الحمد لله والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، وعلى آله وأصحابه ومن سار على نهجه واستن بسنته إلى يوم الدين، أما بعد:
Adalah
sebuah kebahagian dan kenikmatan yang harus disyukuri, disaat seseorang
mendapatkan taufiq dari Allah untuk menempuh jalan menuntut ilmu.
Banyak dalil-dalil, baik ayat maupun hadits yang menunjukkan akan
keutamaan amalan ini, diantaranya sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam:
من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة. رواه مسلم
Artinya:
“Barang
siapa yang menempuh jalan guna menimba ilmu, niscaya Allah akan
mudahkan baginya, berkat amalan ini jalan menuju ke surga.” (HSR. Muslim)
Pada
kesempatan ini, saya hendak mengingatkan diri saya dan rekan-rekan saya
akan sebuah hal yang mungkin dilalaikan oleh sebagian orang. Hal ini
dikarenakan adanya sikap trauma dari hal ini, akibat dari penyelewengan
yang dilakukan oleh sebagian ahlil bid’ah dalam memahaminya. Oleh
karena itu, saya anggap perlu hal ini didudukkan dan diluruskan, semoga
tidak terjadi sikap-sikap yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum
dalam ilmu syari’at. Hal ini adalah yang dinamakan dengan realita atau
waqi’.
Realita atau yang disebut dalam bahasa arab dengan waqi’ merupakan hal penting dalam kehidupan seorang ulama’ dan thullabul ilmi,
agar benar-benar ilmu yang kita peroleh berguna bagi kita dan juga
masyarakat kita, hal ini disebabkan beberapa faktor berikut:
- Setiap nama dalam syari’at, adalah merupakan hakikat syar’iyyah (istilah syar’i), sehingga tidak cukup untuk memahaminya hanya dengan ditilik dari sisi bahasa, akan tetapi harus difahami sesuai dengan definisi kata tersebut dalam syari’at, dan ulama’ islam dengan berbagai disiplin ilmu telah menjelaskan makna setiap istilah tersebut. Realita ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan pembahasan الحقيقة الشرعية واللغوية.
- Banyak hukum dalam syari’at yang didasari oleh adat istiadat.
- Banyaknya perubahan, perkembangan dan hal-hal baru dalam berbagai aspek kehidupan manusia, yang lebih terkenal dengan masalah-masalah kontemporer. Sehingga kita tidak akan dapat mengetahui hukum syari’at dalam masalah-masalah tersebut, kecuali setelah kita memahami realita dan permasalahan yang serupa dengannya dalam fiqih ulama’ terdahulu (tashwir fiqhy & tanzilul fiqhy).
- Kesempurnaan sulit dicapai.
Inilah
yang saya maksud dengan realita atau waqi’, bukan seperti yang
didengung-dengungkan oleh ahlul bid’ah, karena yang mereka maksudkan
dengan realita atau waqi’ tak lain hanya sekedar mengetahui
permasalahan politik, dan kesalahan-kesalahan pemerintah. Mereka
melakukannya dengan cara mengikuti dan mempercayai berita-berita yang
ada di koran-koran, stasiun televisi, radio internet, dll. Maka
hendaknya orang yang membaca tulisan saya ini senantiasa memperhatikan
maksud saya ini.
Pada
kesempatan ini, penulis hendak mengajak rekan-rekan semua untuk sedikit
merenungkan keempat faktor ini, kemudian mengetahui metode ilmiyyah
dalam menghadapi setiap faktor:
Hakikat Syar’iyyah dan Hakikat Lughowiyyah
Yang dimaksud dengan hakikat syar’iyyah adalah setiap kata yang digunakan dalam syari’at, dan memiliki kandungan makna tertentu.
Adapun yang dimaksud dengan hakikat lughowiyyah, adalah makna setiap kata dalam bahasa. (Lihat Raudhotun Nadlir 2/10, Irsyadul fuhul 1/112).
Sebagai
contoh: Kata (الصلاة), dalam kamus-kamus bahasa, kata ini bermaknakan:
doa’ akan tetapi dalam syari’at bermaknakan lain, yaitu sebuah ibadah
yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. (Lihat As Syarhul Mumti’ 2/5).
Jumhur ulama’ mengatakan bahwa setiap kata dalam syari’at, harus diartikan sesuai dengan hakikat syar’iyyah, kecuali bila ada qorinah (alasan) yang menjadikannya harus diartikan sesuai dengan makna kata tersebut dalam bahasa arab. (Lihat Raudhotun Nadlir 2/15, Irsyadul Fuhul 1/113)
Hal ini jauh-jauh hari telah disinyalir oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits:
عن
أبي مالك الأشعري رضي الله عنه أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم
يقول: ليشربن ناس من أمتي الخمر يسمونها بغير اسمها. رواه أبو داود، وله
شواهد كثيرة.
