Al-Imaam Muslim rahimahullah berkata dalam Shahih-nya:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَا:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ
أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ ﷺ قَبْرَ
أُمِّهِ، فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ، فَقَالَ: " اسْتَأْذَنْتُ
رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي،
وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي، فَزُورُوا
الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb,
mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
‘Ubaid, dari Yaziid bin Kaisaan, dari Abu Haazim, dari Abu
Hurairah, ia berkata : “(pada suatu waktu) Nabi ﷺ berziarah ke kubur ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang-orang di sekitar beliau pun ikut menangis. Beliau ﷺ bersabda : “Sesungguhnya
aku telah memohon izin Rabb-ku untuk memintakan ampun untuknya, namun
Ia tidak mengizinkanku. Dan aku meminta izin-Nya untuk menziarahi
kuburnya, dan Ia mengizinkanku. Maka berziarahlah kalian ke kubur, karena itu akan mengingatkan kalian kepada kematian” [No. 976].
An-Nawawiy rahimahullah berkata tentang hadits di atas:
فِيهِ
جَوَاز زِيَارَة الْمُشْرِكِينَ فِي الْحَيَاة ، وَقُبُورهمْ بَعْد
الْوَفَاة ؛ لِأَنَّهُ إِذَا جَازَتْ زِيَارَتهمْ بَعْد الْوَفَاة فَفِي
الْحَيَاة أَوْلَى ، وَقَدْ قَالَ اللَّه تَعَالَى : { وَصَاحِبْهُمَا فِي
الدُّنْيَا مَعْرُوفًا } وَفِيهِ : النَّهْي عَنْ الِاسْتِغْفَار
لِلْكُفَّارِ . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ اللَّه : سَبَب زِيَارَته
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرهَا أَنَّهُ قَصَدَ قُوَّة
الْمَوْعِظَة وَالذِّكْرَى بِمُشَاهَدَةِ قَبْرهَا ، وَيُؤَيِّدهُ قَوْله
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي آخِر الْحَدِيث : ( فَزُورُوا
الْقُبُور فَإِنَّهَا تُذَكِّركُمْ الْمَوْت ) .
“Dalam
hadits tersebut terdapat penjelasan tentang kebolehan untuk menziarahi
orang-orang musyrik saat masih hidup, dan menziarahi kubur mereka
setelah meninggal. Hal itu dikarenakan apabila diperbolehkan untuk
menziarahi mereka setelah meninggal, maka ketika hidup lebih layak
untuk kebolehannya. Allah ta’ala telah berfirman: ‘Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik’ (QS. Luqmaan : 15).
Dalam
hadits tersebut juga terdapat penjelasan tentang larangan untuk
memintakan ampun kepada orang-orang kafir. Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullah berkata : ‘Faktor penyebab ziarahnya Nabi ﷺ ke kubur ibunya yaitu karena beliau ﷺ ingin menguatkan nasihat dan peringatan dengan mengunjungi kuburnya’. Hal tersebut dikuatkan dengan sabda beliau ﷺ yang ada di akhir hadits : ‘Berziarahlah kalian ke kubur, karena itu akan mengingatkan kalian kepada kematian” [Syarh Shahih Muslim, 7/45].
