Islam Pedoman Hidup: Dialog Bersama Takfiriy

Kamis, 19 Mei 2016

Dialog Bersama Takfiriy

Bila Aman Enggan Menutupkan Topeng Di Wajahnya
Oleh : Muhammad Arifin Baderi
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan setiap orang yang menjalankan sunnahnya hingga hari qiyamat.
Amma ba’du :
Sebagai pembuka, saya ingin mengingatkan kepada pembaca yang budiman, akan sebuah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang harus selalu tertanam di dalam jiwa setiap muslim, sehingga dalam setiap ucapan, perbuatan dan sikap, ia menjadikannya sebagai tolok ukur, dan pedoman, agar ia tidak terjerumus kedalam kubang kehinaan dan kenistaan, yaitu sabda beliau :
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (إن مما أدرك النَّاس من كلام النبوة: إذا لم تستحي فاصنع ما شئت) رواه البخاري وغيره.
Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud[1] radliyallaahu 'anhu, ia menuturkan : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Sesungguhnya diantara ucapan kenabian adalah : Bila engkau tidak merasa malu, maka silahkan engkau lakukan apa yang engkau suka”. (HR Bukhori dll).[2]
Dan karena teringat akan makna hadits ini, saya mencantumkan judul tulisan ini seperti tersebut di atas, karena saya melihat bahwa rasa malu telah hilang dan bahkan sengaja dibuang oleh Aman Abdur Rahman. Setelah terbukti manipulasi terhadap fatwa dan ucapan para ulama’, ia tidak malu untuk menuliskan bantahan terhadap penjelasan yang saya buat, seakan-akan ia tidak memperdulikan akan perilakunya yang terbukti sangat memalukan bagi orang yang berakal. Sebelumnya, saya berpraduga bahwa dengan tersebarnya tulisan saya, Aman akan mengurung diri di rumahnya, dan malu untuk keluar, kecuali pada malam hari atau dengan mengenakan topeng, akan tetapi sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,”Bila engkau tidak merasa malu, maka silahkan engkau lakukan apa yang engkau suka”.
Pada awalnya, saya berbaik sangka kepada Aman, bahwa ia akan berhenti dan menyadari kesalahannya, tatkala ia membaca tulisan saya yang pertama, akan tetapi prasangka ini menjadi sirna ketika saya mendapatkan berita bahwa, ia menuliskan bantahan terhadap tulisan saya. Karena itulah; saya memohon bantuan dari Allah Ta’alauntuk menuliskan bantahan secara terperinci, terhadap tulisan gelap Aman Abdur Rahman, dan pada tulisan ini saya berusaha untuk tidak mengulang apa yang telah saya sebutkan dalam tulisan pertama.
Pertama :
Pada catatan kaki no: 1 pada halaman: 1, Aman mengatakan : Hal ini merupakan masalah yang sangat penting pada masa sekarang, sebagaimana pentingnya pembahasan syirik didalam Uluhiyah. Kita harus memberikan penjelasan yang sesuai porsinya untuk setiap masalah. Hal ini, merupakan metode yang dijalani oleh generasi salaf umat ini. Lihatlah, masalah Khalqul Qur’an, apakah pada zaman shahabat pembahasan ini santer atau tidak? Tentu tidak begitu santer, karena pada saat itu ummat seluruhnya iman akan setatus Al Qur’an sebagai kalamullah bukan makhluq. Lihat pula pada pada zaman Al Imam Syeikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah, pembahasan Tauhid Uluhiyah dan syirik, sangat santerm karena mayoritas umat terjerumus di dalamnya, dan sekarang, selain syirik didalam Uluhiyah, syirik di dalam Rububiyah pun, terutama masalah tahkimul qawaniin, sangat deras, lagi hampir merata, sehingga membutuhkan porsi yang lebih besar didalam pembahasannya. Dan ini namanya adil di dalam membahasa setiap permasalahan. Dan ulama kita telah melakukannya, sejak masalah ini muncul, yaitu saat Tatar menguasai negri kaum muslimin, kemudian sebagian masuk islam dan mulai membabat syari’at”.
