Bila Aman Enggan Menutupkan Topeng Di Wajahnya
Oleh : Muhammad Arifin Baderi
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan setiap orang yang menjalankan sunnahnya hingga hari qiyamat.
Amma ba’du :
Sebagai pembuka, saya ingin mengingatkan kepada pembaca yang budiman, akan sebuah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
yang harus selalu tertanam di dalam jiwa setiap muslim, sehingga dalam
setiap ucapan, perbuatan dan sikap, ia menjadikannya sebagai tolok
ukur, dan pedoman, agar ia tidak terjerumus kedalam kubang kehinaan dan
kenistaan, yaitu sabda beliau :
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (إن مما أدرك النَّاس من كلام النبوة: إذا لم تستحي فاصنع ما شئت) رواه البخاري وغيره.
Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud[1] radliyallaahu 'anhu, ia menuturkan : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Sesungguhnya
diantara ucapan kenabian adalah : Bila engkau tidak merasa malu, maka
silahkan engkau lakukan apa yang engkau suka”. (HR Bukhori dll).[2]
Dan
karena teringat akan makna hadits ini, saya mencantumkan judul tulisan
ini seperti tersebut di atas, karena saya melihat bahwa rasa malu telah
hilang dan bahkan sengaja dibuang oleh Aman Abdur Rahman. Setelah
terbukti manipulasi terhadap fatwa dan ucapan para ulama’, ia
tidak malu untuk menuliskan bantahan terhadap penjelasan yang saya
buat, seakan-akan ia tidak memperdulikan akan perilakunya yang terbukti
sangat memalukan bagi orang yang berakal. Sebelumnya, saya berpraduga
bahwa dengan tersebarnya tulisan saya, Aman akan mengurung diri di
rumahnya, dan malu untuk keluar, kecuali pada malam hari atau dengan
mengenakan topeng, akan tetapi sungguh benar apa yang disabdakan
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam,”Bila engkau tidak merasa malu, maka
silahkan engkau lakukan apa yang engkau suka”.
Pada
awalnya, saya berbaik sangka kepada Aman, bahwa ia akan berhenti dan
menyadari kesalahannya, tatkala ia membaca tulisan saya yang pertama,
akan tetapi prasangka ini menjadi sirna ketika saya mendapatkan berita
bahwa, ia menuliskan bantahan terhadap tulisan saya. Karena itulah;
saya memohon bantuan dari Allah Ta’alauntuk
menuliskan bantahan secara terperinci, terhadap tulisan gelap Aman
Abdur Rahman, dan pada tulisan ini saya berusaha untuk tidak mengulang
apa yang telah saya sebutkan dalam tulisan pertama.
Pertama :
Pada catatan kaki no: 1 pada halaman: 1, Aman mengatakan : “Hal
ini merupakan masalah yang sangat penting pada masa sekarang,
sebagaimana pentingnya pembahasan syirik didalam Uluhiyah. Kita harus
memberikan penjelasan yang sesuai porsinya untuk setiap masalah. Hal
ini, merupakan metode yang dijalani oleh generasi salaf umat ini.
Lihatlah, masalah Khalqul Qur’an, apakah pada zaman shahabat
pembahasan ini santer atau tidak? Tentu tidak begitu santer, karena
pada saat itu ummat seluruhnya iman akan setatus Al Qur’an
sebagai kalamullah bukan makhluq. Lihat pula pada pada zaman Al Imam
Syeikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah, pembahasan Tauhid
Uluhiyah dan syirik, sangat santerm karena mayoritas umat terjerumus di
dalamnya, dan sekarang, selain syirik didalam Uluhiyah, syirik di dalam
Rububiyah pun, terutama masalah tahkimul qawaniin, sangat deras, lagi
hampir merata, sehingga membutuhkan porsi yang lebih besar didalam
pembahasannya. Dan ini namanya adil di dalam membahasa setiap
permasalahan. Dan ulama kita telah melakukannya, sejak masalah ini
muncul, yaitu saat Tatar menguasai negri kaum muslimin, kemudian
sebagian masuk islam dan mulai membabat syari’at”.
Pada perkataan Aman ini, saya memiliki beberapa tanggapan :
1. Ia menyamakan antara pembahasan masala syirik dalam uluhiyyah dengan pembahasan masalah takfir (pengkafiran)
orang-orang yang berhukum kepada selain hukum Allah. Hal ini merupakan
bukti paling besar akan kebodohan Aman tentang manhaj salaf, bahkan
agama islam secara umum, betapa tidak, permasalahan syirik dalam uluhiyyah (peribadatan) dari zaman dahulu, zaman Nami Nuh ‘alaihis-salaam hingga Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, merupakan pokok dan misi utama pada Rasul, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an
] وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ [ سورة النحل 36
“Dan
sungguh telah Kami utus pada setiap ummat seorang utusan (Rasul),
(untuk menyerukan):”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
thaghut”. (Surat An Nahl 36).
Syeikh Sulaiman bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Wahhab berkata tentang tauhid uluhiyyah :
وهذا
التوحيد هو أول الدين وآخره، وباطنه وظاهره، وهو أول دعوة الرسل وآخرها،
وهو معنى قول: لا إله إلا الله….فهو أول واجب وآخر واجب، وأول ما
يدخل به الإسلام وآخر ما يخرج به من الدنيا.
“Dan
tauhid inilah (tauhid uluhiyyah) yang merupakan awal dan akhir, batin
dan lahirnya agama ini, dan tauhid inilah permasalahan pertama dan yang
terakhir diserukan oleh para rasul, dan tauhid inilah makna dari
persaksian LA ILAHA ILLALLAH, …. Sehingga dengan demikian,
tauhid uluhiyyah adalah kewajiban paling pertama, dan paling terakhir,
dan hal paling awal yang menjadikan seseorang masuk agama islam, dan
hal yang paling akhir yang harus ia pegangi tatkala meninggalkan dunia
ini (mati). (lihat Taisir Al Aziz Al Hamid 36-37).
Untuk lebih membuktikan akan kebodohan Aman, mari kita bersama-sama mendengarkan wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Mu’adz bin Jabal, tatkala beliau mengutusnya untuk berdakwah ke daerah Yaman :
(إنك
تأتي قوما من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا
الله) وفي رواية :( أن يوحدوا الله) وفي رواية ( عبادة الله).
“Sesungguhnya
engkau kan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab, maka hendaknya hal
pertama yang engkau serukan mereka kepadanya adalah persaksian LA ILAHA
ILLALLAH”, dan dalam riwayat lain diriwayatkan dengan lafadl “agar mereka mengesakan Allah”, dan dalam riwayat lain diriwayatkan dengan lafadl“Beribadah kepada Allah”. (Hr Muttafaqun ‘Alaih).[3]
Sangat
jelas bahwa, pada wasiat ini beliau memerintahkan Muadz agar memulai
dakwahnya dengan tauhid uluhiyyah. Nah sekarang mari kita banding
wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dengan apa yang dikatakan oleh Aman, ia mengatakan: “Hal
ini merupakan masalah yang sangat penting pada masa sekarang,
sebagaimana pentingnya pembahasan syirik didalam Uluhiyah”.
Lisanul hal (secara tidak langsung) Aman pada perkataannya ini, seakan-akan ingin mengucapkan kepada kita semua, bahwa wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz diatas, sudah tidak berlaku untuk zaman kita, karena sekarang telah muncul syirik baru, yaitu syirik dalam rububiyyah, terutama dalam hal tahkim qowanin.
Saya ingin bertanya kepada Aman, dan kepada orang yang sepemikiran dengannya:orang-orang
yaman, yang Muadz bin Jabal radliallahu 'anhu, diutus untuk berdakwah
disana, apakah mereka bertahkim (berhukum) dengan hukum Allah, ataukah
dengan hukum lain? Bahkan orang-orang quraisy pada masa Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di kota Makkah, apakah mereka bertahkim dengan hukum Allah, atau tidak?
Bila
engkau katakan, mereka berhukum dengan hukum Allah, maka itulah
kebodohan paling bodoh, dan kalau engkau katakan mereka tidak berhukum
dengan hukum Allah, maka apakah engkau hendak mengaku sebagi nabi baru,
sehingga engkau menyelisihi wasiat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam?!!
2. Pada ucapan Aman : ”Lihatlah,
masalah Khalqul Qur’an, apakah pada zaman shahabat pembahasan ini
santer atau tidak? Tentu tidak begitu santer, karena pada saat itu
ummat seluruhnya iman akan setatus Al Qur’an sebagai kalamullah
bukan makhluq”. Kenapa engkau katakan bahwa pembahasan: apakah Al Qur’ankalamulah atau makhluq, tidak begitu santer pada
zaman sahabat? Padahal yang benar, permasalahan tersebut tidak pernah
ada seorangpun yang membicarakannya pada zaman sahabat, apalagi sampai
santer dibicarakan. Sebagai buktinya, mari kita simak bersama-sama
salah satu perdebatan antara Imam Ahmad bin Hambal dengan Ibnu Abi
Du’ad:
Ibnu
Abi Du’ad berkata: Wahai syeikh, apa pendapatmu tentang Al
Qur’an?, maka Imam Ahmad berkata: Engkau tidak adil, biarkan aku
yang bertanya, maka Ibnu Abi Du’ad berkata: Silahkan bertanya:,
maka Imam Ahmad berkata: Apa pendapatmu tentang Al Qur’an? Maka
Ibnu Abi Du’ad menjawab: AL Qur’an adalah makhluq. Maka
Imam Ahmad berkata: Apakah hal ini telah diketahui oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
Abu Bakar, Umar Utsman, Ali, dan khulafa’ ar rasyidun, ataukah
sesuatu yang belum pernah mereka ketahui? Maka Ibnu Abi Du’ad
menjawab: Ini adalah sesuatu yang belum pernah mereka ketahui. Maka
Imam Ahmad berkata:Subhanallah, sesuatu yang belum pernah diketahui oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
juga tidak diketahui oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan juga
Khulafa’ Ar Rasyidun, dan engkau ketahui? Maka Ibnu Abi
Du’ad merasa malu, dan kemudian berkata: Kalau demikian maafkan
aku, dan kita mulai pertanyaannya dari awal. Maka Imam Ahmad menjawab:
Baiklah, apa pendapatmu tentang Al qur’an? Maka Ibnu Abi
Du’ad menjawab: AL Qur’an adalah makhluq. Maka Imam Ahmad
berkata: Apakah hal ini telah diketahui oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
Abu Bakar, Umar Utsman, Ali, dan khulafa’ ar rasyidun, ataukah
sesuatu yang belum pernah mereka ketahui? Maka Ibnu Abi Du’ad
menjawab: Ini adalah sesuatu yang sudah mereka ketahui, akan tetapi
mereka tidak pernah menyeru manusia kepadanya. Maka Imam Ahmad menjawab
: Kenapa engkau tidak diam, sebagaimana mereka diam?. (lihat Manaqib Imam Ahmad oleh Ibnul jauzi 432).[4]
Inipun
salah satu bukti akan jauhnya Aman dari manhaj salaf, bahkan merupakan
isyarat bahwa Aman sebenarnya dalam tulisannya tersebut hanyalah
membeo, dan taqlid, tanpa mengerti apa yang ia ucapkan.
3. Aman berkata : ”Lihat
pula pada pada zaman Al Imam Syeikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab
rahimahullah, pembahasan Tauhid Uluhiyah dan syirik, sangat santer
karena mayoritas umat terjerumus di dalamnya”. Ini
bukti ketiga akan kebodohan Aman, seandainya ia membaca sejarah
kehidupan masyarakat arab, terutama di jarirah arab pada zaman Syeikh
Muhammad bin Abdil Wahhab, -sebelum berdirinya kerajaan Saudi Arabia-
niscaya ia tidak akan mengatakan demikian.
Orang
yang pernah membaca sejarah Jazirah Arab pada zaman beliau, akan tahu
dan akan mengatakan bahwa perkataan Aman ini tak ubahnya sekedar igauan
di siang bolong; karena sebelum berdirinya kerajaan saudi Arabia,
Jazirah Arab dikuasai oleh kabilah-kabilah setempat, masing-masing
berhukum dengan hukum kobilah tersebut, dan bukan dengan hukum Islam.
Dinasti Utsmany –kala itu- hanya menguasai kota Makkah, Madinah,
Ahsa’, Yaman, dan Kuwait, adapun selainya dibawah kekuasaan
masing-masing kabilah.
