Islam Pedoman Hidup: Indahnya Mengikuti Sunnah

Kamis, 31 Desember 2015

Indahnya Mengikuti Sunnah


Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Sesungguhnya nikmat Allâh Ta’ala kepada manusia sangat banyak. Diantara nikmat yang dianugerahkan itu ialah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh manusia. Yaitu untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan kewajiban dengan sebaik-baiknya, menasihati ummat, menunaikan amanah, dan menyampaikan risalah. Sehingga tidaklah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kecuali agama Islam telah sempurna, nyata, dan terang-benderang. Tidak ada yang menyimpang darinya kecuali pasti binasa.
Risalah Islam ini, kemudian diteruskan oleh generasi-generasi terbaik umat ini. Mereka menerima, mengamalkan, dan menyampaikan yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berupa al-Qur’ân dan as-Sunnah. Al-Qur’ân, kitab suci yang tidak ada kebatilan di dalamnya semenjak diturunkan, karena memang dijaga oleh Allâh al-‘Aziz (Yang Maha Perkasa), al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui). Adapun as-Sunnah merupakan penjelasan bagi al-Qur’ân. Maka sepantasnya kita mensyukuri nikmat Allâh tersebut dengan cara mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah para sahabatnya yang mulia.
Di dalam tulisan ini ingin kami sampaikan beberapa keterangan yang menunjukkan keindahan mengikuti Sunnah, sehingga dapat mendorong kita untuk kian semangat dalam meniti jalan mulia ini. Semoga Allâh Ta’ala menganugerahkan kepada kita keikhlasan di dalam niat, dan kebenaran di dalam amal, serta kesabaran di dalamnya.
MAKNA SUNNAH SECARA LUGHAWI DAN ISTILAH
As-Sunnah, secara lughawi (bahasa) artinya jalan atau ajaran, meliputi jalan yang baik atau yang buruk.
Sedangkan menurut istilah ulama, sunnah memiliki beberapa makna sebagai berikut.
1. Menurut ulama ahli hadits, as-Sunnah ialah semua yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berupa qaul (perkataan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan, pengakuan) atau sifat. Istilah Sunnah ini semakna dengan hadits.[2]
2. Menurut ulama ushul fiqih, Sunnah ialah dalil-dalil agama yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bukan berupa al-Qur’ân, meliputi qaul (perkataan), fi’il (perbuatan), dan taqrir (penetapan, pengakuan).[2]
3. Menurut istilah ulama ahli fiqih, ialah sesuatu yang diperintahkan syari’at dengan perintah yang tidak wajib, sehingga pelakunya mendapatkan pahala, sedangkan yang meninggalkannya tidak disiksa.
Sunnah dalam istilah ahli fiqih ini semakna dengan mustahab, mandub, tathawwu’, atau nafilah. Kebalikannya adalah wajib atau fardhu.[3]
4. Menurut istilah ulama-ulama Salaf atau ulama aqidah, yang dimaksud dengan Sunnah ialah petunjuk (ajaran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang berupa ilmu, keyakinan, perkataan, dan amal perbuatan.
Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Sunnah adalah jalan yang dilewati, dan hal itu mencakup berpegang teguh dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafaur Rasyidin, yang berupa keyakinan, amal perbuatan, dan perkataan. Inilah Sunnah yang sempurna”.[4]
Adapun Sunnah dalam pembahasan penulisan kita ini ialah makna yang terakhir, dan Sunnah dengan makna ini kebalikannya adalah bid’ah. Artinya, umat Islam wajib mengikuti Sunnah, dan wajib menjauhi bid’ah, sebagaimana telah diwasiatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
INDAHNYA MENGIKUTI SUNNAH
Mengikuti Sunnah memiliki banyak keutamaan yang menunjukkan keindahannya. Di antaranya ialah sebagai berikut.
1. Menunjukan Bukti Kecintaan Kepada Allâh.
Allâh Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴿٣١﴾ قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Ta’atilah Allâh dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang kafir”. [Ali Imran/3:31-32].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata berkenaan dengan tafsir ayat ini:
Ayat yang mulia ini sebagai hakim terhadap semua orang yang mengaku mencintai Allâh, akan tetapi ia tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; maka sesungguhnya ia pendusta dalam pengakuannya itu, hingga ia mengikuti syari’at dan agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh perkataan dan keadaannya, sebagaimana terdapat dalam kitab Shahîhdari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya, maka amalan itu tertolak. [HR Muslim, no. 1718][5].
2. Menunjukkan Bukti Kecintaan Kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Seseorang tidak menjadi orang beriman yang sempurna hingga ia mencintai Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih daripada seluruh manusia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Tidaklah beriman –dengan keimanan yang sempurna- salah seorang dari kamu sehingga aku menjadi yang paling ia cintai daripada bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia. [HR Bukhâri, no. 15; Muslim, no. 44, dari Anas bin Malik].
Jika seseorang mencintai Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih daripada seluruh manusia, maka ia akan mengikuti petunjuk beliau dan lebih mengutamakannya daripada petunjuk siapa pun dari kalangan manusia.
