Terdapat beberapa faktor yang dapat membantu seorang hamba untuk dapat
melaksanakan kesabaran jenis kedua (yaitu bersabar ketika disakiti orang
lain, ed). [Di antaranya adalah sebagai berikut:]
Pertama, hendaknya dia mengakui bahwa Allah ta’ala adalah
Zat yang menciptakan segala perbuatan hamba, baik itu gerakan, diam dan
keinginannya. Maka segala sesuatu yang dikehendaki Allah untuk terjadi,
pasti akan terjadi. Dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki Allah
untuk terjadi, maka pasti tidak akan terjadi. Sehingga, tidak ada
satupun benda meski seberat dzarrah (semut kecil, ed) yang bergerak di alam ini melainkan dengan izin dan kehendak Allah. Oleh karenanya, hamba adalah ‘alat’.
Lihatlah kepada Zat yang menjadikan pihak lain menzalimimu dan
janganlah anda melihat tindakannya terhadapmu. (Apabila anda melakukan
hal itu), maka anda akan terbebas dari segala kedongkolan dan
kegelisahan.
Kedua,
hendaknya seorang mengakui akan segala dosa yang telah diperbuatnya dan
mengakui bahwasanya tatkala Allah menjadikan pihak lain menzalimi
(dirinya), maka itu semua dikarenakan dosa-dosa yang telah dia perbuat
sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja
musibah yang menimpa kamu, maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuura: 30).
Apabila seorang hamba mengakui bahwa segala musibah yang menimpanya
dikarenakan dosa-dosanya yang telah lalu, maka dirinya akan sibuk untuk
bertaubat dan memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosanya yang menjadi
sebab Allah menurunkan musibah tersebut. Dia justru sibuk melakukan hal
itu dan tidak menyibukkan diri mencela dan mengolok-olok berbagai pihak
yang telah menzaliminya.
(Oleh karena itu), apabila anda melihat seorang yang mencela manusia
yang telah menyakitinya dan justru tidak mengoreksi diri dengan mencela
dirinya sendiri dan beristighfar kepada Allah, maka ketahuilah (pada
kondisi demikian) musibah yang dia alami justru adalah musibah yang
hakiki. (Sebaliknya) apabila dirinya bertaubat, beristighfar dan
mengucapkan, “Musibah ini dikarenakan dosa-dosaku yang telah saya perbuat.” Maka (pada kondisi demikian, musibah yang dirasakannya) justru berubah menjadi kenikmatan.
Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu pernah mengatakan sebuah kalimat yang indah,
لاَ يَرْجُوَنَّ عَبْدٌ إِلاَّ رَبَّهُ لاَ يَخَافَنَّ عَبْدٌ إلَّا ذَنْبَهُ
“Hendaknya
seorang hamba hanya berharap kepada Rabb-nya dan hendaknya dia takut
terhadap akibat yang akan diterima dari dosa-dosa yang telah
diperbuatnya.”[1]
Dan terdapat sebuah atsar yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib dan selainnya, beliau mengatakan,
مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إلَّا بِذَنْبِ وَلَا رُفِعَ إلَّا بِتَوْبَةِ
“Musibah turun disebabkan dosa dan diangkat dengan sebab taubat.”
Ketiga, hendaknya seorang mengetahui pahala yang disediakan oleh Allah ta’ala bagi
orang yang memaafkan dan bersabar (terhadap tindakan orang lain yang
menyakitinya). Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya,
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan balasan
suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa
memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy Syuura: 40).
Ditinjau dari segi penunaian balasan, manusia terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu:
[1] golongan yang zalim karena melakukan pembalasan yang melampaui batas,
[2] golongan yang moderat yang hanya membalas sesuai haknya dan
[3] golongan yang muhsin (berbuat baik) karena memaafkan pihak yang menzalimi dan justru meninggalkan haknya untuk membalas.
Allah ta’ala menyebutkan ketiga golongan ini dalam ayat di atas, bagian pertama bagi mereka yang moderat, bagian kedua diperuntukkan bagi mereka yang berbuat baik dan bagian akhir diperuntukkan bagi mereka yang telah berbuat zalim dalam melakukan pembalasan (yang melampaui batas).
[1] golongan yang zalim karena melakukan pembalasan yang melampaui batas,
[2] golongan yang moderat yang hanya membalas sesuai haknya dan
[3] golongan yang muhsin (berbuat baik) karena memaafkan pihak yang menzalimi dan justru meninggalkan haknya untuk membalas.