“Dari
Abu Malik Al ‘Asy’ari, rodiallahu ‘anhu, ia berkata: Aku pernah
mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh
akan ada sekelompok orang dari ummatku yang minum khomer, dan mereka
menamakannya dengan selain namanya’.” (HR. Abu Dawud, dan hadits ini memiliki banyak syawahid)
Kalo
kita lihat dalam kamus-kamus bahasa arab, kita akan dapatkan bahwa yang
dinamakan khomer secara bahasa, adalah perasan (jus) anggur yang
memabokkan. Sehingga kalo kita memahami ayat-ayat dan hadits-hadits
yang mengharamkan khomer hanya berdasarkan pemahaman bahasa, maka kita
akan katakan bahwa jus selain anggur bukan khomer, walaupun memabokkan.
Oleh karena itu, banyak orang (tholabatul ilmi)
yang mengharamkan minuman memabokkan yang terbuat dari selain anggur,
dengan dalil qiyas. Padahal kalo kita memahami kata khomer secara
istilah syar’i, kita tidak perlu terhadap dalil qiyas dalam
mengharamkan minuman tersebut. Sebagai buktinya, mari kita simak dan
renungkan hadits berikut:
عن بن عمر رضي اله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (كل مسكر خمر وكل مسكر حرام). رواه مسلم
“Dari
Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam bersabda: (Setiap yang memabokkan adalah khomer, dan
setiap yang memabokkan adalah haram.” (HR. Muslim)
Dalam hadits Abi Malik Al ‘Asy’ary di atas, kita mendapatkan beberapa pelajaran penting:
- Kata khomer dalam syari’at memiliki makna khusus, sehingga setiap minuman yang terdapat padanya makna tersebut, dinamakan khomer, walaupun masyarakat menamakannya dengan nama lain.
- Bahwa yang menjadi pedoman (manathul hukmi) dalam menghukumi suatu masalah adalah hakikatnya (realita), bukan sekedar penamaan.
- Hakikat khomer dalam syari’at tidak berubah hanya sekedar perubahan nama, atau dengan kata lain, nama tidak dapat merubah hakikat.
- Ketiga hal di atas berlaku pula pada kata-kata (istilah-istilah) lain dalam syari’at, misalnya: riba, mudhorobah, mubtadi’, kafir, fasik, mukmin, muhsin, zakat, dll.
Sebagai contoh lain, mari kita simak ayat berikut:
وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر
“Dan makan dan minumlah kamu hingga menjadi jelas bagimu (perbedaan) benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al Baqarah: 187)
Al Bukhori meriwayatkan dari sahabat Sahel bin Sa’ad rodiallahu ‘anhu:
قـال
أنـزلت : وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود .
ولـم ينـزل: من الفجر ,فكان رجال إذا أرادوا الصوم، ربط أحدهم في رجله
الخيط الأبيض والخيط الأسود، ولم يزل يأكل حتى يتبين له رؤيتهما، فأنـزل
الله بعد :من الفجر ، فعلموا أنه إنما يعني الليل والنهار.
“Tatkala
Allah menurunkan firman-Nya: ‘Dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam’ dan belum menurunkan firman-Nya ‘Yaitu
fajar’, sehingga sebagian orang apabila hendak berpuasa, ia mengikatkan
di kakinya benang putih dan benang hitam. Dan ia terus makan, hingga
telah terlihat dengan jelas baginya kedua benang tersebut. Kemudian
Allah menurunkan firman-Nya ‘yaitu fajer’, sehingga mereka mengetahui
bahwa yang dimaksud ialah (hitamnya) malam dan (putihnya) siang.”
Dan dalam riwayat lain, dari sahabat Adi rodiallahu ‘anhu, ia berkata:
قال
أخذ عدي عقالا أبيض وعقالا أسود، حتى كان بعض الليل، نظر فلم يستبينا،
فلما أصبح قال: يا رسول الله، جعلت تحت وسادي، قال: إن وسادك إذا لعريض إن
كان الخيط الأبيض والأسود تحت وسادتك. رواه الشيخان واللفظ للبخاري
“Adi
mengambil tali putih dan tali hitam, dan pada tengah malam, ia melihat
kepada (keduanya), dan keduanya tidak jelas olehnya. Kemudian tatkala
esok hari, ia (bertanya kepada Rasulullah, seraya) berkata: ‘Wahai
Rasulullah, aku letakkan (kedua benang tersebut) di bawah bantalku,’
maka Rasulullah bersabda: ‘Sungguh bantalmu sangat lebar, bila benang
putih (waktu siang) dan benang hitam (waktu malam) berada di bawah
bantalmu.’” (HSR. Bukhory dan Muslim)
Sebagai contoh lain yang sering kita dengar dan mungkin kita alami sendiri, yaitu kata titipan/tabungan (Al Wadi’ah) dan hutang (Ad Dain),
silahkan anda pergi ke bank-bank yang ada di negeri kita atau di negeri
lain, anda pasti akan dapatkan fenomena manipulasi istilah, sehingga
hutang dinamakan dengan tabungan/titipan. Oleh karena penamaan ini
tidak merubah hakikat, kita dapatkan para ulama’ mengharamkan bunga
tabungan (deposito), dan menghukuminya sebagai riba, karena pada
hakikatnya, yang dinamakan dengan tabungan (deposito) adalah hutang,
bukan tabungan atau titipan atau wadi’ah.
