Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al Atsary
PENDAHULUAN
Ini
adalah sebuah polemik yang sempat mencuat di kalangan kaum muslimin, khususnya
para penuntut ilmu. Ada sebagian orang mengira Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah.
Seperti yang sudah dimaklumi,
sebenarnya madzhab Al Asy’ariyyah yang berkembang sekarang ini, hakikatnya
adalah madzhab Al Kullabiyyah. Abul Hasan Al Asy’ari sendiri telah bertaubat
dari pemikiran lamanya, yaitu pemikiran Mu’tazilah. Tujuh sifat yang ditetapkan
dalam madzhab Al Asy’ariyyah inipun bukan berdasarkan nash dan dalil syar’i,
tetapi berdasarkan kecocokannya dengan akal dan logika. Jadi, sangat
bertentangan dengan prinsip Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
SEJARAH SINGKAT
ABUL HASAN AL ASY’ARI
Kisah taubatnya dari pemikiran
Mu’tazilah ini sangat populer. Beliau melepas pakaiannya seraya berkata: “Aku
melepaskan keyakinan Mu’tazilah dari pemikiranku, seperti halnya aku melepaskan
jubah ini dari tubuhku,” kemudian beliau melepas jubah yang dikenakannya.
Secara simbolis, itu merupakan pernyataan bahwa beliau berlepas diri dari
pemikiran Mu’tazilah dan dari kaum Mu’tazilah.
Ahli sejarah negeri Syam, Al
Hafizh Abul Qasim Ali bin Hasan bin Hibatillah bin Asakir Ad Dimasyq (wafat
tahun 571) dalam kitab At Tabyin menceritakan peristiwa tersebut:
Abu Ismail bin Abu Muhammad bin
Ishaq Al Azdi Al Qairuwani, yang dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Uzrah bercerita,
Abul Hasan Al Asy’ari adalah seorang yang bermadzhab Mu’tazilah. Dan memegang
madzhab ini selama 40 tahun. Dalam pandangan mereka, beliau adalah seorang
imam. Kemudian beliau menghilang selama lima belas hari. Secara tiba-tiba,
beliau muncul di masjid Jami’ kota Bashrah. Dan setelah shalat Jum’at, beliau
naik ke atas mimbar seraya berkata,”Hadirin sekalian. Aku menghilang dari
kalian selama beberapa hari, karena ada dalil-dalil yang bertentangan dan sama
kuatnya, namun aku tidak mampu menetapkan mana yang hak dan mana yang batil.
Dan aku tidak mampu membedakan mana yang batil dan mana yang hak. Kemudian aku
memohon petunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Dia memberiku petunjuk,
dan aku tuangkan ke dalam bukuku ini. Dan aku melepaskan semua aqidah
(keyakinan) yang dulu aku pegang, sebagaimana aku membuka bajuku ini.” Kemudian
beliau membuka bajunya dan membuangnya, lalu memberikan bukunya tersebut kepada
para hadirin.
Sebagai bukti kesungguhan Abul
Hasan Al Asy’ari melepaskan diri dari pemikiran Mu’tazilah, yaitu beliau mulai
bangkit membantah pemikiran Mu’tazilah dan mendebat mereka. Bahkan beliau
menulis sampai tiga ratus buku untuk membantah Mu’tazilah. Namun dalam membantahnya,
beliau menggunakan rasio dan prinsip-prinsip logika. Beliau mengikuti
pemikiran-pemikiran Kullabiyyah.[2]
ABUL HASAN AL
ASY’ARI SECARA TOTAL MENJADI PENGIKUT MANHAJ SALAF
Kemudian
Allah menyempurnakan nikmatNya untuk beliau. Setelah pindah ke Baghdad dan
bergabung bersama para tokoh murid-murid Imam Ahmad, akhirnya beliau secara
total menjadi seorang Salafi (pengikut manhaj Salaf). Pada fase yang ketiga
dalam kehidupannya ini, beliau menulis beberapa risalah berisi pernyataan
taubatnya dari seluruh pemikiran Mu’tazilah dan syubhat-syubhat Kullabiyyah.
