Islam Pedoman Hidup: Adab-adab Berteman

Kamis, 05 Mei 2016

Adab-adab Berteman

Oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak

Islam sangat memerhatikan masalah adab. Bahkan semua persoalan adab dijelaskan secara sempurna dalam Islam. Ketika seorang Yahudi berkata kepada Salman radhiyallahu'anhu, “Apakah Nabi kalian mengajari kalian sampaipun masalah buang hajat?” Beliau berkata, “Ya. Beliau mengajari kami ….”[1]

Inilah Islam. Semua yang mendatangkan kemaslahatan dunia dan akhirat telah ada di dalam Islam, termasuk adab berteman.

Banyak dalil dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjelaskan adab-adab berteman. Diantaranya:

Berteman hanya karena Allah 'Azza wa jalla.

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam menyatakan:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ؛ إِمَامٌ عَادِلٌ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلِّقٌ بِالـمَسَاجِدِ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصَبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللهُ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالَهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينَهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan pada saat dimana tidak ada naungan kecuali naungan Allah 'Azza wa jalla: Pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, seseorang yang hatinya senantiasa terkait dengan masjid, dua orang yang saling cinta karena Allah 'Azza wa jalla, bersatu dan berpisah di atasnya, seseorang yang diajak berzina oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan namun pemuda tersebut berkata, ‘Aku takut kepada Allah’, seseorang yang bershadaqah dan ia menyembunyikan shadaqahnya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta seseorang yang berdzikir kepada Allah 'Azza wa jalla sendirian hingga meneteskan air mata.” (HR. Al-Bukhari no. 660, Muslim no. 1031)

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga hal, jika ketiganya ada pada seseorang dia akan merasakan lezatnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, cinta kepada seseorang semata-mata hanya karena Allah, dan dia tidak senang kembali kepada kekufuran sebagaimana dia tidak ingin dilemparkan ke dalam api.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجِدَ طَعْمَ الْإِيْمَانِ فَلْيُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ
“Barangsiapa yang ingin merasakan lezatnya iman hendaknya dia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah 'Azza wa jalla.” (HR. Ahmad, dihasankan Asy-Syaikh Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6164)

Memilih teman yang baik

Telah kita sebutkan di awal pembahasan bahwa tidak semua orang bisa kita jadikan teman. Sehingga seorang muslim yang ingin menyelamatkan agamanya hendaknya memilih teman yang baik. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang ada di atas agama temannya, maka hendaknya salah seorang kalian meneliti siapa yang dijadikan sebagai temannya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud no. 4833, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 127)

Al-Imam Qatadah rahimahullah berkata: “Demi Allah. Kami tidaklah melihat seseorang berteman kecuali dengan yang setipe dan sejenis (satu sama sifatnya). Maka hendaknya kalian berteman dengan hamba-hamba Allah yang shalih agar kalian bersama mereka atau seperti mereka.”

Ditanyakan kepada Sufyan rahimahullah, “Kepada siapa kami bermajelis?” Beliau menjawab, “Seseorang yang jika engkau melihatnya engkau ingat Allah 'Azza wa jalla, amalannya mendorong kalian kepada akhirat, dan ucapannya menambah ilmu kalian.” (Lihat Min Hadyis Salaf hal. 54-55)

Ibnu Hibban rahimahullah berkata, “Seorang yang berakal tidak akan bersahabat dengan orang-orang jahat.”

Beliau juga berkata: “Empat hal yang termasuk kebahagiaan seseorang: Istri yang senantiasa taat kepadanya, anak-anak yang shalih, teman-teman yang baik, dan rezekinya di negerinya.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 22)

Menjaga kerukunan

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berpesan kepada Mu’adz dan Abu Musa radhiyallahu'anhum:

يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا وَتَطَاوَعَا
“Berilah kemudahan dan jangan membuat sulit orang lain, berilah kabar gembira yang membuat orang senang dan jangan membuat orang lari dari agama Islam, serta hendaknya kalian rukun serta tidak berselisih.”

Ini adalah adab yang senantiasa harus dijaga, terlebih lagi oleh setiap muslim, terlebih lagi para dai ilallah.

Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata, “Aku telah mendengar Asy-Syaikh Muqbil berkata (dan ini aku dengar lebih dari satu kali): Demi Allah, aku tidaklah mengkhawatirkan atas dakwah ini melainkan dari diri-diri kita sendiri.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam berkata, “Demi Allah. Syaikh telah memiliki firasat yang sangat kuat. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam seringkali berkata dalam khutbahnya:

وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
“Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kita dan kejelekan amal-amal kita.”