Dan
kalau diperhatikan dengan seksama, kita akan dapatkan bahwa situasi
pada zaman beliau tidaklah jauh beda dengan apa yang sedang kita alami
sekarang ini. Bahkan Dinasty Utsmany, satu-satunya khilafah islamiyyah
yang ada pada zaman itu, memerangi dakwah Syeikh Muhammad bin Abdul
Wahhab, memerangi tauhid dan sunnah, karena khilafah Utsmaniyyah
–pada saat itu- berdiri atas aqidah asy’ariyyah, dan
menganut ajaran sufi. Bukan hanya pada awal dakwah syeikh, akan tetapi
sampai setelah berdirinya kerajaan Saudi pertama. Kerajaan Saudi
pertama hancur karena diserang pasukan khilafah Utsmaniyyah yang datang
dari Mesir, begitu juga halnya kerajaan Saudi kedua, untuk lebih
jelasnya silahkan baca buku “’Unwanul Majd Fi Tarikhi An Najed”..
Nah kalau kita lihat dengan pembagian Aman terhadap negara-negara yang
ada, maka akan kita simpulkan bahwa Khilafah Utsmaniyyah, bukan negara
islam lagi, akan tetapi negara kafir, dan kalau demikian, maka tidak
ada lagi negara yang –menurut Aman- sebagai negara islam,
sehingga hal ini membuktikan bahwa Aman bertentangan dengan dirinya
sendiri. Ini juga sebagai bukti bahwa Aman tidak memahami apa yang ia
tuliskan sendiri, kenapa demikian? Jawabannya tak lain dan tak bukan,
karena Aman hanya menerjemahkan dan meringkas, kemudian menyebarkan,
artinya ia hanya membeo.
Syeikh
Muhammad Bin Abdul Wahhab memulai dakwahnya dengan tauhid, dan bukan
dengan usaha-usaha merebut kekuasaan, agar bisa menerapkan hukum Allah,
karena beliau benar-benar faham dan mengerti bahwa cara dakwah yang
seperti itulah yang dijalani dan diajarkan oleh Rasulullah dan
sahabatnya. Adapun cara yang digariskan dan diajarkan oleh Aman, pada
hakikatnya adalah caranya orang-orang khowarij, bukan caranya Ahlis
Sunnah wal Jama’ah.
4. Aman mengatakan : “Dan
sekarang, selain syirik didalam Uluhiyah, syirik di dalam Rububiyah
pun, terutama masalah tahkimul qawaniin, sangat deras, lagi hampir
merata, sehingga membutuhkan porsi yang lebih besar didalam
pembahasannya”.Saya katakan: wahai Aman,
ucapanmu benar, sehingga saking meratanya perbuatan berhukum kepada
selain hukum Allah, sampai-sampai (saya kira) dirumah bapakmu-pun tidak
diterapkan hukum Allah, juga dirumah paman, dan karib kerabatmu, oleh
karenanya, pada saat ini, saya ingin bertanya kepadamu wahai Aman: Sudahkah engkau memvonis mereka semua, sebagaimana engkau menvonis pemerintahan yang ada?
Wahai
Aman, engkau harus menyadari bahwa kewajiban berhukum kepada hukum
Allah bukan hanya atas pemerintah saja, akan tetapi kewajiban semua
orang muslim, sebagaimana pemerintah diharamkan untuk berhukum kepada
hukum selain Allah, kita sebagai masyarakat, juga diharamkan untuk
mendatangi pengadilan atau meminta untuk diadili dengan hukum selain
hukum Allah.
Bahkan
berhukum dengan hukum Allah merupakan kewajiban setaip orang yang
memiliki kekuasaan, baik kekuasaan umum, atau kekuasaan khusus, untuk
lebih jelasnya, mari kita renungkan bersama sebab turunnya ayat 44
Surat Al Maidah:
Yaitu
ketika ada seorang laki-laki dan seorang wanita yahudi -yang telah
menikah- berzina, dihukumi oleh kaumnya dengan dilumuri wajahnya dengan
arang dan kemudian diarak keliling, padahal dalam kitab At Taurat
mereka hukuman zina adalah rajam. Dan ketika hal ini sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bertanya kepada mereka: Dalam kitab At Taurat kalian, apa
hukuman orang yang berzina: mereka menjawab: Kami mempermalukan mereka
dihadapan orang umum, kemudian dicambuk, maka sahabat Abdullah bin
Salam berkata kepada mereka: Kalian telah berdusta, sesungguhnya dalam
At Taurat ada ayat tentang rajam, maka mereka mendatangkan At Taurat,
lalu dibuka, akan tetapi salah seorang dari mereka meletakkan tangannya
diatas ayat yang memerintahkan rajam, maka Abdullah bin Salam
memerintahkannya untuk mengangkat tangannya, dan terlihatlah ayat
tentang rajam, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan agar kedua orang yahudi tersebut dirajam.[5]
Dari
kisah sebab turunnya ayat tersebut, kita bisa simpulkan bahwa berhukum
kepada hukum Allah bukan hanya kewajiban pemerintah atau kholifah saja,
akan tetapi merupakan kewajiban seluruh manusia, sebab orang-orang
yahudi tersebut tidaklah memiliki negara, akan tetapi hanya sebuah
kobilah, ditambah lagi kontek ayat tersebut umum, tidak ada batasan
dengan pemerintah atau yang lainnya, maka barang siapa yang mengatakan
bahwa ayat tersebut hanya berkenaan dengan pemerintah atau kholifah,
maka ia harus mendatang dalil.
Untuk lebih memperjelas kesimpulan ini mari kita baca ayat 65 surat An Nisa’ :
(فَلا
وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا)
“Maka
demi Tuhammu, mereka tidaklah beriman, hingga mereka menjadikanmu
sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
Nah, sekali lagi saya bertanya: Sudahkah di rumah bapakmu, dan karib kerabatmu diterapkan hukum Allah?, kalau belum, sudahkan engkau memvonis mereka?
Bahkan
dirimu, apakah belum menerapkan hukum Allah dengan baik, buktinya
engkau telah berdusta dan dengan sengaja berbohong atas nama Syeikh
Ibnu Baz, sebagaimana yang telah saya buktikan pada tulisan pertama,
sudahkah engkau memvonis dirimu sendiri?
5. Aman mengatakan : ”Dan
ulama kita telah melakukannya, sejak masalah ini muncul, yaitu saat
Tatar menguasai negri kaum muslimin, kemudian sebagian masuk islam dan
mulai membabat syari’at”. Ucapan ini adalah bukti keempat akan kebodohan Aman, yang benar adalah : Para ulama’ telah membahas permasalahan tahkim,
dan pelurusan pemahaman masalah pengkafiran orang yang berhukum kepada
selain hukum Allah, semenjak nenek moyang Aman muncul dalam bentuk
kelompok untuk pertama kali, yaitu pada zaman Ali bin Abi Tholib radliallahu 'anhu,
tatkala orang-orang khowarij mengkafirkan Ali dan Mu’awiyah,
karena keduanya dianggap telah berhukum kepada selain hukum Allah. Mari
kita simak bersama penggalan kisah mereka :
Ibnu
Abbas mengkisahkan kisah mereka: “Tatkala orang-orang haruriyyah
(khowarij) telah bermunculan, mereka memisahkan diri dari kaum muslimin
dengan berkumpul didaerah mereka, dan jumlah mereka adalah enam ribu
orang, maka aku berkata kepada Ali bin Abi Tholib radliallahu 'anhu: Wahai Amirul mikminin, aku mohon engkau menunda pelaksanaan sholat dluhur, karena aku hendak mendatangi mereka dan menasehati mereka.
Maka Ali berkata : Aku takut atas dirimu.
Aku
menjawab : Tidak akan terjadi apa-apa. Lalu aku berangkat menuju kepada
mereka, dan mendatangi mereka pada saat pertengahan hari, sedangkan
mereka sedang tidur siang, lalu aku mengucapkan salam kepada mereka,
dan merekapun sepontan menjawab: Selamat datang, kami ucapkan untukmu,
wahai Ibnu Abbas, apakah yang menjadikanmu datang kemari? Aku berkata
kepada mereka : Aku datang kepada kalian dari sisi para sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
menantunya, atas merekalah Al Qur’an diturunkan, sehingga mereka
lebih tahu daripada kalian tentang tafsirnya, sedangkan tidak
seorangpun diantara kalian yang tergolong dari mereka (sahabat),
sungguh aku akan menyampaikan kepada kalian apa yang sebenarnya mereka
katakan / yakini, dan hendaknya kalianpun menyampaikan apa yang kalian
katakan / yakini. Lalu aku berkata kepada mereka : Apakah yang kalian
benci dari sahabat Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
anak pamannya? Mereka menjawab : Ada tiga hal. Aku berkata : Apakah
itu? Mereka menjawab : Adapun yang pertama : karena ia (Ali bin Abi
Tholib) telah menjadikan seorang manusia sebagai hakim (berhakim) dalam
urusan Allah, padahal Allah telah berfirman :
] إن الحكم إلا لله [
Artinya: “Tiadalah hukum / keputusan, kecuali hukum Allah”,
apa urusan manusia dalam hukum Allah?……….Aku
berkata kepada mereka : Adapun anggapan kalian, bahwa Ali telah
berhakim kepada seorang manusia dalam urusan Allah, maka aku akan
membacakan kepada kalian ayat dari Al Qur’an, yang menyatakan
bahwa Allah telah menyerahkan hukumnya kepada manusia dalam urusan yang
berharga seperempat dirham, dan Allah memerintakan agar mereka
memutuskan dalam urusan tersebut, Allah berfirman :
] يا أيها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد وأنتم حرم ومن قتله منكم متعمدا فجزاء مثل ما قتل من النعم يحكم به ذوا عدل منكم [
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan,
sedangkan kalian dalan keadaan berihram. Dan barang siapa yang dengan
sengaja membunuhnya, maka hukumanya adalah mengganti dengan binatang
ternak yang seimbang dengan binatang buruan yang dibunuhnya, menurut
putusan dua orang adil diantara kalian”. (Surat Al Maidah 95), maka atas nama Allah Ta’ala,
apakah keputusan manusia dalam seekor kelinci dan yang serupa dari
binatang buruan lebih utama? Ataukah keputusan mereka dalam urusan
pertumpahan darah dan perdamaian diantara mereka, sedangkan kalian
tahu, bahwa seandainya Allah menghendaki, niscaya Ia akan memutuskan,
dan tidak perlu menyerahkan keputusan (hukuman pembunuh binatang buruan
dalam keadaan berihram) kepada manusia? Mereka menjawab: Tentau
keputusan dalam hal pertumpahan darah dan perdamaian lebih utama. -Ibnu
Abbas melanjutkan perkataannya- Dan dalam urusan seorang istri dengan
suaminya, Allah Azza wa Jalla berfirman:
] وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما[
Artinya: “Dan
bila kalian khawatir ada persengketan antara keduanya, maka utuslah
seorang hakim dari keluarga laki-laki (suami) dan seorang hakim dari
keluarga wanita (istri). Jika keduanya menghendaki perbaikan, niscaya
Allah memberikan taufiq kepada keduanya”. (Surat
An Nisa’ 35). Maka, atas nama Allah, apakah keputusan manusia
dalam urusan perdamaian antara mereka dan mencegah terjadinya
pertumpahan darah diantara mereka lebih utama ataukah, keputusan mereka
dalam urusan seorang wanita? Apakah aku sudah berhasil menjawab tuduhan
kalian? Mereka menjawab : Ya……dst. (riwayat At Thabrani,
Al Hakim, Al Baihaqi dll).[6]
Ini
adalah salah satu usaha Aman, untuk menyesatkan ummat, yaitu menutupi
sejarah awal mula munculnya pemahaman khowarij, dan ia kesankan, bahwa
permasalahan ini muncul pada zaman Tatar. Dan setelah saya pikirkan,
saya berpraduga bahwa Aman melakukan hal ini, untuk menutupi
hubungannya dengan khowarij yang ada pada zaman Ali bin Abi Tholib.
Akan tetapi usahanya ini, tidaklah mendatangkan hasil seperti yang dia
impi-impikan. Untuk lebih jelasnya akan saya bahas pada pembahasan
kesepuluh.
Kedua :
Aman mengatakan : ”Padahal
tentang tahkim, merupakan hal serius yang perlu kejelasan ungkapan dan
lontaran, bukan kalimat yang samar atau justru mengaburkan dan
menyesatkan”.