Ketika beliau rahimahullah mengatakan
kebolehan menziarahi orang musyrik yang masih hidup dan yang telah
meninggal dengan berdalil hadits di atas, artinya beliau memahami bahwa
ibunda Nabi meninggal dalam keadaan musyrik. Sama seperti
penjelasan Syamsul-Haq ’Adhim ’Abadi rahimahullah yang berkata :
( فَلَمْ يَأْذَن لِي )
: لِأَنَّهَا كَافِرَة وَالِاسْتِغْفَار لِلْكَافِرِينَ لَا يَجُوز
”Sabda beliau ﷺ : ”Dan Ia (Allah) tidak mengizinkanku” , karena Aminah adalah seorang yang kafir, sedangkan memintakan ampun terhadap orang yang kafir tidak diperbolehkan” [’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 7/220]
Ada syahid dari hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, yaitu hadits Buraidahradliyallaahu ‘anhu berikut:
حَدَّثَنَا
حَسَنُ بنُ مُوسَى، وَأَحْمَدُ بنُ عَبدِ الْمَلِكِ، قَالَا: حَدَّثَنَا
زُهَيْرٌ، قَالَ أَحْمَدُ بنُ عَبدِ الْمَلِكِ فِي حَدِيثِهِ: حَدَّثَنَا
زُبيْدُ بنُ الْحَارِثِ الْيَامِيُّ، عَنْ مُحَارِب بنِ دِثَارٍ، عَنِ
ابنِ برَيْدَةَ، عَنْ أَبيهِ، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبيِّ ﷺ فَنَزَلَ
بنَا وَنَحْنُ مَعَهُ قَرِيب مِنْ أَلْفِ رَاكِب، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ،
ثُمَّ أَقْبلَ عَلَيْنَا بوَجْهِهِ وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ، فَقَامَ
إِلَيْهِ عُمَرُ بنُ الْخَطَّاب، فَفَدَاهُ بالْأَب وَالْأُمِّ يَقُولُ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا لَكَ؟ قَالَ: " إِنِّي سَأَلْتُ رَبي عَزَّ
وَجَلَّ فِي الِاسْتِغْفَارِ لِأُمِّي، فَلَمْ يَأْذَنْ لِي، فَدَمَعَتْ
عَيْنَايَ رَحْمَةً لَهَا مِنَ النَّارِ، وَإِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ
عَنْ ثَلَاثٍ: عَنْ زِيَارَةِ الْقُبورِ، فَزُورُوهَا لِتُذَكِّرَكُمْ
زِيَارَتُهَا خَيْرًا، وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ بعْدَ
ثَلَاثٍ، فَكُلُوا وَأَمْسِكُوا مَا شِئْتُمْ، وَنَهَيْتُكُمْ عَنِ
الْأَشْرِبةِ فِي الْأَوْعِيَةِ، فَاشْرَبوا فِي أَيِّ وِعَاءٍ شِئْتُمْ،
وَلَا تَشْرَبوا مُسْكِرًا "
Telah
menceritakan kepada kami Hasan bin Muusaa dan Ahmad bin
‘Abdil-Maalik, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada
kami Zuhair – Ahmad bin ‘Abdil-Malik berkata dalam
haditsnya : ‘Telah menceritakan kepada kami Zubaid bin Al-Haarits
Al-Yaamiy - , dari Muhaarib bin Diitsaar, dari Ibnu Buraidah, dari
ayahnya, ia berkata : “Kami bersama Nabi ﷺ, dan beliau ﷺ singgah bersama kami dimana saat itu beliau bersama sekitar 1.000 pengendara kuda. Beliau ﷺ melaksanakan
shalat dua rakaat, kemudian setelah itu beliau menghadapkan wajah
beliau ke arah kami dengan kedua air mata yang bercucuran. Kemudian
'Umar bin Al-Khaththaab berdiri menghampiri beliau dan mengatakan ayah
dan ibunya sebagai tebusannya, lalu berkata : “Wahai Rasulullah,
apa yang terjadi denganmu?”. Beliau ﷺ bersabda : "Aku
memohon kepada Rabbku agar dapat memintakan ampunan untuk ibuku, namun
Ia tidak mengizinkanku. Maka air mataku pun bercucuran sebagai bentuk
belas kasihan untuknya dari adzab neraka. Dan dulu aku melarang kalian
dari tiga perkara, yaitu (1) ziarah kubur, namun sekarang berziarah
kuburlah kalian untuk mengingatkan kalian terhadap kebaikan
(kematian/akhirat); (2) dulu aku melarang kalian untuk makan daging
kurban setelah tiga hari, namun sekarang makan dan simpanlah sekehandak
kalian; serta (3) dulu aku melarang kalian minum minuman dari bejana,
namun sekarang minumlah kalian dari bejana manapun yang kalian suka.
Jangan kalian minum minuman yang memabukkan” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/355; dishahihkan Al-Arna’uth dkk. dalam Takhrij Musnad Ahmad 38/111].
