Rajah biasanya merupakan sekumpulan huruf-huruf atau kalimat (yang
terpenggal) membentuk suatu gambar tertentu yang dipercayai sebagai penyembuh,
kesaktian, keselamatan atau pengasihan. Bentuk dan jenis hurufnya
bermacam-macam, sebagian bisa dibaca dan ada yang hanya berupa huruf saja. Ada
yang terkumpul seperti bulatan, kotak, segitiga dan semacamnya. Metodenya, ada
yang dicampurkan air putih untuk minum atau mandi. Ada yang disuruh dimasukkan
dompet, dikalungkan, ditaruh di bawah bantal atau kasur. Nah, di
antara rajah-rajah yang ada biasa menggunakan tulisan Arab, bahkan menggunakan
ayat Al Qur’an.
Sekilas
Tentang Rajah
Dari beberapa blog atau web dukun yang bergelar “Ki …” (semacam Ki Umar,
dst) kami peroleh berbagai macam cerita tentang cara membuat rajah atau azimat.
Perdukunan dan klenik saat ini memang telah mengikuti perkembangan zaman,
sampai-sampai banyak blog atau web yang sudah kami telusuri. Mereka menyediakan
beberapa alat klenik, seperti azimat, rajah, jimat pemikat (pelet) dan
semacamnya. Pemasanan dilakukan via blog dan siap dikirimkan dengan biaya
ongkos kirim. Info singkat tentang rajah di sini perlu kami utarakan guna
menjelaskan hukum rajah lebih lanjut.
RAJAH
(wifiq) adalah benda mati yang dibuat sesorang yang mempunyai ilmu hikmah
tingkat tinggi, agar didalam RAJAH itu mempunyai kekuatan gaib.
RAJAH yang ditulis oleh ahli ilmu hikmah biasanya berupa tulisan arab,
angka2, gambar, huruf2 tertentu atau simbol2 yang diketahui hanya
oleh yang membuatnya. Di dalam RAJAH terdapat kode sandi yang sangat banyak
sekali kurang lebih sekitar 10.333 kode sandi. Didalam rajah yang dibuat itu
biasanya, sudah mengandung kekuatan gaib dan sudah berkhodam. (indospiritual.com,
perguruan sinar buana surabaya)
Dalam menulis rajah pun mesti ada aturan. Tidak bisa asal-asalan.
Di
dalam menulis RAJAH itu ada aturan, tata cara, waktu dan sarana yang harus
ditaati, apabila ada salah satu tata cara menulis RAJAH tidak ditaati maka
fungsi RAJAH yang ditulis pun tidak sempurna dan reaksinyapun sangat lama
sekali, walaupun tetap bisa digunakan ala kadarnya. Di dalam menulis RAJAH
harus suci terlebih dahulu bagi yang muslim, bagi non muslim cukup wudhu
sebisanya, dan menulis RAJAH itu juga ada ilmu khususnya. Untuk menulis RAJAH
bisa menggunakan pensil, pena, sepidol atau yang menurut anda bisa digunakan
menulis. (indospiritual.com, perguruan sinar buana surabaya)
Dalam
menulis rajah harus dengan aturan tertentu, seperti dalam keadaan suci, harus
khusyu’ ketika menulis, nafas harus cepat keluar lewat lubang hidung sebelah
kanan atau bisa dengan tahan nafas dan memakai wewangian ketika menulis.
Sampai-sampai dianjurkan ketika membuat rajah dengan menghadap kiblat (rohjati.blogspot.com).
Lihat saja ritual yang aneh yang mereka persyaratkan ketika membuat rajah. Dari
mana mereka dapatkan bahwa hanya menulis harus dengan bersuci, lebih-lebih lagi
tahan nafas dan nafas harus keluar cepat, ditambah lagi menulis saja kok harus
pakai wewangian.
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ
شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura:21). Dari
mana para dukun tersebut mensyariatkan adanya ibadah tertentu dalam penulisan
rajah?! Apakah itu wangsit dari jin atau setan atau khodam mereka? Subhanallah
…. Ini baru bantahan dari satu sisi dalam hal penulisan rajah. Namun
bukan di sini inti pembahasan kami.