Sebagai contoh lain, kata hukum (Al Hukmu),
betapa banyak orang yang membatasi makna kata ini pada peradilan dan
undang-undang pemerintah, sehingga berbagai ayat dan hadits serta
keterangan ulama’ yang menjelaskan haramnya berhukum dengan selain
hukum Allah hanya ditujukan kepada mereka (pemerintah). Adapun berbagai
peradilan dan keputusan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok
atau organisasi, tidak pernah dipermasalahkan. Inilah salah satu
perbedaan antara metode berfikir orang khowarij dengan metode berpikir
ahlis sunnah wal jama’ah.
Wahai
saudaraku, marilah kita lihat dan simak kembali dengan seksama
ayat-ayat, hadits-hadits, dan keterangan para ulama’ seputar masalah
ini, agar kita sampai pada kesimpulan yang benar. Dan sekedar sebagai
bahan acuan saja, mari kita bersama-sama simak perdebatan antara
orang-orang khowarij dengan anak paman Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, Abdullah bin Abbas rodiallahu ‘anhu, beliau berkata kepada mereka:
أخبروني
ماذا نقمتم على ابن عم رسول الله صلى الله عليه و سلم وصهره والمهاجرين
والأنصار؟ قالوا ثلاثا، قلت: ما هن قالوا: أما إحداهن: فإنه حكم الرجال في
أمر الله، وقال الله تعالى: إن الحكم إلا لله . وما للرجال وما للحكم، ….
فقلت: أما قولكم: حكم الرجال في أمر الله فأنا أقرأ عليكم ما قد رد حكمه
إلى الرجال في ثمن ربع درهم في أرنب ونحوها من الصيد، فقال: يا أيها الذين
آمنوا لا تقتلوا الصيد وأنتم حرم -إلى قوله- يحكم به ذوا عدل منكم.
فنشدتكم الله أحكم الرجال في أرنب ونحوها من الصيد أفضل أم حكمهم في
دمائهم وصلاح ذات بينهم؟ وأن تعلموا أن الله لو شاء لحكم ولم يصير ذلك إلى
الرجال. وفي المرأة وزوجها، قال الله عز وجل: إن خفتم شقاق بينهما فابعثوا
حكما من أهله وحكما من أهلها أن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما. فجعل الله
حكم الرجال سنة مأمونة. رواه أحمد والطبراني والبيهقي وصححه الحاكم.
“Kabarkan
(katakan) kepadaku, apa yang kamu benci (musuhi) dari anak paman
Rasulullah (Ali bin Abi Tholib rodiallahu ‘anhu), sekaligus menantunya,
dan juga dari kaum Muhajirin dan Anshar?” Mereka berkata: “Tiga
perkara,” Aku berkata: “Apakah ketiga perkara itu?” Mereka berkata:
“Adapun yang pertama: Sesungguhnya dia telah menjadikan manusia sebagai
hakim dalam urusan (agama) Allah, apa hubungan manusia dengan hukum
(Allah)?! …….” Maka aku berkata: “Adapun anggapan kalian, bahwa dia
(Ali) telah menjadikan manusia sebagai hakim dalam urusan (agama)
Allah, maka akan aku sebutkan untuk kalian beberapa masalah yang
keputusannya diserahkan kepada manusia, yaitu dalam masalah yang
seharga ¼ dirham, sebagai harga seekor kelinci dan binatang buruan yang
serupa dengannya, Allah berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. …s/d
… menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.’ (QS. Al Maidah:
95), Aku sumpah kalian, apakah hukum (keputusan manusia pada seekor
kelinci dan yang serupa, lebih utama, ataukah keputusan mereka pada hal
yang berhubungan dengan (pertumpahan) darah dan perdamaian antara
mereka? Dan hendaknya kalian juga tahu, bahwa seandainya Allah
menghendaki, niscaya Ia akan menurunkan keputusan-Nya, dan tidak
menyerahkannya kepada manusia. Dan dalam urusan seorang suami dan
istrinya, Allah Azza wa Jalla berfirman: ‘Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari
keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika
kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami-istri itu.’ (QS. An Nisa’: 35), Allah (pada
ayat ini) menjadikan keputusan manusia sebagai jalan yang harus
ditempuh.” (HSR. Ahmad, At Thobrony, Al Baihaqy dan dishohihkan oleh Al Hakim)
Dalam
perdebatan ini kita dapat melihat dengan jelas, bahwa berhukum dengan
hukum Allah, bukanlah kewajiban para pemerintah semata, akan tetapi
kewajiban setiap orang. Oleh karena itu kita dapatkan ayat-ayat dan
hadits-hadits yang memerintahkan kita berhukum dengan hukum Allah,
datang dengan teks yang bersifat umum.