Allah ta’ala menyebutkan ketiga golongan ini dalam ayat di atas, bagian pertama bagi mereka yang moderat, bagian kedua diperuntukkan bagi mereka yang berbuat baik dan bagian akhir diperuntukkan bagi mereka yang telah berbuat zalim dalam melakukan pembalasan (yang melampaui batas).
(Hendaknya dia juga) mengetahui panggilan malaikat di hari kiamat kelak yang akan berkata,
أَلاَ لِيَقُمْ مَنْ وَجَبَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Perhatikanlah! Hendaknya berdiri orang-orang yang memperoleh balasan yang wajib ditunaikan oleh Allah!”[2]
(Ketika panggilan ini selesai dikumandangkan), tidak ada orang yang
berdiri melainkan mereka yang (sewaktu di dunia termasuk golongan) yang
(senantiasa) memaafkan dan bersabar (terhadap gangguan orang lain kepada
dirinya).
Apabila hal ini diiringi dengan pengetahuan bahwa segala pahala
tersebut akan hilang jika dirinya menuntut dan melakukan balas dendam,
maka tentulah dia akan mudah untuk bersabar dan memaafkan (setiap pihak
yang telah menzaliminya).
Keempat,
hendaknya dia mengetahui bahwa apabila dia memaafkan dan berbuat baik,
maka hal itu akan menyebabkan hatinya selamat dari (berbagai kedengkian
dan kebencian kepada saudaranya) serta hatinya akan terbebas dari
keinginan untuk melakukan balas dendam dan berbuat jahat (kepada pihak
yang menzaliminya). (Sehingga) dia memperoleh kenikmatan memaafkan yang
justru akan menambah kelezatan dan manfaat yang berlipat-lipat, baik
manfaat itu dirasakan sekarang atau nanti.
Manfaat di atas tentu tidak sebanding dengan “kenikmatan dan manfaat”
yang dirasakannya ketika melakukan pembalasan. Oleh karenanya, (dengan
perbuatan di atas), dia (dapat) tercakup dalam firman Allah ta’ala,
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134).
(Dengan melaksanakan perbuatan di atas), dirinya pun menjadi pribadi
yang dicintai Allah. Kondisi yang dialaminya layaknya seorang yang
kecurian satu dinar, namun dia malah menerima ganti puluhan ribu dinar.
(Dengan demikian), dia akan merasa sangat gembira atas karunia Allah
yang diberikan kepadanya melebihi kegembiraan yang pernah dirasakannya.
Kelima, hendaknya
dia mengetahui bahwa seorang yang melampiaskan dendam semata-mata untuk
kepentingan nafsunya, maka hal itu hanya akan mewariskan kehinaan di
dalam dirinya. Apabila dia memaafkan, maka Allah justru akan memberikan kemuliaan kepadanya. Keutamaan ini telah diberitakan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui sabdanya,
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
“Kemuliaan hanya akan ditambahkan oleh Allah kepada seorang hamba yang bersikap pemaaf.”[3]
(Berdasarkan hadits di atas) kemuliaan yang diperoleh dari sikap
memaafkan itu (tentu) lebih disukai dan lebih bermanfaat bagi dirinya
daripada kemuliaan yang diperoleh dari tindakan pelampiasan dendam.
Kemuliaan yang diperoleh dari pelampiasan dendam adalah kemuliaan
lahiriah semata, namun mewariskan kehinaan batin. (Sedangkan) sikap
memaafkan (terkadang) merupakan kehinaan di dalam batin, namun
mewariskan kemuliaan lahir dan batin.
Keenam, -dan
hal ini merupakan salah satu faktor yang paling bermanfaat-, yaitu
hendaknya dia mengetahui bahwa setiap balasan itu sesuai dengan amalan
yang dikerjakan. (Hendaknya dia menyadari) bahwa dirinya adalah seorang
yang zalim lagi pendosa. Begitupula hendaknya dia mengetahui bahwa
setiap orang yang memaafkan kesalahan manusia terhadap dirinya, maka
Allah pun akan memaafkan dosa-dosanya. Dan orang yang memohonkan ampun
setiap manusia yang berbuat salah kepada dirinya, maka Allah pun akan
mengampuninya. Apabila dia mengetahui pemaafan dan perbuatan baik yang
dilakukannya kepada berbagai pihak yang menzalimi merupakan sebab yang
akan mendatangkan pahala bagi dirinya, maka tentulah (dia akan mudah)
memaafkan dan berbuat kebajikan dalam rangka (menebus) dosa-dosanya.
Manfaat ini tentu sangat mencukupi seorang yang berakal (agar tidak
melampiaskan dendamnya).
