DR. Ali Musri Semjan Putra, MA
Eksistensi hakikat menurut orang-orang sufi adalah
takwil-takwil yang mereka reka-reka dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian mereka simpulkan bahwa takwil-takwil tersebut hanya bisa
diketahui oleh orang-orang khusus atau mereka sebut ulama khosh (khusus) di atas tingkatan ini ada lagi tingkat yang lebih tinggi yaitu ulama khoshul-khosh (amat lebih khusus) atau mereka sebut ulama hakikat.
Adapun syariat menurut mereka adalah lafazh-lafazh dan makna
yang zhohir (tersurat) dari nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal
inilah yang dipahami oleh orang-orang awam (biasa), maka mereka
menyebut ulama yang berpegang dengan pemahaman ini dalam menghayati
ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nama “ulama ‘am (umum)”
atau “ulama syariat”. Dari sini mereka membagi ulama menjadi dua
bagian: ulama hakikat dan ulama syariat, atau ulama batin dan ulama
zhohir.
Menurut mereka ulama hakikat atau ulama batin lebih tinggi
kedudukannya daripada ulama syariat atau ulama zhohir. Karena menurut
pengakuan mereka ulama hakikat dapat menyelami rahasia-rahasia ghoib
yang tersembunyi dalam nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Untuk
mengetahui rahasia-rahasia tersebut mereka memiliki rute-rute yang mesti
dilewati. Di samping itu, mereka memiliki trik-trik dalam mempengaruhi
orang-orang di luar mereka dengan berbagai cerita-cerita bohong.
Di antara bentuk-bentuk rute-rute sesat mereka adalah puasa
selama empat puluh hari berturut-turut, bersemedi dalam sebuah gua,
tidak boleh memakan hewan yang disembelih atau binatang yang berdarah,
atau dilarang memakan makanan yang dibakar dengan api.
Adakalanya mereka dalam melegalkan takwil-takwil sesat (ilmu
hakikat) mereka dengan mengaku bermimpi bertemu salah seorang nabi,
seperti Nabi Khidhir ‘alaihis salam atau Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atau mereka bermimpi bertemu dengan salah seorang seperti Abdul Qodir al-Jailani atau yang lainnya.
Dan adakalanya mereka mengaku dalam mendapatkan takwil-takwil
(ilmu hakikat) tersebut dengan melalui berdzikir hingga tidak sadarkan
diri. Karena di antara kebiasaan mereka adalah melantunkan solawatan
dan syair-syair zuhud dengan berdendang dan bergoyang sampai larut
malam.[1]
Di samping itu, mereka menghina dan mencela orang-orang yang
menuntut ilmu dengan cara belajar kepada para ulama dan mereka sebut
ini “ilmu syariat”. Mereka katakan bahwa ilmu mereka (ilmu hakikat)
lebih utama daripada ilmu syariat yang dipelajari melalui para ulama.
Karena ilmu mereka (ilmu hakikat) mereka dapatkan langsung dari Alloh Ta’ala. Bahkan ilmu mereka lebih tinggi daripada ilmu Nabi ‘alaihis salam karena Nabi ‘alaihis salam mendapat ilmu melalui perantara yaitu Malaikat Jibril ‘alaihis salam adapun ilmu mereka langsung mereka dapatkan dari sumber di mana Jibril ‘alihis salam mendapatkannya (langsung dari Alloh ‘Azza wa jalla tanpa melalui Malaikat Jibril ‘alaihis salam). Maka ilmu mereka tidak melalui perantara melainkan langsung dari Alloh Ta’ala.
Sehingga mereka mengatakan: “Telah menceritakan kepadaku hatiku dari
Tuhanku.” Kadangkala mereka menyebut ilmu mereka (ilmu hakikat) dengan
istilah ilmu laduni.
Menurut mereka, ilmu hakikat atau ilmu batin dan ilmu laduni
lebih utama daripada ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah. Orang yang telah
memiliki ilmu tersebut tidak butuh lagi kepada al-Qur’an dan as-Sunnah,
mereka merasa lebih percaya diri dengan ilmu laduni. Dengan cara-cara
demikian mereka dapat mengelabui orang-orang awam dan orang yang tidak
memiliki pengetahuan agama yang cukup dalam aqidah.
Bila kita teliti kandungan al-Qur’an dan hadits-hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajmain juga
ulama-ulama terkemuka di kalangan umat ini tidak ada yang menyatakan
bila kita berselisih dalam hal agama ini kembali kepada ilmu laduni.
Akan tetapi, seluruh umat Islam bersepakat bahwa jalan keluar dari
segala perselisihan adalah kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah
sebagaimana perintah Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya.
