Islam Pedoman Hidup: Eksistensi Hakikat dan Syariat Dalam Istilah Sufi

Senin, 04 Januari 2016

Eksistensi Hakikat dan Syariat Dalam Istilah Sufi

 
DR. Ali Musri Semjan Putra, MA
Eksistensi hakikat menurut orang-orang sufi adalah takwil-takwil yang mereka reka-reka dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian mereka simpulkan bahwa takwil-takwil tersebut hanya bisa diketahui oleh orang-orang khusus atau mereka sebut ulama khosh (khusus) di atas tingkatan ini ada lagi tingkat yang lebih tinggi yaitu ulama khoshul-khosh (amat leb­ih khusus) atau mereka sebut ulama hakikat.
Adapun syariat menurut mereka adalah lafazh-la­fazh dan makna yang zhohir (tersurat) dari nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal inilah yang dipahami oleh orang-orang awam (biasa), maka mereka me­nyebut ulama yang berpegang dengan pemahaman ini dalam menghayati ayat al-Qur’an dan hadits-ha­dits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nama “ulama ‘am (umum)” atau “ulama syariat”. Dari sini mereka membagi ulama menjadi dua bagian: ulama hakikat dan ulama syari­at, atau ulama batin dan ulama zhohir.
Menurut mereka ulama hakikat atau ulama batin lebih tinggi kedudukannya daripada ulama syariat atau ulama zhohir. Karena menurut pengakuan me­reka ulama hakikat dapat menyelami rahasia-rahasia ghoib yang tersembunyi dalam nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Untuk mengetahui rahasia-rahasia tersebut mereka memiliki rute-rute yang mesti dile­wati. Di samping itu, mereka memiliki trik-trik dalam mempengaruhi orang-orang di luar mereka dengan berbagai cerita-cerita bohong.
Di antara bentuk-bentuk rute-rute sesat mereka adalah puasa selama empat puluh hari berturut-turut, bersemedi dalam sebuah gua, tidak boleh memakan hewan yang disembelih atau binatang yang berdarah, atau dilarang memakan makanan yang dibakar de­ngan api.
Adakalanya mereka dalam melegalkan takwil-takwil sesat (ilmu hakikat) mereka dengan mengaku bermimpi bertemu salah seorang nabi, seperti Nabi Khidhir ‘alaihis salam atau Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atau mereka bermimpi bertemu dengan salah seorang seperti Abdul Qodir al-Jailani atau yang lainnya.
Dan adakalanya mereka mengaku dalam mendapat­kan takwil-takwil (ilmu hakikat) tersebut dengan melalui berdzikir hingga tidak sadarkan diri. Karena di antara kebiasaan mereka adalah melantunkan sola­watan dan syair-syair zuhud dengan berdendang dan bergoyang sampai larut malam.[1]
Di samping itu, mereka menghina dan mencela orang-orang yang menuntut ilmu dengan cara bela­jar kepada para ulama dan mereka sebut ini “ilmu syariat”. Mereka katakan bahwa ilmu mereka (ilmu hakikat) lebih utama daripada ilmu syariat yang di­pelajari melalui para ulama. Karena ilmu mereka (ilmu hakikat) mereka dapatkan langsung dari Alloh Ta’ala. Bahkan ilmu mereka lebih tinggi daripada ilmu Nabi ‘alaihis salam karena Nabi ‘alaihis salam mendapat ilmu melalui perantara yaitu Malaikat Jibril ‘alaihis salam adapun ilmu mereka langsung mereka dapatkan dari sumber di mana Ji­bril ‘alihis salam mendapatkannya (langsung dari Alloh ‘Azza wa jalla tanpa me­lalui Malaikat Jibril ‘alaihis salam). Maka ilmu mereka tidak melalui perantara melainkan langsung dari Alloh Ta’ala. Sehingga mereka mengatakan: “Telah menceritakan kepadaku hatiku dari Tuhanku.” Kadangkala mereka menye­but ilmu mereka (ilmu hakikat) dengan istilah ilmu laduni.
Menurut mereka, ilmu hakikat atau ilmu batin dan ilmu laduni lebih utama daripada ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah. Orang yang telah memiliki ilmu tersebut tidak butuh lagi kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka merasa lebih percaya diri dengan ilmu laduni. Dengan cara-cara demikian mereka dapat mengela­bui orang-orang awam dan orang yang tidak memi­liki pengetahuan agama yang cukup dalam aqidah.
Bila kita teliti kandungan al-Qur’an dan hadits-hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajmain juga ulama-ulama terkemuka di kalangan umat ini tidak ada yang menyatakan bila kita berselisih dalam hal agama ini kembali kepada ilmu laduni. Akan tetapi, seluruh umat Islam bersepakat bahwa jalan keluar dari segala perselisihan adalah kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana perintah Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya.