Pada perkataan Aman ini, saya memiliki beberapa tanggapan :
1. Ia menyamakan antara pembahasan masala syirik dalam uluhiyyah dengan pembahasan masalah takfir (pengkafiran) orang-orang yang berhukum kepada selain hukum Allah. Hal ini merupakan bukti paling besar akan kebodohan Aman tentang manhaj salaf, bahkan agama islam secara umum, betapa tidak, permasalahan syirik dalam uluhiyyah (peribadatan) dari zaman dahulu, zaman Nami Nuh ‘alaihis-salaam hingga Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, merupakan pokok dan misi utama pada Rasul, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an
] وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ [ سورة النحل 36
“Dan sungguh telah Kami utus pada setiap ummat seorang utusan (Rasul), (untuk menyerukan):”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut”. (Surat An Nahl 36).
Syeikh Sulaiman bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Wahhab berkata tentang tauhid uluhiyyah :
وهذا التوحيد هو أول الدين وآخره، وباطنه وظاهره، وهو أول دعوة الرسل وآخرها، وهو معنى قول: لا إله إلا الله….فهو أول واجب وآخر واجب، وأول ما يدخل به الإسلام وآخر ما يخرج به من الدنيا.
“Dan tauhid inilah (tauhid uluhiyyah) yang merupakan awal dan akhir, batin dan lahirnya agama ini, dan tauhid inilah permasalahan pertama dan yang terakhir diserukan oleh para rasul, dan tauhid inilah makna dari persaksian LA ILAHA ILLALLAH, …. Sehingga dengan demikian, tauhid uluhiyyah adalah kewajiban paling pertama, dan paling terakhir, dan hal paling awal yang menjadikan seseorang masuk agama islam, dan hal yang paling akhir yang harus ia pegangi tatkala meninggalkan dunia ini (mati). (lihat Taisir Al Aziz Al Hamid 36-37).
Untuk lebih membuktikan akan kebodohan Aman, mari kita bersama-sama mendengarkan wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Mu’adz bin Jabal, tatkala beliau mengutusnya untuk berdakwah ke daerah Yaman :
(إنك تأتي قوما من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله) وفي رواية :( أن يوحدوا الله) وفي رواية ( عبادة الله).
“Sesungguhnya engkau kan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab, maka hendaknya hal pertama yang engkau serukan mereka kepadanya adalah persaksian LA ILAHA ILLALLAH”, dan dalam riwayat lain diriwayatkan dengan lafadl “agar mereka mengesakan Allah”, dan dalam riwayat lain diriwayatkan dengan lafadl“Beribadah kepada Allah”. (Hr Muttafaqun ‘Alaih).[3]
Sangat jelas bahwa, pada wasiat ini beliau memerintahkan Muadz agar memulai dakwahnya dengan tauhid uluhiyyah. Nah sekarang mari kita banding wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dengan apa yang dikatakan oleh Aman, ia mengatakan: “Hal ini merupakan masalah yang sangat penting pada masa sekarang, sebagaimana pentingnya pembahasan syirik didalam Uluhiyah”.
Lisanul hal (secara tidak langsung) Aman pada perkataannya ini, seakan-akan ingin mengucapkan kepada kita semua, bahwa wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz diatas, sudah tidak berlaku untuk zaman kita, karena sekarang telah muncul syirik baru, yaitu syirik dalam rububiyyah, terutama dalam hal tahkim qowanin.
Saya ingin bertanya kepada Aman, dan kepada orang yang sepemikiran dengannya:orang-orang yaman, yang Muadz bin Jabal radliallahu 'anhu, diutus untuk berdakwah disana, apakah mereka bertahkim (berhukum) dengan hukum Allah, ataukah dengan hukum lain? Bahkan orang-orang quraisy pada masa Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di kota Makkah, apakah mereka bertahkim dengan hukum Allah, atau tidak?
Bila engkau katakan, mereka berhukum dengan hukum Allah, maka itulah kebodohan paling bodoh, dan kalau engkau katakan mereka tidak berhukum dengan hukum Allah, maka apakah engkau hendak mengaku sebagi nabi baru, sehingga engkau menyelisihi wasiat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam?!!