Firman Alloh Ta’ala:
.. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur’an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa’ [4]: 59)
Sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
الْمَهْدِيِيِّنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ
“Maka sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian akan melihat perpecahbelahan yang banyak. Maka berpegangteguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurrosyidin. Genggamlah erat-erat dan gigitlah dengan geraham.” (HR. at-Tirmidzi dan beliau menshohihkannya)
Kesesatan keyakinan orang-orang sufi tentang ilmu hakikat
tidak hanya ditentang oleh para ulama Ahlus Sunnah melainkan juga
mendapat celaan dan cercaan dari tokoh-tokoh sufi sendiri sebagaimana
yang dinukil oleh Ibnul-Jauzi rahimahullah beliau berkata:
“Sesungguhnya kebanyakan orang-orang sufi membedakan antara syariat dan
hakikat, ini sebuah kebodohan dari orang yang mengatakannya. Karena
sesungguhnya syariat seluruhnya adalah hakikat. Jika yang mereka maksud
dengan demikian itu adalah rukhshoh (kemudahan) dan ‘azimah (ketegasan),
maka masing-masing keduanya adalah syariat. sesungguhnya sekelompok
dari golongan terkemuka dari mereka telah mengingkari dalam hal
berpalingnya mereka dari ilmu zhohir dalam syariat.”
CELAAN TOKOH-TOKOH SUFI TERHADAP ILMU HAKIKAT
Diriwayatkan dari Abu Hasan bin Salim, ia berkata: “seseorang
datang kepada Sahal bin Abdulloh dengan membawa pena dan buku, ia
berkata kepada Sahal: ‘Aku datang untuk mencatat sesuatu yang Alloh
bisa memberi manfaat kepadaku dengannya.’ Jawab Sahal: ‘Tulislah! Jika
engkau mampu menemui Alloh Ta’ala dalam keadaan membawa pena
dan buku maka lakukanlah!’ Lalu orang tersebut berkata: ‘Berilah aku
suatu faedah (tentang ilmu).’ Jawab Sahal: ‘Dunia seluruhnya adalah
kebodohan kecuali yang berupa ilmu. Dan ilmu seluruhnya adalah hujjah
(yang harus dipertanggungjawabkan) kecuali yang berbentuk amal. Dan
amal seluruhnya akan ditunda penerimaannya kecuali yang sesuai menurut
al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan sunnah ditegakkan di atas ketakwaan.’”
Diriwayatkan pula dari Sahal bin Abdulloh: “Jagalah hitam di
atas putih, tidak seorang pun meninggalkan yang zhohir (jelas) melainkan
ia menjadi zindik.”
Diriwayatkan juga dari Sahal bin Abdulloh, ia berkata: “Tiada jalan yang lebih utama untuk menuju Alloh Ta’ala daripada
jalan ilmu. Jika engkau berpaling dari jalan ilmu satu langkah niscaya
engkau akan tersesat dalam kegelapan selama empat puluh pagi.”
Dalam ungkapan di atas Sahal menegaskan bahwa ilmu dan amal yang akan diterima Alloh Ta’ala hanyalah yang sesuai dengan apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-sunnah.
Berkata Abu Bakar ad-Daqoq: “Aku mendengar Abu Sa’id al-Khoroz
berkata: ‘Setiap ilmu batin yang bertentangan dengan ilmu zhohir maka
itu adalah kebatilan.”’
Berkata Abu Bakar ad-Daqoq: “Saat aku melewati Padang Tih Bani
Israil, terbetik dalam pikiranku bahwa ilmu hakikat bertentangan
dengan ilmu syariat. Lalu aku mendengar suara dari arah bawah pohon:
‘Setiap ilmu hakikat yang tidak sesuai dengan ilmu syariat maka itu
adalah kekafiran.”’
Berkata Ibnul-Jauzi rahimahullah “Imam al-Ghozali
telah memperingatkan dalam kitab al-Ihya’, ia berkata: ‘sesungguhnya
ilmu hakikat yang menentang ilmu syariat atau ilmu batin yang menentang
ilmu zhohir maka ia lebih dekat kepada kekafiran daripada kepada
keimanan.”‘
Berkata Ibnu ‘Uqoil: “Orang-orang sufi menjadikan syariat
sebatas nama semata, mereka mengatakan yang dimaksud darinya adalah
hakikat. Ini adalah pendapat yang keji. Karena syariat adalah datang
dari Alloh Ta’ala untuk kebaikan dan jalan penghambaan para
makhluk. Maka tidak ada di balik hakikat kecuali sesuatu yang dibisikkan
oleh setan ke dalam jiwa seseorang. Setiap orang yang mengaku mendapat
ilmu hakikat di luar ketentuan ilmu syariat maka itu adalah tipuan
(setan).”[2]
Orang-orang zindik telah menjadikan ilmu hakikat tersebut
sebagai tameng untuk menolak hukum-hukum syariat dan sebagai topeng
untuk menutup kekufuran mereka.
