Islam Pedoman Hidup: Impotensi

Rabu, 11 Mei 2016

Impotensi

Al-Imam Muslim berkata dalam Shahih-nya :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَاللَّفْظُ لِعَمْرٍو قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلَاقِي فَتَزَوَّجْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ وَإِنَّ مَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ..........
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Amru An-Naaqid dengan lafadh dari ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah, ia berkata : Suatu ketika istri Rifaa'ah menemui Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : “Aku adalah istri Rifaa'ah, kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair, akan tetapi sesuatu yang ada padanya seperti hudbatuts-tsaub (ujung kain)”.  Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallamtersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda : "Apakah kamu ingin kembali kepada Rifaa'ah ? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu….” [Shahih Muslim no. 1433].


Hudbatuts-tsaub maknanya adalah kemaluan suami lembek/lunak seperti ujung kain, sehingga tidak bisa memuaskan [An-Nihaayah].
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa tuntutan pemenuhan ‘nafkah biologis’ (=jima’) seorang istri kepada suaminya merupakan suatu hal yang lumrah, diperbolehkan, dan bahkan disyari’atkan. Dengan adanya ikatan pernikahan, seorang istri mempunyai hak dari suami atas nafkah jima’ dan bersenang-senang.
Lantas bagaimana halnya apabila suami tidak dapat memenuhi karena adanya gangguan atau penyakit seperti impotensi dan semisalnya ? Para ulama telah membahas hal ini.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata saat membahas cacat yang dapat membatalkan nikah :
فاختلف الفقهاءُ فى ذلك، فقال داود، وابنُ حزم، ومَنْ وافقهما: لا يُفْسَخْ النكاحُ بعيب ألبتة، وقال أبو حنيفة: لا يفسخ إلا بالجَبِّ والعُنَّةِ خاصة. وقال الشافعى ومالك: يُفْسَخُ بالجنونِ والبَرَصِ، والجُذامِ والقَرَن، والجَبِّ والعُنَّةِ خاصة، وزاد الإمام أحمد عليهما: أن تكونَ المرأة فتقاءَ منخرِقة ما بينَ السبيلين، ولأصحابه فى نَتَنِ الفرج والفم، وانخراقِ مخرجى البول والمنى فى الفرج، والقروح السيالة فيه، والبواسير، والنَّاصور، والاستحاضة، واستطلاقِ البول، والنجو، والخصى وهو قطعُ البيضتينِ، والسَّل وَهو سَلُّ البيضتين، والوجء وهو رضُّهما، وكونُ أحدهما خُنثى مشكلاً، والعيبِ الذى بصاحبه مثلُه مِن العيوب السبعة، والعيبِ الحادث بعد العقد، وجهان.
وذهب بعضُ أصحابِ الشافعى إلى ردِّ المرأة بكُلِّ عيبٍ تُردُّ به الجاريةُ فى البيع وأكثرُهم لا يَعْرِفُ هذا الوجهَ ولا مظِنَّتَه، ولا مَنْ قاله. وممن حكاه: أبو عاصم العبادانى فى كتاب طبقات أصحاب الشافعى، وهذا القولُ هو القياس، أو قولُ ابن حزم ومن وافقه.
وأما الاقتصارُ على عيبين أو ستة أو سبعة أو ثمانية دون ما هو أولى منها أو مساو لها، فلا وجه له،
“Para fuqahaa telah berbeda pendapat tentang hal tersebut. Abu Daawud, Ibnu Hazm, dan yang sependapat dengan mereka berdua berkata : ‘Tidak boleh dibatalkan sama sekali pernikahan dengan sebab adanya cacat’. Abu Haniifah berkata : ‘Tidak boleh dibatalkan kecuali suaminya terpotong kemaluannya (dikebiri) dan impoten’. Asy-Syaafi’iy dan Maalik berkata : ‘(Pernikahan) dibatalkan dengan sebab gila, kusta, lepra,qaran (= semacam kelainan dari kemaluan seorang wanita akibat adanya daging tumbuh atau semacamnya sehingga tersumbat yang mengakibatkan tidak bisa melakukanjima’), terpotong kemaluannya, dan impoten’. Al-Imam Ahmad menambahkan dari yang telah disebutkan keduanya : ‘Jika si wanita mempunyai kelainan pada kemaluannya karena sobek pembatas antara dua lubang (qubul dan dubur)’. Dan menurut shahabat-shahabatnya termasuk bau busuk yang keluar dari farji dan mulut, robeknya saluran kencing dan mani pada kemaluan, luka nanah pada kemaluan, wasir, sembelit,istihadlah, kencing terus-menerus, najwu (= penyakit/kelainan pada perut sehingga mengeluarkan bau busuk dan kotoran), khashaa (terpotong buah dzakarnya), tidak memiliki buah dzakar, waj’u (buah dzakarnya hancur/rusak), berkelamin ganda, dan cacat-cacat lain yang sejenis dengan tujuh cacat ini yang ada pada suami/istri.