Ketujuh, hendaknya
dia mengetahui bahwa apabila dirinya disibukkan dengan urusan
pelampiasan dendam, maka waktunya akan terbuang sia-sia dan hatinya pun
akan terpecah (tidak dapat berkonsentrasi untuk urusan yang lain-pent).
Berbagai manfaat justru akan luput dari genggamannya. Dan kemungkinan
hal ini lebih berbahaya daripada musibah yang ditimbulkan oleh berbagai
pihak yang menzhaliminya. Apabila dia memaafkan, maka hati dan fisiknya
akan merasa “fresh” untuk
mencapai berbagai manfaat yang tentu lebih penting bagi dirinya
daripada sekedar mengurusi perkara pelampiasan dendam.
Kedelapan, sesungguhnya
pelampiasan dendam yang dilakukannya merupakan bentuk pembelaan diri
yang dilandasi oleh keinginan melampiaskan hawa nafsu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah melakukan pembalasan yang didasari keinginan pribadi, padahal
menyakiti beliau termasuk tindakan menyakiti Allah ta’ala dan menyakiti beliau termasuk di antara perkara yang di dalamnya berlaku ketentuan ganti rugi.
Jiwa beliau adalah jiwa yang termulia, tersuci dan terbaik. Jiwa yang
paling jauh dari berbagai akhlak yang tercela dan paling berhak terhadap
berbagai akhlak yang terpuji. Meskipun demikian, beliau tidak pernah
melakukan pembalasan yang didasari keinginan pribadi (jiwanya) (terhadap
berbagai pihak yang telah menyakitinya).
Maka bagaimana bisa salah seorang diantara kita melakukan pembalasan dan
pembelaan untuk diri sendiri, padahal dia tahu kondisi jiwanya sendiri
serta kejelekan dan aib yang terdapat di dalamnya? Bahkan, seorang yang arif tentu
(menyadari bahwa) jiwanya tidaklah pantas untuk menuntut balas (karena
aib dan kejelekan yang dimilikinya) dan (dia juga mengetahui bahwa
jiwanya) tidaklah memiliki kadar kedudukan yang berarti sehingga patut
untuk dibela.
Kesembilan, apabila
seorang disakiti atas tindakan yang dia peruntukkan kepada Allah
(ibadah-pent), atau dia disakiti karena melakukan ketaatan yang
diperintahkan atau karena dia meninggalkan kemaksiatan yang terlarang,
maka (pada kondisi demikian), dia wajib bersabar dan tidak boleh
melakukan pembalasan. Hal ini dikarenakan dirinya telah disakiti (ketika
melakukan ketaatan) di jalan Allah, sehingga balasannya menjadi
tanggungan Allah.
Oleh karenanya, ketika para mujahid yang berjihad di jalan Allah
kehilangan nyawa dan harta, mereka tidak memperoleh ganti rugi karena
Allah telah membeli nyawa dan harta mereka.
Dengan demikian, ganti rugi menjadi tanggungan Allah, bukan di tangan
makhluk. Barangsiapa yang menuntut ganti rugi kepada makhluk (yang telah
menyakitinya), tentu dia tidak lagi memperoleh ganti rugi dari Allah.
Sesungguhnya, seorang yang mengalami kerugian (karena disakiti) ketika
beribadah di jalan Allah, maka Allah berkewajiban memberikan gantinya.
Apabila dia tersakiti akibat musibah yang menimpanya, maka hendaknya dia
menyibukkan diri dengan mencela dirinya sendiri. Karena dengan
demikian, dirinya tersibukkan (untuk mengoreksi diri dan itu lebih baik
daripada) dia mencela berbagai pihak yang telah menyakitinya.
Apabila dia tersakiti karena harta, maka hendaknya dia berusaha
menyabarkan jiwanya, karena mendapatkan harta tanpa dibarengi dengan
kesabaran merupakan perkara yang lebih pahit daripada kesabaran itu
sendiri.
Setiap orang yang tidak mampu bersabar terhadap panas terik di siang
hari, terpaan hujan dan salju serta rintangan perjalanan dan gangguan
perampok, maka tentu dia tidak usah berdagang.
Realita ini diketahui oleh manusia, bahwa setiap orang yang memang jujur
(dan bersungguh-sungguh) dalam mencari sesuatu, maka dia akan
dianugerahi kesabaran dalam mencari sesuatu itu sekadar kejujuran (dan
kesungguhan) yang dimilikinya.