Diantara beberapa buku yang
ditulisnya, yaitu: Al Luma’, Kasyful Asrar Wa Hatkul Asrar, Tafsir Al
Mukhtazin, Al Fushul Fi Raddi ‘Alal Mulhidiin Wa Kharijin ‘Alal Millah Ka Al
Falasifah Wa Thabai’in Wad Dahriyin Wa Ahli Tasybih, Al Maqalaat Al Islamiyyin dan
Al Ibanah. Semoga Allah merahmati beliau.
PERNYATAAN ABUL
HASAN AL ASY’ARI DALAM KITABNYA: AL IBANAH FI USHULID DIYANAH [3]
Beliau
berkata dalam kitab Al Ibanah: “Pendapat yang kami nyatakan, dan agama yang
kami anut adalah berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah NabiNya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atsar-atsar (riwayat-riwayat) yang diriwayatkan
dari para sahabat, tabi’in dan para imam ahli hadits. Kami berpegang teguh
dengan prinsip tersebut. Kami berpendapat dengan pendapat yang telah dinyatakan
oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, semoga Allah mengelokkan wajah
beliau, mengangkat derajat beliau dan melimpahkan pahala bagi beliau. Dan kami
menyelisihi perkataan yang menyelisihi perkataan beliau. Karena beliau adalah
imam yang fadhil (utama), pemimpin yang kamil (sempurna). Melalui dirinya,
Allah menerangkan kebenaran dan mengangkat kesesatan, menegaskan manhaj dan
memberantas bid’ah yang dilakukan kaum mubtadi’in, dan (memberantras)
penyimpangan yang dilakukan orang-orang sesat, serta (memberantas) keraguan
yang ditebarkan orang yang ragu-ragu.” [4]
Demikian pernyataan Abul Hasan,
bahwa ia kembali ke pangkuan manhaj Salaf.
ULAMA-ULAMA
SYAFI’IYYAH MENOLAK DINISBATKAN KEPADA ASY’ARIYYAH
Kebanyakan
orang mengira bahwa madzhab Al Asy’ariyyah itu identik dengan madzhab Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah. Ini sebuah kekeliruan fatal.
Berikut ini, mari kita simak
penuturan Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Id Al Hilali dalam kitabnya yang sangat
bagus, dalam edisi Indonesia berjudul Jama’ah-jama’ah Islam Ditimbang Menurut
Al Qur’an dan As Sunnah (halaman 329-330). Dalam bukunya tersebut, beliau
membantah Hizbut Tahrir yang mencampur-adukkan istilah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
dengan istilah Al Asy’ariyyah, sekaligus menyatakan bila Al Asy’ariyyah bukan
termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, atau bukan termasuk pengikut manhaj Salaf.
Beliau berkata:
Jika
dikatakan: Yang dimaksud Ahlus Sunnah di sini adalah madzhab Asy’ariyah.
2. Ibnu Abdil Bar, dalam
mensyarah (menjelaskan) perkataan Imam Malik, dia menukil perkataan ahli fiqh
madzhab Maliki bernama Ibnu Khuwaiz Mandad: “Tidak diterima persaksian Ahli
Ahwa’ (Ahli Bid’ah).” Ia menjelaskan: “Yang dimaksud Ahli Ahwa’ oleh Imam Malik
dan seluruh rekan-rekan kami, adalah Ahli Kalam. Siapa saja yang termasuk Ahli
Kalam, maka ia tergolong ahli ahwa’ wal bida’; baik ia seorang pengikut madzhab
Asy’ariyyah atau yang lainnya. Persaksiannya dalam Islam tidak diterima
selama-lamanya, wajib diboikot dan diberi peringatan atas bid’ahnya. Jika ia
masih mempertahankannya, maka harus diminta bertaubat.” [7]
3. Abul Abbas Suraij yang
dijuluki Asy Syafi’i kedua berkata,”Kami tidak mengikuti takwil Mu’tazilah,
Asy’ariyah, Jahmiyah, Mulhid, Mujassimah, Musyabbihah, Karramiyah dan
Mukayyifah [8]. Namun kami menerima nash-nash sifat tanpa takwil, dan kami
mengimaninya tanpa tamtsil.” [9]
4. Abul Hasan Al Karji, salah
seorang tokoh ulama Asy Syafi’iyyah berkata: “Para imam dan alim ulama
Syafi’iyyah, dari dulu sampai sekarang menolak dinisbatkan kepada Asy’ariyah.