Sedangkan cacat yang terjadi setelah ‘aqad, ada dua pendapat. Sebagian shahabat Asy-Syaafi’iy berpendapat untuk mengembalikan wanita (kepada keluarganya) untuk setiap cacat yang ada yang mana jika cacat itu ada pada seorang budak wanita, boleh dikembalikan kepada tuannya. Kebanyakan shahabat Asy-Syaafi’iy tidak mengetahui alasan dan dalil pendapat ini dan tidak mengetahui siapa yang mengatakannya. Dan dari yang dikatakan Abu ‘Aashim Al-‘Abbaadaaniy dalam kitab Thabaqaat Asy-Syaafi’iy, pendapat ini merupakan hasil dari qiyas, atau pendapat Ibnu Hazm dan orang yang sependapat dengannya.
Adapun pembatasan atas dua, enam, tujuh, atau delapan cacat tanpa cacat lain yang lebih tinggi derajatnya (parah) atau sama, maka pendapat itu tidak punya sandaran/dalil….” [Zaadul-Ma’aad, 5/182; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 3/1406].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ومن الحقوق الأبضاع، فالواجب الحكم بين الزوجين بما أمر الله ـ تعالى ـ به، من إمساك بمعروف أو تسريح بإحسان‏.‏ فيجب على كل من الزوجين أن يؤدي إلى الآخر حقوقه، بطيب نفس وانشراح صدر؛ فإن للمرأة على الرجل حقًا في ماله، وهو الصداق والنفقة بالمعروف‏.‏ وحقًا في بدنه، وهو العشرة و المتعة؛ بحيث لو إلى منها استحقت الفرقة بإجماع المسلمين، وكذلك لو كان مجبوبًا أو عنينًا لا يمكنه جماعها فلها الفرقة؛ ووطؤها واجب عليه عند أكثر العلماء‏.‏
“Termasuk di antara hak-hak (yang harus dipenuhi) adalah hubungan intim. Maka wajib hukumnya bagi suami suami istri melaksanakannya sesuai dengan perintah Allah ta’ala, termasuk di antaranya mempergauli atau menceraikannya dengan baik. Wajib pula bagi setiap pasangan suami istri untuk memenuhi haknya satu dengan lainnya dengan ikhlash dan lapang dada. Sesungguhnya bagi seorang wanita mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh laki-laki (suaminya) dari harta yang berupa mahar dan nafkah secarama’ruf, dan hak badan yang berupa jima’ dan bersenang-senang – dimana jika hak-hak tersebut tidak bisa dipenuhi, maka istrinya berhak menuntut cerai berdasarkan ijma’kaum muslimin. Begitu pula apabila suaminya terpotong kemaluannya atau impoten sehingga tidak memungkinkan untuk berjima’, maka si istri juga berhak menuntut cerai. Hal itu dikarenakan menggauli (menjimai) istri hukumnya wajib menurut kebanyakan ulama” [Majmu’ Al-Fataawaa, 28/383].
وكذلك يوجب العقد المطلق سلامة الزوج من الجَبّ والعِنَّة عند عامة الفقهاء‏.‏ وكذلك يوجب عند الجمهور سلامتها من موانع الوطء كالرتق، وسلامتها من الجنون، والجذام، والبرص‏.‏ وكذلك سلامتهما من العيوب التي تمنع كماله، كخروج النجاسات منه أو منها، ونحو ذلك، في أحد الوجهين في مذهب أحمد وغيره ‏‏
“Begitu pula diwajibkan dalam akad pernikahan yang bersifat mutlak, yaitu bebasnya seorang suami dari cacat terpotong kemaluannya dan impotensi menurut jumhurfuqahaa’. Selain itu juga bebas dari penghalang untuk bisa berjima’ seperti tertutupnya lubang kemaluan (ratq), bebas dari gila, lepra, dan kusta. Juga bebas dari cacat yang menghalangi kesempurnaannya seperti keluarnya najis dari kemaluan laki-laki atau wanita; dan yang lainnya. Ini merupakan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Ahmad dan lainnya…” [idem, 29/175].
Apabila seorang suami menderita cacat impotensi setelah menjalani bahtera pernikahan, maka dalam hal ini suami diberi tenggang satu tahun. Jika setelah tenggang waktu itu ia belum sembuh, maka istri berhak menuntut cerai.