Jiwa-jiwa kita, walau bagaimanapun baiknya, masih mungkin menerima dan terkena kejelekan. Demi Allah, sekaranglah waktunya kita mengoreksi aib dan dosa-dosa kita jika memang kita merasa sebagai orang yang berusaha menjaga agama ini. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah tahu bahwa dakwah ini mempunyai musuh dari luar dan dari dalam. Namun bahaya mereka tidak sebesar mudharat yang muncul dari penyimpangan orang-orang yang mengemban dakwah ini. Hendaknya masing-masing kita mengoreksi diri serta menimbang ucapan dan perbuatannya, yang lahir dan batin, dengan timbangan syar’i. Wallahul musta’an.” (Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan hal. 63)

Lemah lembut kepada teman

Allah 'Azza wa jalla menjelaskan tentang sifat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam dan orang-orang yang bersamanya:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29)

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

مَا كَانَ الرِّفْقُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا نُزِعَ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sikap lemah lembut tidaklah ada pada sesuatu kecuali akan memperindahnya dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek.” (HR. Muslim)

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata kepada Aisyah radhiyallahu'anha:

مَهْلًا يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ
“Tenanglah wahai Aisyah. Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala urusan.” (HR. Al-Bukhari)

Sedang-sedang (tidak berlebihan) dalam mencintai teman

Dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

أَحْبِبْ حَبِيبَكَ ‏‏هَوْنًا ‏مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيْضَكَ يَوْمًا مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيْضَكَ‏ ‏هَوْنًا‏ ‏مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا
“Cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya. Bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai suatu hari nanti harus kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya, bisa jadi di satu hari nanti dia menjadi orang yang harus kamu cintai.” (HR. At-Tirmidzi no. 1997 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 178)

Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu'anhu berkata, “Wahai Aslam, janganlah rasa cintamu berlebihan dan jangan sampai kebencianmu membinasakan.” Aslam berkata, “Bagaimana itu?” Umar radhiyallahu'anhu berkata, “Jika engkau mencintai seseorang, janganlah berlebihan seperti halnya anak kecil yang menyenangi sesuatu dengan berlebihan. Jika engkau membenci seseorang, jangan sampai kebencian menimbulkan keinginan orang yang kamu benci celaka atau binasanya.”

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Hendaknya kalian mencintai jangan berlebihan dan membenci tidak berlebihan. Telah ada orang-orang yang berlebihan dalam mencintai satu kaum akhirnya binasa. Ada pula yang berlebihan dalam membenci satu kaum dan mereka pun binasa.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 41)

Menerima kekurangan teman

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَفْرُكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci mukminah. Jika dia tidak senang satu akhlaknya niscaya dia akan senang dengan akhlaknya yang lain.”

Asy-Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Walaupun hadits ini berkaitan tentang suami istri, namun juga berlaku dalam adab berteman.” (Lihat Syarah Riyadhish Shalihin)

Ibnu Qudamah raahimahullah berkata: “Ketahuilah, jika engkau mencari seseorang yang bersih dari kekurangan, niscaya engkau tak akan mendapatkannya. Barangsiapa yang kebaikannya lebih mendominasi daripada kejelekannya, itulah yang dicari.” (Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 101)

Jangan mencerca teman

Mencerca teman mengesankan bahwa engkau tidak sabar dalam bersahabat dengannya. Tidak sepantasnya engkau mencerca temanmu dalam semua masalah, yang besar dan kecil. Bahkan tidak semua orang pantas untuk dicerca.

Allah 'Azza wa jalla berfirman: “Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (Al-Hijr: 85)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu berkata: “Yakni ridha, tanpa mencercanya.”

Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu: Aku tidak pernah memegang dibaj (satu jenis sutera) yang lebih lembut dari tangan Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam. Aku telah menjadi pelayan Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam selama sepuluh tahun. Tidak pernah sekalipun beliau berkata: “Ah.” Tidak pernah pula beliau berkata tentang apa yang kulakukan: “Kenapa kau lakukan?” dan tidak pernah pula ketika aku tidak melakukan sesuatu, beliau berkata: “Kenapa tidak kau lakukan ini dan ini?” (HR. Al-Bukhari no. 3561 dan Muslim no. 2309)

Al-Mawardi rahimahullah berkata, “Banyak mencerca adalah sebab putusnya hubungan persahabatan ….” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 17-54)


[1] HR. An-Nasai, Kitab Ath-Thaharah, Bab An-Nahyu ‘an al-iktifa’ fil istithabah bi aqalla min tsalatsati ahjar.http://asysyariah.com/adab-adab-berteman.html   

Tidak Setiap Orang Bisa Dijadikan Teman

Seorang teman sangat besar pengaruhnya bagi agama seseorang. Lihatlah Abu Thalib! Bagaimana dia tidak mau menerima dakwah Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam dan akhirnya mati di atas kesyirikan disebabkan teman yang mendampinginya yakni Abu Jahal yang terus memengaruhinya untuk tidak menerima dakwah Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam.[1]

Ketahuilah, semoga Allah 'Azza wa jalla merahmati Anda, tidak semua orang bisa dijadikan sahabat. Karena Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata:

الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang ada di atas agama/perangai temannya, maka hendaknya seseorang meneliti siapa yang dia jadikan temannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 127)