Fenomena
ini mengharuskan kita mendalami dan mengkaji setiap kata dan istilah
yang ada dalam syari’at, dan memahaminya sesuai dengan yang dimaksudkan
dalam syariat, bukan hanya sekedar mengetahui arti kata tersebut
menurut bahasa arab, agar kita dapat sampai kepada sebuah keputusan
hukum yang benar dalam masalah tersebut.
Sebagai penerapan lain bagi hal (realita) ini, adalah yang disebutkan dalam sebuah kaidah fiqih: Pertanyaan bagaikan diulang dalam jawaban. (Lihat Al Asybah Wa An Nazhoir 141, Al Mantsur 2/214, Irsyadul Fuhul 1/361).
Maksud
kaidah ini: apabila kita bertanya kepada seseorang tentang sesuatu,
maka tatkala orang itu menjawab pertanyaan kita, maka kandungan/inti
pertanyaan kita terkandung dalam jawabannya, misal: kita bertanya
kepada seorang ulama’: “Apa hukumnya orang mabok hingga hilang kesadarannya kemudian menceraikan istrinya?” Maka ulama’ tersebut menjawab: “Istrinya tidak tercerai.” Ulama’ ini seakan-akan menjawab dengan berkata: “Orang mabok hingga kesadarannya hilang tidak tercerai istrinya.”
Dalam
kehidupan dakwah salafiyah di negeri kita dan juga di negeri lain,
sedang dilanda musibah yang diakibatkan oleh banyak dari kita yang
tidak memahami kaidah ini. Sehingga sering terjadi salah pemahaman dan
salah penerapan terhadap jawaban ulama’ terhadap sebagian pertanyaan.
Sebagai
contoh saja: ada seseorang yang bertanya kepada salah seorang ulama’
tentang seorang da’i di indonesia yang berkata atau bersikap tertentu,
maka ulama’ itupun menjawab sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Dan
akhirnya jawaban beliau ini dijadikan untuk mengkalim bahwa ulama’ itu
telah memvonis da’i tersebut, atau telah menghukuminya sebagai mubtadi’
atau fasik atau lainnya. Padahal ulama’ tersebut hanya menghukumi
sebatas pertanyaan yang beliau dengar, terlepas dari fakta dan realita
yang sebenarnya terjadi pada da’i tersebut.
Hal
ini bukanlah kesalahan bagi ulama’ tersebut, karena beliau telah
menjalankan tugas dengan benar, yaitu menjawab sesuai pertanyaan. Akan
tetapi yang tercela adalah sang penanya yang bertanya tidak sesuai
dengan realita.
عن
أم سلمة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: إنما أنا
بشر وإنكم تختصمون إلي ولعل بعضكم أن يكون ألحن بحجته من بعض فأقضي على
نحو ما أسمع، فمن قضيت له بحق أخيه شيئا فلا يأخذه فإنما أقطع له قطعة من
النار. رواه البخاري.
Artinya:
“Dari
Ummu Salamah radliallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya aku adalah manusia, dan sesungguhnya
kalian berhakim kepadaku, dan mungkin saja sebagian kalian lebih pandai
dalam menyampaikan alasannya dibanding yang lain (lawannya), kemudian
aku memutuskan sesuai dengan apa (alasan) yang aku dengar, maka barang
siapa yang untuknya aku putuskan dengan sebagian hak saudaranya (orang
lain), hendaknya jangan ia ambil, karena sesungguhnya aku telah
memotongkan baginya sebongkah api neraka.’” (HSR. Bukhori)
Hadits
ini merupakan kaidah dan pelita bagi kita semua dalam menghadapi
berbagai kasus pertanyaan dan fatwa yang ada di medan dakwah di negeri
kita Indonesia.
Banyak Hukum Dalam Syari’at Yang Didasari Oleh Adat Istiadat
Saya
rasa hal ini bukanlah hal yang aneh lagi bagi seorang tholibul ilmi,
bahkan hal ini adalah satu dari kelima kaidah besar dalam ilmu fiqih,
yang disepakati oleh para ulama’, hanya saja mungkin dalam praktek dan
penerapannya yang terjadi perbedaan. (Al Ihkam Fi Tamyizil Fatawa ‘Anil Ahkam 232, I’ilamul Muwaqi’in 3/77-78).
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Tidak boleh bagi seorang mufti, untuk berfatwa dalam masalah seputar iqrar (pengakuan), aiman (sumpah), wasiyat, dan lainnya, yang ada hubungannya dengan (penafsiran) lafdl (kata-kata),
berdasarkan kebiasaanya sendiri dalam memahami kata-kata itu, tanpa
mengetahui terlebih dahulu adat dan tradisi orang yang mengucapkan kata
tersebut, sehingga ia dapat menafsirinya sesuai dengan adat dan tradisi
mereka. Walaupun adat dan tradisi mereka itu bertentangan dengan
hakikat dasar (makna asli) kata-kata tersebut. Tatkala ia (seorang
mufti) tidak melakukan hal ini, niscaya ia akan sesat dan menyesatkan.”
(I’ilamul Muwaqi’in 4/228).