Berkata Ibnul-Jauzi rahimahullah: “Orang-orang zindik
tidak berani melangkah untuk menolak hukum-hukum syariat sampai datang
orang-orang sufi, mereka datang dengan bantuan para pelaku maksiat.
Pertama kali mereka membuat istilah hakikat dan syariat, ini adalah
tindakan yang keji. Karena syariat adalah datang dari Alloh Ta’ala untuk
kebaikan para makhluk. Maka tidak ada di balik hakikat kecuali sesuatu
yang dibisikkan setan ke dalam jiwa seseorang. Setiap orang yang mengaku
mendapat ilmu hakikat di luar ketentuan ilmu syariat maka itu adalah
tipuan (setan). Jika mereka mendengar seseorang meriwayatkan hadits,
mereka katakan: ‘Kasihan sangat bodoh, mengapa mereka mau mengambil ilmu
melalui yang mati dari yang mati! Sedangkan kita mengambil ilmu
langsung dari Zat yang tidak pernah mati.’ Barang siapa yang berkata:
Telah menceritakan kepadaku bapakku dari kakekku. Justru aku berkata:
‘Telah menceritakan kepadaku hatiku dari Tuhanku.”‘ Kata Ibnul-Jauzi rahimahullah:
“Mereka (orang-orang sufi) telah binasa dan telah membinasakan orang
lain dengan khurofat-khurofat ini. Orang-orang bodoh tertipu sehingga
mengorbankan harta demi mereka.”[3]
Dengan mengaku mendapat ilmu hakikat mereka bisa mengelabui dan berkilah untuk meninggalkan perintah-perintah agama.
Berkata Ibnul-Jauzi rahimahullah: “Ketahuilah
bahwasanya melaksanakan tugas-tugas agama amat berat, tiada yang lebih
mudah bagi para pelaku maksiat daripada meninggalkan jamaah. Tidak ada
yang lebih berat bagi mereka dari perintah dan larangan-larangan agama.
Tidak ada yang lebih berbahaya terhadap agama dari orang-orang
ahlul-kalam dan orang-orang sufi. Mereka merusak keyakinan manusia
dengan mempermainkan kelicikan akal. Dan mereka ini merusak amal dan
meruntuhkan sendi-sendi agama. Mereka suka menganggur dan mendengarkan
nyanyian. Para generasi salaf tidak demikian halnya dalam hal
keyakinan; mereka hamba yang percaya sepenuhnya dan dalam hal amal
mereka orang yang paling sungguh melakukan amal. Berkata Ibnul-Jauzi:
“Nasihatku kepada para saudaraku jangan sampai hati mereka dicekoki
perkataan para ahlul-kalam dan jangan sampai pendengaran mereka
diserahkan kepada khurofat-khurofat sufi. Lebih baik mereka sibuk
mencari kebutuhan hidup daripada duduk-duduk bersama orang-orang sufi.
Mencukupkan diri dengan ilmu zhohir (ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah)
jauh lebih baik daripada terjerumus ke dalam kesesatan. Sungguh telah
aku kabarkan tentang jalan kedua kelompok tersebut (ahlul-kalam dan
sufi). Kesudahan orang-orang ahlul-kalam adalah kebingungan dan
kesudahan orang-orang sufi adalah kebodohan.”
Berkata Ibnu ‘Uqoil: “Kesudahan perkataan orang-orang sufi
mengingkari kenabian. Bila mereka berbicara tentang ahli hadits, mereka
katakan: ‘Mereka mengambil ilmu orang mati dari yang mati, maka
(berarti) mereka telah menolak kenabian. Mereka merasa cukup dengan
ilmu mereka, bila mereka menghina jalan (ahli hadits) tentu mereka tidak
akan simpati mengambil ilmu melalui jalan tersebut. Barang siapa yang
berkata ‘Telah menceritakan kepadaku hatiku dari Tuhanku’ maka ia telah
berterus terang (menyatakan) tidak butuh kepada Rosul. Barang siapa
yang menyatakan demikian maka sungguhnya ia telah kafir. Kalimat ini
telah disusupkan ke dalam agama yang tersembunyi di bawahnya sebuah
kezindikan (kemunafikan). Jika kita melihat seseorang mencela al-Qur’an
dan Hadits, sebaiknya kita tahu bahwa ia telah mengingkari perintah
syariat. orang yang mengatakan ‘Telah menceritakan kepadaku hatiku dari
Tuhanku’ semestinya ia sangsi bahwa itu adalah bisikan setan.