Berikut ini satu contoh lagi ajaran bid’ah yang dibuat-buat oleh para dukun
yang tidak berdasarkan dalil sama sekali.
Sebelum
melakukan penulisan rajah diawali membaca doa ini 3 x: “Bismillahir rohmanir
rohim. Qul uhiya ilay’ya anahustama’a nafarun minal jinni wa bihaqqi Kaf Haa
Yaa Aiin Shood wa bihaqqi Haa Miim AiinSiin Qoof”
Kemudian dilanjutkan
dengan melakukan meditasi sejenak (menjalin energi ghaib) setelah itu baru
dilakukan penulisan rajah.
Rajah yang telah selesai
ditulis kemudian dillipat dan dibungkus dengan kain lapis 7, agar tidak mudah
rusak dan kotor apabila dibawa-bawa.
Saat akan melipat atau membungkus Rajah bacalah :
Surat Al fatihah (1x)
Innaa fatahnaa laka fat’ham mubiinaa (3x)
(Artinya: Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata)
Nasrun minallahi wa fat’hun qoribun, wa bas’syiril mu’miniin (3x)
(Artinya: Pertolongan dari Allah dan kemengan yang dekat (waktunya). Dan
sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman)
Allohuma sholi ala sayidina muhammadin (3x)
(Artinya: Ya Allah, limpahkanlah rahmatmu kepada junjungan kami Muhammad)
Astagfirullah hal ‘adhim (3x)
(Artinya: Aku memohan ampun kepada Allah Yang Maha Agung)
Laa illaaha illaallah (3x)
(Artinya:
Tidak ada Tuhan selain Allah) Inna taqorruban ilallohil
aliyyil adhim (3x)(Artinya: Bahwasanya ini merupakan taqorrub kepada Allah Yang
Maha Tinggi lagi Maha Agung) (rohjati.blogspot.com)
Itulah wirid-wirid yang dibaca ketika membuat rajah. Mulai dari membaca
beberapa ayat dari surat Al Jin, membaca huruf-huruf muqotho’ah, surat Al
Fatihah, ayat dari surat Al Fath, bacaan shalawat, diiringi dengan meditasi.
Bacaan-bacan ini jelas bacaan mulia dan dinilai sebagai suatu ibadah. Namun
menempatkannya sebagai wirid-wirid ketika membuat rajah (azimat) dari manakah
dalilnya padahal rajah-rajah ini akan digunakan untuk pelet, penglaris, dsb.
Padahal dalam menentukan semacam itu harus dengan dalil. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak
ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan
Muslim no. 1718)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ
رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan
tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Ada pula wirid yang lucu yang dibaca ketika membuat rajah,
NIAT
INGSUN NGAPEK BANYU TELOGO INNA A'TOINA KAL JAWAHIR FASOLLILIROBIKA WANHAR
INNASAA NIAKA HUAL ANHAR IYYA KANAK BUDU WAIYYA KANAS TAIN. (DISAAT BACAAN NAS
TAIN) TINTA DITEMPELKAN KE KERTAS DILANJUT NULIS RAJAH SAMPAI SELESAI.
…
Dilihat dari segi bahasa saja sudah sangat lucu dan sungguh mengada-ada bacaan
yang satu ini, cuma asal memotong-motong ayat Qur’an. Na’udzu billah …
Aturan lainnya dalam menulis rajah yaitu rajah (azimat) hanya boleh ditulis
oleh pewaris yang telah memiliki ijazah. Jika tidak ditulis oleh mereka-mereka,
maka azimatnya bisa jadi tidak ampuh karena belum mendapatkan izin. Penulis
anggap, “Kenapa mesti dapat izin?” Perasaan kami, karena ini masalah duit saja.
Karena untuk mendapatkan ijazah itu butuh duit, ada uang pendaftaran. Intinya
ilmu-ilmu penglaris semacam ini ujung-ujungnya kembali pada fulus dan duit
sehingga mereka tidak mau tinggalkan karena penghasilan mereka bisa musnah
(Rasasejati.wordpress.com menyebutkan cara untuk menjadi pewaris ilmu rajah).