Dan
dalam kesempatan lain, setelah ia menjelaskan kewajiban mufti agar
ketika berfatwa senantiasa memperhatikan perubahan adat istiadat pada
setiap masyarakat, ia berkata: “Barang siapa yang berfatwa kepada orang
lain, hanya berpedoman dengan yang disebutkan dalam kitab-kitab, tanpa
memperdulikan perbedaan adat dan tradisi masyarakat, masa, situasi,
kondisi, dan berbagai faktor yang ada pada mereka, maka ia telah sesat
dan menyesatkan. Dan kejahatan yang ia lakukan terhadap agama, lebih
besar dibanding kejahatan seorang dokter gadungan, yang mengobati badan
orang lain, dengan berbagai perbedaan negeri, tradisi, masa dan tabiat
mereka, hanya berpedoman dengan sebuah buku kedokteran saja.” (Idem
3/78).
Sebagai salah satu contoh penerapan kaidah ini, bila kita membaca kitab-kitab para ulama’ yang membahas tentang dlihar,
niscaya kita akan dapatkan bahwa: barang siapa yang mengatakan kepada
istrinya: ibu (mama, ummy), atau saudaraku perempuan (mbak/adik dll.)
atau sebutan yang semakna, maka dihukumi dlihar, sehingga ia tidak boleh berhubungan dengan istrinya, hingga membayar kafarah,
yaitu memerdekakan budak, kalau tidak dapat, berpuasa dua bulan
berturut-turut, dan kalau tidak dapat, bersedekah memberi makan kepada
enam puluh orang miskin. Nah, kalau kita terapkan begitu saja fatwa ini
pada masyarakat indonesia, niscaya sangat banyak dari para suami harus
membayar kafarah ini.
Sebagai
contoh lain, kata nafkah, kalo kita lihat masyarakat di negeri arab,
setiap istri jatah makannya (kebiasaannya) sekali makan dengan lauk ½
ekor ayam, minum susu, sarapan roti dan keju, dll. Nah, kalo hal (adat)
ini kita jadikan ukuran dalam berfatwa seputar kadar nafkah di
masyarakat indonesia, tentu tidak sesuai.
Dan
masih banyak hal lagi yang semakna dengan dua contoh ini, bagi yang
ingin memperdalam dan mengkaji lebih luas masalah ini, hendaknya
merujuk kitab-kitab qowaid fiqhiyyah, misal: Al Asybah wan Nazhoir oleh As Suyuthy, Al Asybah wan Nazhoir oleh Ibnu Nujaim dll.
Metode
yang efektif untuk mensikapi berbagai masalah seperti ini, hendaknya
sebelum menjawab pertanyaan, kita bertanya daerah asal penanya? apakah
adat dan tradisi daerahnya berbeda dengan adat dan tradisi kita? (Lihat Al Ihkam Fi Tamyizil Fatawa ‘Anil Ahkam 232, I’ilamul Muwaqi’in 4/228).
Ada
satu hal yang tidak kalah pentingnya dengan hal ini (memperhatikan
perbedaan adat dan tradisi dalam berfatwa) adalah memperhatikan
perbedaan mazhab yang berlaku di setiap masyarakat. Sebagai contoh, di
negeri Saudi Arabia, mazhab yang diterapkan oleh pemerintahnya adalah
mazhab Hambali, dan mazhab ini pula yang diterapkan di pengadilan serta
oleh para mufti negeri ini, sedangkan mazhab yang dianut di negeri kita
adalah mazhab syafi’i, oleh karena itu dalam masalah-masalah yang
tergolong dalam masalah ijtihadiyyah (masalah yang tidak ada dali shohih lagi shorih/nyata) hendaknya kita memperhatikan fenomena ini, agar tidak menimbulkan fitnah.
Sebagai contoh nyata: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar rodiallahu ‘anhuma tatkala berhaji dan berada di Mina, mereka mengqoshor sholat ruba’iyah (Zhuhur, Ashar, dan Isya’) menjadi dua rakaat-dua rakaat, akan tetapi pada zaman khilafah Utsman bin Affan rodiallahu ‘anhu beliau
sholat empat-empat, maka perbuatan beliau ini pun diingkari oleh para
sahabat yang ada kala itu. Diantara sahabat yang mengingkari adalah
Abdullah bin Mas’ud rodiallahu ‘anhu, ketika hal ini sampai kepada beliau, beliau mengucapkan istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un),
akan tetapi tatkala datang waktu sholat, beliau sholat berjamaah
bersama sahabat Utsman bin Affan, dan mengikutinya sholat empat-empat.
Tatkala beliau ditanya tentang sikap beliau yang mengikuti ijtihad kholifah Utsman ini, beliau berkata: (الخلاف شر) “Perbedaan itu buruk.” (Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Thobrony, Al Baihaqy dll).
