Pertanyaan.
Ada yang bilang hukum shalat jamaah adalah khilafiyah (terutama menurut madzhab yang empat), jadi apakah kita harus toleransi terhadap pendapat yang menyatakan bahwa hokum shalat jama’ah bagi kaum lelaki adalah sunnah muakkadah ? Jazâkumullahu khairan.
Jawaban.
Memang ada perbedaan pendapat dalam hukum shalat jamaah, walaupun yang râjih (pendapat yang lebih kuat) menurut kami adalah wajib berdasarkan hadits-hadits yang jelas dan gamblang yang menunjukkan hukum wajibnya. Seperti hadits yang berbunyi :
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
Demi dzat yang jiwaku ada ditanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat dan aku tidak berjamaah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka[1]
Ibnu Hajar rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini menyatakan: “Adapun hadits pada bab (hadits diatas), maka dzahirnya menunjukkan shalat jamaah fardhu ‘ain, karena seandainya hanya sunat tentu Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengancam orang yang meninggalkannya dengan ancaman bakar. Jika seandainya fardhu kifâyah, maka tentu kewajiban itu sudah terlaksana dengan shalat jama’ah yang sudah dilaksanakan oleh Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat.”[2].
Demikian juga Ibnu Daqîqil ‘îd rahimahullah menyatakan, “Ulama yang berpendapat bahwa shalat jama’ah hukumnya fardhu ‘ain berhujjah (berargumentasi) dengan hadits ini. Karena jika dikatakan fardhu kifâyah, maka kewajiban itu sudah terlaksana (gugur) dengan shalat jama’ah yang dilakukan oleh Rasûlullâh dan para shahabatnya ; Dan jika dikatakan sunat, (kita katakan) orang yang meninggalkan amalan sunat tidak boleh dibunuh. Dengan demikian menjadi jelas bahwa hukum shalat jama’ah itu fardhu ‘ain”.[3]
Juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ
Seorang buta mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “wahai Rasûlullâh aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid”. Lalu dia meminta keringanan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga boleh shalat di rumah. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia baru meninggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Rasûlullâh memanggilnya dan bertanya, “Apakah anda mendengar panggilan adzan sholat ?” Dia menjawab, “Ya”. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kalau begitu penuhilah!”[4].
Setelah berhujjah dengan hadits ini, Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Jika orang buta yang tidak memiliki pemandu yang membimbingnya tidak diberi keringanan, maka apalagi orang yang tidak buta”[5]
Serta sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman lalu tidak ditegakkan pada mereka shalat kecuali setan akan menguasai mereka. Berjama’ahlah kalian, karena srigala hanya memangsa kambing yang sendirian[6] ..
Nash-nash ini menunjukkan kewajiban shalat berjama’ah. Pendapat ini dirâjihkan oleh Lajnatud Dâimah lil Buhûts Wal Iftâ’ (Komite Tetap Untuk Riset dan Fatwa Saudi Arabia)[7] dan Syaikh DR. Shâleh bin Ghanim as Sadlân dalam kitabnya “Shalatul Jamâ’ah”[8] Serta sejumlah Ulama lainnya. Wallâhu a’lam
Disebabkan adanya perbedaan yang mu’tabar dalam masalah ini, maka perbedaan pendapat ini mestinya tidak sampai menimbulkan atau menyebabkan perpecahan dan permusuhan. Oleh karenanya diperbolehkan adanya toleransi dengan tetap menjelaskan kepada mereka hukum yang râjih tersebut.
Wallahu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
________
Footnote
[1] Diriwayatkan oleh Bukhâri dalam shahîhnya kitâbul Adzân, Bâb Wujûbi Shalâtil Jamâ’ah no. 608 dan Muslim dalam shahîhnya Kitabul Masâjid wa Mawâdhi’is shalât, Bab Fadhli Shalâtil Jamâ’ah wa Bayânit Tasydîd fit Takhalluf ‘Anha no. 1041.
[2] Fathul Bâri, 2/125
[3] Ihkâmul Ahkâm 1/124.
[4] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahîh,no. 1044.
[5] al Mughni 3/6.
[6] Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya, ,no. 460; an-Nasâ’i dalam sunannya, no.738 dan Ahmad dalam musnadnya no. 26242.
[7] Fatawa Lajnatid Dâimah LIl Buhûtsil Ilmiyyah Wal Iftâ 7/283.
[8] Hlm 72
Sumber: https://almanhaj.or.id/4767-toleransi-dalam-hukum-shalat-jamaah.html