Kesepuluh, hendaknya
dia mengetahui kebersamaan, kecintaan Allah dan ridla-Nya kepada
dirinya apabila dia bersabar. Apabila Allah membersamai seorang, maka
segala bentuk gangguan dan bahaya -yang tidak satupun makhluk yang mampu
menolaknya- akan tertolak darinya. Allah ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
“Allah menyukai orang-orang yang bersabar.” (QS. Ali ‘Imran: 146).
Kesebelas, hendaknya
dia mengetahui bahwa kesabaran merupakan sebagian daripada iman. Oleh
karena itu, sebaiknya dia tidak mengganti sebagian iman tersebut dengan
pelampiasan dendam. Apabila dia bersabar, maka dia telah memelihara dan
menjaga keimanannya dari aib (kekurangan). Dan Allah-lah yang akan
membela orang-orang yang beriman.
Kedua belas, hendaknya
dia mengetahui bahwa kesabaran yang dia laksanakan merupakan hukuman
dan pengekangan terhadap hawa nafsunya. Maka tatkala hawa nafsu
terkalahkan, tentu nafsu tidak mampu memperbudak dan menawan dirinya
serta menjerumuskan dirinya ke dalam berbagai kebinasaan.
Tatkala dirinya tunduk dan mendengar hawa nafsu serta terkalahkan
olehnya, maka hawa nafsu akan senantiasa mengiringinya hingga nafsu
tersebut membinasakannya kecuali dia memperoleh rahmat dari Rabb-nya.
Kesabaran mengandung pengekangan terhadap hawa nafsu berikut setan yang
(menyusup masuk di dalam diri). Oleh karenanya, (ketika kesabaran
dijalankan), maka kerajaan hati akan menang dan bala tentaranya akan
kokoh dan menguat sehingga segenap musuh akan terusir.
Ketiga belas, hendaknya
dia mengetahui bahwa tatkala dia bersabar , maka tentu Allah-lah yang
menjadi penolongnya. Maka Allah adalah penolong bagi setiap orang yang
bersabar dan memasrahkan setiap pihak yang menzaliminya kepada Allah.
Barangsiapa yang membela hawa nafsunya (dengan melakukan pembalasan),
maka Allah akan menyerahkan dirinya kepada hawa nafsunya sendiri
sehingga dia pun menjadi penolongnya.
Jika demikian, apakah akan sama kondisi antara seorang yang ditolong
Allah, sebaik-baik penolong dengan seorang yang ditolong oleh hawa
nafsunya yang merupakan penolong yang paling lemah?
Keempat belas, kesabaran
yang dilakukan oleh seorang akan melahirkan penghentian kezhaliman dan
penyesalan pada diri musuh serta akan menimbulkan celaan manusia kepada
pihak yang menzalimi. Dengan demikian, setelah menyakiti dirinya, pihak
yang zhalim akan kembali dalam keadaan malu terhadap pihak yang telah
dizaliminya. Demikian pula dia akan menyesali perbuatannya, bahkan bisa
jadi pihak yang zalim akan berubah menjadi sahabat karib bagi pihak yang
dizhalimi. Inilah makna firman Allah ta’ala,
ô ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ
عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا
الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)
“Tolaklah
(kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman
yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushshilaat: 34-35).
Kelima belas, terkadang
pembalasan dendam malah menjadi sebab yang akan menambah kejahatan sang
musuh terhadap dirinya. Hal ini juga justru akan memperkuat dorongan
hawa nafsu serta menyibukkan pikiran untuk memikirkan berbagai bentuk
pembalasan yang akan dilancarkan sebagaimana hal ini sering terjadi.
Apabila dirinya bersabar dan memaafkan pihak yang menzhaliminya, maka
dia akan terhindar dari berbagai bentuk keburukan di atas. Seorang yang
berakal, tentu tidak akan memilih perkara yang lebih berbahaya.
Betapa banyak pembalasan dendam justru menimbulkan berbagai keburukan
yang sulit untuk dibendung oleh pelakunya. Dan betapa banyak jiwa, harta
dan kemuliaan yang tetap langgeng ketika pihak yang dizalimi menempuh
jalan memaafkan.
Keenam belas, sesungguhnya
seorang yang terbiasa membalas dendam dan tidak bersabar mesti akan
terjerumus ke dalam kezaliman. Karena hawa nafsu tidak akan mampu
melakukan pembalasan dendam dengan adil, baik ditinjau dari segi
pengetahuan (maksudnya hawa nafsu tidak memiliki parameter yang pasti
yang akan menunjukkan kepada dirinya bahwa pembalasan dendam yang
dilakukannya telah sesuai dengan kezaliman yang menimpanya, pent-) dan
kehendak (maksudnya ditinjau dari segi kehendak, hawa nafsu tentu akan
melakukan pembalasan yang lebih, pent-).