2. Pada ucapan Aman : Lihatlah, masalah Khalqul Qur’an, apakah pada zaman shahabat pembahasan ini santer atau tidak? Tentu tidak begitu santer, karena pada saat itu ummat seluruhnya iman akan setatus Al Qur’an sebagai kalamullah bukan makhluq”Kenapa engkau katakan bahwa pembahasan: apakah Al Qur’ankalamulah atau makhluq, tidak begitu santer pada zaman sahabat? Padahal yang benar, permasalahan tersebut tidak pernah ada seorangpun yang membicarakannya pada zaman sahabat, apalagi sampai santer dibicarakan. Sebagai buktinya, mari kita simak bersama-sama salah satu perdebatan antara Imam Ahmad bin Hambal dengan Ibnu Abi Du’ad:
Ibnu Abi Du’ad berkata: Wahai syeikh, apa pendapatmu tentang Al Qur’an?, maka Imam Ahmad berkata: Engkau tidak adil, biarkan aku yang bertanya, maka Ibnu Abi Du’ad berkata: Silahkan bertanya:, maka Imam Ahmad berkata: Apa pendapatmu tentang Al Qur’an? Maka Ibnu Abi Du’ad menjawab: AL Qur’an adalah makhluq. Maka Imam Ahmad berkata: Apakah hal ini telah diketahui oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar Utsman, Ali, dan khulafa’ ar rasyidun, ataukah sesuatu yang belum pernah mereka ketahui? Maka Ibnu Abi Du’ad menjawab: Ini adalah sesuatu yang belum pernah mereka ketahui. Maka Imam Ahmad berkata:Subhanallah, sesuatu yang belum pernah diketahui oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak diketahui oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan juga Khulafa’ Ar Rasyidun, dan engkau ketahui? Maka Ibnu Abi Du’ad merasa malu, dan kemudian berkata: Kalau demikian maafkan aku, dan kita mulai pertanyaannya dari awal. Maka Imam Ahmad menjawab: Baiklah, apa pendapatmu tentang Al qur’an? Maka Ibnu Abi Du’ad menjawab: AL Qur’an adalah makhluq. Maka Imam Ahmad berkata: Apakah hal ini telah diketahui oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar Utsman, Ali, dan khulafa’ ar rasyidun, ataukah sesuatu yang belum pernah mereka ketahui? Maka Ibnu Abi Du’ad menjawab: Ini adalah sesuatu yang sudah mereka ketahui, akan tetapi mereka tidak pernah menyeru manusia kepadanya. Maka Imam Ahmad menjawab : Kenapa engkau tidak diam, sebagaimana mereka diam?. (lihat Manaqib Imam Ahmad oleh Ibnul jauzi 432).[4]
Inipun salah satu bukti akan jauhnya Aman dari manhaj salaf, bahkan merupakan isyarat bahwa Aman sebenarnya dalam tulisannya tersebut hanyalah membeo, dan taqlid, tanpa mengerti apa yang ia ucapkan.
3. Aman berkata : Lihat pula pada pada zaman Al Imam Syeikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah, pembahasan Tauhid Uluhiyah dan syirik, sangat santer karena mayoritas umat terjerumus di dalamnya”Ini bukti ketiga akan kebodohan Aman, seandainya ia membaca sejarah kehidupan masyarakat arab, terutama di jarirah arab pada zaman Syeikh Muhammad bin Abdil Wahhab, -sebelum berdirinya kerajaan Saudi Arabia- niscaya ia tidak akan mengatakan demikian.
Orang yang pernah membaca sejarah Jazirah Arab pada zaman beliau, akan tahu dan akan mengatakan bahwa perkataan Aman ini tak ubahnya sekedar igauan di siang bolong; karena sebelum berdirinya kerajaan saudi Arabia, Jazirah Arab dikuasai oleh kabilah-kabilah setempat, masing-masing berhukum dengan hukum kobilah tersebut, dan bukan dengan hukum Islam. Dinasti Utsmany –kala itu- hanya menguasai kota Makkah, Madinah, Ahsa’, Yaman, dan Kuwait, adapun selainya dibawah kekuasaan masing-masing kabilah.