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah : “Ketahuilah, bahwa seseorang yang mencintai sesuatu, ia akan mengutamakannya dan mengutamakan kecocokan dengannya. Jika tidak, maka ia tidak benar dalam kecintaannya, dan ia (hanya) orang yang mengaku-ngaku saja. Maka orang yang benar dalam kecintaannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah orang yang nampak darinya tanda-tanda tersebut. Pertama dari tanda-tanda itu ialah meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengamalkan sunnahnya (ajarannya), mengikuti perkataan dan perbuatannya, dan beradab dengan adab-adabnya, (baik) pada saat kesusahan maupun kemudahan, pada waktu senang maupun benci”.[6]
3.Bahwasanya Hidayah (Petunjuk) Agar Terhindar Dari Kesesatan Hanya Dengan Mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam .
Allâh Ta’ala berfirman:
قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَاحُمِّلَ وَعَلَيْكُم مَّاحُمِّلْتُمْ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَاعَلَى الرَّسُولِ إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ
Katakanlah: “Ta’atlah kepada Allâh dan ta’atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tiada lain kewajiban Rasul hanya menyampaikan (amanat Allâh) dengan terang”. [an-Nuur/24:54].
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat (Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk), yaitu : “Menuju jalan yang lurus dalam hal perkataan dan perbuatan. Sehingga tidak ada jalan bagi kamu menuju petunjuk kecuali dengan mentaatinya. Tanpa itu, tidak mungkin, bahkan mustahil”[7].
Hal ini karena memang Sunnah Nabi merupakan sebaik-baik petunjuk. Allâh Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh. [al-Ahzab/33:21].
4. Menjaga Keselamatan Dari Perselisihan Dan Perpecahan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat untuk berpegang dengan Sunnahnya dan Sunnah Khulafaur- Rasyidin sebagai solusi jika terjadi perselisihan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allâh; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum Muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya barangsiapa hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak; maka wajib kamu berpegang kepada Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan [HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah].
Memang tidak dipungkiri ada sebagian orang yang menisbatkan diri sebagai pengikut Sunnah dan Salaf, tetapi mereka berpecah-belah. Padahal sesungguhnya manhaj Salaf tidak berselisih dan berpecah. Yang berselisih dan berpecah adalah orang-orang yang menisbatkan diri kepadanya, namun dalam kenyataan ada penyimpangan, baik disadari ataupun tidak. Sebagaimana banyak orang menisbatkan diri sebagai pemeluk agama Islam, namun kenyataannya jauh dari agama Islam yang haq. Agama Islam memerintahkan persatuan, pemeluknya berpecah-belah. Manhaj Salaf merupakan jalan persatuan, namun orang-orang yang menisbatkan diri kepadanya berpecah-belah. Sesungguhnya semua sebagai ujian, bagi siapapun yang paling baik amalannya, paling ikhlas dan mengikuti Sunnah. Wallâhul-Musta’an.
5.Terselamatan Dari Sikap Ghuluw Dan Taqshîr.
Sesungguhnya setan memiliki dua jalan untuk menyesatkan kaum Muslimin.
•. Jika seorang muslim itu termasuk orang yang meremehkan kewajiban dan pelaku maksiat, maka setan akan menghiasi kemaksiatan dan syahwat kepadanya, sehingga ia tetap terjauh dari ketaatan kepada Allâh dan Rasul-Nya.
•. Jika seorang muslim itu termasuk pelaku ketaatan dan ibadah, maka setan akan menghiasi sikap berlebihan dan melewati batas kepadanya, hingga setan bisa merusakkan agamanya.
Seseorang tidak akan selamat dari sikap ghuluw (melewati batas) dan taqshir (meremehkan) ini kecuali dengan mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara bahaya ghuluw (melewati batas) dalam beragama, seperti ditunjukkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu:
«إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى إِذَا رُئِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ، وَكَانَ رِدْئًا لِلْإِسْلَامِ، انْسَلَخَ مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ، وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ»، قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ، الْمَرْمِيُّ أَمِ الرَّامِي؟ قَالَ: «بَلِ الرَّامِي»
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca (menghafal) al-Qur’ân, sehingga ketika telah nampak kebagusannya terhadap al-Qur’ân dan ia menjadi pembela Islam, ia terlepas dari al-Qur’ân, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya dengan kemusyrikan”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai Nabi Allâh, siapa yang lebih pantas dengan kemusyrikan, penuduh atau orang yang dituduh?” Beliau menjawab, “Penuduhnya.” [HR Bukhâri dalam at-Tarikh, Abu Ya’la, Ibnu Hibban, dan al-Bazzar. Lihat ash-Shahîhah, no. 3201, karya al-Albani].
6.Merupakan Solusi Untuk Meraih Kemuliaan.