Ada beberapa pelajaran tentang rajah yang bisa kami simpulkan guna untuk
bahasan selanjutnya:
1. Rajah dibuat dengan ilmu
khusus (ilmu yang aneh-aneh dan mengada-ada), tidak bisa sembarang orang bisa
membuatnya.
2. Pembuktian ampuhnya rajah
bukanlah dengan cara ilmiah dengan eksperimen. Lihat saja pernyataan para dukun
sendiri, “RAJAH yang dibuat menggunakan ILMU RAJAH biasanya bisa ditest
menggunakan beberapa cara, dari menggunakan terawangan, getaran, dialog dengan
khodam, atau melihat cahaya didalam tulisan dengan doa2 tertentu dll. Selama
kita mengetes RAJAH yang kita buat , biasanya kita akan mengalami suatu
keanehan keanehan sesuai tata cara mengetes RAJAH , ada yang melihat cahaya
didalam RAJAH, ada angin yang tiba2 menerpa kita, ada jin yang mau menampakan
pada kita dll sesuai RAJAH yang kita buat.” Artinya ini bukanlah sebab yang
terbukti secara syar’i seperti madu dan bukan sebab yang terbukti lewat
eksperimen ilmiah seperti obat.
3. Untuk menyingkap tentang
arti dan makna suatu Rajah dibutuhkan ilmu dan pengetahuan khusus, yang
melibatkan hati dan rasa (Spiritual). Biasanya ini hanya diketahui oleh para
ahli rajah dan paranormal. Ini menunjukkan bahwa rajah tidak bisa dibaca oleh
sembarang orang. Hanya para dukun saja yang bisa. Artinya walaupun yang ditulis
adalah tulisan Arab, namun itu belum tentu ada makna dan bisa dibaca.
4. Tulisan dalam rajah biasa
dengan tulisan Arab dan kadang dengan potongan ayat Al Qur’an.
Lalu bolehkan azimat atau jimat dari ayat Al Qur’an? Ini yang akan kita
bahas selanjutnya.
Dalil
Larangan Tamimah
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً
فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
“Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada tamimah (jimat), maka Allah
tidak akan menyelesaikan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada
kerang (untuk mencegah dari ‘ain, yaitu mata hasad atau iri, pen), maka Allah
tidak akan memberikan kepadanya jaminan” (HR. Ahmad 4: 154. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan –dilihat dari jalur
lain-).
Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً
فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat
syirik” (HR. Ahmad 4: 156. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits
ini qowiy atau kuat. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahihsebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 492).
Hadits ini menunjukkan bahwa memakai azimat dan rajah termasuk di dalamnya dan
dihukumi syirik. Dahulu memang tamimah dimaksudkan untuk gelang dan
lainnya yang digunakan sebagai azimat dan sengaja dipakai dengan tujuan untuk
mencegah ‘ain, yaitu penyakit mata hasad (iri). Karena pandangan orang yang
iri, anak kecil bisa menangis terus menerus dan itulah yang disebut ‘ain. Orang
jahiliyah dahulu bahkan di masyarakat kita masih ada yang mencegah penyakit ‘ain
ini dengan gelang atau kalung di antara yang disebut dengan ‘benang pawitra’.
Para ulama menjelaskan bahwa tamimah, lebih luas dari itu.
Tamimah adalah segala sesuatu yang digantung –di rumah misalnya-, dipakai
–berupa kalung atau gelang misalnya-, diikat –berupa sabuk, rompi rajah
misalnya-, baik berupa tulisan Arab, dari bacaan Al Qur’an, suatu benda pusaka
ataukah dari selainnya, dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat -seperti sembuh
dari penyakit atau melariskan barang dagangan, membuat orang lain semakin
cinta-, atau untuk mencegah bahaya, -seperti tercegah dari suatu penyakit,
sebagai penangkal atau rumah akan dilindungi dari berbagai tindak kejahatan-.