Dan kalau diperhatikan dengan seksama, kita akan dapatkan bahwa situasi pada zaman beliau tidaklah jauh beda dengan apa yang sedang kita alami sekarang ini. Bahkan Dinasty Utsmany, satu-satunya khilafah islamiyyah yang ada pada zaman itu, memerangi dakwah Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, memerangi tauhid dan sunnah, karena khilafah Utsmaniyyah –pada saat itu- berdiri atas aqidah asy’ariyyah, dan menganut ajaran sufi. Bukan hanya pada awal dakwah syeikh, akan tetapi sampai setelah berdirinya kerajaan Saudi pertama. Kerajaan Saudi pertama hancur karena diserang pasukan khilafah Utsmaniyyah yang datang dari Mesir, begitu juga halnya kerajaan Saudi kedua, untuk lebih jelasnya silahkan baca buku “’Unwanul Majd Fi Tarikhi An Najed”.. Nah kalau kita lihat dengan pembagian Aman terhadap negara-negara yang ada, maka akan kita simpulkan bahwa Khilafah Utsmaniyyah, bukan negara islam lagi, akan tetapi negara kafir, dan kalau demikian, maka tidak ada lagi negara yang –menurut Aman- sebagai negara islam, sehingga hal ini membuktikan bahwa Aman bertentangan dengan dirinya sendiri. Ini juga sebagai bukti bahwa Aman tidak memahami apa yang ia tuliskan sendiri, kenapa demikian? Jawabannya tak lain dan tak bukan, karena Aman hanya menerjemahkan dan meringkas, kemudian menyebarkan, artinya ia hanya membeo.
Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahhab memulai dakwahnya dengan tauhid, dan bukan dengan usaha-usaha merebut kekuasaan, agar bisa menerapkan hukum Allah, karena beliau benar-benar faham dan mengerti bahwa cara dakwah yang seperti itulah yang dijalani dan diajarkan oleh Rasulullah dan sahabatnya. Adapun cara yang digariskan dan diajarkan oleh Aman, pada hakikatnya adalah caranya orang-orang khowarij, bukan caranya Ahlis Sunnah wal Jama’ah.
4. Aman mengatakan : Dan sekarang, selain syirik didalam Uluhiyah, syirik di dalam Rububiyah pun, terutama masalah tahkimul qawaniin, sangat deras, lagi hampir merata, sehingga membutuhkan porsi yang lebih besar didalam pembahasannya”.Saya katakan: wahai Aman, ucapanmu benar, sehingga saking meratanya perbuatan berhukum kepada selain hukum Allah, sampai-sampai (saya kira) dirumah bapakmu-pun tidak diterapkan hukum Allah, juga dirumah paman, dan karib kerabatmu, oleh karenanya, pada saat ini, saya ingin bertanya kepadamu wahai Aman: Sudahkah engkau memvonis mereka semua, sebagaimana engkau menvonis pemerintahan yang ada?
Wahai Aman, engkau harus menyadari bahwa kewajiban berhukum kepada hukum Allah bukan hanya atas pemerintah saja, akan tetapi kewajiban semua orang muslim, sebagaimana pemerintah diharamkan untuk berhukum kepada hukum selain Allah, kita sebagai masyarakat, juga diharamkan untuk mendatangi pengadilan atau meminta untuk diadili dengan hukum selain hukum Allah.