Firman Alloh Ta’ala:
.. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang se­suatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur’an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa’ [4]: 59)
Sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِيِّنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Maka sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian akan melihat perpecahbelahan yang banyak. Maka berpegangteguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurrosyidin. Genggamlah erat-erat dan gigitlah dengan geraham.” (HR. at-Tirmidzi dan beliau men­shohihkannya)
Kesesatan keyakinan orang-orang sufi tentang ilmu hakikat tidak hanya ditentang oleh para ulama Ahlus ­Sunnah melainkan juga mendapat celaan dan cercaan dari tokoh-tokoh sufi sendiri sebagaimana yang di­nukil oleh Ibnul-Jauzi rahimahullah beliau berkata: “Sesung­guhnya kebanyakan orang-orang sufi membedakan antara syariat dan hakikat, ini sebuah kebodohan dari orang yang mengatakannya. Karena sesungguhnya syariat seluruhnya adalah hakikat. Jika yang mereka maksud dengan demikian itu adalah rukhshoh (kemu­dahan) dan ‘azimah (ketegasan), maka masing-masing keduanya adalah syariat. sesungguhnya sekelompok dari golongan terkemuka dari mereka telah menging­kari dalam hal berpalingnya mereka dari ilmu zhohir dalam syariat.”

CELAAN TOKOH-TOKOH SUFI TERHADAP ILMU HAKIKAT 
Diriwayatkan dari Abu Hasan bin Salim, ia ber­kata: “seseorang datang kepada Sahal bin Abdulloh dengan membawa pena dan buku, ia berkata kepa­da Sahal: ‘Aku datang untuk mencatat sesuatu yang Alloh bisa memberi manfaat kepadaku dengannya.’ Jawab Sahal: ‘Tulislah! Jika engkau mampu menemui Alloh Ta’ala dalam keadaan membawa pena dan buku maka lakukanlah!’ Lalu orang tersebut berkata: ‘Berilah aku suatu faedah (tentang ilmu).’ Jawab Sahal: ‘Dunia selu­ruhnya adalah kebodohan kecuali yang berupa ilmu. Dan ilmu seluruhnya adalah hujjah (yang harus di­pertanggungjawabkan) kecuali yang berbentuk amal. Dan amal seluruhnya akan ditunda penerimaannya kecuali yang sesuai menurut al-Qur’an dan as-Sun­nah. Dan sunnah ditegakkan di atas ketakwaan.’
Diriwayatkan pula dari Sahal bin Abdulloh: “Jagalah hitam di atas putih, tidak seorang pun meninggalkan yang zhohir (jelas) melainkan ia menjadi zindik.
Diriwayatkan juga dari Sahal bin Abdulloh, ia berkata: “Tiada jalan yang lebih utama untuk menuju Alloh Ta’ala daripada jalan ilmu. Jika engkau berpaling dari jalan ilmu satu langkah niscaya engkau akan tersesat dalam kegelapan selama empat puluh pagi.”
Dalam ungkapan di atas Sahal menegaskan bahwa ilmu dan amal yang akan diterima Alloh Ta’ala hanyalah yang sesuai dengan apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-sunnah.
Berkata Abu Bakar ad-Daqoq: “Aku mendengar Abu Sa’id al-Khoroz berkata: ‘Setiap ilmu batin yang bertentangan dengan ilmu zhohir maka itu adalah kebatilan.”’
Berkata Abu Bakar ad-Daqoq: “Saat aku melewati Padang Tih Bani Israil, terbetik dalam pikiranku bah­wa ilmu hakikat bertentangan dengan ilmu syariat. Lalu aku mendengar suara dari arah bawah pohon: ‘Setiap ilmu hakikat yang tidak sesuai dengan ilmu syariat maka itu adalah kekafiran.”’
Berkata Ibnul-Jauzi rahimahullah “Imam al-Ghozali telah memperingatkan dalam kitab al-Ihya’, ia berkata: ‘sesungguhnya ilmu hakikat yang menentang ilmu syariat atau ilmu batin yang menentang ilmu zhohir maka ia lebih dekat kepada kekafiran daripada ke­pada keimanan.”‘
Berkata Ibnu ‘Uqoil: “Orang-orang sufi menjadi­kan syariat sebatas nama semata, mereka mengatakan yang dimaksud darinya adalah hakikat. Ini adalah pendapat yang keji. Karena syariat adalah datang dari Alloh Ta’ala untuk kebaikan dan jalan penghambaan para makhluk. Maka tidak ada di balik hakikat kecuali sesuatu yang dibisikkan oleh setan ke dalam jiwa seseorang. Setiap orang yang mengaku mendapat ilmu hakikat di luar ketentuan ilmu syariat maka itu adalah tipuan (setan).[2]
Orang-orang zindik telah menjadikan ilmu hakikat tersebut sebagai tameng untuk menolak hukum-­hukum syariat dan sebagai topeng untuk menutup kekufuran mereka.