Sesungguhnya Alloh telah berfirman:
…. Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya…. (QS. al-An’am [61: 121)
Dan ini amat jelas, karena ia meninggalkan dalil yang ma’shum dan
memilih apa yang terbetik dalam hatinya yang tidak bisa dipastikan
selamat dari bisikan-bisikan setan.”[4]
Di antara orang-orang sufi ada yang berkilah bahwa itu adalah
ilham, namun bagaimana menjawabnya jika ditanya “Di mana anda bisa
memastikan bahwa itu adalah ilham? Dengan apa anda bisa membedakan
antara ilham dengan apa yang dibisikan setan?” Maka satu-satunya alat
ukur yang jitu untuk membedakan antara ilham dengan bisikan setan
adalah ilmu syariat. Berarti ilmu hakikat butuh kepada ilmu syariat,
sebaliknya ilmu syariat tidak butuh kepada ilmu hakikat. Orang-orang
yang mau menerima petunjuk akan berkesimpulan bahwa ilmu syariat lebih
mulia dari ilmu hakikat orang-orang sufi.
Berkata Ibnul-Jauzi: “Mempercayai ilham tidak harus
mengingkari ilmu (syariat). Kita tidak mengingkari bahwa Alloh
memberikan ilham kepada seseorang, sebagaimana sabda Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ فِي الْأُمَمِ مُحَدَّثِيْنَ وَإِنْ يَكُنْ فِي أُمَّتِي فَعُمَرُ
“Sesungguhnya pada umat yang lalu ada
orang-orang yang diberi ilham, jika terdapat di antara umatku maka
ia adalah Umar.” (HR. Ahmad, dan berkata Syu’aib al-Amauth: “Shohih.”)
Yang dimaksud dengan kata adalah ilham tentang kebaikan. Akan
tetapi, seseorang yang mendapat ilham bila diberi ilham yang
bertentangan dengan ilmu (syariat), maka ia tidak boleh mengamalkannya.
Adapun Khidhir, maka ia adalah nabi, tidak diragukan para nabi dapat
mengetahui akibat-akibat sesuatu melalui wahyu. Ilham tidak termasuk
ilmu sedikit pun. Hanya saja, ia adalah buah dari ilmu dan ketakwaan,
maka orang tersebut diberi taufik untuk hal yang baik dan ilham
petunjuk. Adapun sikap meninggalkan ilmu dan bergantung kepada ilham
dan bisikan hati semata, maka hal ini tidak bernilai apa-apa. Jika
bukan karena ilmu syariat maka, kita tidak akan bisa mengetahui apa yang
terdapat dalam hati, apakah ia ilham ataukah bisikan-bisikan setan.
Ketahuilah, sesungguhnya ilham yang terdapat dalam hati tidak cukup
tanpa ilmu syariat, sebagaimana ilmu akal tidak cukup tanpa ilmu
syariat. Adapun ungkapan ‘Mereka mengambil ilmu dari orang mati
meriwayatkan dari orang yang mati, maka penilaian terbaik untuk orang
yang mengatakannya adalah ia tidak tahu tentang apa yang tersimpan dalam
katakata ini. Sebenarnya ini adalah cacian terhadap syariat (agama).”
Kemudian Ibnul-Jauzi menyebutkan ungkapan al Ghozali tentang
sebab-sebab orang sufi suka bersemadi dan meninggalkan ilmu serta lebih
mengutamakan berdzikir daripada membaca al-Qur’an, lalu ungkapan ini
beliau komentari dengan perkataan berikut: “Amat disayangkan, kata-kata
seperti ini muncul dari seorang faqih, tidak diragukan lagi tentang
kekejian ungkapan ini. Hakikat dari ungkapan ini adalah membuang
perintah-perintah agama yang memerintahkan membaca al-Qur’an dan mencari
ilmu. Aku mendapati para ulama terkemuka dari berbagai kota tidak
pernah menempuh cara ini. Akan tetapi, mereka menyibukkan diri pertama
kali dengan mencari ilmu.”[5]
ILMU BATIN
Sering pula kita dengar orang-orang sufi menyebut ilmu hakikat
dengan istilah “ilmu batin”. Berikut kita coba menelusuri dasar
pegangan mereka dalam hal ini. Sebagian mereka menyandarkan perkataan
mereka kepada hadits maudhu’ (palsu):
Hadits pertama:
عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ سِرِّ اللهِ وَحُكْمٌ مِنْ حُكْمِ
اللهِ يَقْذِفُهُ اللهُ فِي قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ أَوْلِيَائِهِ
“Ilmu batin adalah rahasia dari rahasia-rahasia Alloh dan
hikmah dari hikmah-hikmah Alloh. Alloh menjatuhkannya ke dalam hati
siapa yang Dia kehendaki dari para waliNya.”