Contoh lain: Dalam mazhab hambali (Lihat Al Mughny 149, Al Inshof 2/48), dan yang diterapkan di negeri ini (Arab Saudi), ketika sholat jahriyyah, tidak disunnahkan untuk membaca basmalah dengan
suara keras, akan tetapi dibaca dengan pelan-pelan, baik ia seorang
imam atau bukan. Akan tetapi dalam mazhab Syafi’i (Lihat Al Majmu’ 3/289, Mughni Muhtaj 1/157), dan yang diterapkan di negeri kita Indonesia, mengeraskan suara dengan bacaan basmalah adalah
sunnah. Betapa banyak masalah yang timbul karena sikap sebagian kita
yang kurang memperhatikan fenomena ini, sehingga ketika ia ditunjuk
menjadi imam di kampungnya, ia tidak mengeraskan bacaan basmalah.
Sebagai contoh lain: Dalam Mazhab Syafi’i, seorang khotib jum’ah diwajibkan membaca ayat, hamdalah,
sholawat kepada Nabi, dan berwasiat dengan ketaqwaan. Keempat hal ini
termasuk rukun-rukun khutbah, tidak sah khutbah seseorang kalau tidak
melakukan hal-hal itu (Lihat Al Um 1/230, Al Aziz 2/283, Al Majmu’ 4/388). Dan karena sebagian tholibul ilmi mengikuti pendapat sebagian ulama’, ketika ia ditunjuk menjadi khotib, ia tidak membaca sholawat kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.
Akibatnya sebagian jama’ah, selepas sholat, ia mengulang sholat dhuhur,
karena ia menganggap bahwa khutbah sang imam tidak sah, sehingga sholat
jum’atnya juga tidak sah. Kejadian ini sempat diangkat dalam sebuah
majalah yang terbit di salah satu kota di Indonesia. Dan masih banyak
lagi contoh-contoh serupa.
Fenomena
ini, mengharuskan kita untuk sedikit membuka mata, dan telinga kita,
guna melihat dan mendengar kenyataan, dan kemudian mengkaji setiap
masalah yang terjadi perbedaan mazhab (terutama antara yang dijalankan
di negeri kita dengan yang kita anggap rojih,
sehingga kita amalkan). Dengan demikian kita akan dapat bersikap bijak
lagi arif dalam menghadapi perbedaan itu, karena para ulama’ telah
menggariskan sebuah kaidah penting lagi berguna dalam situasi seperti
ini, yaitu:
يستحب الخروج من الخلاف بفعل ما اختلف في وجوبه وترك ما اختلف في تحريمه
“Disunnahkan
menghindari khilaf (perbedaan pendapat), yaitu dengan cara melakukan
hal yang dikhilafkan akan kewajibannya, dan meninggalkan hal yang
dikhilafkankan akan keharamannya.” (Lihat Qowaidul Ahkam fi Masholihil Anam 1/215-216, Al Asybah wa An Nazloir 136-137).
Mungkin
ada yang berkata, apakah semua khilaf harus diperhatikan, dan
dihindari? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka hendaknya diketahui
bahwa kaidah ini, memiliki tiga syarat dalam penerapannya:
- Hendaknya sikap menghindari khilaf tidak menyebabkan kita bertentangan dengan satu hal yang disunnahkan dengan dalil yang nyata (shohih lagi shorih), sebagai misal: Kita tetap mengangkat tangan ketika sholat, walaupun menurut mazhab Hanafy, hal ini membatalkan sholat. Dalam jual beli, kita memiliki khiyar majlis, walaupun Imam Malik tidak membenarkan adanya khiyar majlis, karena dalil adanya khiyar majlis jelas-jelas shohih lagi shorih, bahkan diriwayatkan oleh Imam Malik sendiri, dalam kitabnya “Al Muwatha'”.
- Hendaknya sikap ini tidak menjatuhkan kita pada khilaf lain. Sebagai misal: Bila kita hendak sholat witir tiga rakaat, maka yang afdlol adalah dengan cara sholat dua rakaat, kemudian salam, lalu nambah satu rakaat, walaupun Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa sholat witir tiga rakaat harus disambung tidak boleh dipisah (dengan dua salam). Hal ini karena sebagian ulama’ mengatakan bahwa menyambung witir (3 rakaat langsung dengan satu salam) tidak sah.
- Dalil atau alasan pendapat yang hendak kita hindari khilaf-nya kuat juga. Akan tetapi kalau dalilnya lemah sekali atau bahkan dianggap sebagai kelalaian, maka tidak dianjurkan untuk dihindari khilaf-nya. Sebagai misal: Mengucapkan niyat ketika hendak wudlu, atau sholat, tidak disunnahkan bagi kita untuk melakukannya, walaupun dalam mazhab Syafi’i, mengucapkan niyat sunnah, hal ini dikarenakan dalil atau alasan mereka sangat lemah. (Idem).
Masalah-Masalah Kontemporer
Tidak
kita pungkiri, bahwa metode kehidupan yang ada pada zaman sekarang
telah banyak berubah dengan metode kehidupan yang ada pada satu abad
silam, apalagi dengan yang ada pada zaman Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.
kenyataan ini dapat kita lihat dan buktikan melalui study banding
antara berbagai metode transaksi dan interaksi yang disebutkan dalam
berbagai hadits dengan yang ada pada zaman sekarang.