Berkata Ibnul-Jauzi rahimahullah: “Orang-orang zindik tidak berani melangkah untuk menolak hukum-hukum syariat sampai datang orang-orang sufi, mereka datang dengan bantuan para pelaku maksiat. Perta­ma kali mereka membuat istilah hakikat dan syariat, ini adalah tindakan yang keji. Karena syariat adalah datang dari Alloh Ta’ala untuk kebaikan para makhluk. Maka tidak ada di balik hakikat kecuali sesuatu yang dibisikkan setan ke dalam jiwa seseorang. Setiap orang yang mengaku mendapat ilmu hakikat di luar ketentuan ilmu syariat maka itu adalah tipuan (setan). Jika mereka mendengar seseorang meriwayat­kan hadits, mereka katakan: ‘Kasihan sangat bodoh, mengapa mereka mau mengambil ilmu melalui yang mati dari yang mati! Sedangkan kita mengambil ilmu langsung dari Zat yang tidak pernah mati.’ Barang siapa yang berkata: Telah menceritakan kepadaku bapakku dari kakekku. Justru aku berkata: ‘Telah menceritakan kepadaku hatiku dari Tuhanku.”‘ Kata Ibnul-Jauzi rahimahullah: “Mereka (orang-orang sufi) telah binasa dan telah membinasakan orang lain dengan khuro­fat-khurofat ini. Orang-orang bodoh tertipu sehingga mengorbankan harta demi mereka.”[3]
Dengan mengaku mendapat ilmu hakikat mereka bisa mengelabui dan berkilah untuk meninggalkan perintah-perintah agama.
Berkata Ibnul-Jauzi rahimahullah: “Ketahuilah bahwasanya melaksanakan tugas-tugas agama amat berat, tiada yang lebih mudah bagi para pelaku maksiat dari­pada meninggalkan jamaah. Tidak ada yang lebih berat bagi mereka dari perintah dan larangan-larang­an agama. Tidak ada yang lebih berbahaya terhadap agama dari orang-orang ahlul-kalam dan orang­-orang sufi. Mereka merusak keyakinan manusia de­ngan mempermainkan kelicikan akal. Dan mereka ini merusak amal dan meruntuhkan sendi-sendi agama. Mereka suka menganggur dan mendengarkan nyany­ian. Para generasi salaf tidak demikian halnya dalam hal keyakinan; mereka hamba yang percaya sepenuh­nya dan dalam hal amal mereka orang yang paling sungguh melakukan amal. Berkata Ibnul-Jauzi: “Na­sihatku kepada para saudaraku jangan sampai hati mereka dicekoki perkataan para ahlul-kalam dan jangan sampai pendengaran mereka diserahkan ke­pada khurofat-khurofat sufi. Lebih baik mereka sibuk mencari kebutuhan hidup daripada duduk-duduk bersama orang-orang sufi. Mencukupkan diri dengan ilmu zhohir (ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah) jauh lebih baik daripada terjerumus ke dalam kesesatan. Sungguh telah aku kabarkan tentang jalan kedua kelompok tersebut (ahlul-kalam dan sufi). Kesudahan orang-orang ahlul-kalam adalah kebingungan dan kesudahan orang-orang sufi adalah kebodohan.
