Adab-Adab Imam Dalam Shalat Berjama'ah
Oleh Ustadz Armen Halim Naro
Seorang muslim yang baik, berusaha untuk menyempurnakan setiap
amalnya. Karena hal itu sebagai bukti keimanannya. Maka shalat harus menjadi
perhatian utamanya.
Dapat dibayangkan, bagaimana ketika imam bertakbir, terlihat para
makmun bertakbir sambil mengangkat tangannya secara serempak; ketika imam
mengucapkan amin terdengar keserasian dalam mengikutinya.
Tidak salah, jika ada yang mengatakan, bahwa persatuan dan
kesatuan umat terlihat dari lurus dan rapat suatu shaf, sebagaimana yang
disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لَتُسَوُّنَّ
صُفُوْفَكُْم أَوْ لَيُخَالِفُنَّ الله ُبَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
"Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan
memecah belah persatuan kalian" [1]
Pembahasan ini terbagi menjadi dua
bagian.
- Pertama, adad-adab imam.
- Kedua, adab-adab makmum.
Tidak diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan
yang mulia, yang telah diemban sendiri oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam ; begitu juga dengan Khulafaur Rasyidin setelah beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam
Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah
imam. Diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tiga golongan di atas unggukan misik pada hari
kiamat,” kemudian beliau
menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam untuk satu
kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits yang lain
disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang shalat
di belakangnya.[2]
Akan tetapi -dalam hal ini- manusia berada di dua ujung
pertentangan.
Pertama : Menjauhnya para penuntut ilmu dari tugas yang mulia ini,
tatkala tidak ada penghalang yang menghalanginya menjadi imam.
Kedua : Sangat disayangkan masjid pada masa sekarang
ini telah sepi dari para imam yang bersih, berilmu dari kalangan penuntut ilmu
dan pemiliknya –kecuali
orang-orang yang dirahmati oleh Allah-.
Bahkan kebanyakan yang mengambil posisi ini dari golongan
orang-orang awam dan orang-orang yang bodoh. Semisal, dalam hal membaca Al
Fatihah saja tidak tepat, apalagi menjawab sebuah pertanyaan si penanya tentang
sebuah hukum atau akhlak yang dirasa perlu untuk agama ataupun dunianya. Mereka
tidaklah maju ke depan, kecuali dalam rangka mencari penghasilan dari jalannya
dan dari pintunya. Secara tidak langsung, -para imam seperti ini- menjauhkan
orang-orang yang semestinya layak menempati posisi yang penting ini. Hingga,
-sebagaimana yang terjadi di sebagian daerah kaum muslimin- sering kita temui,
seorang imam masjid tidak memenuhi kriteria kelayakan dari syarat-syarat
menjadi imam. Oleh karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada diantara mereka
yang mencukur jenggot, memanjangkan kumis, menjulurkan pakaiannya (sampai ke
lantai) dengan sombong, atau memakai emas, merokok, mendengarkan musik, atau
bermu’amalah dengan riba, menipu dalam bermua`amalah, memberi saham dalam hal
yang haram, atau istrinya bertabarruj, atau membiarkan anak-anaknya tidak
shalat, bahkan kadang-kadang sampai kepada perkara yang lebih parah dari apa
yang telah kita sebutkan di atas”. [3]
Di bawah ini, akan dijelaskankan tentang siapa yang berhak menjadi
imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya, sebagaimana point-point berikut
ini.
Pertama : Menimbang Diri,
Apakah Dirinya Layak Menjadi Imam Untuk Jama’ah, Atau Ada
Yang Lebih Afdhal Darinya?
Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya
ialah: [4]
1). Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam
ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.
2). Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya.
Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang
yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib.
3). Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika
ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Al Quran dan lebih ‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang
tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri
Radhiyallahu 'anhu , dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَؤُمُّ
اْلقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى الْقِرَاءَةِ
سَوَاءٌ فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى السُّنَّةِ سَوَاءٌ
فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً ، فَإِنْ كَانُوْا فِى اْلهِجْرَةِ سَوِاءٌ
فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا (وَفِى رِوَايَةٍ : سِنًّا)، وَ لاََ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ
الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِه (وفى رواية : فِي بَيْتِهِ) وَ لاَ يَقْعُدْ عَلَى
تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
"Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling
pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih
mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih
dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk
Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap
yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan
janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya" [5]
4). Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila
jama’ah tidak menyukainya. Dalam
sebuah hadits disebutkan:
ثََلاثَةٌ
لاَ تَرْتَفِعُ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُؤُوْسِهِمْ شِبْرًا : رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا
وَهمْ لََهُ كَارِهُوْنَ...
"Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka lebih satu
jengkal dari kepala mereka: (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang
membencinya"[6]
Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullah, “Dhahir hadits yang menerangkan hal ini, bahwa
tidak ada perbedaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang
mulia (ahli ilmu, pent), atau yang lainnya. Maka, dengan adanya unsur
kebencian, dapat menjadi udzur bagi yang layak menjadi imam untuk
meninggalkannya".
Kebanyakan, kebencian yang timbul terkhusus pada
zaman sekarang ini -berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil
yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan, red.) karena Allah,
seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan
kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan
untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya,
kecuali pada bilangan tertentu dari hamba Allah. (Jika) tidak ada dalil yang
mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa yang
mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya -tanpa sebab atau karena sebab
agama- agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar
dari pahala melakukannya.[7]
Berkata Ahmad dan Ishaq,“Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia shalat
bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.” [8]
Kedua : Seseorang Yang Menjadi Imam
Harus Mengetahui Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Shalat, Dari Bacaan-Bacaan
Shalat Yang Shahih, Hukum-Hukum Sujud Sahwi Dan Seterusnya.
Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam
memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat, sebagaimana yang
pernah penulis dengar dari sebagian imam sedang membawakan surat Al Lumazah,
dia mengucapkan”Allazi jaama`a
maalaw wa `addadah”, dengan
memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya [9] .Na`uzubillah.
Ketiga : Mentakhfif
Shalat.
Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal
ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat
saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua
hal-hal yang dianjurkan[10]. Diantara nash yang menerangkan hal ini, ialah
hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu:
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيْهِمُ السَّقِيْمَ وَ
الضَّعِيْفَ وَ اْلكَبِيْرَ، وَ إِذَا صَلَّى لِنَفْسِهِ فَلْيُطِلْ مَا شَاءَ
"Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka
hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang
tua. (Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah
sekehandaknya" [11]
Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan
suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang
pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa
pendek, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, hendaklah bagi imam -dalam hal
ini- mencontoh yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa
penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan Beliau Shallallahu'alaihi wa
sallam dalam shalat, kembali kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah
dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada
keinginan makmum.[12]
Keempat : Kewajiban Imam
Untuk Meluruskan Dan Merapatkan Shaf.
Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam
bertakbir, sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakannya.
Dari Nu`man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu berkata,”Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai
beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu
hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir,
nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:
لَتُسَوُّنَّ
صُفُوْفَكُْم أَوْ لَيُخَالِفُنَّ الله ُبَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
"Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan
memecah-belah persatuan kalian" [13]
Adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu
mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga
dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman melakukannya juga. Ali sering berkata,”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”[14]
Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang
imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang,”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak
tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan
lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua
orang?!
Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata, “Adalah salah seorang kami menempelkan bahunya
ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan,“Aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu
kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman
sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu,
pen).”[15]
Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari
berkata, dari Anas Radhiyallahu 'anhu,“Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya,’Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak
engkau mengenal Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam ?’ Beliau menjawab,’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali mereka tidak merapatkan
shaf’.” [16]
Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan-hafizhahullah-,“Jika para jama’ah tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu`man
Radhiyallahu 'anhu, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya, jika shaf
dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi,
jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan
syari’at.
Diantaranya;
1). Membiarkan celah untuk syetan dan Allah Azza wa
Jalla putuskan perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar
Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,“Luruskanlah shaf kalian,
dan luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan
celah-celah tersebut untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya
Allah akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya
Allah akan memutus (urusan)nya.”[17]
2). Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan
diantara jama’ah.
3). Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana
diterangkan dalam hadits shahih, diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam,
إِنَّ
الله َوَ مَلائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلوُْنَ الصُّفُوْفَ
"Sesungguhnya Allah dan MalaikatNya mendo’akan kepada orang yang menyambung shaf"
[18 [19]
Kelima : Meletakkan Orang-Orang
Yang Telah Baligh Dan Berilmu.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam:
لِيَلِيَنِيْ
مِنْكُمْ أُوْلُوْا اْلأَحْلاَمَ وَ النُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ
الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ
وَإِيَّاكُمْ وَ هَيْشَاتُ اْلأَسْوَاقِ
"Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh
dan berakal, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah
mereka, dan janganlah kalian berselisih, niscaya berselisih juga hati kalian,
dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar" [20].
Keenam : Menjadikan Sutrah
(Pembatas) Ketika Hendak Shalat.
Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits
Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu :
لاَ
تُصَلِّ إِلاََّ إِلَى سُتْرَةٍ ، وَ لاََ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ
يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ القَرِيْنَ
"Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah
(pembatas). Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu. Jika dia tidak
mau, maka laranglah dia, sesungguhnya bersamanya jin." [22]
Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung
oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama.[23]
Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang
yang shalat merupakan perbuatan dosa. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,“Jika orang yang lewat di
hadapan orang shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya
(dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada melewati orang yang
sedang shalat tersebut.”
Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar
berkata,“Aku tidak tahu, apakah
(yang dimaksud itu, red.) empat puluh hari atau bulan atau tahun.[24]
Ketujuh : Menasihati Jama’ah, Agar Tidak Mendahului Imam Dalam Ruku’ Atau Sujudnya,
Karena (Seorang) Imam Dijadikan
Untuk Diikuti.
Imam Ahmad berkata,“Imam (adalah) orang yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang
shalat di belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud. Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam.
Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud mereka,
bangkit dan turun mereka (dilakukannya) setelah imam. Dan hendaklah dia berbaik
dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan akan
diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam memperbaiki shalatnya,
menyempurnakan serta memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu menjadi
perhatiannya, karena, jika dia mendirikan shalat dengan baik, maka dia pun
memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang shalat di belakangnya.
Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan
shalatnya.”[25]
Kedelapan : Dianjurkan bagi
imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat
memperoleh satu raka’at, selagi tidak
memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari
kehormatan orang yang masuk tersebut.
Demikianlah sebagian adab-adab imam yang dapat kami sampaikan.
Insya Allah, pada mendatang akan kami terangkan adab-adab makmun.
Wallahu `a`lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun
VII/1424H/2003M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. HR Muslim no. 436.
[2]. Kitab Mulakhkhsul Fiqhi, Syaikh Shalih bin Fauzan, halaman
1/149.
[3]. Kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Al Salman,
halaman 249.
[4]. Ibid, halaman 1/151.
[5]. HR Muslim 2/133. Lihat Irwa` Ghalil 2/256-257.
[6]. HR Ibnu Majah no. 971. Berkata Syaikh Khalil
Makmun Syikha,“Sanad ini shahih,
dan rijalnya tsiqat.” Hadits ini
juga diriwayatkan melalui jalan Thalhah, Abdullah bin Amr dan Abu Umamah c .
Berkata Shiddiq Hasan Khan,“Dalam
bab ini, banyak hadits dari kelompok sahabat saling menguatkan satu sama lain.” (Lihat Ta`liqatur Radhiyah, halaman 1/336.
[7]. Ta`liqatur Radhiyah, halaman 1/337-338.
[8]. Lihat Dha`if Sunan Tirmizi, halaman 39.
[9]. Sebagaimana yang dikisahkan kepada penulis,
bahwa seorang imam berdiri setelah raka’at keempat pada shalat ruba`iah (empat raka`at). Ketika dia berdiri,
maka bertasbihlah para makmun yang berada di belakangnya, sehingga membuat
masjid menjadi riuh. Tasbih makmum malah membuat imam bertambah bingung. Apakah
berdiri atau bagaimana!? Setelah lama berdiri, hingga membuat salah seorang
makmun menyeletuk,”Raka’atnya bertambaaah, Pak!!” Lihat, bagaimana imam dan makmum tersebut
tidak mengetahui tata cara shalat yang benar.
[10]. Shalatul Jama’ah, Syaikh Shalih Ghanim Al Sadlan, halaman 166, Darul Wathan 1414 H.
[11]. HR Bukhari, Fathul Bari, 2/199, no. 703.
[12]. Shalatul Jama’ah, halaman 166-167.
[13]. HR Muslim no. 436.
[14]. Lihat Jami` Tirmidzi, 1/439; Muwaththa`, 1/173 dan Al Umm,
1/233.
[15]. HR Abu Ya`la dalam Musnad, no. 3720 dan lain-lain,
sebagimana dalam Silsilah Shahihah, no. 31.
[16]. HR Bukhari no. 724, sebagaimana dalam kitab Akhtha-ul
Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan, halaman 207.
[17]. HR Abu Daud dalam Sunan, no. 666, dan lihat Shahih Targhib
Wa Tarhib, no. 495.
[18]. HR Ahmad dalam Musnad, 4/269, 285,304 dan yang lainnya.
Hadistnya shahih.
[19]. Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 210-211.
[20]. HR Muslim no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih, no. 1572.
[21]. Pembatas yang sah untuk dijadikan sutrah adalah setinggi
beban unta, yaitu kira-kira satu hasta. Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 83.
[22]. HR Muslim no. 260 dan yang lain.
[23]. Fathul Bari, 1/572.
[24]. HR Bukhari 1/584 no. 510 dan Muslim 1/363 no. 507.
[25]. Kitab Shalat, halaman 47-48, nukilan dari kitab Akhtha-ul
Mushallin, halaman 254.
[26]. “Al-Mulakhkhashul
Fiqhi” Hal. (159)