Terkadang, hawa nafsu tidak mampu membatasi diri dalam melakukan
pembalasan dendam sesuai dengan kadar yang dibenarkan, karena kemarahan
(ketika melakukan pembalasan dendam) akan berjalan bersama pemiliknya
menuju batas yang tidak dapat ditentukan (melampaui batas, pent-).
Sehingga dengan demikian, posisi dirinya yang semula menjadi pihak yang
dizalimi, yang menunggu pertolongan dan kemuliaan, justru berubah
menjadi pihak yang zalim, yang akan menerima kehancuran dan siksaan.
Ketujuh belas, kezaliman
yang diderita akan menjadi sebab yang akan menghapuskan berbagai dosa
atau mengangkat derajatnya. Oleh karena itu, apabila dia membalas dendam
dan tidak bersabar, maka kezaliman tersebut tidak akan menghapuskan
dosa dan tidakpula mengangkat derajatnya.
Kedelapan belas, kesabaran dan pemaafan yang dilakukannya merupakan pasukan terkuat yang akan membantunya dalam menghadapi sang musuh.
Sesungguhnya setiap orang yang bersabar dan memaafkan pihak yang telah
menzaliminya, maka sikapnya tersebut akan melahirkan kehinaan pada diri
sang musuh dan menimbulkan ketakutan terhadap dirinya dan manusia. Hal
ini dikarenakan manusia tidak akan tinggal diam terhadap kezaliman yang
dilakukannya tersebut, meskipun pihak yang dizalimi mendiamkannya.
Apabila pihak yang dizalimi membalas dendam, seluruh keutamaan itu akan
terluput darinya.
Oleh karena itu, anda dapat menjumpai sebagian manusia, apabila dia
menghina atau menyakiti pihak lain, dia akan menuntut penghalalan dari
pihak yang telah dizaliminya. Apabila pihak yang dizalimi
mengabulkannya, maka dirinya akan merasa lega dan beban yang dahulu
dirasakan akan hilang.
Kesembilan belas, apabila
pihak yang dizalimi memaafkan sang musuh, maka hati sang musuh akan
tersadar bahwa kedudukan pihak yang dizalimi berada di atasnya dan
dirinya telah menuai keuntungan dari kezaliman yang telah dilakukannya.
Dengan demikian, sang musuh akan senantiasa memandang bahwa kedudukan
dirinya berada di bawah kedudukan pihak yang telah dizaliminya. Maka
tentu hal ini cukup menjadi keutamaan dan kemuliaan dari sikap
memaafkan.
Kedua puluh, apabila
seorang memaafkan, maka sikapnya tersebut merupakan suatu kebaikan yang
akan melahirkan berbagai kebaikan yang lain, sehingga kebaikannya akan
senantiasa bertambah.
Sesungguhnya balasan bagi setiap kebaikan adalah kontinuitas kebaikan
(kebaikan yang berlanjut), sebagaimana balasan bagi setiap keburukan
adalah kontinuitas keburukan (keburukan yang terus berlanjut). Dan
terkadang hal ini menjadi sebab keselamatan dan kesuksesan abadi.
Apabila dirinya melakukan pembalasan dendam, seluruh hal itu justru akan
terluput darinya.
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات[4]
-------
Diterjemahkan dari risalah Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah merahmati beliau-
______
Diterjemahkan dari risalah Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah merahmati beliau-
______
Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat penjelasan perkataan beliau ini dalam Majmu’ al Fatawa (8/161-180).
Sumber: https://muslim.or.id/2244-tips-bersabar-2-sabar-ketika-disakiti-orang-lain.html
[1] Lihat penjelasan perkataan beliau ini dalam Majmu’ al Fatawa (8/161-180).
[2] HR. Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih serta selain mereka berdua dari sahabat Ibnu’ Abbas dan Anas. Lihat ad Durr al Mantsur (7/359).
[3] HR. Muslim (2588) dari sahabat Abu Hurairah.
[4] Selesai diterjemahkan dengan bebas dari risalah Al Qo’idatu fish Shobr, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, pada hari Senin, tanggal 27 Rabi’ul Awwal 1430 H, Griya Cempaka Arum K4/7, Bandung.
Sumber: https://muslim.or.id/2244-tips-bersabar-2-sabar-ketika-disakiti-orang-lain.html