Saya tidak tahu,
apakah yang dimaksud oleh aman dengan kalimat yang samar dan justru
mengaburkan dan menyesatkan, adalah fatwa-fatwa, penjelasan-penjelasan
yang telah disebutkan oleh para ulama’ kita, dari semenjak nenek
moyang khowarij muncul pertama kali dalam wujud sebuah kelompok, yaitu
pada zaman Ali bin Abi Tholib, hingga zaman kita, yang kita dapatkan
dalam karya-karya mereka, ataukah yang lainnya. Sebab permasalahan
bertahkim / berhukum kepada selain hukum Allah bukanlah permasalahan
yang baru, akan tetapi permasalahan yang telah tuntas dibahas oleh para
ulama’ Ahlis Sunnah wal Jama’ah.
Yang
menjadi permasalahan pada zaman kita, adalah orang-orang khowarij model
milineum –Aman salah satu dari mereka-, yang berusaha menampilkan
pemikiran mereka yang telah usang dan runtuh, dalam wujud baru, dan
dengan penyampaian yang berbeda. Mereka dengan berbagai cara, berusaha
mencocokkan keterangan para ulama’ dengan aqidah khowarij mereka,
kadang kala dengan memotong perkataan, lain kesempatan dengan merubah
kontek perkataan, memegangi perkataan yang mutlak (umum), dan berusaha
menyembunyikan perkataan yang terperinci, dan itulah yang dilakukan
oleh pahlawan tanpa jasa kita, Aman Abdur Rahman dalam tulisannya yang
berjudulkan “vonis
ulama-ulama Ahlis Sunnah Terhadap Hukumah pembabat Syari’at, dan
Fatwa-Fatwa Ulama Ahissunnah Tentang Perbuatan Syirik Karena
Jahil”,sebagaimana telah saya buktikan hal tersebut pada tulisan saya yang pertama.
Betapa
sombongnya engkau wahai Aman, dan betapa besarnya kepalamu, sehingga
seluruh penjelasan ulama’ sebelummu engkau anggap kabur, samar,
dan bahkan menyesatkan, Na’uzubillah minal hawa.
Ia
merasa –dengan tulisan gelapnya- telah melakukan hal yang tidak
pernah dilakukan oleh ulama’ sebelumnya, dari semenjak zaman
sahabat hingga zaman sekarang. Betapa hebatnya dan betapa luasnya ilmu
Aman, sehingga ia mengatakan hal tersebut.
Ketiga :
Aman mengatakan : ”Khowarij
adalah firqoh sesat yang menyimpang karena sikap ifrath (berlebihan),
sedangkan Murji’ah adalah firqah sesat yang menyimpang karena
sikap tafrith (meremehkan), bahkan Murji’ah ini lebih berbahaya
dari yang lainnya. Ibrahim An Nakha’i rahimahullah berkata :
لفتنتهم –يعني المرجئة- أخوف على هذه الأمة من فتنة الأزارقة
“Sungguh,
fitnah mereka –maksudnya Murji’ah- lebih ditakutkan atas
ummat ini, daripada fitnah Azariqah (khawarij). Ini tidak mengherankan,
karena Murji’ah merupakan pendorong pembabat
syari’at”.[7]
Para
ulama’ mengatakan murji’ah lebih bahaya dibanding khowarij,
dikarenakan kesalahan murji’ah lebih tersembunyi dibanding
kesalahan khowarij, dan demikianlah selanjutnya, semakin suatu
kesalahan atau bid’ah terselubung, sehingga tidak semua orang
bisa mengetahuinya, bid’ah tersebut dikatakan lebih berbahaya.
Dan
pada kesempatan ini, saya katakan: bahwa kesesatan Aman yang ia
selubungi dengan nukilan-nukilan yang telah direkayasa dari para kibarul ulama’,
lebih berbahaya dari kesalahan khowarij yang ada pada zaman dahulu;
karena Aman mengesankan kepada pembaca, bahwa ia adalah seorang salafi,
yang mengikuti pemahaman para ulama’ salaf, akan tetapi pada
hakikatnya ia tak ubahnya bagaikan musang berbulu domba.
Keempat :
Aman mengatakan : “Kedua
kelompok tersebut sudah tentu tidak akan mengaku diri mereka termasuk
kelompok bid’ah/sesat (menyimpang), bahkan mereka merasa
memerangi kelompok bid’ah dan mengaku paling berada di atas
sunnah. Sehingga orang murji’ah pada masa sekarang mengaku
dirinya yang paling sesuai dengan sunnah, dan orang yang bertentangan
dengan mereka di dalam masalah tahkim ini, mereka vonis sebagai
Khawarij, padahal orang yang mereka vonis Khawarij itu adalah Ahlus
Sunnah”.
Pada
ucapannya ini, benar-benar Aman sedang mensifati dirinya sendiri, ia
merasa bahwa ia sebagai pahlawan (pahlawan tanpa jasa), yang mengaku
bahwa ia dan kelompoknya sedang menjelaskan dan menghilangkan kesamaran
dan kekaburan yang ada pada penjelasan Ulama’ Ahlis Sunnah dalam
masalah tahkim.
Yang
lebih memilukan lagi, dalam penggalan perkataannya ini, ia mengaku
telah menyelamatkan orang-orang Ahlis Sunnah dari tuduhan yang tidak
benar. Dan pada kesempatan ini, saya menantang Aman : Wahai
Aman sang pahlawan (pahlawan tanpa jasa), sebutkan contoh barang satu
saja, orang yang dituduh sebagai khowarij, padahal ia adalah ahlis
sunnah, siapa yang dituduh, dan siapa yang menuduh?
Bila
engkau hanya berani beranggapan tanpa bukti, dan melemparkan perkataan
tanpa ada kenyataan, maka itulah sifat dan kebiasaan ahlil bid’ah.
Kelima :
Aman berkata : ” Bila
suatu negara menegakkan hukum islam secara keseluruhan tanpa kecuali
dan diperintah oleh orang-orang muslim, serta kebijakan ada ditangan
mereka, maka negara tersebut adalah negara islam, meskipun mayoritas
penduduknya orang-orang kafir, dan bila pemerintah itu adalah
menegakkan hukum islam dengan benar, tanpa pandang bulu, maka itu
adalah pemerintah muslim yang adil…..dst”.
Ini
adalah macam pertama dari tiga macam pemerintah menurut pembagian Aman.
Dan pada bagian pertama ini saya memiliki beberapa komentar :
1. Pemerintahan macam ini tidaklah ada, kecuali pada zaman khulafa’ur rasyidin, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut, dan seperti yang Aman katakan sendiri pada tulisannya ini.
تكون
النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم
تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها إذا
شاء أن يرفعها، ثم تكون ملكا عاضّاً، فيكون ما شاء الله أن تكون، ثم
يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون ملكا جبريّاً، فتكون ما شاء الله
أن تكون، ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة،
ثم سكت.
“Kenabian
akan berada di tengah-tengah kalian selama yang Allah kehendaki untuk
berada ditengah kalian, kemudian Allah mengangkatnya ketika Allah
kehendaki untuk mengangkatnya, kemudian akan ada khilafah yang berjalan
diatas metode (manhaj) kenabian (khilafah nubuwwah), dan akan
berlangsung selama kurun waktu yang Allah kehendaki, kemudian Allah
mengangkatnya ketika Allah menghendakinya, kemudian akan ada kerajaan
yang melakukan kedloliman, dan akan belangsung selama kurun waktu yang
Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya ketika Allah
menghendakinya, kemudian akan ada kerajaan yang diktator, dan akan
belangsung selama kurun waktu yang Allah kehendaki, kemudian Allah
mengangkatnya ketika Ia menghendakinya, kemudian akan ada khilafah yang
berjalan diatas metode (manhaj) kenabian, kemudian beliau diam.[8]
Khilafah nubuwwah berakhir
dengan terjadinya perdamaian antara Al Hasan bin Ali dengan
Mu’awiyyah, dan Al Hasan menyerahkan kekuasaannya kepada
Mu’awiyyah, dan semenjak itulah dimulai masa yang disebut oleh
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai kerajaan yang melakukan kedloliman.
2. Aman
mensifati, bila pemerintah tersebut menerapkan hukum islam dengan
benar, tanpa pandang bulu, maka itu adalah pemerintah muslim yang adil,
akan tetapi kenapa aman tidak menyebutkan dalam pemerintahan macam
pertama ini, bila pemerintah tersebut ternyata dalam menerapkan hukum
islam pandang bulu, atau berbuat kedloliman?. Sehingga Aman dalam
pembagiannya ini tidak sistimastis, dan ini menunjukkan akan
kebodohannya dalam membagi permasalahan.
3. Saya ingin bertanya: Bila
pemerintah macam pertama ini, ternyata meyakini bolehnya berhukum
dengan hukum selain hukum Allah, atau bahkan hukum selain hukum Allah
sama atau lebih baik dari pada hukum Allah, walaupun ia sendiri tetap
menerapkan seluruh hukum Allah tanpa terkecuali, dan tidak pernah ada
pelanggaran sama sekali, apakah pemerintahan yang seperti ini masih
juga engkau katakan sebagai pemerintah muslimah?? Bila engkau
katakan sebagai pemerintah muslimah, maka itu membuktikan engkau orang
bodoh, tidak pantas untuk berbicara dalam masalah besar seperti ini,;
karena ulama’ telah sepakat, bahwa barang siapa yang menghalalkan
sesuatu yang haram –yang sudah jelas keharamannya- maka ia kafir,
dan kalau engkau katakan bukan pemerintah muslimah, maka ini
menunjukkan bahwa permasalahannya bukan pada penerapan secara
keseluruhan, akan tetapi pada penghalalan, dan ini membuktikan bahwa
engkau bodoh dalam membuat definisi dan membagi permasalahan.
Pembagian macam ini, dinamakan dengan pembagian yang menyebar ( تقسيم منتشر)
dan ini menunjukkan akan kebathilan pembagian ini, karena pembagian
akan dikatakan benar bila mencakup seluruh permasalahan yang ada di
dalamnya tanpa terkecuali, atau yang dinamakan dengan pembagian yang
membatasi ( تقسيم حاصر), hal ini sebagaimana diketahui dengan baik oleh setiap orang yang tahu tentang ilmu ushul fiqh.
4. Ia
berpegangan dengan keterangan Syeikh Abdur Rahman As Sa’diy,
padahal telah saya buktikan dalam tulisan saya yang pertama, bahwa
fatwa beliau berhubungan dengan negara Bahrain dan Iraq yang kala itu
masih dibawah kekuasaan penjajah Inggris, - ini salah satu dari praktek
manipulasi Amman Abdur Rahman -; sehingga Aman dalam pembagiannya ini
tidak berdasarkan pada keterangan ulama’ atau dalil, akan tetapi
ia datangkan dari koceknya sendiri. Dan hal ini tidak mengherankan dari
Aman, karena ia telah menganggap dirinya sebagai pahlawan yang mampu
melakukan hal yang tidak pernah dilakukan oleh ulama’ sebelumnya.
Keenam :
Aman mengatakan : ”Bila
syariat islam masih menjadi acuan dan landasan hukum negara secara
utuh, namun dia (hakim) menyimpang dari ketentuan yang berlaku di dalam
kasus tertentu, sedangkan hukum syariat masih menjadi landasan dan
hukum negri itu, dan dia juga mengetahui bahwa dirinya menyimpang dan
berdosa karena penyimpangan ini, serta dia masih meyakini hukum islam
itu adalah yang paling sempurna, maka dia itu adalah muslim yang dlalim
atau muslim fasiq atu kufrun duna kufrin menurut Ahlus sunnah,
sedangkan menurut firqah khawarij, hakim/ pemerintah itu adalah
kafir”
Pada penggalan perkataan ini saya memiliki beberapa tanggapan :
1. Perkataan
ini menunjukkan aman bodo dalam ilmu ushul fiqih, betapa tidak, dia
tidak tahu bahwa pembagiannya ini tidak jelas, karena ia tidak
menyebutkan batasan kasus tertentu tersebut, apakah itu hanya satu kali
pelanggaran, atau dua atau sepuluh atau seratus.
2. Pembagian
ini menunjukkan akan kebodohannya tentang manhaj Ahlis Sunnah dalam
pengkafiran, karena perbuatan kekafiran tidak ada bedanya, dilakukan
sekali atau berkali-kali, misalnya sujud kepada berhala, tidak ada
bedanya antara ia sujud sekali atau berkali-kali.