Berkata Ibnu ‘Uqoil: “Kesudahan perkataan orang-orang sufi mengingkari kenabian. Bila mereka berbicara tentang ahli hadits, mereka katakan: ‘Me­reka mengambil ilmu orang mati dari yang mati, maka (berarti) mereka telah menolak kenabian. Me­reka merasa cukup dengan ilmu mereka, bila mereka menghina jalan (ahli hadits) tentu mereka tidak akan simpati mengambil ilmu melalui jalan tersebut. Ba­rang siapa yang berkata ‘Telah menceritakan kepada­ku hatiku dari Tuhanku’ maka ia telah berterus terang (menyatakan) tidak butuh kepada Rosul. Barang siapa yang menyatakan demikian maka sungguhnya ia telah kafir. Kalimat ini telah disusupkan ke dalam agama yang tersembunyi di bawahnya sebuah ke­zindikan (kemunafikan). Jika kita melihat seseorang mencela al-Qur’an dan Hadits, sebaiknya kita tahu bahwa ia telah mengingkari perintah syariat. orang yang mengatakan ‘Telah menceritakan kepadaku ha­tiku dari Tuhanku’ semestinya ia sangsi bahwa itu adalah bisikan setan. Sesungguhnya Alloh telah ber­firman:
…. Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya…. (QS. al-An’am [61: 121)
Dan ini amat jelas, karena ia meninggalkan dalil yang ma’shum dan memilih apa yang terbetik dalam hat­inya yang tidak bisa dipastikan selamat dari bisikan­-bisikan setan.”[4]
Di antara orang-orang sufi ada yang berkilah bah­wa itu adalah ilham, namun bagaimana menjawabnya jika ditanya “Di mana anda bisa memastikan bahwa itu adalah ilham? Dengan apa anda bisa membeda­kan antara ilham dengan apa yang dibisikan setan?” Maka satu-satunya alat ukur yang jitu untuk membe­dakan antara ilham dengan bisikan setan adalah ilmu syariat. Berarti ilmu hakikat butuh kepada ilmu syar­iat, sebaliknya ilmu syariat tidak butuh kepada ilmu hakikat. Orang-orang yang mau menerima petunjuk akan berkesimpulan bahwa ilmu syariat lebih mulia dari ilmu hakikat orang-orang sufi.
Berkata Ibnul-Jauzi: “Mempercayai ilham tidak harus mengingkari ilmu (syariat). Kita tidak mengingkari bahwa Alloh memberikan ilham kepada seseorang, sebagaimana sabda Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ فِي الْأُمَمِ مُحَدَّثِيْنَ وَإِنْ يَكُنْ فِي أُمَّتِي فَعُمَرُ
“Sesungguhnya pada umat yang lalu ada orang-­orang yang diberi ilham, jika terdapat di antara umatku maka ia adalah Umar.” (HR. Ahmad, dan berkata Syu’aib al-Amauth: “Shohih.”)
Yang dimaksud dengan kata adalah ilham tentang kebaikan. Akan tetapi, seseorang yang mendapat ilham bila diberi ilham yang bertentangan dengan ilmu (syariat), maka ia tidak boleh mengamalkan­nya. Adapun Khidhir, maka ia adalah nabi, tidak di­ragukan para nabi dapat mengetahui akibat-akibat sesuatu melalui wahyu. Ilham tidak termasuk ilmu sedikit pun. Hanya saja, ia adalah buah dari ilmu dan ketakwaan, maka orang tersebut diberi taufik untuk hal yang baik dan ilham petunjuk. Adapun sikap me­ninggalkan ilmu dan bergantung kepada ilham dan bisikan hati semata, maka hal ini tidak bernilai apa­-apa. Jika bukan karena ilmu syariat maka, kita tidak akan bisa mengetahui apa yang terdapat dalam hati, apakah ia ilham ataukah bisikan-bisikan setan. Ke­tahuilah, sesungguhnya ilham yang terdapat dalam hati tidak cukup tanpa ilmu syariat, sebagaimana ilmu akal tidak cukup tanpa ilmu syariat. Adapun ungkapan ‘Mereka mengambil ilmu dari orang mati meriwayatkan dari orang yang mati, maka penilaian terbaik untuk orang yang mengatakannya adalah ia tidak tahu tentang apa yang tersimpan dalam kata­kata ini. Sebenarnya ini adalah cacian terhadap syar­iat (agama).”
Kemudian Ibnul-Jauzi menyebutkan ungkapan al­ Ghozali tentang sebab-sebab orang sufi suka berse­madi dan meninggalkan ilmu serta lebih menguta­makan berdzikir daripada membaca al-Qur’an, lalu ungkapan ini beliau komentari dengan perkataan berikut: “Amat disayangkan, kata-kata seperti ini muncul dari seorang faqih, tidak diragukan lagi tentang kekejian ungkapan ini. Hakikat dari ungkapan ini adalah membuang perintah-perintah agama yang memerintahkan membaca al-Qur’an dan mencari ilmu. Aku mendapati para ulama terkemuka dari berbagai kota tidak pernah menempuh cara ini. Akan tetapi, mereka menyibukkan diri pertama kali de­ngan mencari ilmu.”[5]

ILMU BATIN
 
Sering pula kita dengar orang-orang sufi menyebut ilmu hakikat dengan istilah “ilmu batin”. Berikut kita coba menelusuri dasar pegangan mereka dalam hal ini. Sebagian mereka menyandarkan perkataan mereka kepada hadits maudhu’ (palsu):
Hadits pertama:
عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ سِرِّ اللهِ  وَحُكْمٌ مِنْ حُكْمِ اللهِ يَقْذِفُهُ اللهُ  فِي قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ أَوْلِيَائِهِ
“Ilmu batin adalah rahasia dari rahasia-rahasia Alloh dan hikmah dari hikmah-hikmah Alloh. Alloh menjatuhkannya ke dalam hati siapa yang Dia kehendaki dari para wali­Nya.”