قَالَ ابْنُ الْجَوْزِي هَذَا حَدِيْثٌ لَا يَصِحُّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَعَامَّةُ رُوَاتِهِ لَا يُعْرَفُوْنَ
Berkata Ibnul-Jauzi: “Hadits ini tidak shohih dari Rosululloh dan kebanyakan para perawinya tidak dikenal.”
Hadits kedua:
عَنِ الْحَسَنِ عَنْ حُذَيْفَةَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ عَنْ
عِلْمِ الْبَاطِنِ مَا هُوَ فَقَالَ: سَأَلْتُ جِبْرِيْلَ عَنْهُ فَقَالَ
عَنِ اللهِ هُوَ سِرٌّ بَيْنِي وَبَيْنَ أَحِبَّائِي وَأَوْلِيَائِي
وَأَصْفِيَائِي أُوَدِّعُهُ فِي قُلُوْبِهِمْ لَا يَطَّلِعُ عَلَيْهِ
مَلَكٌ مُقَرَّبٌ وَلَا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ
Al-Hasan meriwayatkan dari Hudzaifah, ia berkata: “Aku
bertanya kepada Nabi tentang apa itu ilmu batin?” Beliau berkata: “Aku
bertanya kepada Jibril tentangnya. Maka ia menjawab dari Alloh: ‘la
adalah rahasia antara-Ku dan para kekasih-Ku, para wali-Ku, dari para
orang pilihan-Ku. Aku letakkan dalam hati mereka, tidak diketahui oleh
malaikat yang dekat (dengan Alloh) dan tidak pula nabi yang diutus.”
قَالَ عَلِيُّ الْقَارِي قَالَ الْعَسْقَلَانِي مَوْضُوْعٌ وَالْحَسَنُ مَا لَقِيَ حُذَيْفَةَ
Berkata Ali al-Qori: “Berkata lbnu Hajar al-Asqolani:
‘(Hadits ini adalah) maudhu’ (palsu) dan al-Hasan tidak pernah berjumpa
Hudzaifah.’”
Berkata Imam al-Barbahari: “Ilmu yang oleh orang-orang disebut
ilmu batin tidak pernah ditemui dalam al-Qur’an dan tidak pula dalam
as-Sunnah. Maka ia adalah bid’ah dan sesat. Tidak diperbolehkan bagi
seseorang untuk mengamalkannya dan tidak pula mengajarkannya.”[6]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Sesungguhnya hakikat ilmu batin yang mereka banggakan adalah
penolakan terhadap risalah yang Alloh turunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan penolakan terhadap seluruh rosul. Mereka tidak mempercayai apa yang dibawa oleh Rosul dari AllohTa’ala, baik berbentuk berita maupun perintah.”[7]
Berkata lagi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Para tokoh sufi sepakat bahwa orang yang mengaku mengetahui ilmu batin
dari hakikat yang bertentangan dengan ilmu zhohir dari syariat maka ia
adalah zindik.”[8]
Menurut mereka ilmu batin dan ilmu zhohir perumpamaannya
bagaikan lempengan emas dan lempengan perak. Ilmu batin adalah
lempengan emas sedangkan ilmu zhohir adalah lempengan perak. Mereka
mengatakan bahwa ilmu yang diterima Rosul dengan melalui perantara
Malaikat Jibril adalah lempengan perak. sedangkan ilmu batin mereka
langsung terima dari Alloh adalah lempengan emas.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Sesungguhnya Nabi menurut mereka dari lempeng perak. Karena menurut
mereka ada dua lempengan; satu dari emas dan satu lagi dari perak.