3. Pembagian
ini tidak bermakna sama sekali, karena akhirnya ia mengakui bahwa yang
menghalalkan perbuatan berhukum kepada hukum selain hukum Allah, walau
hanya sekali saja, ia dianggap telah kafir. Sehingga kalau
permasalahannya tergantung dengan penghalalan, maka tidak ada bedanya
antara satu kasus dengan dua kasus, atau lebih.
4. Pembagian ini, menjadikan kita bertanya kepada Aman: Negara manakah yang engkau anggap sebagai negara yang muslimah, dan bukan negara kufrun duna kufrin?
5. Aman
dalam pembagiannya ini tidak menyebutkan ulama’ siapa yang pernah
melakukan pembagian serupa, bahkan saya berani memastikan bahwa tidak
ada seorang ulama’ pun yang melakukan hal ini. Sehingga dengan
demikian Aman memiliki manhaj tersendiri yang tidak pernah ditempuh
oleh ulama’ sebelumnya, dan Aman telah menobatkan dirinya sebagai
seorang mujtahid muthlaq abad ke-21.
Ketujuh :
Aman berkata: “Bila
suatu negara membabat hukum islam dan menyingkirkannya, kemudian mereka
menerapkan (qawaniin wadl’iyyah/ undang-undang buatan manusia),
baik dari Belanda, Amerika, Portugal, Inggris, atau yang lainnya, maka
pemerintah itu adalah pemerintah kafir dan negaranya adalah negara
kafir, meskipun mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin. Sholat,
shaum, zakat dan ibadah dhahir lainnya yang masih dilakukan oleh para
penguasa tersebut, ataupun nama islam yang mereka sandang itu tidak ada
manfaatnya, jika mereka tetap bersikukuh di atas prinsip itu, sebab
mereka telah kafir lagi murtad, dan negaranya adalah negara
kafir.”
Pada penggalan perkataan Aman ini saya memiliki beberapa tanggapan:
1. Aman
mengesankan bahwa pembagian yang demikian ini ia dapatkan dari Syeikh
Abdur Rahman As Sa’diy, dan Abdul Aziz ibni Baz, dan Muhammad
Hamid Al Faqy, padahal, perkataan Syeikh Abdur Rahman As Sa’diy
telah saya buktikan berhubungan dengan Bahrain dan Iraq pada masa
penjajahan Inggris, sehingga tidak ada hubungannya dengan permasalahan
kita.
Adapun
perkataan Syeikh Ibni Baz, maka perkataan beliau disampaikan dalam
rangka membantah seruan sebagian pemimpin negri-negri arab untuk
bersatu atas dasar ras arab, bukan atas dasar islam, dalam menghadapi
musuh-musuh islam (israel cs). Ditambah lagi, di dalam ungkapan beliau
yang ia nukilkan, ada satu kata yang tidak dicermati oleh Aman, yang
pada hakikatnya menghancurkan keyakinan Aman sendiri, yaitu kata ( ولا ترضاه “Dan tidak rela / ridlo), mari kita amati bersama ungkapan beliau :
وكل دولة لا تحكم بشرع الله ولا تنصاع لحكم الله ولا ترضاه فهي دولة جاهلية كافرة ظالمة فاسقة بنص هذه الآيات المحكمات …
“Dan setiap negara yang tidak berhukum dengan syari’at Allah, dan tidak tunduk kepada hukum Allah, serta tidak ridlo dengannya, maka itu adalah negara jahiliyyah, kafirah, dholimah, fasiqah dengan penegasan ayat-ayat muhkamat ini….”.[9]
Tidak
ridlo, artinya membenci, dan orang yang membenci penerapan hukum islam,
tidak diragukan lagi akan kekufurannya; sehingga Aman dalam pembagian
ini benar-benar tidak mengikuti ulama’, akan tetapi mengikuti
wangsit atau ilham yang ia terima dari qorinnya dari kalangan
orang-orang khowarij yang sedang gentayangan di rimba.
2. Saya
tidak tahu apa yang dimaksud oleh Aman, dengan kata-kata (membabat
hukum islam, dan menyingkirkannya), apakah yang ia maksud, negara
tersebut tidak menerapkan sama sekali, walau hanya dalam satu
permasalahan, ataukah yang ia maksud negara tersebut dalam kebanyakan
hukumnya tidak menerapkan hukum islam.
Bila
yang ia maksud adalah yang pertama, maka saya tidak tahu, apakah ada
sebuah negara yang pemimpinnya mengaku muslim, melakukan hal itu, sebab
yang saya tahu dan yang ada, tidaklah ada sebuah negara yang
pemimpinnya seorang muslim, kecuali menerapkan hukum islam dalam
beberapa permasalahan, misalnya dalam hal warisan, pernikahan,
membangun masjid, membentuk departemen agama yang mengatur pelaksanaan
haji dll.
Dan
kalau yang ia maksud adalah yang kedua, maka Aman tidak menyebutkan
berapa batasannya, sehingga bisa dibedakan negara yang tergolong dalam
macam ketiga ini, dan negara yang tergolong dalam macam kedua. Dan saya
bisa memastikan Aman tidak bisa memberikan batasan, sebab ia membuat
pembagian ini dengan seenak perutnya, bukan mengikuti penjelasan
ulama’ Ahlis Sunnah.
3. Kemudian
Aman –seperti yang pernah saya ungkapkan- berusaha menjadikan
perkataan Syeikh Ibni Baz yang muthlak ini sebagai hujjahnya, dan
enggan menyebutkan perkataan beliau yang terperinci, sebagaimana yang
telah saya sebutkan pada tulisan saya yang pertama. Inilah sifat Ahlil
Bid’ah, selalu berusaha mengikuti dan berpegangan dengan hal-hal
yang mutasyabih (samar) atau umum, atau muthlak, dan meninggalkan yang terperinci.
Kedelapan :
Aman mengatakan : ”Bahkan
vonis kafir murtad berlaku bagi hakim (pemerintah) yang menerapkan
mayoritas hukum islam, namun di dalam masalah tertentu (umpamanya di
dalam masalah zina) dibaut undang-undang buatan yang bertentangan
dengan islam, sehingga setiap yang berzina tidak dikenakan hukum islam,
tetapi terkena undang-undang itu, maka sesuai aqidah Ahlus sunnah, si
hakim itu adalah kafir murtad juga, bahkan meskipun si hakim
(pemerintah) tersebut mengatakan bahwa hukum islam yang paling adil dan
kami salah”
Pada penggalan perkataan ini saya memiliki beberapa tanggapan:
1. Saya ingin bertanya : Apakah
Kerajaan Saudi yang pernah berbuat baik padamu, dengan menerimamu
disalah satu sekolahannya, memberikanmu berbagai fasilitas, juga negara
kafir?? Sebab
Kerajaan Saudi masih memiliki undang-undang yang membolehkan adanya
bank-bank yang menjalankan riba. Dan kalau engkau katakan mereka telah
kafir, lalu kenapa engkau menukilkan fatwa Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin,
Muhammad bin Ibrahim Alus Syeikh, Al Fauzan dll, padahal mereka itu
semua adalah anggota kibarul ulama’ yang
digaji, dan bahkan sebagai pemberi fatwa kerajaan tersebut (pegawai
kerajaan)? Dan bila engkau tidak mengkafirkan mereka, maka ini
membuktikan engkau bertentangan dengan dirimu sendiri?
Wahai Aman! Orang-orang yang tulisannya engkau jadikan referensi, (penulis kitabtahkimul qawanin,
sholah as shawiy, Muhammad Abdul Hadi Al Mishri, Abdullah Al Qarni dll)
memang sedang ingin mencapai pada permasalahan ini (pengkafiran
pemerintah Saudi Arabia), sehingga ada alasan untuk memberontak dan
merebut kekuasaan, akan tetapi yang aneh, dan mengherankan, apa
yang ingin engkai capai dan engkau angan-angankan dari tulisan ini?
Apakah engkau juga berangan-angan untuk memberontak dan merebut
kekuasaan???!! Oleh karena itu sadarlah wahai Aman dari kelalaianmu, dan waspadalah dari berbagai perangkap ahlil bid’ah, jadilah seorang muslim, yang sebenarnya, cerdas, jeli, dan waspada, kata orang:
المؤمن كيس فطن حذر
“Orang yang beriman adalah orang yang cerdik, jeli, dan waspada”.[10]
2. Dalam
perkataannya ini Aman tidak menyebutkan dari mana ia menyimpulkan
demikian, sebab ia hanya menukilkan perkataan Syeikh Muhammad bin
Ibrahim Alus Syeikh, yang tidak sama dan tidak semakna dengan apa yang
ia simpulkan. Marilah kita sama-sama menyimak perkataan beliau yang
dinukilkan oleh Aman :
أما الذي جعل قوانين بترتيب وتخضيع فهو كفر وإن قالوا أخطأنا وحكم الشرع أعدل
“Adapun
hukum yang dijadikan undang-undang dengan begitu tertib dan rapi, maka
itu adalah kekufuran, meskipun mereka mengatakan “Kami mengaku
salah dan hukum syariat itu lebih adil”.
Dalam perkataan beliau ini, beliau sedang menghukumi perbuatan (Al-hukmul muthlak), dan bukan sedang menghukumi pelakunya (Al-hukmu ‘Alal Mu’ayyan).
3. Syeikh
Muhammad bin Ibrahim memiliki perkataan yang lebih terperinci, sehingga
perkataan beliau yang meuthlak harus ditafsiri dengan perkataan yang
terperinci, beliau berkata :
وكذلك
تحقيق معنى محمد رسول الله؛ من تحكيم شريعته والتقيد بها ونبذ ما خالفها
من القوانين والأوضاع وسائر الأشياء التي ما أنزل الله بها من سلطان،
والتي من حكم بها (يعني القوانين الوضعية) أو حاكم إليها معتقدا صحة ذلك
وجوازه فهو كافر الكفر الناقل عن الملة، وإن فعل ذلك بدون اعتقاد ذلك
وجوازه فهو كافر الكفر العملي الذي لا ينقل عن الملة.
“Dan
demikianlah halnya dengan realisasi makna persaksian “Muhammad
Rasulullah”; dalam wujud menerapkan syari’atnya, dan
konsisten dengannya, meninggalkan setiap yang bertentangan dengannya,
yang berupa peraturan, undang-undang, dan segala sesuatu yang tidak ada
dalilnya, yang barang siapa berhakim dengannya (maksudnya undang-undang
buatan) atau berhukum kepadanya, dengan keyakinan hal itu dibenarkan,
atau dibolehkan, maka ia kafir dengan kekufuran yang menjadikannya
keluar dari agama. Adapun bila ia melakukannya tanpa disertai oleh
keyakinan dibenarkannya perbuatan tersebut atau dibolehkannya, maka ia
telah kafir dengan kufur amali, yang tidak sampai menjadikannya keluar
dari agama”. (Lihat Majmu’ Fatawa beliau 1/80).[11]
4. Pembagian Aman ini bertentangan dengan hadits berikut :
عن حابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم حين مات النَّجاشي: (مات اليوم رجل صالح، فقوموا فصلوا علي أخيكم أصحمة) متفق عليه
Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdillah radliallahu 'anhu, ia menuturkan: tatkala An Najasyi meninggal, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Sesungguhnya
pada hari ini seorang laki-laki yang sholeh meninggal dunia, maka
berdirilah kalian dan sholatkanlah saudaramu Ashhamah”. (Bukhori & Muslim).[12]
Nah sekarang saya bertanya kepada Aman dan dedengkot gerombolan khowarij yang sedang berusaha menyusup: Apakah
An Najasyi juga telah kalian vonis sebagai orang yang kafir, karena ia
tidak menerapkan hukum islam di negrinya, ataukah hadits ini telah
kalian hapus dari kitab-kitab hadits, sehingga kalian tak sudi untuk
melihat dan merenungkannya?
Mungkin
dari orang-orang yang kerdil akalnya akan berkata : An Najasyi tidak
divonis kafir karena ia tidak mampu untuk menerapkan hukum islam, beda
halnya dengan pemerintahan yang ada pada zaman sekarang, terlebih-lebih
pemerintahan yang mayoritas penduduknya kaum muslimin, bahkan mereka
menuntut agar diterapkan hukum islam.