قَالَ ابْنُ الْجَوْزِي هَذَا حَدِيْثٌ لَا يَصِحُّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ  وَعَامَّةُ رُوَاتِهِ لَا يُعْرَفُوْنَ
Berkata Ibnul-Jauzi: “Hadits ini tidak shohih dari Rosu­lulloh dan kebanyakan para perawinya tidak dikenal.”
Hadits kedua:
عَنِ الْحَسَنِ عَنْ حُذَيْفَةَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ  عَنْ عِلْمِ الْبَاطِنِ مَا هُوَ فَقَالَ: سَأَلْتُ جِبْرِيْلَ عَنْهُ فَقَالَ عَنِ اللهِ هُوَ سِرٌّ بَيْنِي وَبَيْنَ أَحِبَّائِي وَأَوْلِيَائِي وَأَصْفِيَائِي أُوَدِّعُهُ فِي قُلُوْبِهِمْ لَا يَطَّلِعُ عَلَيْهِ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ وَلَا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ
Al-Hasan meriwayatkan dari Hudzaifah, ia berkata: “Aku bertanya kepada Nabi tentang apa itu ilmu batin?” Beliau berkata: “Aku bertanya kepada Jibril tentangnya. Maka ia menjawab dari Alloh: ‘la adalah rahasia antara-Ku dan para kekasih-Ku, para wali-Ku, dari para orang pili­han-Ku. Aku letakkan dalam hati mereka, tidak diketahui oleh malaikat yang dekat (dengan Alloh) dan tidak pula nabi yang diutus.”
قَالَ عَلِيُّ الْقَارِي قَالَ الْعَسْقَلَانِي مَوْضُوْعٌ وَالْحَسَنُ مَا لَقِيَ حُذَيْفَةَ
Berkata Ali al-Qori: “Berkata lbnu Hajar al-Asqolani: ‘(Hadits ini adalah) maudhu’ (palsu) dan al-Hasan tidak pernah berjumpa Hudzaifah.’”
Berkata Imam al-Barbahari: “Ilmu yang oleh orang-orang disebut ilmu batin tidak pernah ditemui dalam al-Qur’an dan tidak pula dalam as-Sunnah. Maka ia adalah bid’ah dan sesat. Tidak diperboleh­kan bagi seseorang untuk mengamalkannya dan tidak pula mengajarkannya.”[6]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Sesungguhnya haki­kat ilmu batin yang mereka banggakan adalah peno­lakan terhadap risalah yang Alloh turunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan penolakan terhadap seluruh rosul. Mereka tidak mempercayai apa yang dibawa oleh Rosul dari AllohTa’ala, baik berbentuk berita maupun perintah.”[7]
Berkata lagi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Para tokoh sufi sepakat bahwa orang yang mengaku mengetahui ilmu batin dari hakikat yang bertentangan dengan ilmu zhohir dari syariat maka ia adalah zindik.”[8]
Menurut mereka ilmu batin dan ilmu zhohir pe­rumpamaannya bagaikan lempengan emas dan lem­pengan perak. Ilmu batin adalah lempengan emas sedangkan ilmu zhohir adalah lempengan perak. Me­reka mengatakan bahwa ilmu yang diterima Rosul dengan melalui perantara Malaikat Jibril adalah lempengan perak. sedangkan ilmu batin mereka langsung terima dari Alloh adalah lempengan emas.