Dari ‘Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى
الله عليه وسلم- أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ
فَقَالَ « وَيْحَكَ مَا هَذِهِ ». قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ « أَمَا إِنَّهَا
لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْناً انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِىَ
عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَداً
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat di
lengan seorang pria gelang yang dinampakkan padanya. Pria tersebut berkata
bahwa gelang itu terbuat dari kuningan. Lalu beliau berkata, “Untuk apa
engkau memakainya?” Pria tadi menjawab, “(Ini dipasang untuk
mencegah dari) wahinah (penyakit yang ada di lengan atas). Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Gelang tadi malah membuatmu
semakin lemah. Buanglah! Seandainya engkau mati dalam keadaan masih mengenakan
gelang tersebut, engkau tidak akan beruntung selamanya.” (HR. Ahmad 4: 445 dan
Ibnu Majah no. 3531).
Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang memakai azimat apa pun tujuannya
tidak akan beruntung selamanya. Dan ini tanda bahwa memakai azimat termasuk
dosa besar.
Hadits berikut menceritakan bahwa dahulu tamimah itu berupa kalung dan
digunakan untuk melindungi unta dari ‘ain dan penyakit lainnya, artinya
digunakan sebagai azimat. Sehingga ‘ain itu bukan hanya penyakit hasad pada
manusia saja, juga terdapat pada hewan.
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ
أَنَّ أَبَا بَشِيرٍ الأَنْصَارِىَّ - رضى الله عنه - أَخْبَرَهُ أَنَّهُ كَانَ
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ - قَالَ
عَبْدُ اللَّهِ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ - وَالنَّاسُ فِى مَبِيتِهِمْ ، فَأَرْسَلَ
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - رَسُولاً أَنْ لاَ يَبْقَيَنَّ فِى
رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلاَدَةٌ إِلاَّ قُطِعَتْ
Dari ‘Abbad bin Tamim, bahwasanya Abu Basyir Al Anshori radhiyallahu
‘anhu mengabarkan padanya bahwa ia suatu saat pernah bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sebagian safarnya. ‘Abdullah berkata bahwa ia
menyangka orang-orang saat itu sedang tidur. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas mengutus seseorang agar tidak membiarkan
kalung (dari tali busur) atau kalung pada leher unta melainkan dipotong
(HR. Bukhari no. 3005
dan Muslim no. 2115).
Ada pelajaran penting dalam hadits di atas. Inilah pengingkaran
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap kesyirikan, sampai
memotong jimat-jimat yang ada. Dan pengingkaran kesyirikan lebih mesti
diprioritaskan daripada pengingkaran pada maksiat lainnya, walaupun itu juga
dosa atau termasuk dosa besar. Karena orang yang mengingkari berbagai tradisi
kesyirikan, berbagai bentuk sihir dan perdukunan atau klenik, akan membersihkan
masyarakat dari berbagai macam khurofarat dan membersihkan negeri kaum muslimin
dari bentuk peribadahan pada kubur. Keutamaan mengingkari kesyirikan ini lebih
besar dari pengingkaran pada perzinaan, pencurian, korupsi, dan minuman keras.
Apalagi yang diingkari adalah syirik akbar yang bisa membuat pelakunya murtad.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa beliau mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرُّقَى
وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya mantera-mantera, jimat-jimat dan pelet adalah syirik” (HR. Abu Daud no. 3883,
Ibnu Majah no. 3530 dan Ahmad 1: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih).
Hadits ini menambahkan bahwa pelet untuk mengikat cinta apa pun bentuknya,
baik susuk atau bulu perindu juga termasuk perbuatan syirik.
Dari Ruwaifi’ bin Tsabit berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata padanya,
يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ
الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِى فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ
لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا أَوِ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ
عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- مِنْهُ بَرِىءٌ
“Wahai Ruwaifi’, semoga umurmu panjang sepeninggalku. Katakanlah pada
orang-orang bahwa siapa saja yang mengikat jenggotnya (dalam rangka sombong atau untuk mempercantik diri seperti wanita, pen) atau memakai kalung
atau beristinja’ dengan kotoran hewan atau dengan tulang, maka Muhammad
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- benar-benar berlepas diri darinya (dari pelaku dan perbuatannya).” (HR. Abu Daud no. 36, An
Nasai no. 5067 dan Ahmad 4: 108. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih).