Maka
saya katakan kepada mereka -yang dengan perkataannya ini menunjukkan
kepada kita semua, akan jati diri mereka, mereka bagaikan katak dalam
tempurung-: Bukankah para pemerintahan yang ada sekarang juga merasa
takut untuk menerapkan syari’at, takut dibunuh, digulingkan,
diserang negara lain, dan banyak alasan lagi. An Najasyi takut untuk
digulingkan, begitu juga pemerintah yang ada sekarang, takut untuk
digulingkan, dan bahkan diserang oleh negara lain. Bukankah anda pernah
dengar seorang yang bernama Zhiyaul Haq, dan kisah kenapa ia dibunuh?
Kesembilan :
Aman mengatakan pada hal. 8 : ”Beliau jelaskan bahwa
seseorang yang berpaling dari hukum Allah ta’ala dan justru
membuat hukum (undang-undang) sendiri, atau mengambil hukum dari yang
lain, hal ini berarti dengan sepontan orang itu berkeyakinan bahwa
undang-undang buatan itu lebih baik, meskipun dia mengingkari dengan
lisannya, namun lisanul haal (perbuatan) menunjukkan sebaliknya”
Ini
adalah salah satu dari sekian banyak pencurian yang dilakukan oleh
Aman, dia memenggal perkataan Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin,
sehingga terkesan mendukung apa yang sedang ia perjuangkan, akan tetapi
-Alhamdulillah- pencurian ini telah saya beberkan dalam tulisan saya
yang pertama, dan akan saya ulang disini untuk mengingatkan pembaca
yang budiman :
Syeikh Al Utsimin berkata :
ومن
لم يحكم بما أنزل الله وهو لم يستخف ولم يحتقره ولم يعتقد أن غيره أصلح
منه وأنفع للخلق، وإنما حكم بغيره تسلطا على المحكوم عليه أو انتقاما منه
لنفسه أو نحو ذلك، فهذا ظالم وليس بكافر، ويختلف مراتب ظلمه حسب المحكوم
به ووسائل الحكم.
ومن
لم يحكم بما أنزل الله لا استخفافا ولا احتقارا ولا اعتقادا أن غيره أصلح
وأنفع للخق وإنما حكم بغريه محابة للمحكوم له أومراعاة للرشوة أو غيرها من
عرض الدنيا، فهذا فاسق وليس بكافر، وتختلف مراتب فسقه بحسب المحكوم به
ووسائل الحكم.
قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله فيمن اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله أنهم على وجهين:
أحدهما
: أن يعلموا أنهم بدلوا دين الله فيتبعونهم على التبديل ويعتقدون تحليل ما
حرم وتحريم ما أحل الله اتباعا لرؤسائهم مع علمهم أنهم خالفوا دين الرسل،
فهذا كفر، وقد جعله الله ورسوله شركا
الثاني:
أن يكون اعتقادهم وإيمانهم –بتحليل الحرام وتحريم الحلال- ثابتا،
لكنهم أطاعوهم في معصية الله كما يفعل المسلم ما يفعله من المعاصي التي
يعتقد أنها معاصي، فهؤلاء لهم حكم أمثالهم من أهل الذنوب.
“Dan
barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, sedangkan ia tidak
meremehkanya (hukum Allah), tidak menghinakannya, dan tidak meyakini
bahwa hukum selainnya lebih maslahat dan lebih bermanfaat, hanya saja
ia berhukum dengan selain hukum Allah, karena ingin menyakiti orang
yang ia hukumi, atau dalam rangka balas dendam pribadinya dari orang
tersebut, atau alasan yang serupa, maka orang ini adalah orang dlalim,
dan bukan orang kafir. Dan tingkatan kedlalimannya berbeda-beda, sesuai
dengan perbedaan hukum yang ia gunakan dan cara-cara yang ia gunakan
untuk menghukumi.
Dan
barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, sedangkan ia tidak
meremehkanya (hukum Allah), tidak menghinakannya, dan tidak meyakini
bahwa hukum selainnya lebih maslahat dan lebih bermanfaat, hanya saja
ia berhukum dengan selain hukum Allah, hanya saja ia berhukum dengan
selain hukum Allah karena untuk mencari muka dihadapan orang yang ia
menangkan dalam perhukumannya, atau karenarisywah (suap),
atau kepentingan duniawi lainnya, maka orang ini adalah fasiq dan bukan
orang kafir. Dan tingkatan kefasiqannya berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan hukum yang ia gunakan dan cara-cara yang ia gunakan untuk
menghukumi.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengomentari
tentang orang yang menjadikan ulama’ dan pendeta-pendeta mereka
sebagai tuhan-tuhan selain Allah, bahwasannya mereka terbagi menjadi
dua golongan :
Pertama
: Mereka mengetahui bahwa ulama’ dan pendeta tersebut merubah
agama Allah, kemudian mereka mengikutinya dalam perubahan tersebut, dan
meyakini akan kehalalan sesuatu yang diharamkan dan keharaman sesuatu
yang dihalalkan Allah, dikarenakan mengikuti pemimpin-pemimpin mereka,
padahal mereka menyadari bahwa mereka bertentangan dengan agama para
Rasul, maka perbuatan ini adalah perbuatan kafir, dan telah dianggap
sebagai kesyirikan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kedua
: Keyakinan dan iman mereka dalam hal – penghalalan yang haram
dan pengharaman yang halal - tetap kokoh (tidak berubah), akan tetapi
mereka menuruti para ulama’ dan pendeta dalam perbuatan maksiat
kepada Allah, sebagaimana seorang muslim yang melakukan perbuatan
maksiat, yang ia yakini bahwa perbuatan tersebut adalah maksiat, maka
golongan ini, hukumnya seperti hukumnya orang yang serupa dengan mereka
dari para pelaku maksiat.”
Bahkan
perkataan Aman ini merupakan inti dari aqidah khowarij, yaitu setiap
yang melakukan perbuatan dosa besar, ia telah kafir, dan bukan sebagai
manhaj Ahlis Sunnah, karena menurut ahlis sunnah, pelaku dosa besar
tidaklah dikafirkan, kecuali bila dia meyakini halalnya perbuatan
tersebut. Beda halnya dengan khowarij, mereka mengatakan, bahwa pelaku
dosa besar secara otomatis menjadi kafir, karena perbuatan lahir
–menurut mereka- menunjukkan akan keyakinan menghalalkan.
Kesepuluh :
Setelah menyebutkan perkataan di atas, Aman mengatakan “Inilah
yang dinamakan di dalam manhaj Ahlus Sunnah dengan istilah At Talaazum
bainadhdhahir wal Bathin (kaitan antara dhahir dan bathin, dan hal ini
berbeda dengan Murji’ah”. Kemudian pada catatan kaki ia nisbatkan hal ini kepada Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dalam Majmu’ Fatawa 7/187, padahal pada perkataan beliau tidak ada sedikitpun hubungannya dengan permasalahan tahkim,
akan tetapi beliau sedang membicarakan akan hakikat iman, bahwa asal
dan dasar iman adalah hati, bila hati baik dan kuat, pasti akan nampak
pengaruhnya pada perbuatan anggota badan, beliau berkata :
ثم
القلب هو الأصل، فإذا كان فيه معرفة وإرادة، سرى ذلك إلى البدن بالضرورة،
لا يمكن أن يتخلَّف البدن عما يريده القلب، ولهذا قال النبي e في الحديث الصحيح: (ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح لها سائر الجسد، وإذا فسدت فسد لها سائر الجسد، ألا وهي القلب).
“Kemudian,
hati adalah pokok / dasar, maka apabila di dalam hati terdapat
pengertian dan keinginan, niscaya hal itu akan menjalar kepada seluruh
anggota badan –dengan pasti-, tidak mungkin anggota badan tidak
melaksanakan apa yang diinginkan oleh hati, oleh karena itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shohih bersabda:“Ketahuailah,
bahwa sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal darah, bila ia
baik, niscaya seluruh jasad akan baik, dan bila rusak, niscaya seluruh
jasad akan rusak, ketahuilah bahwasannya (segumpal darah) itu adalah
hati (jantung).”
Pembaca yang budiman, silahkan lihat, apakah dalam perkataan Syeikhul Islam di atas ada hubungannya dengan masalah tahkim ? Apalagi pengkafiran orang yang tidak bertahkim dengan syari’at.
Wahai
Aman, mari saya tunjukkan kepadamu perkataan beliau yang enggan engkau
nukil, bahkan engkau dan yang semisal denganmu berangan-anggan agar
perkataan beliau berikut dihapuskan dari kitab beliau:
قال شيخ الإسلام ابن تيمية : إن شعب الإيمان قد تتلازم عند القوة ولا تتلازم عند الضعف، فإذا قوي ما في القلب من التصديق والمعرفة والمحبة لله ورسوله، أوجب بغض أعداء الله، كما قال تعالى ] ولو كانوا يؤمونون بالله والنبي وما أنزل إليه ما اتخذوهم أولياء [ وقال ] لا
تجد قوما يؤمنون بالله واليوم الآخر يوادون من حاد الله ورسوله، ولو كانوا
آباءهم أو أبناءهم أو إخوانهم أو عشيرتهم أولئك كتب في قلوبهم الإيمان
وأيدهم بروح منه[، وقد تحصل للرجل موادتهم لرحم أو حاجة، فتكون ذنبا ينقص به إيمانه ولا يكون به كافرا، كما حصل من حاطب بن أبي بلتعة، لما كاتب المشركين ببعض أخبار النبي e وأنزل الله فيه ] يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة[.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Sesungguhnya
cabang-cabang keimanan, kadang-kadang saling berkaitan disaat iman
kuat, dan kadang kala tidak saling berkaitan, disaat iman lemah. Dan
bila pembenaran, pengertian, dan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya
telah menjadi kuat dalam hati (seseorang), maka iman yang demikian ini
mendatangkan rasa kebencian kepada musuh-mush Allah, sebagaimana Allah
firmankan,:” Dan seandainya mereka beriman kepada Allah dan
kepada Nabi, serta kepada wahyu yang diturunkan kepadanya, niscaya
mereka tidak menjadikan orang-orang musyrikin sebagai penolong
(wali-wali). (Al Maidah 81) Dan Allah berfirman: “Engkau tidak
akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
saling bekasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya, sekalipun orang-orang tersbeut adalah bapak-bapak, atau
anak-anak, atau saudara-saudara, atau keluarga mereka. Mereka itulah
orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya”. (Surat Al
Mujadilah 22). Dan kadang kala bisa terjadi seseorang berkasih sayang
dengan mereka, disebabkan adanya tali persaudaraan, atau keperluan,sehingga perbuatan ini merupakan dosa yang menjadikan imannya berkurang, dan tidak menjadikannya kafir,
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Hathib ibni Abi Balta’ah,
tatkala ia menuliskan surat kepada orang musyrikin, membocorkan
sebagian rahasia (berita) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan Allah turunkan tentangnya firman-Nya :”Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan musuh-Ku dan musuhmu
sebagai (teman setia) penolong, yang kalian sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang”. (lihat Majmu’ Fatawa 7/522-523).
Sudahkah engkau melihat dan memahami perkataan beliau ini, wahai Aman??
Bila
engkau sudah memahaminya, mari akan saya tunjukkan kepadamu perkataan
beliau juga, yang akan membuktikan bahwa talazum yang engkau
sebut-sebut adalahtalazum ahlil bid’ah, dan bukan talazum yang dimiliki oleh Ahlis Sunnah, sebagaimana yang engkau sangkakan:
ثم
قال الخوارج والمعتزلة: الطاعات كلها من الإيمان، فإذا ذهب بعضها ذهب بعض
الإيمان، فذهب سائره، فحكموا بأن صاحب الكبيرة ليس معه شيئ من الإيمان،
وقالت المرجئة والجهمية: ليس الإيمان إلا شيئا واحدا لا يتبعض، إما مجرد
تصديق القلب كقول الجهمية أو تصديق القلب واللسان كقول المرجئة، قالوا
لأنا إذا أدخلنا فيها الأعمال صارت جزءً منه، فإذا ذهبت ذهب بعضه، فيلزم
إخراج ذي الكبيرة من الإيمان، وهو قول المعتزلة والخوارج، لكن قد يكون له
لوازم ودلائل فيستدل بعدمه على عدمه.