Sebagai contoh: Sering kita membaca hadits yang mengharamkan jual beli dengan cara mulamasah (Yaitu
menjual barang pada tempat yang gelap gulita, sehingga tidak mungkin
bagi penjual atau pembeli untuk menyaksikan barang yang hendak dibeli
dengan baik). Nah, kalo kita renungkan dan kita bandingkan dengan
kenyataan yang ada pada zaman kita sekarang, mungkin kita akan berkata,
mustahil pada zaman sekarang ada seorang pedagang yang menjual
barangnya di tempat gelap, karena lampu listrik telah dinikmati oleh
kebanyakan manusia, walupun yang tingggal di lereng-lereng gunung. Akan
tetapi, kalo kita sedikit memikirkan alasan diharamkannya mulamasah, kita akan berkata sebaliknya. Karena alasan haramnya mulamasah, adalah terjadinya jahalah (ketidak
jelasan) pada barang yang dijual. Dan hal ini justru dapat terjadi pada
toko-toko yang memiliki lampu penerangan yang berwarna-warni, sehingga
barang yang berwarna coklat tua, terlihat berwarna coklat muda, dan
yang berwarna krem, terlihat putih, baju kusut lagi kasar, terlihat
halus mengkilat, dsb.
Contoh
lain: Bila kita tidak memiliki uang, dan memiliki barang berharga,
kendaraan, rumah atau tanah, dan sering kali kesusahan untuk
mendapatkan pinjaman, sehingga tidak jarang kita menempuh jalan lain,
yaitu dengan mendatangi kantor-kantor pegadaian, guna menggadaikan aset
kita tersebut, tindakan kita ini diistilahkan Ar Rahnu (penggadaian).
Mungkin sering sekilas kita akan berkata, bukankah kita dibolehkan
menggadaikan barang? Akan tetapi bila kita melihat fakta dan
praktek-praktek pegadaian yang ada di negeri kita, niscaya kita akan
berkata lain, karena yang terjadi, pegadaian mengambil keuntungan
(bunga) dari kita, dengan berbagai alasan dan cara. Dan kalau sudah
jatuh tempo, dan kita tidak dapat melunasi hutang kita, maka aset kita
itu, mereka jual dengan harga yang telah mereka tentukan, bukan dengan
harga yang semestinya di pasaran. Hal ini menjadikan kita berkesimpulan
lain tentang sistem pegadaian tersebut, kesimpulan yang didasari oleh
sebuah kaidah:
كل قرض جر نفعا فهو ربا
“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat, maka itu adalah riba.”
Dan
banyak lagi masalah-masalah yang serupa dengan yang disebut di atas,
misalnya: hukum jual beli surat berharga, saham, perbankan, berbagai
transaksi model baru, semacam MLM (multi level marketing),
transaksi jual beli menggunakan berbagai alat komunikasi masa kini,
mencangkok organ manusia, berbagai masalah dalam dunia kedokteran, dll.
Fenomena ini mengharuskan kita memahami dan mengetahui bagaimana metode
menghubungkan masalah-masalah baru (kontemporer) dengan masalah-masalah
yang disebutkan dalam dalil-dalil dan kitab-kitab ulama’, pekerjaan ini
diistilahkan dengan At Tashwirul Fiqhy & At Tanzilul Fiqhy.
Realita
ini, tidak berarti seseorang tidaklah dikatakan sebagai ulama’, kecuali
bila telah menguasai berbagai permasalahan kontemporer ini, karena
kekurangan dalam hal ini dapat dipenuhi dengan mendatangkan para pakar
dan ahli dalam setiap permasalahan, sebagaimana yang diterapkan oleh
Badan Riset dan Fatwa di Kerajaan Arab Saudi dan juga oleh berbagai
badan perkumpulan ulama-ulama’ fiqih di berbagai negeri islam.
Ibnul
Qayyim berkata: “Seorang mufti dan seorang hakim tidak mungkin dapat
berfatwa atau memutuskan dengan benar, kecuali bila ia menguasai dua
macam pemahaman: pertama: memahami dan mengetahui realita kejadian, dan
menarik kesimpulan dari hakikat kejadian yang terjadi dengan
menggunakan berbagai tanda dan indikasi yang ada padanya, hingga ia
benar-benar menguasai ilmu tentangnya. Pemahaman kedua: memahami
kewajiban (yang harus diterapkan) pada kejadian itu, yaitu dengan
memahami hukum Allah yang Ia putuskan dalam kitab-Nya atau melalui
lisan Rasul-Nya tentang kejadian ini. Dan kemudian ia mencocokkan
antara kedua pemahaman ini. Barang siapa telah mengerahkan seluruh daya
dan upayanya guna menguasai kedua pemahaman ini, niscaya ia meraih dua
atau satu pahala.” (I’ilamul Muwaqi’in 1/87-88).