Mereka menganggap lempengan nabi Muhammad adalah ilmu zhohir. Dan
lempengannya adalah emas yaitu ilmu batin. Dan lempeng perak adalah ilmu
zhohir. Mereka mendapatkannya tanpa ada perantara. Berkata Ibnu Arabi
dalam kitab Fusus-nya: ‘Bahwa tingkat kewalian lebih tinggi
dari tingkat kenabian. Karena wali mengambil tanpa ada perantara
sedangkan nabi melalui perantara (Malaikat Jibril).’ Maka ia menganggap
lebih memiliki keutamaan di atas nabi, bahkan ia tidak suka jika
memiliki kedudukan yang sama. Ringkasnya ia tidak mau mengikuti nabi
sedikit pun. Karena ia menurut pengakuannya mengambil langsung dari
Alloh … maka ia mengaku lebih sempurna dari Rosul.[9]
Barang siapa yang menganggap bahwa di antara para wali yang
telah sampai kepada mereka risalah Nabi Muhammad memiliki jalan
tersendiri kepada Alloh dan ia tidak butuh kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka orang ini adalah kafir. Apabila ia berkata: “Saya butuh kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
dalam hal ilmu zhohir saja tidak dalam ilmu batin, atau dalam hal ilmu
syariat saja tidak dalam ilmu hakikat” maka ia lebih jelek daripada
Yahudi dan Nasrani. Karena mereka (Yahudi dan Nasrani) mengatakan Nabi
Muhammad hanya diutus kepada orang Arab saja tidak kepada orang-orang
Ahli kitab. Sesungguhnya mereka beriman dengan sebagian dan kafir dengan
bagian yang lain, maka mereka menjadi kafir karena hal itu. Demikian
pula orang yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad hanya diutus membawa
ilmu zhohir saja tidak diutus dengan ilmu batin. la beriman dengan
sebagian yang dibawanya dan kafir dengan bagian yang lain, maka ia
menjadi kafir (dengan hal itu).[10]
Bila ada orang yang menganggap bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
mengetahui urusan-urusan yang zhohir saja tanpa mengetahui hakikat
keimanan. Dan ia mengaku mengambil ilmu hakikat di luar al-Qur’an dan
as-Sunnah. Maka sesungguhnya orang tersebut telah mengaku beriman dengan
sebagian yang dibawa Rosul dan tidak beriman dengan bagian yang lain.
Ini lebih jelek daripada orang yang berkata: Aku beriman dengan dengan
sebagian dan aku kafir dengan bagian yang lain.’ Karena ia menilai
bagian yang ia beriman dengannya adalah bagian yang rendah kualitasnya
(menurut dia).”[11]
Mengapa ia lebih kafir dari Yahudi dan Nasrani? Karena ia
menganggap bagian yang ia beriman dengannya (ilmu syariat) yang dibawa
Rosul nilainya minus dibanding ilmu batin yang mereka miliki sendiri
tanpa harus melalui Rosul; dan Malaikat Jibril. Dengan mengaku
mengetahui ilmu batin sebagian sufi mengaku memiliki syariat sendiri,
bahkan yang lebih sesat lagi terbebas dari segala perintah dan larangan
agama. Apa yang dikatakan atau dilakukan oleh sang kiai mereka yang
mengaku mengetahui ilmu batin tidak boleh dibantah, bahkan sekadar
ditanya sekalipun. Bila sang kiai minum khomer (minuman keras) maka
dengan ilmu batin ia dapat berubah menjadi air putih. Bahkan ada yang
lebih fatal dari itu semua, yang kita malu untuk mengungkapkannya di
sini.
ILMU LADUNI
Kadangkala mereka sebut ilmu mereka (ilmu hakikat) dengan istilah ilmu laduni.
Berkata Ibnul-Qoyyim rahimahullah: “Yang dimaksud
oleh mereka dengan ilmu laduni ialah ilmu yang diperoleh seseorang
dengan tidak melalui sebab (belajar) melainkan dengan melalui ilham
dari Alloh Ta’ala. Berupa pemberitahuan dari Alloh Ta’ala bagi seseorang sebagaimana Nabi Khidhir tanpa melalui Nabi Musa Sebagaimana firman Alloh Ta’ala:
… yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (QS. al-Kahfi [18]: 65)
Maka Alloh “azza wa jalla membedakan antara rahmat
dan ilmu, Alloh menjadikan keduanya dari sisi-Nya. Ketika ia peroleh
keduanya tanpa melalui perantara manusia. Akan tetapi, khusus dan lebih
dekat dari sisi-Nya. Karena itu Alloh berfirman:
Dan katakanlah: ‘Ya Robbku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.’ (QS. al-Isro’ [17]:80)
Maka kekuasaan yang menolong yang datang dari sisi Alloh
secara khusus dan lebih dekat. Karena itu Alloh katakan: ‘Berikanlah
kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong’ yaitu pertolongan
yang diperkuat dengannya. Pertolongan yang datang dari sisi Alloh dan
juga pertolongannya melalui orang-orang beriman.
Sebagaimana firman Alloh Ta’ala:
…. Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin. (QS. al-Anfal [8]:62)
Ilmu laduni adalah buah dari kesungguhan dalam beribadah dan mengikuti Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
jujur bersama Alloh dan ikhlas kepada-Nya. Juga bersungguh-sungguh
dalam menuntut ilmu yang datang dari Rosul. Serta kesempurnaan
ketundukan kepada beliau sehingga dibukakan untuknya memahami al-Qur’an
dan as-Sunnah yang diberikan secara khusus kepadanya. Sebagaimana
perkataan Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu tatkala ia
ditanya: “Apakah Rosul mengkhususkan engkau dengan sesuatu dari manusia
lain?” -Tawabnya: “Tidak, demi Zat yang membolak-balikkan bijian dan
yang menyembuhkan jiwa. Kecuali pemahaman yang diberikan Alloh kepada
seseorang tentang kitab suci-Nya.”
