ورسوله كنتم تستهزؤون لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم
“Dan
jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu)
tentulah mereka akan menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanyalah
bersendagurau, dan bermain-main saja.’ Katakanlah:
‘”Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu
selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah
kafir sesudah beriman.'” (QS. At Taubah: 65-66) (Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah 2/24)
Pada
akhir tulisan ini, akan saya sebutkan perkataan dua orang ulama’
besar tentang perbuatan mencela ulama’, semoga menjadi peringatan
bagi kita semua:
Abdullah bin Mubarak –rahimahullah–
berkata: “Wajib atas setiap orang yang berakal sehat untuk tidak
meremehkan tiga macam orang: Para ulama’, pemerintah, dan kawan,
karena orang yang meremehkan ulama’ niscaya kehidupan akhiratnya
akan rusak, dan orang yang meremehkan pemerintah, niscaya kehidupannya
di dunia akan rusak pula, dan orang yang meremehkan kawan, niscaya
kewibawaannya akan sirna.” (Siyar A’alam An Nubala’ 17/251)
Al Hafiz Ibnu ‘Asakir -rahimahullah–
berkata: “Ketahuilah -wahai saudaraku, semoga Allah senantiasa
membimbing kita kepada keridhoaan-Nya, dan menjadikan kita semua
sebagai orang yang benar-benar bertaqwa kepada-Nya- sesungguhnya daging
(menggunjing) para ulama’ itu beracun, dan kebiasaan Allah dalam
menyingkap kedok para pencela mereka (ulama’) telah diketahui
bersama. Karena mencela mereka dengan sesuatu yang tidak ada pada
mereka, merupakan petaka besar, dan melecehkan kehormatan mereka dengan
cara dusta dan mengada-ada merupakan kebiasaan buruk, dan menentang
mereka yang telah Allah pilih untuk menebarkan ilmu, merupakan perangai
tercela.” (Tabyiin Kazibil Muftary: 28)
Semoga Allah senantiasa membimbing kita kepada kebenaran, menjaga lisan kita dari kedustaan, dan hati kita dari kemunafikan.
اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه
-Wallahu a’alam bis showaab-
***
Penulis: Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
Sumber: http://muslim.or.id/428-racun-fiqhul-waqi.html