Kesempurnaan Sulit Dicapai
Sebagaimana
yang kita dapatkan dan rasakan, betapa banyak kekurangan dan kelemahan
yang ada pada diri kita sendiri, hal serupa juga dialami oleh orang
lain. Fenomena ini menuntut kita untuk mengakui kekurangan dan siap
menerima kekurangan dari orang lain. Tidak mungkin kita mendapatkan
orang yang sempurna, dan tidak mungkin kita menemukan kawan yang tidak
memiliki kekurangan. Oleh karena itu nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كل ابن آدم خطاء وخير الخطائين التوابون. رواه أحمد والترمذي وابن ماجة وصححه الحاكم
“Setiap
anak Adam sering melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang
bersalah adalah orang yang bertaubat (kembali kepada kebenaran).” (HR. Ahmad, At Tirmizy, Ibnu Majah, dan dishohihkan oleh Al Hakim)
Akan
tetapi, kadang kala kita terjerumus kepada satu sikap yang
mengherankan, yaitu: menuntut orang lain untuk memaklumi kekurangan dan
kekeliruan kita, akan tetapi kita sendiri tidak siap untuk menerima
kenyataan bahwa kawan kita memiliki kekurangan.
Sebagai
salah satu sikap yang -menurut hemat saya- tidak obyektif, bila salah
seorang dari kita hendak mencari pasangan hidup, kita membuat berbagai
persyaratan kriteria yang, mungkin hanya ada pada bidadari, cantik,
pandai, sholehah, trampil, kaya raya, putih, muda belia, berdarahkan
biru, menyandang gelar pendidikan tinggi dsb. Akan tetapi, di sisi
lain, kita enggan untuk menoleh dan meraba tengkuk sendiri, sambil
bertanya: Siapakah aku?! Kita hanya bisa membayangkan dan mengkhayal,
kapankah aku dapat meminang seorang bidadari?, tanpa bertanya: apakah
mahar seorang bidadari? Mungkin ini yang menjadikan kita kebingungan,
bagaimana dan dengan siapa saya harus menikah, bidadari dari langit
mana yang harus saya nikahi?
Akan tetapi, mari kita lihat dan simak bersama realita yang Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam gambarkan, dan hendaknya menjadi pedoman bagi setiap kita dalam mencari pasangan hidup dan memperlakukannya:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (لا يَفْرَكْ مؤمن مؤمنةً إن كره منها خلقا رضى منها آخر) رواه مسلم
“Dari
Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda: ‘Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, (karena)
bila ia tidak menyukai satu perangai padanya, pasti ia menyukai
perangainya yang lain’.” (HR. Muslim)
Dalam
hadits ini, kita (kaum laki-laki) mendapatkan sebuah pelajaran penting
tentang realita kaum muslimah, yaitu: setiap muslimah pasti ada padanya
beberapa perangai yang membuat suaminya suka, walaupun di sisi lain ia
memiliki perangai yang kurang disenangi. Fenomena ini dijadikan oleh
Nabi shollallahu ‘alaihi wasallamsebagai
pedoman bagi kaum muslimin dalam mensikapi kaum muslimat, terutama
istri-istri mereka. Hal ini juga membuktikan kepada kita (kaum
laki-laki) bahwa, khayalan dan impian sebagian orang, ingin
mendapatkankan seorang istri yang sempurna, bak bidadari yang turun
dari surga, tidak akan pernah terwujud di dunia fana ini.
Oleh
karena itu, menurut hemat saya, apabila kita mencari pasangan hidup,
hendaknya kita mempersiapkan mental dan i’tikad kita, guna menghadapi
kekurangan dan beberapa perangai calon istri kita yang kurang disukai.
Contoh
lain: Kita sering mengucapkan kritikan kepada orang lain, dengan
berkata: seharusnya ia berbuat demikian, demikian, akan tetapi kita
jarang atau bahkan enggan untuk mengatakan kepada diri sendiri: Dapatkan saya melakukan seperti yang ia lakukan? apalagi mendengarkan kritikan orang lain. Di negeri kita ada sebuah pepatah: Penonton lebih pandai daripada pemain.
Fenomena
ini hendaknya senantiasa kita ingat, agar kita tidak gampang kecewa dan
dapat berhubungan dengan orang lain dengan baik. Walaupun hal ini tidak
menutup pintu kritik membangun, dan nasehat menasehati dengan cara yang
baik lagi sopan. Semboyan kita adalah:
سددوا وقاربوا وأبشروا. رواه البخاري ومسلم
“Tempuhlah
jalan yang benar, berusahalah sekuat tenaga, dan berikanlah kabar
gembira (kepada yang beramal, bahwa ia akan mendapatkan pahala).” (HSR. Bukhori dan Muslim)
والله أعلم بالصواب
Semoga
tulisan ini menjadi pilar bagi kita dalam menuntut ilmu, dan menempuh
perjalanan dakwah kita. Dan saya mengharapkan dan sangat berterima
kasih, bila ada dari saudaraku yang mendapatkan kesalahan atau kritikan
pada tulisan ini, hendaknya ia menyampaikannya, tentunya dengan metode
dan etika yang ilmiyah. Semoga sholawat dan salam senantiasa
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabat.
Madinah, 22 Ramadhan 1425 H
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id