“Kemudian orang-orang khowarij
dan mu’tazilah berkata: amalan-amalan ketaatan seluruhnya bagian
dari iman, dan bila sebagiannya hilang, maka akan hilang sebagian
keimanan, dan akibatnya akan hilanglah seluruh keimanan, sehingga
mereka memvonis pelaku dosa besar, bahwa ia tidak memiliki keimanan
sedikitpun, dan
orang-orang murji’ah dan Jahmiyyah mengatakan: Tidaklah keimanan
kecuali satu kesatuan yang tidak bisa terbagi-bagi, baik itu berupa
pembenaran hati semata, sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang
jahmiyyah, atau berupa pembenaran hati dan ucapan lisan, sebagaimana
diyakini oleh orang-orang murji’ah, mereka berdalih: karena bila
kita memasukkan amalan ke dalam hakikat iman, maka amalan akan menjadi
bagian dari iman, dan bila amalan hilang, akan hilanglah sebagian iman,
dan ini mengharuskan kita untuk mengeluarkan pelaku dosa besar dari
keimanan, dan inilah perkataan mu’tazilah dan khowarij, akan
tetapi iman memiliki beberapa konsekwensi dan pertanda, yang dengan
tidak didapatkannya konsekwensi dan pertanda tersebut , kita mengetahui
akan telah hilangnya keimanan. (Majmu’ fatawa 7/510)
Inilah talazum yang engkau dengung-dengungkan, talazum-nya
orang mu’tazilah dan khowarij, ini bukti jelas bahwa usahamu
untuk menutupi hubungan pemikiranmu dengan pemikiran khowarij zaman
dahulu gagal total, bahkan tidak mendatangkan hasil sedikitpun.
Sudahkah engkau menyadari siapa jati dirimu, wahai Aman??
Kesebelas :
Aman mengatakan : ” Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa bila satu kaum,
satu kelompok, satu negara (pemerintahan) yang orang-orangnya mengaku
muslim, dan mereka itu melaksanakan sebagian syaria’at islam, dan
bahkan mengakui seluruh syari’at islam, namun mereka menolak
melaksanakan salah satu kewajiban yang jelas atau menolak meninggaklan
salah satu yang diharamkan dengan jelas, maka kelompok yang menolak
tersebut wajib diperagi oleh imam kaum muslimin, sampai tunduk kepada
aturan secara keseluruhan. Di dalam masalah ini tidak ada perbedaan
pendapat di antara Ahlus Sunnah, dengan dalil, bahwa para sahabat semua
ijma’ untuk memerangi kaum yang menolak membayar zakat dan para
sahabat radliyallaahu ‘anhum tidak pernah bertanya apakah mereka
itu mengingkari kewajibannya atau tidak. Dan justru mereka
menggolongkan kaum yang menolak membayar zakat itu sebagai kaum
murtaddun. Hal ini dikarenakan mereka ( yaitu orang-orang yang menolak
membayar zakat) tidak melakukan hal itu, kecuali setelah ada
kesepakatan sebelumnya diantara mereka, sehingga para ulama muhaqqiqin
menyatakan bahwa mereka bukan orang-orang islam. Masalahnya menjadi
berbeda, bila sifatnya individu, maka ini tidak dianggap murtad selama
dia meyakini wajibnya zakat. Maka apa gerangan dengan pemerintah yang
menolak syari’at islam dan membuat undang-undang di luar islam,
seperti negeri-negeri yang banyak dihuni mayoritas kaum muslimin
ini?”
Pada penggalan perkataan ini, saya memiliki beberapa tanggapan :
1. Aman mengatakan bahwa para sahabat tidak pernah bertanya apakah mereka itu mengingkari kewajibannya atau tidak,
dan ia nisbatkan ini kepada Ibnu Taimiyyah, akan tetapi ini adalah
salah satu kecerobohan Aman dalam berbicara, mari kita lihat pernyataan
beliau dalam Majmu’ Fatawa 28/519, berikut:
وقد اتفق الصحابة والأئمة بعدهم على قتال مانعي الزكاة وإن كانوا يصلون الخمس ويصومون شهر رمضان،وهؤلاء لم يكن لهم شبهة سائغة،
فلهذا كانوا مرتدين، وهم يقاتلون على منعها وإن أقروا بالوجوب كما أمر
الله، وقد حكي عنهم أنهم قالوا: إن الله أمر نبيه بأخذ الزكاة بقوله (خذ
من أموالهم صدقة) وقد سقطت بموته.
“Dan
sungguh para sahabat dan imam-imam setelah mereka telah sepakat untuk
memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, walaupun mereka
menunaikan sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, dan mereka itu tidak memiliki subhat yang bisa dibenarkan, oleh
karena itu mereka adalah orang-orang yang murtad, dan mereka wajib
diperangi karena enggan membayarnya, walaupun mereka mengakui akan
kewajibannya, sebagaimana yang diperintahkan Allah, dan dikisahkan dari
mereka, bahwa mereka beralasan: sesungguhnya Allah memerintahkan
Nabi-Nya untuk memungut zakat dengan firman-Nya :”Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka” (At Taubah 103), dan kewajiban zakat telah gugur dengan kematian beliau”.
Kita
dapat melihat perbedaan yang sangat jauh antara apa yang diutarakan
oleh Aman dengan apa yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyyah.
Silahkan lihat pula keterangan Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah 6/315,
beliau juga menyebutkan bahwa orang yang enggan membayar zakat
mengatakan bahwa kewajiban zakat telah gugur dengan kematian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Hajar dalam fathul Bari mendudukkan
permasalahan ini dengan jelas, beliau menyebutkan seperti yang
disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah, bahwa orang-orang yang enggan membayar
zakat benar-benar mengingkari kewajiban zakat, sehingga mereka
dikatakan telah kafir, dan pada kesempatan ini Abu Bakar tidak
memaafkan orang-orang bodoh dari mereka, karena mereka telah bergabung
dan bersiap-siap untuk mengadakan perlawanan terhadap Khalifah, untuk
lebih jelasnya silahkan baca Fathul Bari 12/277 dst.
2. Aman mengatakan : “Masalahnya menjadi berbeda, bila sifatnya individu, maka ini tidak dianggap murtad selama dia meyakini wajibnya zakat.”
Saya ingin bertanya kepada Aman, : Dari mana engkau dapatkan pembedaan Syeikhul Islam antara individu dan kelompok, dalam pengkafiran?
Mari kita lihat bersama penyataan beliau dalam majmu’ fatawa 28/308 :
فإن
كان التاركون طائفة ممتنعة قوتلوا على تركها بإجماع المسلمين، وكذلك
يقاتلون على ترك الزكاة والصيام وغيرها وعلى استحلال المحرمات الظاهرة
المجمع عليها … وإن كان التارك للصلاة واحدا فقد قيل: إنه يعاقب
بالضرب والحبس حتى يصلِّي، وجمهور العلماء على أنه يجب قتله إذا امتنع من
الصلاة بعد أن يستتاب، فإن تاب وصلى وإلا قتل، وهل يقتل كافرا أو مسلما
فاسقا؟ فيه قولان: وأكثر السلف على أنه يقتل كافرا، وهذا كله مع الإقرار
بوجوبها، أما إذا جحد وجوبها فهو كافر بإجماع المسلمين، وكذلك من جحد سائر
المذكورات والمحرمات التي يجب القتال عليها.
“Apabila
orang yang meninggalkan sholat adalah sebuah kelompok yang berkekuatan,
maka wajib diperangi karena mereka meninggalkan sholat, dan demikian
pula, mereka juga diperangi karena meninggalkan zakat, puasa dan
lainnya, dan karena menghalaknan yhal yang diharamkan yang telah
diketahui bersama dan disepakati oleh para ulama’ …akan
tetapi bila yang meninggalkan sholat adalah satu orang, maka sebagia
berpendapat ia dihukumi dengan dipukul, dipenjara hingga ia mau
menunaikan sholat, dan kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa ia
harus dibunuh, bila enggan menunaikan sholat, tentunya setelah disuruh
untuk bertaubat, dan bila ia bertaubat (maka dilepaskan), dan kalau
tidak ia dibunuh. Dan apakah ia dibunuh dalam keadaan kafir atau muslim
yang fasik? Ada dua pendapat, dan kebanyakan ulama’ salaf
berpendapat bahwa ia dibunuh dalam keadaan kafir, ini semua bila ia
masih meyakini akan kewajiban sholat. Adapun bila ia mengingkari akan
kewajibannya, maka ulama’ sepakat bahwa ia telah kafir, dan
demikin pula halnya orang yang menentang hal-hal yang disebut diatas,
dan hal-hal yang diharamkan yang mengharuskan kita berperang
karenanya.”
Jadi yang dibedakan oleh Syeikhul Islam adalah masalah perang, bukan masalah pengkafiran.
3. Aman berkata : “Maka
apa gerangan dengan pemerintah yang menolak syari’at islam dan
membuat undang-undang di luar islam, seperti negeri-negeri yang banyak
dihuni mayoritas kaum muslimin ini?”.
Apakah
yang engkau maksud dengan negeri-negeri yang banyak dihuni mayoritas
kaum muslimin ini, adalah pemerintah Indonesia? Kalau memang itu yang
engkau maksud, kenapa engkau tidak berani mengatakannya dengan terus
terang? Takut ditangkap yaa….?
Keduabelas :
Aman berkata : ”hal
ini dikarenakan para pengekor itu telah terkena penyakit orang awam,
yaitu mengangkat sosok seseorang sebagai acuan di dalam segala hal,
selain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mereka
menganggap bahwa si Fulan itu mana mungkin sesat?
Saya ingin bertanya kepada Aman: Siapakah orang yang engkau maksud, kenapa engkau takut untuk menyebut namanya,? Kalau memang apa yang engkau katakan benar, kenapa mesti takut untuk menyebut namanya?
Aman,
ana mohon engkau jujur dengan dirimu sendiri, bukankah apa yang engkau
katakan ini mengenai dirimu sendiri, engkau taqlid dengan tulisan orang
lain, lalu kamu terjemahkan, dan kemudian engkau memperjuangkannya
mati-matian, walau sudah terbukti bahwa pada tulisanmu ini terdapat
kesesatan, kebohongan dll, yang menjadikan saya menuliskan judul
tulisanku ini dengan perkataanku :
“Bila Aman Enggan Menutupkan Topeng Diwajahnya”?
Ketigabelas :
Aman mengatakan: “Jadi
perkataan Kufrun duna kufrin kalau tidak dikembalikan kepada sebab
wurudnya, tentu hasilnya seperti ini, padahal perkataan ini diucapkan
oleh Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhumaa dikala datang orang
khowarij yang mengkafirkan penguasa daulah Bani Ummayyah. Ibnu Abbas
radliyallaahu ‘anhumaa mengetahui permasalahan dan situasi yang
ada, dimana bani umayyah tetap menerapkan syariat islam dan mereka
tetap berjihad untuk menegakkan kalimat Allah ‘azza wa jalla,
namun sebagian mereka bertindak dlalim/ menyimpang di dalam kasus
tertentu dari hukum semestinya, sedangkan didalam …”.
Pada penggalan perkataan Aman ini saya memiliki beberapa komentar :
1. Ulama’ siapa yang mengatakan demikian ini, sebutkan barang seorang saja?
yang ada pada kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits, dan buku-buku
aqidah ahlis sunnah, mereka membagi orang yang tidak berhukum dengan
hukum Allah menjadi dua bagian, yang melakukannya dengan anggapan hukum
selain Allah lebih baik, atau sama atau menghalalkan perbuatan
tersebut, maka ia kafir, dan yang melakukannya, sedangkan ia meyakini
bahwa hukum Allah lebih utama dan ia menyadari telah melakukan
kesalahan, maka ia tidak kafir, akan tetapi kufrun duna kufrin, dengan berdasarkan fatwa Ibnu Abbas ini. Sehingga
dengan demikian engkau berkesimpulan bahwa: semenjak zaman ibnu Abbas
mengatakan perkataan ini hingga zaman sekarang, tidak ada yang paham
akan maksud beliau, dan hanya engkau seorang yang memahaminya dengan
benar??, Sungguh engkau adalah seorang Pahlawan Tanpa Jasa.
2. Daulah
Bani Umayyah seperti yang engkau katakan, mereka menerapkan hukum
Allah, akan tetapi sebagian mereka bertindak dlalim/ menyimpang di
dalam kasus tertentu, apakah dengan perbuatan dlolim tersebut dikatakan
telah berhukum dengan hukum selain hukum Allah? Kalo memang demikian,
berarti setiap orang yang menyimpang, berbuat dosa, kedloliman dll,
baik itu pemerintah atau bukan dikatakan telah berhukum dengan hukum
selain Allah?! Ini tentu merupakan kebatilan yang sangat bathil, dan
inilah pemahaman orang-orang khowarij, yang sedang engkau tuduhkan
kepada orang lain.