نا أبو طلحة نا بندار نا عبد الرحمن نا سفيان عن الركين بن الربيع قال : سمعت أبي وحصين بن قبيصة يحدثان عن عبد الله قال يؤجل سنة فإن أتاها وإلا فرق بينهما
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thalhah : Telah mengkhabarkan kepada kami Bundaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrahmaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Ar-Rukain bin Ar-Rabii’, ia berkata : Aku mendengar ayahku dan Hushain bin Qabiishah menceritakan dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : “Diberikan waktu satu tahun. Apabila ia mendatangi (mampu menjimai kembali) istrinya, (maka pernikahan itu diteruskan). Jika tidak, maka (boleh) dipisahkan (cerai) antara keduanya” [Sunan Ad-Daaruquthniy no. 3814; sanadnya shahih].
حدثنا أبو طلحة حدثنا بُندار حدثنا عبد الرحمن عن سفيان عن الركين عن أبي النعمان قال : أتينا المغيرة بن شعبة في العنين، فقال : يؤجل سنة
Telah menceritakan kepada kami Abu Thalhah : Telah menceritakan kepada kami Bundaar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman, dari Sufyaan, dari Ar-Rukain, dari Abun-Nu’maan, ia berkata : “Kami mendatangi Al-Mughiirah bin Syu’bah (untuk bertanya) tentang orang yang impoten. Lalu ia berkata : “Diberikan waktu satu tahun” [Sunan Ad-Daaruquthniy no. 3815; kemungkinan Abun-Nu’maan ini bernama Nu’aim bin Handhalah atau dikatakan juga An-Nu’maan bin Handhalah atau dikatakan juga nama yang lainnya. Jika benar ini adalah ia, maka shahih].
حدثنا علي أنا شعبة قال سألت قتادة وحمادا فقالا يؤجل سنة في العنين
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Qataadah dan Hammaad (tentang orang yang impotensi), mereka berdua berkata : “Diberikan waktu satu tahun bagi orang yang impoten” [Musnad Ibni Ja’d no. 1039; sanadna shahih].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
أن كُلَّ عيب ينفِرُ الزوجُ الآخر منه، ولا يحصُل به مقصودُ النكاح مِن الرحمة والمودَّة يُوجبُ الخيارَ، وهو أولى مِن البيع، كما أن الشروطَ المشترطة فى النكاح أولى بالوفاءِ مِن شروط البيع، وما ألزم اللَّهُ ورسولُه مغروراً قطُّ، ولا مغبوباً بما غُرَّ به وغُبِنَ به، ومن تدبَّر مقاصد الشرع فى مصادره وموارِده وعدله وحِكمته، وما اشتمل عليه مِن المصالح لم يخفَ عليه رجحانُ هذا القول، وقربُه من قواعد الشريعة.
“Bahwasannya setiap cacat yang dapat membuat lari pasangannya darinya serta (keberadaan faktor yang) tidak dicapai dengannya tujuan pernikahan yaitu (terwujudnya) cinta dan kasih-sayang; maka mengkonsekuensikan pilihan (untuk meneruskan rumah tangga atau melakukan perceraian). Dan itu lebih dikedepankan daripada akad jual-beli sebagaimana keberadaan syarat yang dipersyaratkan dalam pernikahan lebih dikedepankan untuk dipenuhi daripada persyaratan jual-beli. Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mewajibkan orang yang tertipu dan terpedaya menerima sesuatu yang tidak diinginkan. Dan barangsiapa yang mentadaburi/memikirkan tujuan-tujuan syari’at berupa prinsip-prinsip keadilan dan hikmah dari suatu hukum dan maslahat-maslahat yang terkandung di dalamnya, tentu tahu kuatnya pendapat ini dan sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at yang ada” [Zaadul-Ma’aad, 5/183].
Wallaahu ‘alam.
Semoga catatan kecil ini ada manfaatnya.
[abu al-jauzaa’ – 1431 H – banyak mengambil faedah dari buku Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah oleh Asy-Syaikh Husain bin ‘Audah Al-‘Awaaisyah, 5/68-73; Al-Maktabah Al-Islaamiyyah, Cet. 1/1425].
Nb : Dalam artikel ini ketika disebut (istri) berhak menuntut cerai bukan berarti wajib. Harap diperhatikan. Tentu saja, apa yang seharusnya dilakukan dan diputuskan oleh istri (dan juga suami) dalam permasalahan ini tidak hanya didasarkan satu sisi pandang saja. Perlu pertimbangan maslahat dan mafsadat sehingga apapun yang akan diputuskan merupakan jalan yang terbaik bagi semua pihak.