Sahabat Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu berkata,
من قطع تميمة عن إنسان
كان كعدل رقبة
“Barangsiapa yang memotong tamimah dari
seseorang, maka ia seperti membebaskan seorang budak” (Mushonnaf Ibnu Abi
Syaibah, 5: 36).
Tamimah
dari Ayat Al Qur’an
Bagaimana jika tamimah atau jimat berasal dari Al Qur’an? Seperti seseorang
menggantung mushaf Al Qur’an di rumahnya untuk melindungi rumah dari gangguan
dan makhluk jahat, atau menggantungkan surat Al Ikhlas di dadanya. Semisal ini
pula yaitu menggantungkan ayat kursi di dinding rumah agar rumah tidak
kemasukan setan dan makhluk jahat.
Untuk masalah tamimah berasal dari Al Qur’an para ulama berselisih
pendapat. Sebagian ulama memberikan keringanan, sebagian lagi tetap
melarang. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Mas’ud. (Lihat Kitab
Tauhid, Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab)
Dalil ulama yang membolehkan tamimah dari Al Qur’an yaitu di antaranya
firman Allah Ta’ala,
وَنُنَزِّلُ مِنَ
الْقُرْآَنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman” (QS. Al Isro’: 82).
Ulama yang melarang tamimah dari Al Qur’an beralasan:
Pertama, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرُّقَى
وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya mantera-mantera, jimat-jimat dan pelet adalah syirik”.
Hadits ini umum menunjukkan seluruh tamimah, baik dari Al Qur’an atau
selainnya. Jadi seluruh tamimah itu syirik. Namun mengatakan bahwa tamimah dari
Al Qur’an itu syirik tidaklah tepat karena yang digantung adalah kalamullah.
Kedua, tamimah yang berasal
dari Al Qur’an bisa jadi dibawa ke tempat kotor seperti toilet sehingga jadinya
malah melecehkan Al Qur’an.
Ketiga, tidak bisa dibedakan
apakah itu tamimah ataukah itu Qur’an sehingga sulit diingkari.
Keempat, tidak bisa dibedakan
manakah ayat Qur’an dan manakah rajah-rajah yang berbau syirik karena sama-sama
tulisan Arab. Sehingga seseorang bisa memakainya padahal itu hanyalah tulisan
rajah yang tidak bermakna.
Pendapat kedua yang menyatakan tamimah dari Al Qur’an itu terlarang, itulah
yang lebih tepat dengan alasan untuk saddudz dzaro’i, yaitu menutup
jalan dari hal-hal yang terlarang. Kaedah inilah yang diterapkan dalam Al
Qur’an dan As Sunnah.
Adapun mafsadat (kerusakan) dari menggantung tamimah dari Al Qur’an adalah
sebagai berikut:
1. Bisa membuat rancu, apakah yang digantung itu Al
Qur’an ataukah memang azimat.
2. Orang yang jahil (bodoh) ketika ia menggantungkan
tamimah dari Al Qur’an, maka hatinya bergantung padanya, menganggap bahwa
tamimah tersebut punya keistimewaan, bisa membuat rizki lancar, rumah
terlindungi, dst. Padahal Al Qur’an itu cuma digantung, tidak dipelajari dan
ditadabburi.
3. Al Qur’an jadi dilecehkan dan dihinakan, karena
tamimah semacam ini bisa dibawa tidur sehingga akhirnya ditindih atau bisa
dibawa ke tempat kotor seperti toilet.
Dari sini seseorang tetap tidak boleh atau diharamkan menggunakan jimat,
azimat atau rajah dari Al Qur’an. Wallahu a’lam.
Simak pembahasan rumaysho.com lainnya: Hukum Memajang Ayat Kursi.
Sebenarnya:
Rajah Berbeda dengan Tamimah dari Ayat Al Qur’an
Namun sebenarnya rajah yang ada bukanlah dari Al Qur’an. Lihat saja rajah
yang ada hanya berupa huruf, bahkan kadang tidak bermakna. Jika memang jelas
bukan dari ayat Qur’an, hanya berupa huruf-huruf atau angka-angka Arab saja,
jelas syiriknya.