Bahkan berhukum dengan hukum Allah merupakan kewajiban setaip orang yang memiliki kekuasaan, baik kekuasaan umum, atau kekuasaan khusus, untuk lebih jelasnya, mari kita renungkan bersama sebab turunnya ayat 44 Surat Al Maidah:
Yaitu ketika ada seorang laki-laki dan seorang wanita yahudi -yang telah menikah- berzina, dihukumi oleh kaumnya dengan dilumuri wajahnya dengan arang dan kemudian diarak keliling, padahal dalam kitab At Taurat mereka hukuman zina adalah rajam. Dan ketika hal ini sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya kepada mereka: Dalam kitab At Taurat kalian, apa hukuman orang yang berzina: mereka menjawab: Kami mempermalukan mereka dihadapan orang umum, kemudian dicambuk, maka sahabat Abdullah bin Salam berkata kepada mereka: Kalian telah berdusta, sesungguhnya dalam At Taurat ada ayat tentang rajam, maka mereka mendatangkan At Taurat, lalu dibuka, akan tetapi salah seorang dari mereka meletakkan tangannya diatas ayat yang memerintahkan rajam, maka Abdullah bin Salam memerintahkannya untuk mengangkat tangannya, dan terlihatlah ayat tentang rajam, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan agar kedua orang yahudi tersebut dirajam.[5]
Dari kisah sebab turunnya ayat tersebut, kita bisa simpulkan bahwa berhukum kepada hukum Allah bukan hanya kewajiban pemerintah atau kholifah saja, akan tetapi merupakan kewajiban seluruh manusia, sebab orang-orang yahudi tersebut tidaklah memiliki negara, akan tetapi hanya sebuah kobilah, ditambah lagi kontek ayat tersebut umum, tidak ada batasan dengan pemerintah atau yang lainnya, maka barang siapa yang mengatakan bahwa ayat tersebut hanya berkenaan dengan pemerintah atau kholifah, maka ia harus mendatang dalil.
Untuk lebih memperjelas kesimpulan ini mari kita baca ayat 65 surat An Nisa’ :
(فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا)
“Maka demi Tuhammu, mereka tidaklah beriman, hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
Nah, sekali lagi saya bertanya: Sudahkah di rumah bapakmu, dan karib kerabatmu diterapkan hukum Allah?, kalau belum, sudahkan engkau memvonis mereka?
Bahkan dirimu, apakah belum menerapkan hukum Allah dengan baik, buktinya engkau telah berdusta dan dengan sengaja berbohong atas nama Syeikh Ibnu Baz, sebagaimana yang telah saya buktikan pada tulisan pertama, sudahkah engkau memvonis dirimu sendiri?
5. Aman mengatakan : Dan ulama kita telah melakukannya, sejak masalah ini muncul, yaitu saat Tatar menguasai negri kaum muslimin, kemudian sebagian masuk islam dan mulai membabat syari’at”Ucapan ini adalah bukti keempat akan kebodohan Aman, yang benar adalah : Para ulama’ telah membahas permasalahan tahkim, dan pelurusan pemahaman masalah pengkafiran orang yang berhukum kepada selain hukum Allah, semenjak nenek moyang Aman muncul dalam bentuk kelompok untuk pertama kali, yaitu pada zaman Ali bin Abi Tholib radliallahu 'anhu, tatkala orang-orang khowarij mengkafirkan Ali dan Mu’awiyah, karena keduanya dianggap telah berhukum kepada selain hukum Allah. Mari kita simak bersama penggalan kisah mereka :
Ibnu Abbas mengkisahkan kisah mereka: “Tatkala orang-orang haruriyyah (khowarij) telah bermunculan, mereka memisahkan diri dari kaum muslimin dengan berkumpul didaerah mereka, dan jumlah mereka adalah enam ribu orang, maka aku berkata kepada Ali bin Abi Tholib radliallahu 'anhu: Wahai Amirul mikminin, aku mohon engkau menunda pelaksanaan sholat dluhur, karena aku hendak mendatangi mereka dan menasehati mereka.
Maka Ali berkata : Aku takut atas dirimu.