Ada segolongan orang yang hendak menakwil-nakwil dengan pemahaman yang tidak benar tentang alasan Nabi ﷺ dilarang Allah ta’ala memintakan ampun ibunya. Mereka pura-pura tidak tahu akan penjelasan para ulama di atas. Nabi ﷺ dilarang Allah ta’alamemintakan ampunan kepada ibunya karena ibunya meninggal dalam keadaan kafir.
Tidaklah Allah ta’ala melarang untuk memintakan ampun kepada seseorang setelah meninggalnya kecuali orang tersebut meninggal dalam kekafiran. Allah ta’ala berfirman:
مَا
كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا
لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun
(kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik
itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya
orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam” [QS. At-Taubah : 113].
Inilah yang dipahami para shahabat, diantaranya ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ
عَلِيٍّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَجُلًا يَسْتَغْفِرُ لِأَبَوَيْهِ وَهُمَا
مُشْرِكَانِ، فَقُلْتُ لَهُ: أَتَسْتَغْفِرُ لِأَبَوَيْكَ وَهُمَا
مُشْرِكَانِ؟ فَقَالَ: أَوَلَيْسَ اسْتَغْفَرَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ
وَهُوَ مُشْرِكٌ؟ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ
يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ "
Dari
‘Aliy, ia berkata : Aku pernah mendengar seseorang mendoakan
kedua orang tuanya yang meninggal dalam status musyrik. Aku katakana
kepadanya: “Mengapa engkau memintakan ampunan untuk kedua orang
tuamu padahal keduanya musyrik?”. Ia menjawab: “Bukankah
Ibrahim juga memintakan ampunan untuk bapaknya yang musyrik?[1]”. Lalu aku mengadukan hal itu kepada Rasulullah ﷺ, maka turunlah ayat : "Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik"
(At Taubah: 113) [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3101,
An-Nasaa’iy no. 2036, 1/99, dan yang lainnya; dihasankan oleh
At-Tirmidziy dan dishahihkan oleh Abu Ja’far bin Nahhaas,
Al-Haakim, dan Al-Albaaniy].
Juga Ibnu ‘Abbaas :
عَنْ
سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ،
فَقَالَ: إِنَّ أَبِي مَاتَ نَصْرَانِيًّا، فَقَالَ: " اغْسِلْهُ،
وَكَفِّنْهِ، وَحَنِّطْهُ، ثُمَّ ادْفِنْهُ "، قَالَ: مَا كَانَ
لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى الآيَةَ "
Dari
Sa’d bin Jubair, ia berkata : Datang seorang laki-laki kepada
Ibnu ‘Abbaas, lalu berkata : “Sesungguhnya ayahku meninggal
sebagai seorang bragama Nashrani”. Ibnu ‘Abbas berkata :
“Mandikanlah, kafanilah, tahnith-kanlah, dan kuburkanlah”. Kemudian ia (Ibnu ‘Abbaas) melanjutkan membaca ayat : “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik" (At Taubah: 113)” [Diriwayatkan oleh Sa’d bin Manshuur dalam Tafsiir-nya no. 1037 dan Al-Baihaqiy 3/398 dengan sanad shahih].
Inilah yang dipahami Al-Baihaqiy rahimahullah bahwa kedua orang tua meninggal dalam keadaan kafir:
قَالَ
الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللَّهُ: وَأَبَوَاهُ كَانَا مُشْرِكَيْنِ بِدَلِيلِ
مَا أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أنبأ أَبُو الْحَسَنِ
أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدُوسٍ، ثنا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ
الدَّارِمِيُّ، ثنا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، ثنا حَمَّادُ بْنُ
سَلَمَةَ.ح قَالَ وَأنا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَاللَّفْظُ
لَهُ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ، ثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ، ثنا عَفَّانُ، ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ
أَنَسٍ، " أَنَّ رَجُلا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النَّارِ، قَالَ: فَلَمَّا قَفَّا دَعَاهُ،
فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ "، رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي
الصَّحِيحِ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ
Berkata Syaikh (yaitu Al-Baihaqiy – Abul-Jauzaa’) rahimahullah : “Dan kedua orang tua Nabi ﷺ adalah musyrik dengan
dalil hadits yang telah dikhabarkan kepada kami Abu
‘Abdillah Al-Haafidh : Telah memberitakan kepada kami Abul-Hasan
Ahmad bin Muhammad bin ‘Abduus : Telah menceritakan kepada kami
‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy : Telah menceritakan kepada
kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami
Hammaad bin Salamah ia berkata (ح).
Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin ‘Abdillah
– dan lafadh hadits ini adalah miliknya - : Telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan bin Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Abu
Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan :
Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Tsaabit, dari
Anas : Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi ﷺ : “Wahai Rasulullah, dimanakah ayahku ?”. Beliau menjawab : “Di neraka”.[2]
Tidakkah
kita bisa mengambil pelajaran dari kisah hubungan kekerabatan antara
Nuuh dengan istri dan anaknya, Ibraahiim dengan ayahnya, Luuth dengan
istrinya ?. Dekatnya hubungan kekerabatan tidak memastikan seseorang
mendapat hidayah selamat di dunia dan akhirat.
So,….
saya heran dengan satu kiriman video berikut yang dikatakan membantah
Wahabi karena mengatakan kedua orang tua Nabi meninggal dalam keadaan
kafir:
Apa
isi bantahannya ?. Hampir tidak ada, kalau tidak boleh dikatakan
‘sama sekali tidak ada’. Para hadirin diajak menangis
karena cerita yang dibawakan. Kalau tangisan itu adalah seperti
tangisan Nabi ﷺ,
yaitu tangisan belas kasihan, serta pengambilan pelajaran tentang
akhirat dan bahwa keimanan tidak diwariskan melalui hubungan
kekerabatan; maka ini masyru’. Namun jika tangisan itu hanya menjadi motif untuk memprovokasi umat menolak dalil, ini tidak masyru’. Agama tidak disandarkan dari tangisan. Tentu repot jadinya jika ‘perasaan’ dijadikan metode beragama.
Apalagi
tempo hari ada demonstrasi dari kelompok orang yang ‘main
perasaan’ ini untuk menolak kedatangan seorang ustadz dengan
alasan si ustadz ‘memponis[3]’ kedua orang tua Nabi ﷺ meninggal dalam keadaan kafir.
Kalau misalnya Nabi ﷺ sendiri
yang 'memponis' kedua orang tuanya meninggal dalam keadaan kafir,
apakah akan Anda demo juga ?. Begitu juga Anda akan demo Al-Baihaqiy,
An-Nawawiy, dan yang lainnya karena perkataan mereka tentang kedua
orang tua Nabiﷺ Anda
anggap meresahkan ?. Masyarakat Anda ajak untuk ikut resah bersama
Anda. Resah yang tidak mencerdaskan. Ini sebagaimana dikatakan Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Samarinda, KH Zaini Naim, menyikapi
provokasi kelompok yang ‘main perasaan’ ini:
“Saya dari MUI menyayangkan sekali, itu cerminan masyarakat yang tidak cerdas”.
[kutipan dari : Radar Kaltim].
Sebagai penutup, mari kita berdoa agar Allah senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
للَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالسَّدَادَ
Semoga ada manfaatnya, wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Abul-Jauzaa’ - Somewhere, 26 Syawal 1437.
[1] Maksud doa Ibraahiim ini adalah doa yang ada dalam ayat:
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)" [QS Ibraahiim : 41].
Namun setelah Ibraahiim mengetahui hal itu dilarang Allah ta’ala karena ayahnya meninggal dalam keadaan musyrik, ia pun berlepas diri darinya sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَمَا
كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ
وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ
تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
“Dan
permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain
hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya
itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh
Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun” [QS. At-Taubah : 114].
[2] Silakan baca artikel Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi ? (sebuah ringkasan) dan Shahih Hadits : “Ayahku dan Ayahmu di Neraka”.
[3] Mungkin orang yang mengatakan adalah orang Sunda yang bertransmigrasi ke Kalimantan Timur.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2016/07/mendemo-nabi.html
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2016/07/mendemo-nabi.html