Mereka justru berlepas diri dari madzhab yang dibangun oleh Abul Hasan Al Asy’ari.
Menurut yang aku dengar dari beberapa syaikh dan imam, bahkan mereka melarang
teman-teman mereka dan orang-orang dekat mereka dari menghadiri
majelis-majelisnya. Sudah dimaklumi bersama kerasnya sikap syaikh [10] terhadap
Ahli Kalam, sampai-sampai memisahkan fiqh Asy Syafi’i dari prinsip-prinsip Al
Asy’ari, dan diberi komentar oleh Abu Bakar Ar Radziqani. Dan buku itu ada
padaku. Sikap inilah yang diikuti oleh Abu Ishaq Asy Syirazi dalam dua
kitabnya, yakni Al Luma’ dan At Tabshirah. Sampai-sampai kalaulah sekiranya
perkataan Al Asy’ari bersesuaian dengan perkataan rekan-rekan kami (ulama
madzhab Asy Syafi’i), beliau membedakannya. Beliau berkata: “Ini adalah
pendapat sebagian rekan kami. Dan pendapat ini juga dipilih oleh Al
Asy’ariyah.” Beliau tidak memasukkan mereka ke dalam golongan rekan-rekan Asy
Syafi’i. Mereka menolak disamakan dengan Al Asy’ariyah. Dan dalam masalah fiqh,
mereka menolak dinisbatkan kepada madzhab Al Asy’ariyah; terlebih lagi dalam
masalah ushuluddin.” [11]
Pendapat yang benar adalah, Al
Asy’ariyah termasuk Ahli Kiblat (kaum muslimin), tetapi mereka bukan termasuk
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Ketika para tokoh dan pembesar Al Asy’ariyyah jatuh
dalam kebingungan, mereka keluar dari pemikiran Al Asy’ariyah. Diantaranya
adalah Al Juwaini, Ar Razi, Al Ghazzali dan lainnya. Jika mereka benar-benar
berada di atas As Sunnah dan mengikuti Salaf, lalu dari manhaj apakah mereka
keluar? Dan kenapa mereka keluar? Hendaklah orang yang bijak memahaminya,
karena ini adalah kesimpulan akhir.
Dalam daurah Syar’iyyah Fi Masail
Aqa’idiyyah Wal Manhajiyyah di Surabaya, dua tahun yang lalu, Syaikh Salim
ditanya: Apakah Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah? Beliau
menjawab dengan tegas: “Al Asy’ariyyah tidak termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.”
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1].
Ta’thil (menolak atau meniadakan sifat Allah, takyif (membayangkan atau
menanyakan hakikat dan bentuk sifat Allah), tamtsil (menyerupakan sifat Allah
dengan sifat makhluk), ta’wil (maksudnya tahrif yaitu menyimpangkan makna dari
zhahirnya tanpa dalil)
[2].
Al Kullabiyah, adalah penisbatan kepada Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin
Muhammad bin Kullab Al Bashri, wafat pada tahun 240 H.
[3].
Buku ini telah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh
Pustaka At Tibyan. Dalam buku aslinya disertakan taqdim (kata pengantar dari
para ulama terkini, seperti Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshari, Syaikh Abdul
Aziz bin Abdillah bin Baz dan Syaikh Ismail Al Anshari). Buku ini sangat
penting dibaca oleh kaum muslimin, khususnya di Indonesia dan Malaysia yang
mayoritas penduduknya menisbatkan diri kepada Al Asy’ariyyah.
[4].
Al Ibanah, halaman 17.
[5].
Silakan lihat Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, karangan Al
Laalikaai (I/157-165).
[6].
Bagi yang ingin penjelasan lebih rinci, silakan lihat kitab Asasut Taqdis,
karangan Ar Razi, hlm. 168-173 dan Asy Syamil, karangan Al Juwaiini, hlm. 561
dan Al Mawaqif, karangan Al Iji, hlm. 39-40.
[7].
Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi (II/96).
[8].
Ini semua adalah nama-nama aliran
[9].
Ijtima’ Juyusy Islamiyah, hlm. 62.
[10].
Yakni Syaikh Abu Hamid Al Isfaraini.
[11].
At Tis’iniyyah, hlm. 238-239.