3. Kalo
engkau baca dengan benar perkataan Ibnu Abbas, maka engkau akan
dapatkan bahwa perkataan beliau muthlak, beliau tidak membedakan antara
kasus tertentu atau dalam banyak kasus, nah
dari manakah engkau mengkhususkan perkataan beliau ini? Apakah dari
wangsit yang engkau dapatkan di kuburan, atau dari tong sampah, atau
darimana? Karena dalam memahami dalil, dan perkataan para ulama’ kita mengenal kaidah yang berbunyi :
العبرة بعموم اللَّفظ لا بخصوص السبب
“Yang jadi pedoman adalah keumuman lafadl (kontek), bukan kekhususan sebab datangnya lafadl tersebut.”
Begitu
juga halnya dengan ayat 44 dalam surat Al Maidah, lafadlnya umum,
sehingga tidak boleh dibatasi dengan satu kasus atau batasan lainnya
tanpa adanya dalil, nah Aman membatasi ayat dan perkataan Ibnu Abbas,
tanpa menyebutkan dalil, -dan tidak akan mendapatkan dalil- ini
membuktikan bahwa Aman dalam tulisannya ini hanya berpegangan dengan
wangsit dari mbah….? Atau ilham dari roh …..?
Keempat belas :
Aman mengatakan : ”Sungguh
orang murjiah dahulu lebih pandai di dalam definisi dan komitmen
dengannya, lain halnya dengan murji’ah sekarang yang tidak
karuan, tetapi hal ini tidak heran, karena kalau menyalahi Ahlus Sunnah
secara frontal di dalam definisi, tentu terlalu ketahuan dan tidak bisa
mengaku bahwa dirinya pengikut sunnah, karena itu mereka lakukan secara
talbis”
Sungguh
Aman sedang mensifati dirinya sendiri, dialah orangnya yang tidak
komitmen dengan definisinya sendiri, dan tidak bisa meletakkan definisi
dengan baik, sebagaimana telah saya buktikan dalam pembagiannya
terhadap negara-negara menjadi tiga bagian.
Kelima belas :
Sebagai
penutup saya akan menyebutkan sebuah hadits, yang semoga menjadi bahan
renungan Aman, dan kemudian menjadikanya sadar dan kembali kepada
kebenaran:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
(لتنقضنَّ عرى الإسلام عروة عروة، فكلما انتقضت عروة تشبث الناس بالتي
تليها وأولهن نقضا الحكم وآخرهن الصلاة) رواه أحمد وابن حبان والطبراني
والحاكم والبيهقي.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh
akan dilepaskan buhulan-buhulan agama islam satu buhul demi satu buhul,
setiap satu buhul dilepaskan, para manusia akan berpegangan dengan
buhul selanjutnya. Buhul paling pertama dilepas adalah hukum, dan yang
paling akhir adalah sholat” (Hr Ahmad, Ibnu Hibban, At Thobrani, Al Hakim, dan AL Baihaqy).[13]
Hadits
ini sangat jelas bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah
tidak secara otomatis menjadi kafir, dengan bukti, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih menyebut dengan Islam, walaupun hukum islam telah ditinggalkan.
Oleh
karena itu, hendaknya kita semua mengecamkan hadits ini baik-baik, agar
tidak mudah dikibuli oleh musang-musang berbulu domba yang sedang
meraja lela dimasa kita ini. Dan hendaknya kita tidak menjadi seperti
pencari kayu bakar di tengah malam, yang tidak bisa membedakan antara
ular berbisa dengan kayu bakar. Betapa banyak orang yang mengaku
sebagai seorang salafi, akan tetapi bila diperiksa dan dikoreksi, tak
lebih dari sulapi (tukang sulap), oleh karenanya saya mengingatkan kita
semua dengan perkataan Al Hasan Al Bashry :
ليس الإيمان بالتمني ولا بالتحلي، ولكن ما وقر في القلب وصدقته الأعمال.
“Bukanlah
keimanan hanya sekedar angan-angan dan perhiasan, akan tetapi iman
adalah sesuatu yang tertanam kokoh dalam hati, dan dibuktikan oleh
amalan”.
Begitu
juga halnya dengan hakikat manhaj salaf, bukan sekedar slogan yang
diucapkan, dan gelar yang disandang, akan tetapi merupakan keyakinan
yang dianut, metode yang dijalani, dan dibuktikan dengan amalan.
Akhirul kalam, semoga
Allah memberkan taufiq-Nya kepada kita semua, melindungi kita dari hawa
dan kesesatan, dan menunjuki orang yang sesat dari kaum muslimin.
Semoga sholawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad,
keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya hingga hari qiyamah.
Madinah 11 Syawwal 1423 H.
Muhammad Arifin Baderi.
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan seluruh orang yang mengikuti ajarannya hingga hari qiyamat.
Amma ba’du :
Setelah
saya selesai menuliskan penjelasan kedua ini, sampai kepada saya
tulisan Aman yang ditujukan kepada saya, yang dikirimkan oleh salah
seorang ikhwan dari Indonesia, dan setelah saya baca dari awal samapi
akhir, saya semakin yakin, bahwa Aman hanyalah membeo dan tidak paham
akan Aqidah Ahlis Sunnah, dan berikut ini akan saya sebutkan
point-point yang ia sebutkan dalam tulisannya :
1. Aman mengatakan : “Akhi,
setelah ana membaca komentar antum tentang tulisan ana, ana merasa
heran, karena bantahan antum itu sama sekali tidak nyambung, ana tidak
tahu, apakah sebelum membantah, antum itu sudah memahami tulisan ana
atau belum:
Saya
katakan: Benar tidak nyambung, karena anda tidak paham apa maksud
perkataan para ulama’ yang saya nukilkan, sebab dalam tulisan
saya yang pertama saya hanya ingin membuktikan manipulasi, dan
penyelewengan yang anda lakukan, bukan untuk membantah dengan
terperinci, dengan harapan setelah anda mengetahui kekeliruan anda,
anda akan berhenti dan menyesal. Akan tetapi, karena terbukti harapan
saya tidak terpenuhi, maka dengan izin Allah, saya tulis bantahan
secara terperinci, agar anda tahu bahwa saya paham, dan tahu apa
maksud, dan siapa anda sebenarnya.
2. Aman mengatakan: “Hendaklah
antum ketahui, tulisan ana itu berhubungan dengan masalah pembabatan
syari’at, yaitu pemerintah yang membabat syari’at yang
meninggalkan syari’at islam, dan kemudian mereka justru malah
membuat undang-undang sendiri, atau mengambil undang-undang dari negara
lain, atau dengan kata lain, mereka itu membuat tasyri’
‘aam, sehingga nukilan yang ana ketengahkan dari perkataan
ulama’ dalam tulisan ana, semuanya tentang hal itu”
Saya
sudah tahu, dan paham maksud anda, dan inilah yang sedang saya
permasalahkan, karena tidak ada seorang ulama’ pun yang melakukan
pembedaan antara tasyri’ ‘aam dan qadiyyah mu’ayyanah,
oleh karena itu, pada tulisan saya kedua, saya memberi julukan anda
dengan pahlawan tanpa jasa, sebab anda telah mendatangkan sesuatu yang
baru, tapi bukan sesuatu yang patut diucapkan terimakasih, akan tetapi
sesuatu yang menyedihkan.
Adapun
nukilan yang engkau sangkakan mendukung pembedaanmu itu, telah saya
buktikan pada tulisan saya yang pertama, bahwa anda melakukan
kebohongan, atau memenggalnya ditengah-tengah (baik engkau lakukan
langsung atau engkau meniru dan mengikuti perbuatan orang lain),
sehingga mengakibatkan kesalahpahaman. Yang saya tuntut dari anda,
datangkanlah satu nukilan dari ulama’ yang benar-benar bisa
dipegangi perkataannya (Bin Bazz, Ibnu Utsaimin, Al Fauzan dll) yang
melakukan hal itu.
3. Aman mengatakan : ”Dalam
pembabatan syari’at atau tasyri’ ‘aam tidak usah
diperhatikan masalah keyakinan hati, ini adalah muthlaq kafir mukhrij
minal millah, ini yang dimaksud dalam penukilan ana akan perkataan
Syeikh Al Utsaimin itu dan yang lainnya”
Benar
itu yang engkau maksud dari penukilan, tapi bukan itu yang dimaksud
oleh Syeikh Al Utsaimin, bahkan beliau pada perkataan tersebut, tidak
sedikitpun menyinggung atau menyebutkan pembedaan antara tasyri’ ‘aam dan qadliyah mu’ayyanah.
Perumpamaanmu disini seperti orang yang membaca surat Al Ma’un dan berhenti pada firman Allah : فويل للمصلين (Dan kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat)
4. Aman mengatakan : “Membedakan
antara tasyri’ ‘aam atau pembabatan syari’at dengan
qadliyyah mu’ayyanah adalah Aqidah Ahlis Sunnah Wal
Jama’ah”.
Wahai
Aman, saya mohon anda tidak semakin menambah banyak dosa, dengan
membikin kebohongan baru, Ahlis Sunnah tidak pernah melakukan hal ini,
yang ada dalam Manhaj Ahlis Sunnah adalah pembedaan antara al kufrul muthlak danmuthlaqul kufur atau At Takfirul Muthlaq dan At Takfir ‘Alal Mu’ayyan. Ahlis Sunnah mengatakan setiap orang yang berhukum dengan hukum selain hukum Allah, maka dia secara otomatis terkena vonis muthlaqul kufur (At takfirul muthlak),
maksudnya adalah dia telah melakukan perbuatan kufur, tapi apakah dia
telah kafir keluar dari agama? Tidak, harus dilihat dan diteliti lebih
lanjut, apakah dia telah terpenuhi padanya syarat-syarat pengkafiran,
atau belum, bila sudah terpenuhi, maka dia dikatakan kafir, keluar dari
agama, bila belum dia dikatakan telah berbuat kekufuran atau orang ada
padanya sifat muthlaqul kufur,
dan inilah yang saya yakini dan saya perjuangkan dan dakwahkan. Adapun
pembedaan yang engkau lakukan, tidak pernah ada dalam manhaj Ahlis
Sunnah.
Ini saya tunjukkan kepadamu manhaj Ahlis sunnah, melalui perkataan Imam Ahlis Sunnah Ibnu Taimiyyah :
والتَّحقيق
في هذا، أن القول قد يكون كفرا، كمقالات الجهمية الذين قالوا: إن الله لا
يتكلم ولا يرى في الآخرة، ولكن قد يخفى على بعض الناس أنه كفر، فيطلق
القول بتكفير القائل، كما قال السلف: من قال: القرآن مخلوق، فهو كافر، ومن
قال: إن الله لا يرى في الآخرة فهر كافر، ولا يكفر الشخص المعين حتى تقوم
عليه الحجة
“Dan
yang tepat /benar dalam masalah ini, bahwa kadang kala perkataan
tersebut adalah kekufuran, sebagaimana halnya dengan
perkataan-perkataan orang-orang jahmiyyah, yang mengatakan:
Sesungguhnya Allah tidak berbicara, dan tidak bisa dilihat kelak
diakhirat, akan tetapi kadangkala hal itu tidak diketahui oleh sebagian
orang, sehingga diithlakkan ucapan pengkafiran kepada orang yang
mengucapkannya, sebagaimana yang dikatakan oleh ulama salaf: Barang
siapa yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq, maka ia
kafir, dan barang siapa yang mengatakan bahwa Allah tidak dapat dilihat
diakhirat, maka ia kafir, dan tidaklah dikafirkan orang tertentu,
sampai tegak atasnya Al hujjah” (Majmu’ fatawa7/619).
5. Aman
menukilkan perkataan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang
dikafirkannya Bani Ubaid oleh para ulama’ walaupun mereka mengaku
islam dan menunaikan sholat jama’ah dan jum’at, kemudian ia
komentari : ”yang
dilakukan oleh Bani Ubaid ini, masih mendingan dari pada yang dilakukan
oleh para penguasa pembabat syari’at, dimana sudahmembabat
syari’at, mereka juga beraliran skuler demokrasi (syirik model
baru).