إِنَّ الرُّقَى
وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya mantera-mantera, jimat-jimat dan pelet adalah syirik”.
Rajah
Cuma Sebagai Sebab?
Ini perkataan seorang dukun, di mana kita bisa memesan azimat atau berbagai
macam rajah darinya:
Bagi saya, Azimat/rajah
hanya sekedar sarana, daya dan kekuatan tetap dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Mulai
dari sini kita akan semakin menyadari, bukan hanya sekedar tahu, salah satu
keagungan dari asma suci-NYA. (Ki Umar Jogja)
Inilah keyakinan pengguna rajah secara umum, mereka meyakini rajah hanyalah
sebagai sarana atau sebab, sedangkan yang menyembuhkan dan memberikan kekuatan
adalah Allah. Keyakinan semacam ini pun tetap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang. Coba perhatikan hadits berikut.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melihat di lengan seorang pria gelang yang
dinampakkan padanya. Pria tersebut berkata bahwa gelang itu terbuat dari
kuningan. Lalu beliau berkata, “Untuk apa engkau memakainya?”
Pria tadi menjawab, “(Ini dipasang untuk mencegah dari) wahinah (penyakit yang
ada di lengan atas). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
bersabda, “Gelang tadi malah membuatmu semakin lemah. Buanglah!
Seandainya engkau mati dalam keadaan masih mengenakan gelang tersebut, engkau
tidak akan beruntung selamanya.” (HR. Ahmad 4: 445 dan Ibnu Majah no.
3531).
Lihatlah keyakinan pria dalam hadits ini sama persis dengan Ki Umar, yaitu
gelang tadi hanyalah sebagai sebab, namun tetap yang menyembuhkan adalah Allah.
Ini pun tetap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang.
Bahkan beliau katakan pemakai azimat semacam ini tidak akan beruntung
selamanya. Jadi kita paham bahwa dengan alasan semacam itu pun, tetap azimat
dinilai syirik.
Sedangkan jika meyakini bahwa azimat atau rajah itu yang mendatangkan
kesembuhan dan kekuatan, bukan Allah, ini lebih parah lagi karena orang yang
meyakininya telah terjerumus dalam syirik akbar yang mengeluarkannya dari
Islam. Sedangkan yang pertama seperti keyakinan umumnya orang termasuk syirik ashgor
(syirik kecil). Namun tetap syirik kecil lebih parah dari dosa besar. Ingat
baik-baik hal ini!
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ
لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (QS An Nisa: 48)
Lalu bagaimana dengan obat? Rajah berbeda dengan
obat yang telah diuji keampuhannya dari eksperimen ilmiah. Juga beda halnya
dengan madu dan hababatus sauda, karena obat-obat ini telah ada bukti otentik
dalam berbagai hadits. Sedangkan rajah, tidaklah demikian. Pembuktian rajah
hanya melalui khodam atau penentian jin. Ini bukan ilmiah, namun ini
mengada-ada. Jadi sekali lagi dalam pengambilan sebab, ingatlah 3 syarat:
1. Sebab yang diambil benar terbukti secara syar’i akan
ampuhnya atau lewat eksperimen ilmiah.
2. Sebab yang telah terbukti tidak menjadi tempat
bergantung, namun bergantungnya hati hanyalah pada Allah.
3. Keampuhan sebab hanyalah dengan takdir atau ketentuan
Allah.
Ya Allah, lindungilah kami dan keturunan kami dari segala macam bentuk
kesyirikan. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Referensi:
1. At Tamhid Syarh Kitabit
Tauhid, Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz ‘Alu Syaikh, terbitan Darut Tauhid,
cetakan pertama, 1423 H.
2. Fathul Majid Syarh Kitab
At Tauhid, Syaikh 'Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, terbitan Darul Ifta',
cetakan ketujuh, 1431 H.
3. Syarh Kitab At Tauhid,
Syaikh Hamd bin 'Abdullah Al Hamd, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua,
1431 H.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 3 Robi’ul Awwal 1433 H
www.rumaysho.com