Keadaan buruk yang menimpa umat Islam ini disebabkan jauhnya mereka dari agama Allâh. Keadaan umat ini tidak akan menjadi baik kecuali dengan kembali menuju agama ini. Solusi ini ketetapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Dari Ibnu Umar, ia berkata:”Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jika kamu berjual-beli ‘inah (semacam riba), kamu memegangi ekor-ekor sapi, kamu puas dengan tanaman, dan kamu meninggalkan jihad, (maka) Allâh pasti akan menimpakan kehinaan kepada kamu, Dia tidak akan menghilangkan kehinaan itu sehingga kamu kembali menuju agama kamu.” [HR Abu Dawud, no. 3462; Ahmad, no. 4825; dll. Lihat ash-Shahîhah, no. 11].
Adapun yang dimaksud kembali kepada agama Islam, adalah kembali kepada Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah diamalkan oleh para sahabat.
7. Mengamalkan Dan Mendakwahkan Sunnah Nabi Merupakan Amalan Yang Besar.
Pelakunya akan mendapatkan pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya. Ini ditunjukkan oleh banyak hadits shahîh, antara lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Dari Abu Hurairah bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa mengajak menuju petunjuk, (maka) ia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa mengajak menuju kesesatan, (maka) ia menanggung dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, itu tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun. [HR Muslim, no. 2674]
8. Menjadi Faktor Yang Menyelamatkan Dari Berbagai Keburukan.
Sesungguhnya Allah telah memberikan ancaman keras terhadap orang-orang yang menyelisihi perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka jalan keselamatan dari ancaman itu ialah mengikuti Sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh Ta’ala berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-nya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih [an-Nûr/24:63].
Imam Ibnu Katsir rahimahullâh berkata: “Firman-Nya (Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-nya), yaitu perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu jalan, ajaran, Sunnah, dan syari’at beliau. Sehingga seluruh perkataan dan perbuatan (manusia) ditimbang dengan perkataan dan perbuatan beliau. Yang sesuai dengan itu diterima, dan yang menyelisihinya dikembalikan kepada orang yang mengatakannya atau orang yang melakukannya, siapa ia. Agar orang yang menyelisihi syari’at Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, secara lahir atau batin merasa takut (akan ditimpa fitnah/cobaan/musibah), yakni di dalam hati mereka, yang berupa kekafiran, atau kemunafikan, atau bid’ah (atau ditimpa azab yang pedih), yakni di dunia dengan pembunuhan, had (hukuman), penahanan, atau semacamnya”.[8]
9. Terselamatkan Dari Neraka.
Kaum Muslimin yang berpegang kepada Islam yang murni berdasarkan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat adalah firqah an-najiyah (golongan yang selamat) dari ancaman neraka, sebagaimana disebutkan dalam hadits iftiraqul-ummah di bawah ini:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ
Dari Auf bin Malik radhiyallohu ‘anhu, ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
• Orang-orang Yahudi telah bercerai-berai menjadi 71 kelompok, satu di dalam surga, 70 di dalam neraka.
• Orang-orang Nashara telah bercerai-berai menjadi 72 kelompok, 71 di dalam neraka, satu di dalam surga.
• Demi (Allâh) Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, umatku benar-benar akan bercerai-berai menjadi 73 kelompok, satu di dalam surga, 72 di dalam neraka”.
• Beliau ditanya: “Wahai, Rasûlullâh! Siapakah mereka itu?” Beliau menjawab: “Al-Jama’ah” [HR Ibnu Majah, no. 3992; Ibnu Abi Ashim, no. 63; Al-Lalikai, 1/101. Hadits ini berderajat hasan. Dishahîhkan oleh al-Albani dalam Shahîh Ibni Majah, no. 3226].
10. Menjadi Faktor Yang Memasukkan Ke Dalam Surga.
Mentaati Rasul merupakan jalan ke surga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Seluruh umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan!” Para sahabat bertanya: “Wahai, Rasûlullâh! Siapakah yang enggan?” Beliau menjawab: “Siapa saja mentaatiku, ia masuk surga, dan siapa saja bermaksiat kepadaku, maka ia benar-benar enggan (masuk surga)”. [HR Bukhari, no. 7280, dari Abu Hurairah].
Demikian sedikit penjelasan dari sebagian keutamaan dan keindahan mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allâh selalu membimbing kita di atas jalan yang Dia cintai dan ridhai, âmîn.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVI/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Al-Fushul fî Mush-thalah Haditsir-Rasul, Syaikh Tsanaullah az-Zahidi, hlm. 3.
[2]. Lihat kitab-kitab ushul fiqih dalam bab as-Sunnah.
[3]. Mudzakkirah Ushulil-Fiqih, Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi, hlm. 4.
[4]. Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, penerbit Darul-Ma’rifah, Beirut, cet. 1, th. 1408 H, hlm. 263.
[5]. Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali-‘Imran/3 ayat 31.
[6]. Asy-Syifa’, hlm. 571, dinukil dari Abhâts fil-I’tiqad, karya Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Abdul-Lathif, hlm. 37.
[7]. Tafsir Taisir-Karimir-Rahman, surat an-Nûr/24:54.
[8]. Tafsir Ibnu Katsir, surat an-Nûr/24:63.