Saya
ingin bertanya kepada anda, tahukah siapa yang dimaksud oleh beliau
dengan Bani Ubaid? Kalau tidak tahu, mari saya kenalkan melalui
penjelasan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang mereka, sehingga
engkau tidak salah pemahaman:
بني
عبيد الله القداح الذين أقاموا المغرب مدة وبمصر نحو مائتي سنة فهؤلاء
باتفاق أهل العلم والدين كانوا ملاحدة ونسبهم باطل، فلم يكن بالرسول اتصال
نسب في الباطن ولا دين، وإنما أظهروا النسب الكاذب وأظهرو التشيع ليتوسلوا
بذلك إلى متابعة الشيعة، إذ كانت أقل الطوائف عقلا ودينا، وأكثرها جهلا،
وإلا فأمر هؤلاء العبيدية المنتسبين إلى إسماعيل بن جعفر أظهر من أن يخفى
على مسلم. ولهذا جميع المسلمين الذين هم مؤمنون في طوائف الشيعة يتبرؤون
منهم، فالزيدية والإمامية تكفرهم وتتبرأ منهم، وإنما ينتسب إليهم
الإسماعلية الملاحدة، الذين فيهم من الكفر ما ليس لليهود والنصارى).
“Bani
Ubaidillah Al Qaddah, yang menguasai Maroko beberapa saat, dan
menguasai Mesir selama sekitar 200 tahun, mereka –dengan
kesepakatan ulama’ dan agama- adalah orang-orang atheis, dan
nasab mereka adalah nasab yang bathil. Mereka tidaklah memiliki
hubungan nasab dengan Rasulullah dalam batin mereka, dan juga dalam
agama. Mereka hanyalah menampakkan nasab dusta, dan menampakkan aqidah
syi’ah, agar mereka bisa menarik simpati orang-orang
syi’ah, karena mereka (orang-orang syi’ah) adalah kelompok
yang paling tidak berakal dan paling tidak beragama, dan kelompok
paling dungu. Kalau bukan demikian, sebenarnya mereka (Al Ubaidiyyah)
yang menisbatkan diri kepada Ismail bin Ja’far, sangat jelas,
sehingga tidak tersamarkan bagi seorang muslim. Oleh karena itu seluruh
kaum muslimin yang mereka masih dianggap muslim dari kelompok-kelompok
syi’ah berlepas diri dari mereka. Kelompok Zaidiyyah dan
Imamiyyah telah mengkafirkan mereka dan berlepas diri dari mereka,
hanyalah kelompok ateis isma’iliyyah sajalah yang rela
menisbatkan diri kepada mereka, yang pada mereka (kelompok)
isma’iliyyah terdapat kekufuran, yang tidak didapatkan pada
orang-orang yahudi dan nashrani”. (Minhajus Sunnah 6/342-343).
Bahkan
beliau juga menjelaskan bahwa Ubaidillah bin Maimun Al Qaddah pendiri
Dinasti Fatimiyyah adalah anak seorang Yahudi, yang dididik oleh
seorang Majusi, sehingga ia bernasabkan Yahudi dan Majusi. (Silahkan
lihat Minhajus Sunnah 4/99-101).
Apakah mereka ini yang engkau katakan mendingan wahai Aman?! Alangkah bodohnya dirimu…
6. Aman mengatakan : “Adapun
apa yang antum sebutkan bahwa ana dusta merubah perkataan Syeikh Ibnu
Baz, ini menunjukkan antum tidak tabayyun terlebih dahulu. Ketahuilah
bahwa Syeikh biasa menggunakan kata-kata yang beragam, yang maknanya
sama, karena Syeikh berbicara tentang pembabatan syari’at dan
menerapkan undang-undang buatan”.
Betapa bodohnya dirimu wahai Aman, apa anda tidak tahu perbedaan antara kata :
تركها وأحل محلَّها
dengan kata : (أو أجاز أن يحل محله ),
kalao memang tidak tahu, yaa apa gunanya engkau belajar bahasa arab
bertahun-tahun, hingga menyandang gelar Lc, atau memang gelar ini
singkatan dari kata “lucu”??
Lalu dari mana engkau katakan bahwa beliau biasa menggunakan kata-kata yang beragam, yang maknanya sama? Apakah engkau pernah mulazamah,?
Atau sudah berapa kitab beliau yang engkau baca, dan sudah berapa kaset
beliau yang engkau dengarkan?? Ataukah anda dapatkan anggapan ini dari
wangsit atau ilham….??!!!
Saya sudah pernah katakan, bahwa sebenarnya engkau tak lebih dari apa yang pernah dikatakan dalam pepatah dalam bahasa arab : ( حَاطب الليل )
“Pencari kayu bakar di malam hari”, sehingga dengan tidak
anda sadari telah terkena sengatan ular kobra, syubhat & kebohongan takfiriyyin yang
ada dinegri arab, sebagaimana yang anda sebutkan sendiri, bahwa anda
menukilkan perkatan beliau ini melalui kitab beliau yang dicetak gabung
dengan kitab Tahkimul Qawanin, dan melalui nukilan Abdullah Al Qarni. Mereka adalah ular-ular qobra (takfiriyyin dari
negri arab), yang telah menyengatmu, maka segera diobati agar bisanya
tidak menjalar, yaitu dengan cara belajar lagi, membaca buku-buku
ulama’ yang jelas-jelas bisa dipercaya perkataan dan nukilannya. Selamat belajar kembali….
7. Aman
menukilkan perkataan Ibnu Katsir yang dia anggap semakna dengan
perkataan Ibnu Baz yang ia nukilkan, Ibnu Katsir mengatakan :
فمن
ترك الشرع المحكم المنزل على محمد بن عبد الله خاتم الأنبياء وتحاكم إلى
غيره من الشرائع المنسوخة كفر، فكيف بمن تحاكم إلى إلياسا وقدمها عليه،
فمن فعل ذلك كفر بإجماع المسلمين.
“Barang
siapa yang meninggalkan syariat yang muhkam yang diturunkan kepada
Muhammad bin Abdillah penutup para nabi, dan berhukum kepada
syariat-syariat lainnya yang sudah dihapus, maka ia kafir, maka
bagaimana halnya dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa, dan lebih
mengutamakannya diatas syariat, maka barang siapa yang melakukan hal
tersebut, ia telah kafir, dengan kesepekatan kaum muslimin”.[14]
Wahai Aman, ini salah satu bukti bahwa engkau suka mengikuti perkataan yangmujmal (global) dan meninggalkan perkataan yang mufasshal (terperinci),
kenapa engkau tidak nukilkan perkataan Ibnu Katsir dalam tafsirnya,??
Karena beliau dalam tafsirnya tidak membedakan antara tasyri ‘aam dan qadliyyah mua’yyanah?? Ataukah karena beliau merinci seperti yang dilakukan oleh Syeikh Ibnu Utsaimin dalam fatwanya??!! Jawablah Aman!!!
Ditambah lagi perkataan beliau ini menurut ahlis sunnah adalah at takfirul muthlak(pengkafiran secara umum), dan bukan at takfir ‘alal mu’ayyan (pengkafiran secara individu), sebagaimana yang telah saya nukilkan dari perkataan Ibnu Taimiyyah.
[Tulisan ini adalah publikasi ulang dari http://muslim.or.id dan http://abusalma.wordpress.com dengan sedikit penambahan catatan kaki dari saya].
[1] Penulisan Ibnu Mas’ud adalah keliru, yang benar adalah Abu Mas’ud Al-Anshaariyradliyallaahu ‘anhu – Abul-Jauzaa’.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Ash-Shahiih no. 3483 & 3484 & 6120 dan Al-Adabul-Mufrad no. 597 & 1316, Abu Dawud no. 4797, Ibnu Maajah no. 4183, Ath-Thahaawiy dalamSyarh Musykilil-Aatsaar no. 1533-1538, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 17/no. 640 & 651-661, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 4/370, Ahmad 4/121-122 & 5/273 & 5/405, Al-Qadlaa’iy dalam Musnad Asy-Syihaab no. 1153-1156, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 3597,‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf no. 20149, Ath-Thayaalisiy no. 655, Ibnu Abid-Dunyaa dalam Makaarimul-Akhlaaq no. 83, Al-Khathiib 3/100 & 10/304 & 355, serta Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 10/192 dan Al-Aadaab no. 178 – Abul-Jauzaa’.
[3] Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 1395 & 1458 & 1496 & 2448 & 4347
& 7371 & 7372 dan Muslim no. 19. Diriwayatkan pula oleh Ahmad
1/233, Abu Dawud no. 1584, Ibnu Maajah no. 1783, At-Tirmidziy no. 625
& 2014, An-Nasaa’iy 5/55, Ibnu Khuzaimah no. 2275 & 2346,
Ad-Daaruquthniy 2/135-136, Al-Baghawiy no. 1557, Ibnu Mandah dalam Al-Iimaan no.
116-117 & 213-214, Ibnu Abi Syaibah 3/114, Ad-Daarimiy no. 1655
& 1671, Al-Baihaqiy 4/96 & 4/101 & 7/2 & 7/7 & 7/8,
Ibnu Hibbaan no. 156, dan Ath-Thabaraaniy no. 12207-12208 & 12408. – Abul-Jauzaa’
[4] Diriwayatkan juga oleh Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar 11/312-315, Al-Aajurriy hal. 91, Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah (Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah) no. 453, Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 4/151-152 & 10/75-79, ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy dalam Al-Mihnah hal. 167-169 & 169-174, dan Ibnu Qudaamah dalam At-Tawwaabiin hal. 210-215. – Abul-Jauzaa’.
[5] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1329 & 3635 & 4556 & 6819 & 6841 & 7332 & 7543 dan Muslim no. 1699. – Abul-Jauzaa’
[6] Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 10598, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa8/179 , Al-Haakim 2/150-152, ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf no. 18678, Ahmad 1/342, Abu ‘Ubaid dalam Al-Amwaal no. 444, An-Nasaa’iy dalam Khashaaish ‘Aliy no. 190, Al-Fasaawiy dalam Al-Ma’rifah wat-Taariikh 1/522-524, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/318-320, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadllihi 2/103-104, Ibnul-Jauziy dalamTalbiis Ibliis hal. 91-93, dan Abul-Faraj Al-Jariiriy dalam Al-Majliisush-Shaalihul-Kaafiy1/558-560; dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam Takhrij Musnad Ahmad 5/263.- Abul-Jauzaa’
[7] Lihat Asy-Syarii’ah oleh Al-Aajurriy 1/306-307 no. 331, As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal no. 617 & 620, Al-Ibaanah oleh Ibnu Baththah 2/885 no. 1221, dan Majmuu’ Al-Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah 7/394-395. Atsar ini dla’iif. – Abul-Jauzaa’
[8] Diriwayatkan oleh Ahmad 4/273, Ath-Thayaalisiy no. 439, Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 6/491, dan Ibnul-Jauziy dalam Jaami’ul-Masaanid 2/309-310. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 5. – Abul-Jauzaa’
[9] Majmuu’ Fataawaa wa Maqaalaat Ibni Baaz, 1/305. – Abul-Jauzaa’
[10] Asalnya dinisbahkan pada satu hadits dari Anas radliyallaahu ‘anhu secara marfu’, namun kualitasnya maudlu’ (palsu). Lihat Silsilah Adl-Dla’iifah no. 760. – Abul-Jauzaa’
[11] Fatwa ini dikeluarkan tanggal 19-1-1385 H, tepatnya 5 tahun setelah terbitnya kitab Tahkiim ‘alal-Qawaaniin (cet. pertama tahun 1380 H). Kitab Tahkiim ‘alal-Qawaaniin inilah
yang sering dijadikan referensi nukilan dari kaum Khawaarij –
semisal Aman ‘Abdurrahman – untuk membenarkan tindakan
mereka dalam mengkafirkan hukkaam. – Abul-Jauzaa’
[12] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3877 dan Muslim no. 952. – Abul-Jauzaa’
[13] Diriwayatkan oleh Ahmad 5/251, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah no. 764, Al-Haakim 4/92, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 7486 dan Musnad Asy-Syaamiyyiinno. 1602, Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 5277 & 7524, dan Ibnu Hibbaan no. 6715. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiihul-Jaami’ no. 5075. – Abul-Jauzaa’.
[14] Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 13/139 – Abul-Jauzaa’
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2010/01/dialog-bersama-takfiriy.html