Aku menjawab : Tidak akan terjadi apa-apa. Lalu aku berangkat menuju kepada mereka, dan mendatangi mereka pada saat pertengahan hari, sedangkan mereka sedang tidur siang, lalu aku mengucapkan salam kepada mereka, dan merekapun sepontan menjawab: Selamat datang, kami ucapkan untukmu, wahai Ibnu Abbas, apakah yang menjadikanmu datang kemari? Aku berkata kepada mereka : Aku datang kepada kalian dari sisi para sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menantunya, atas merekalah Al Qur’an diturunkan, sehingga mereka lebih tahu daripada kalian tentang tafsirnya, sedangkan tidak seorangpun diantara kalian yang tergolong dari mereka (sahabat), sungguh aku akan menyampaikan kepada kalian apa yang sebenarnya mereka katakan / yakini, dan hendaknya kalianpun menyampaikan apa yang kalian katakan / yakini. Lalu aku berkata kepada mereka : Apakah yang kalian benci dari sahabat Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan anak pamannya? Mereka menjawab : Ada tiga hal. Aku berkata : Apakah itu? Mereka menjawab : Adapun yang pertama : karena ia (Ali bin Abi Tholib) telah menjadikan seorang manusia sebagai hakim (berhakim) dalam urusan Allah, padahal Allah telah berfirman :
] إن الحكم إلا لله [
Artinya: “Tiadalah hukum / keputusan, kecuali hukum Allah”, apa urusan manusia dalam hukum Allah?……….Aku berkata kepada mereka : Adapun anggapan kalian, bahwa Ali telah berhakim kepada seorang manusia dalam urusan Allah, maka aku akan membacakan kepada kalian ayat dari Al Qur’an, yang menyatakan bahwa Allah telah menyerahkan hukumnya kepada manusia dalam urusan yang berharga seperempat dirham, dan Allah memerintakan agar mereka memutuskan dalam urusan tersebut, Allah berfirman :
] يا أيها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد وأنتم حرم ومن قتله منكم متعمدا فجزاء مثل ما قتل من النعم يحكم به ذوا عدل منكم [
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan, sedangkan kalian dalan keadaan berihram. Dan barang siapa yang dengan sengaja membunuhnya, maka hukumanya adalah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang adil diantara kalian”. (Surat Al Maidah 95), maka atas nama Allah Ta’ala, apakah keputusan manusia dalam seekor kelinci dan yang serupa dari binatang buruan lebih utama? Ataukah keputusan mereka dalam urusan pertumpahan darah dan perdamaian diantara mereka, sedangkan kalian tahu, bahwa seandainya Allah menghendaki, niscaya Ia akan memutuskan, dan tidak perlu menyerahkan keputusan (hukuman pembunuh binatang buruan dalam keadaan berihram) kepada manusia? Mereka menjawab: Tentau keputusan dalam hal pertumpahan darah dan perdamaian lebih utama. -Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya- Dan dalam urusan seorang istri dengan suaminya, Allah Azza wa Jalla berfirman:
] وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما[
Artinya: “Dan bila kalian khawatir ada persengketan antara keduanya, maka utuslah seorang hakim dari keluarga laki-laki (suami) dan seorang hakim dari keluarga wanita (istri). Jika keduanya menghendaki perbaikan, niscaya Allah memberikan taufiq kepada keduanya”. (Surat An Nisa’ 35). Maka, atas nama Allah, apakah keputusan manusia dalam urusan perdamaian antara mereka dan mencegah terjadinya pertumpahan darah diantara mereka lebih utama ataukah, keputusan mereka dalam urusan seorang wanita? Apakah aku sudah berhasil menjawab tuduhan kalian? Mereka menjawab : Ya……dst. (riwayat At Thabrani, Al Hakim, Al Baihaqi dll).[6]
Ini adalah salah satu usaha Aman, untuk menyesatkan ummat, yaitu menutupi sejarah awal mula munculnya pemahaman khowarij, dan ia kesankan, bahwa permasalahan ini muncul pada zaman Tatar. Dan setelah saya pikirkan, saya berpraduga bahwa Aman melakukan hal ini, untuk menutupi hubungannya dengan khowarij yang ada pada zaman Ali bin Abi Tholib. Akan tetapi usahanya ini, tidaklah mendatangkan hasil seperti yang dia impi-impikan. Untuk lebih jelasnya akan saya bahas pada pembahasan kesepuluh.
Kedua :
Aman mengatakan : ”Padahal tentang tahkim, merupakan hal serius yang perlu kejelasan ungkapan dan lontaran, bukan kalimat yang samar atau justru mengaburkan dan menyesatkan”.