Berkata Syaikhul  Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Se­sungguhnya Nabi menurut mereka dari lempeng perak. Karena menurut mereka ada dua lempengan; satu dari emas dan satu lagi dari perak. Mereka me­nganggap lempengan nabi Muhammad adalah ilmu zhohir. Dan lempengannya adalah emas yaitu ilmu batin. Dan lempeng perak adalah ilmu zho­hir. Mereka mendapatkannya tanpa ada perantara. Berkata Ibnu Arabi dalam kitab Fusus-nya: ‘Bahwa tingkat kewalian lebih tinggi dari tingkat kenabian. Karena wali mengambil tanpa ada perantara sedan­gkan nabi melalui perantara (Malaikat Jibril).’ Maka ia menganggap lebih memiliki keutamaan di atas nabi, bahkan ia tidak suka jika memiliki kedudukan yang sama. Ringkasnya ia tidak mau mengikuti nabi sedikit pun. Karena ia menurut pengakuannya men­gambil langsung dari Alloh … maka ia mengaku lebih sempurna dari Rosul.[9]
Barang siapa yang menganggap bahwa di antara para wali yang telah sampai kepada mereka risalah Nabi Muhammad memiliki jalan tersendiri kepada Alloh dan ia tidak butuh kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka orang ini adalah kafir. Apabila ia berkata: “Saya butuh kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya dalam hal ilmu zhohir saja tidak dalam ilmu batin, atau dalam hal ilmu syariat saja tidak dalam ilmu hakikat” maka ia lebih jelek daripada Yahudi dan Nasrani. Karena mereka (Yahudi dan Nasrani) men­gatakan Nabi Muhammad hanya diutus kepada orang Arab saja tidak kepada orang-orang Ahli kitab. Sesungguhnya mereka beriman dengan sebagian dan kafir dengan bagian yang lain, maka mereka menjadi kafir karena hal itu. Demikian pula orang yang men­gatakan bahwa Nabi Muhammad hanya diutus membawa ilmu zhohir saja tidak diutus dengan ilmu batin. la beriman dengan sebagian yang dibawanya dan kafir dengan bagian yang lain, maka ia menjadi kafir (dengan hal itu).[10]
Bila ada orang yang menganggap bahwa Nabi Mu­hammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengetahui urusan-urusan yang zhohir saja tanpa mengetahui hakikat keimanan. Dan ia mengaku mengambil ilmu hakikat di luar al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka sesungguhnya orang tersebut telah mengaku beriman dengan sebagian yang dibawa Rosul dan tidak beriman dengan bagian yang lain. Ini lebih jelek daripada orang yang berkata: Aku beriman dengan dengan sebagian dan aku kafir dengan bagian yang lain.’ Karena ia meni­lai bagian yang ia beriman dengannya adalah bagian yang rendah kualitasnya (menurut dia).”[11]
Mengapa ia lebih kafir dari Yahudi dan Nasrani? Karena ia menganggap bagian yang ia beriman de­ngannya (ilmu syariat) yang dibawa Rosul nilain­ya minus dibanding ilmu batin yang mereka miliki sendiri tanpa harus melalui Rosul; dan Malaikat Jibril. Dengan mengaku mengetahui ilmu ba­tin sebagian sufi mengaku memiliki syariat sendiri, bahkan yang lebih sesat lagi terbebas dari segala perintah dan larangan agama. Apa yang dikatakan atau dilakukan oleh sang kiai mereka yang mengaku mengetahui ilmu batin tidak boleh dibantah, bah­kan sekadar ditanya sekalipun. Bila sang kiai minum khomer (minuman keras) maka dengan ilmu batin ia dapat berubah menjadi air putih. Bahkan ada yang lebih fatal dari itu semua, yang kita malu untuk men­gungkapkannya di sini.
ILMU LADUNI 
Kadangkala mereka sebut ilmu mereka (ilmu haki­kat) dengan istilah ilmu laduni.
Berkata Ibnul-Qoyyim rahimahullah: “Yang dimaksud oleh mereka dengan ilmu laduni ialah ilmu yang diperoleh seseorang dengan tidak melalui sebab (belajar) me­lainkan dengan melalui ilham dari Alloh Ta’ala. Berupa pemberitahuan dari Alloh Ta’ala bagi seseorang sebagai­mana Nabi Khidhir tanpa melalui Nabi Musa Sebagaimana firman Alloh Ta’ala:
… yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (QS. al-Kahfi [18]: 65)
Maka Alloh “azza wa jalla membedakan antara rahmat dan ilmu, Alloh menjadikan keduanya dari sisi-Nya. Ketika ia peroleh keduanya tanpa melalui perantara manusia. Akan tetapi, khusus dan lebih dekat dari sisi-Nya. Karena itu Alloh berfirman:
Dan katakanlah: ‘Ya Robbku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara ke­luar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.’ (QS. al-Isro’ [17]:80)
Maka kekuasaan yang menolong yang datang dari sisi Alloh secara khusus dan lebih dekat. Karena itu Alloh katakan: ‘Berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong’ yaitu pertolongan yang di­perkuat dengannya. Pertolongan yang datang dari sisi Alloh dan juga pertolongannya melalui orang-­orang beriman.
Sebagaimana firman Alloh Ta’ala:
…. Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin. (QS. al-Anfal [8]:62)
Ilmu laduni adalah buah dari kesungguhan dalam beribadah dan mengikuti Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jujur bersama Alloh dan ikhlas kepada-Nya. Juga bersung­guh-sungguh dalam menuntut ilmu yang datang dari Rosul. Serta kesempurnaan ketundukan kepada beliau sehingga dibukakan untuknya memahami al-Qur’an dan as-Sunnah yang diberikan secara khusus kepadanya. Sebagaimana perkataan Ali bin Abi Tho­lib radhiyallahu ‘anhu tatkala ia ditanya: “Apakah Rosul meng­khususkan engkau dengan sesuatu dari manusia lain?” -Tawabnya: “Tidak, demi Zat yang membolak-balikkan bijian dan yang menyembuhkan jiwa. Ke­cuali pemahaman yang diberikan Alloh kepada seseorang tentang kitab suci-Nya.