Beliau Shallallahu'alaihi wa sallam juga berkata:

لاَ تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِناً، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَا تَقِيٌّ
“Janganlah kamu berteman kecuali dengan orang mukmin dan janganlah memakan makananmu kecuali orang bertakwa.” (HR. Abu Dawud no. 4832 dan dihasankan Asy-Syaikh Albani dalam Shahih Jami’ no. 7341)

Beliau Shallallahu'alaihi wa sallam juga berkata:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Permisalan teman yang baik dan teman yang jelek seperti penjual misk dan pandai besi. Adapun penjual misk, bisa jadi engkau diberi olehnya, membeli darinya, atau minimalnya engkau mendapatkan bau wangi. Adapun pandai besi bisa jadi membakar pakaianmu atau engkau mencium bau tidak sedap darinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5534 dan Muslim no. 2628)

Seseorang yang akan dijadikan teman hendaknya memenuhi syarat-syarat yang dijelaskan oleh para ulama. Kriteria seseorang yang bisa dijadikan teman adalah sebagai berikut:

1.    Berakal
Ini adalah modal utama dalam persahabatan setelah iman. Tidak ada kebaikan berteman dengan orang yang dungu, karena dia ingin berbuat baik kepadamu namun hal tersebut justru bermudharat bagimu. Yang dimaksud berakal di sini adalah mampu memahami keadaan yang sebenarnya, baik memahaminya sendiri atau bisa memahami ketika diberi pengertian.

2.    Berakhlak baik
Betapa banyak orang berakal namun ketika marah atau dikuasai syahwat, dia akan mengikuti hawa nafsunya. Maka tidak ada kebaikan berteman dengan orang yang seperti ini.

Lalu, bagaimana cara kita mengetahui akhlak seseorang? Ada beberapa cara untuk mengetahui akhlak seseorang. Diantaranya:

a. Melihat siapa temannya.
الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang ada di atas agama/perangai temannya maka hendaknya seseorang meneliti siapa yang dia jadikan temannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 127)

Ibnu Mas’ud rahimahullah berkata: “Nilailah (kenalilah) manusia dengan menilai (mengenal) teman-temannya.”

Dalam pepatah Arab dinyatakan, “Katakan kepadaku siapa temanmu, maka aku akan sampaikan siapa sebenarnya kamu.”

Sebagian ahli hikmah menyatakan: “Kenali temanmu dengan mengenali temannya sebelummu.”

b. Akhlak seseorang juga akan diketahui dengan safar (bepergian) dengannya.
Perjalanan jauh disebut safar (yang dalam bahasa Arab bermakna ‘menyingkap’) karena akan menyingkap hakikat jatidiri seseorang. Dalam safar, akan terlihat banyak akhlak dan tabiatnya. Oleh karena itu, orang Arab menyatakan, “Safar adalah mizan (timbangan) bagi satu kaum.”

3.    Bukan orang fasiq
Seorang fasiq tidak takut kepada Allah 'Azza wa jalla. Seseorang yang tidak takut kepada Allah 'Azza wa jalla, maka kita tidak merasa aman dari pengkhianatannya dan tidak bisa dipercaya.

4.    Bukan ahlul bid’ah
Karena dikhawatirkan dia akan menebarkan kebid’ahannya kepada orang lain[2].
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Tidak mungkin seorang Ahlus Sunnah berteman (condong) kepada ahlul bid’ah, kecuali karena adanya kemunafikan (dalam hatinya).”

Beliau rahimahullah berkata juga, “Hati-hatilah. Janganlah engkau duduk bersama orang yang akan merusak hatimu. Jangan pula engkau duduk bersama pengikut hawa nafsu, karena aku khawatir murka Allah Ta'ala menimpamu.”

5.    Bukan orang yang tamak dan rakus terhadap dunia

(Lihat Mukhtashar Minhajul Qasidhin hal. 99, Ni’matul Ukhuwah hal. 19-25)


[1] Hadits riwayat Al-Bukhari (no. 3671) dan Muslim (no. 24) dari Musayib radhiyallahu'anhu: Ketika sakaratul maut mendatangi Abu Thalib, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam datang dalam keadaan di sisi Abu Thalib ada Abdullah bin Umayyah dan Abu Jahl. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata, “Wahai paman, katakanlah Laa ilaha illallah, satu kalimat yang dengannya aku akan membela kamu di sisi Allah.” Keduanya berkata, “Apakah kamu membenci agama Abdul Muthalib?” Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam mengulang ucapannya, maka keduanya pun mengulang ucapannya. Maka, akhir hidup Abu Thalib adalah di atas agama Abdul Muthalib (yakni di atas kesyirikan).
[2] Lihat pembahasan Kajian Utama dengan judul Bahaya Berteman dengan Ahlul Bid’ah pada edisi ini di hal. 28.


from= http://faisalchoir.blogspot.fr/2012/09/adab-adab-berteman.html