Inilah ilmu laduni yang hakiki, adapun ilmu orang yang
menyimpang dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta tidak terkait dengan
keduanya maka itu adalah ilmu laduni yang datang dari bisikan nafsu
sesat dan dari setan. Maka ia ilmu laduni tetapi dari mana? Hanya bisa
diketahui ilmu laduni dari Alloh adalah dengan mencocokkannya dengan
apa yang dibawa oleh Rosul dari Robbnya.
Maka ilmu laduni ada dua macam: laduni dari Alloh dan laduni
dari setan. Yang menjadi pembeda antara keduanya adalah wahyu dan tidak
ada lagi wahyu setelah Rosululloh. Adapun menjadikan kisah Nabi Musa dan
Nabi Khidhir sebagai pegangan dalam bolehnya meninggalkan wahyu dan
memilih ilmu laduni, ini adalah kekafiran yang mengeluarkan seseorang
dari Islam serta boleh untuk dibunuh. Perbedaannya; Nabi Musa tidak
diutus kepada Nabi Khidhir. Dan Nabi Khidir pun tidak
diperintahkan untuk mengikuti Nabi Musa. Jika ia diperintah untuk
mengikuti Nabi Musa maka tentulah wajib baginya untuk hijrah kepada
Nabi Musa dan ia akan bersamanya. Oleh karena itu, ia berkata kepada
Nabi Musa : ‘Engkau Musa
Nabi Bani Israil?’ Jawab Nabi Musa: ‘Ya.’
Sedangkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus
kepada seluruh makhluk. Maka kerosulannya adalah umum untuk jin dan
manusia dalam setiap masa. Seandainya Nabi Musa dan Nabi Isa hidup maka
keduanya akan menjadi pengikutnya. Apabila Nabi Isa turun (nanti di
akhir zaman) maka sesungguhnya dia akan menjalankan hukum syariat Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barang siapa yang mengaku bahwa perumpamaan dirinya dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
bagaikan Nabi Khidhir dengan Nabi Musa, atau ia membolehkan hal itu
bagi seseorang dari golongan umat ini, maka hendaklah ia mengulang
keislamannya dan mengulang bersyahadat dengan syahadat yang benar.
Sesungguhnya keyakinan seperti itu membuatnya meninggalkan agama Islam
secara total. Apalagi untuk dianggap sebagai wali Alloh yang khusus.
Sesungguhnya ia adalah di antara wali-wali setan, penolongnya dan
penggantinya. Ini adalah garis pembeda antara orang-orang zindik dan
orang yang benar-benar istiqomah dari kalangan mereka.”[12]
Dalam ungkapan Ibnul-Qoyyim rahimahullah di atas
dijelaskan bahwa ilmu laduni yang dari Alloh adalah pemahaman yang
diberikan Alloh kepada seseorang ketika ia belajar ilmu syariat yang
dituntut kepada para ulama yang diiringi dengan keikhlasan dan ketaatan
kepada Alloh dan Rosul-Nya Bukan ilmu yang didapat melalui mimpi dan
semadi, apalagi ilmu tersebut jelas-jelas bertentangan dengan ajaran
al-Qur’an dan as-Sunnah. Segala ilmu yang bertentangan dengan al‑ Qur’an dan Sunnah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka itu adalah ilmu laduni yang datang dari setan.
Pada tempat lain Ibnul-Qoyyim rahimahullah berkata
pula: “Ilmu laduni yang datang dari Alloh buah dari ketundukan dan rasa
cinta yang melahirkan keinginan untuk melaksanakan amalan-amalan mandub (sunnah)
setelah melaksanakan amalan-amalan wajib. Ilmu laduni yang datang dari
setan adalah buah dari berpaling dari wahyu (ilmu syariat) serta
bisikan nafsu sesat dan setan.”[13]
Adapun yang diperoleh tanpa melalui sebab mencari dalil maka
itu tidak benar. Karena Alloh menggantungkan mengenal ilmu dengan
sebab-sebabnya sebagaimana Alloh kaitkan kejadian alam dengan dengan
sebab-sebab pula. Seorang manusia tidak akan mungkin memperoleh ilmu
kecuali ada dalil menunjukkannya kepada ilmu tersebut. Alloh telah
menyokong para rosul-Nya dengan berbagai macam dalil dan keterangan.