Inilah ilmu laduni yang hakiki, adapun ilmu orang yang menyimpang dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta tidak terkait dengan keduanya maka itu adalah ilmu laduni yang datang dari bisikan nafsu sesat dan dari setan. Maka ia ilmu laduni tetapi dari mana? Ha­nya bisa diketahui ilmu laduni dari Alloh adalah de­ngan mencocokkannya dengan apa yang dibawa oleh Rosul dari Robbnya.
Maka ilmu laduni ada dua macam: laduni dari Alloh dan laduni dari setan. Yang menjadi pembeda antara keduanya adalah wahyu dan tidak ada lagi wahyu setelah Rosululloh. Adapun menjadikan kisah Nabi Musa dan Nabi Khidhir sebagai pegangan dalam bolehnya meninggalkan wahyu dan memilih ilmu laduni, ini adalah kekafiran yang mengeluar­kan seseorang dari Islam serta boleh untuk dibunuh. Perbedaannya; Nabi Musa tidak diutus kepada Nabi Khidhir. Dan Nabi Khidir pun tidak diperintahkan untuk mengikuti Nabi Musa. Jika ia diperintah untuk mengikuti Nabi Musa  maka tentulah wajib baginya untuk hijrah kepada Nabi Musa dan ia akan bersamanya. Oleh karena itu, ia berkata kepada Nabi Musa : ‘Engkau Musa
Nabi Bani Israil?’ Jawab Nabi Musa: ‘Ya.’
Sedangkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada selu­ruh makhluk. Maka kerosulannya adalah umum un­tuk jin dan manusia dalam setiap masa. Seandainya Nabi Musa dan Nabi Isa hidup maka keduanya akan menjadi pengikutnya. Apabila Nabi Isa tu­run (nanti di akhir zaman) maka sesungguhnya dia akan menjalankan hukum syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barang siapa yang mengaku bahwa perumpa­maan dirinya dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagaikan Nabi Khidhir dengan Nabi Musa, atau ia membolehkan hal itu bagi seseorang dari golongan umat ini, maka hendaklah ia mengulang keislaman­nya dan mengulang bersyahadat dengan syahadat yang benar. Sesungguhnya keyakinan seperti itu membuatnya meninggalkan agama Islam secara total. Apalagi untuk dianggap sebagai wali Alloh yang khu­sus. Sesungguhnya ia adalah di antara wali-wali setan, penolongnya dan penggantinya. Ini adalah garis pembeda antara orang-orang zindik dan orang yang benar-benar istiqomah dari kalangan mereka.[12]
Dalam ungkapan Ibnul-Qoyyim rahimahullah di atas dijelaskan bahwa ilmu laduni yang dari Alloh adalah pemaham­an yang diberikan Alloh kepada seseorang ketika ia belajar ilmu syariat yang dituntut kepada para ulama yang diiringi dengan keikhlasan dan ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya Bukan ilmu yang didapat melalui mimpi dan semadi, apalagi ilmu tersebut jelas-jelas bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah. Segala ilmu yang bertentangan dengan al‑ Qur’an dan Sunnah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka itu adalah ilmu laduni yang datang dari setan.
Pada tempat lain Ibnul-Qoyyim rahimahullah berkata pula: “Ilmu laduni yang datang dari Alloh buah dari ketun­dukan dan rasa cinta yang melahirkan keinginan un­tuk melaksanakan amalan-amalan mandub (sunnah) setelah melaksanakan amalan-amalan wajib. Ilmu laduni yang datang dari setan adalah buah dari ber­paling dari wahyu (ilmu syariat) serta bisikan nafsu sesat dan setan.”[13]
Adapun yang diperoleh tanpa melalui sebab men­cari dalil maka itu tidak benar. Karena Alloh meng­gantungkan mengenal ilmu dengan sebab-sebabnya sebagaimana Alloh kaitkan kejadian alam dengan de­ngan sebab-sebab pula. Seorang manusia tidak akan mungkin memperoleh ilmu kecuali ada dalil menun­jukkannya kepada ilmu tersebut. Alloh telah men­yokong para rosul-Nya dengan berbagai macam dalil dan keterangan. Sebagai dalil yang menunjukkan me­reka bahwa ilmu yang datang kepada mereka adalah dari sisi Alloh. Dan dalil-dalil tersebut pula yang menunjukkan akan hal itu kepada umat mereka. Me­reka memiliki dalil dan keterangan yang amat jelas bahwa yang ilmu yang datang kepada mereka adalah dari Alloh.
Maka setiap ilmu yang tidak berdasarkan kepada dalil bagaikan pengakuan yang tidak memiliki bukti dan hukum yang tidak ada fakta. Jika demikian hal­nya maka ia tidak bisa dianggap ilmu apalagi diang­gap sebagai ilmu laduni.
Ilmu laduni adalah ilmu yang dibuktikan dengan dalil yang shohih bahwa ia datang dari sisi Alloh me­lalui para rosul-Nya. Apa yang di luar itu maka itu adalah ilmu laduni yang datang dari diri manusia itu sendiri, darinya datang kepadanya kembali.
Telah banjir ilmu laduni, amat murah harganya se­hingga setiap golongan mengaku mendapat ilmu laduni. Sehingga setiap orang berbicara tentang haki­kat iman, suluk (budi pekerti), serta nama dan sifat­-sifat Alloh menurut apa yang terlintas dalam pikiran yang dilontarkan setan ke dalam hatinya. Ia mengira ilmunya adalah ilmu laduni.
Maka orang zindik pun ikut mengaku bahwa ilmu mereka ilmu laduni. Yang menjadi persoalan ilmu la­duni siapa dan dari mana ilmu laduninya tersebut. Alloh telah mencela dengan celaan yang tajam terhadap siapa saja yang menisbahkan kepada Alloh sesuatu yang bukan dari-Nya.
Sebagaimana firman Alloh ‘Azza wa jalla:
…. Mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Alloh “, padahal ia bukan dari sisi Alloh. Mereka ber­kata dusta terhadap Alloh sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imron [3]: 78)
Dan firman Alloh Ta’ala:
Maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Alloh…… (QS. al-Baqoroh [2]: 79)
Barang siapa yang berkata “Ilmu ini dari Alloh” sedangkan ia bohong dalam penisbahan tersebut. Maka baginya bagian yang cukup dari celaan yang yang terdapat dalam, ayat-ayat tersebut. Hal ini ba­nyak terdapat dalam al-Qur’an, Alloh mencela orang yang menyandarkan sesuatu kepada-Nya tanpa ilmu. dan orang yang berbicara tentang sesuatu atas nama Alloh tanpa ilmu. Oleh karena itu, Alloh membagi hal yang diharamkan menjadi empat tingkat. Dan Alloh menjadikan tingkatan tertinggi (ialah) berkata atas nama Alloh tanpa ilmu. Alloh menjadikannya tingkat­an tertinggi dari hal-hal yang diharamkan. Hal itu di­haramkan dalam segala kondisi, bahkan diharamkan dalam seluruh agama dan di atas lisan segala rosul. Orang yang mengatakan “Ini adalah ilmu laduni” ter­hadap sesuatu yang tidak bisa ia pastikan dari Alloh serta tidak ada pula keterangan dari Alloh bahwa ilmu itu dari-Nya. Orang tersebut adalah pendusta alias pembohong di atas nama Alloh, ia adalah orang yang paling zalim dan paling dusta”
Demikianlah bahasan kita kali ini, semoga Alloh Ta’ala menjadikan kita orang-orang yang senantiasa berpe­gang teguh dengan ilmu-ilmu yang beliau warisan kepada umatnya. Juga menunjuki sesiapa yang ters­esat di kalangan umat ini kepada jalan yang benar. Wallohu A’lam.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ وَأَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
Disalin dari Majalah AL FURQON. Srowo, Sidayu, Gresik. Jawa-Timur. Edisi 4 tahun ke: 8, Dzulqo’dah 1429H/November 2008M
Catatan Kaki:

[1] Lihat Talbis Iblis kar. Ibnul-Jauzi: 302
[2] Ungkapan-ungkapan di atas disebutkan oleh Ibnul-Jauzi dalam kitabnya, Talbis Iblis: 394-395
[3] Lihat Talbis Iblis: 450
[4] Lihat Talbis Iblis: 451
[5] Lihat Talbis Iblis: 392
[6] Lihat Syarhus-Sunnah: 50
[7] Lihat Majmu’ Fatawa: 35/140
[8] Lihat Bayan Talbis Jahmiyyah: 1/238
[9] Lihat Majmu’ Fatawa: 4/172
[10] Lihat Majmu Fatawa: 11/225
[11] Lihat Majmu Fatawa: 11/226
[12] Lihat Madarijus-Salikin: 2/475-476
[13] Lihat Madarijus-Salikin: 2/477

Sumber =https://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2010/06/05/eksistensi-hakikat-dan-syariat-dalam-istilah-sufi/