Sebagai dalil yang menunjukkan mereka bahwa ilmu yang datang kepada
mereka adalah dari sisi Alloh. Dan dalil-dalil tersebut pula yang
menunjukkan akan hal itu kepada umat mereka. Mereka memiliki dalil dan
keterangan yang amat jelas bahwa yang ilmu yang datang kepada mereka
adalah dari Alloh.
Maka setiap ilmu yang tidak berdasarkan kepada dalil bagaikan
pengakuan yang tidak memiliki bukti dan hukum yang tidak ada fakta. Jika
demikian halnya maka ia tidak bisa dianggap ilmu apalagi dianggap
sebagai ilmu laduni.
Ilmu laduni adalah ilmu yang dibuktikan dengan dalil yang
shohih bahwa ia datang dari sisi Alloh melalui para rosul-Nya. Apa yang
di luar itu maka itu adalah ilmu laduni yang datang dari diri manusia
itu sendiri, darinya datang kepadanya kembali.
Telah banjir ilmu laduni, amat murah harganya sehingga setiap
golongan mengaku mendapat ilmu laduni. Sehingga setiap orang berbicara
tentang hakikat iman, suluk (budi pekerti), serta nama dan
sifat-sifat Alloh menurut apa yang terlintas dalam pikiran yang
dilontarkan setan ke dalam hatinya. Ia mengira ilmunya adalah ilmu
laduni.
Maka orang zindik pun ikut mengaku bahwa ilmu mereka ilmu
laduni. Yang menjadi persoalan ilmu laduni siapa dan dari mana ilmu
laduninya tersebut. Alloh telah mencela dengan celaan yang tajam
terhadap siapa saja yang menisbahkan kepada Alloh sesuatu yang bukan
dari-Nya.
Sebagaimana firman Alloh ‘Azza wa jalla:
…. Mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Alloh “, padahal ia bukan dari sisi Alloh. Mereka berkata dusta terhadap Alloh sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imron [3]: 78)
Dan firman Alloh Ta’ala:
Maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Alloh…… (QS. al-Baqoroh [2]: 79)
Barang siapa yang berkata “Ilmu ini dari Alloh” sedangkan ia
bohong dalam penisbahan tersebut. Maka baginya bagian yang cukup dari
celaan yang yang terdapat dalam, ayat-ayat tersebut. Hal ini banyak
terdapat dalam al-Qur’an, Alloh mencela orang yang menyandarkan sesuatu
kepada-Nya tanpa ilmu. dan orang yang berbicara tentang sesuatu atas
nama Alloh tanpa ilmu. Oleh karena itu, Alloh membagi hal yang
diharamkan menjadi empat tingkat. Dan Alloh menjadikan tingkatan
tertinggi (ialah) berkata atas nama Alloh tanpa ilmu. Alloh
menjadikannya tingkatan tertinggi dari hal-hal yang diharamkan. Hal itu
diharamkan dalam segala kondisi, bahkan diharamkan dalam seluruh agama
dan di atas lisan segala rosul. Orang yang mengatakan “Ini adalah ilmu
laduni” terhadap sesuatu yang tidak bisa ia pastikan dari Alloh serta
tidak ada pula keterangan dari Alloh bahwa ilmu itu dari-Nya. Orang
tersebut adalah pendusta alias pembohong di atas nama Alloh, ia adalah
orang yang paling zalim dan paling dusta”
Demikianlah bahasan kita kali ini, semoga Alloh Ta’ala menjadikan
kita orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan ilmu-ilmu yang
beliau warisan kepada umatnya. Juga menunjuki sesiapa yang tersesat di
kalangan umat ini kepada jalan yang benar. Wallohu A’lam.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ وَأَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
Disalin dari Majalah AL FURQON. Srowo, Sidayu, Gresik. Jawa-Timur. Edisi 4 tahun ke: 8, Dzulqo’dah 1429H/November 2008M
Catatan Kaki:
[1] Lihat Talbis Iblis kar. Ibnul-Jauzi: 302
[2] Ungkapan-ungkapan di atas disebutkan oleh Ibnul-Jauzi dalam kitabnya, Talbis Iblis: 394-395
[3] Lihat Talbis Iblis: 450
[4] Lihat Talbis Iblis: 451
[5] Lihat Talbis Iblis: 392
[6] Lihat Syarhus-Sunnah: 50
[7] Lihat Majmu’ Fatawa: 35/140
[8] Lihat Bayan Talbis Jahmiyyah: 1/238
[9] Lihat Majmu’ Fatawa: 4/172
[10] Lihat Majmu Fatawa: 11/225
[11] Lihat Majmu Fatawa: 11/226
[12] Lihat Madarijus-Salikin: 2/475-476
[13] Lihat Madarijus-Salikin: 2/477
Sumber =https://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2010/06/05/eksistensi-hakikat-dan-syariat-dalam-istilah-sufi/