Saya tidak tahu, apakah yang dimaksud oleh aman dengan kalimat yang samar dan justru mengaburkan dan menyesatkan, adalah fatwa-fatwa, penjelasan-penjelasan yang telah disebutkan oleh para ulama’ kita, dari semenjak nenek moyang khowarij muncul pertama kali dalam wujud sebuah kelompok, yaitu pada zaman Ali bin Abi Tholib, hingga zaman kita, yang kita dapatkan dalam karya-karya mereka, ataukah yang lainnya. Sebab permasalahan bertahkim / berhukum kepada selain hukum Allah bukanlah permasalahan yang baru, akan tetapi permasalahan yang telah tuntas dibahas oleh para ulama’ Ahlis Sunnah wal Jama’ah.
Yang menjadi permasalahan pada zaman kita, adalah orang-orang khowarij model milineum –Aman salah satu dari mereka-, yang berusaha menampilkan pemikiran mereka yang telah usang dan runtuh, dalam wujud baru, dan dengan penyampaian yang berbeda. Mereka dengan berbagai cara, berusaha mencocokkan keterangan para ulama’ dengan aqidah khowarij mereka, kadang kala dengan memotong perkataan, lain kesempatan dengan merubah kontek perkataan, memegangi perkataan yang mutlak (umum), dan berusaha menyembunyikan perkataan yang terperinci, dan itulah yang dilakukan oleh pahlawan tanpa jasa kita, Aman Abdur Rahman dalam tulisannya yang berjudulkan vonis ulama-ulama Ahlis Sunnah Terhadap Hukumah pembabat Syari’at, dan Fatwa-Fatwa Ulama Ahissunnah Tentang Perbuatan Syirik Karena Jahil”,sebagaimana telah saya buktikan hal tersebut pada tulisan saya yang pertama.
Betapa sombongnya engkau wahai Aman, dan betapa besarnya kepalamu, sehingga seluruh penjelasan ulama’ sebelummu engkau anggap kabur, samar, dan bahkan menyesatkan, Na’uzubillah minal hawa.
Ia merasa –dengan tulisan gelapnya- telah melakukan hal yang tidak pernah dilakukan oleh ulama’ sebelumnya, dari semenjak zaman sahabat hingga zaman sekarang. Betapa hebatnya dan betapa luasnya ilmu Aman, sehingga ia mengatakan hal tersebut.
Ketiga :
Aman mengatakan : Khowarij adalah firqoh sesat yang menyimpang karena sikap ifrath (berlebihan), sedangkan Murji’ah adalah firqah sesat yang menyimpang karena sikap tafrith (meremehkan), bahkan Murji’ah ini lebih berbahaya dari yang lainnya. Ibrahim An Nakha’i rahimahullah berkata :
لفتنتهم –يعني المرجئة- أخوف على هذه الأمة من فتنة الأزارقة
“Sungguh, fitnah mereka –maksudnya Murji’ah- lebih ditakutkan atas ummat ini, daripada fitnah Azariqah (khawarij). Ini tidak mengherankan, karena Murji’ah merupakan pendorong pembabat syari’at”.[7]
Para ulama’ mengatakan murji’ah lebih bahaya dibanding khowarij, dikarenakan kesalahan murji’ah lebih tersembunyi dibanding kesalahan khowarij, dan demikianlah selanjutnya, semakin suatu kesalahan atau bid’ah terselubung, sehingga tidak semua orang bisa mengetahuinya, bid’ah tersebut dikatakan lebih berbahaya.
Dan pada kesempatan ini, saya katakan: bahwa kesesatan Aman yang ia selubungi dengan nukilan-nukilan yang telah direkayasa dari para kibarul ulama’, lebih berbahaya dari kesalahan khowarij yang ada pada zaman dahulu; karena Aman mengesankan kepada pembaca, bahwa ia adalah seorang salafi, yang mengikuti pemahaman para ulama’ salaf, akan tetapi pada hakikatnya ia tak ubahnya bagaikan musang berbulu domba.
Keempat :
Aman mengatakan : Kedua kelompok tersebut sudah tentu tidak akan mengaku diri mereka termasuk kelompok bid’ah/sesat (menyimpang), bahkan mereka merasa memerangi kelompok bid’ah dan mengaku paling berada di atas sunnah. Sehingga orang murji’ah pada masa sekarang mengaku dirinya yang paling sesuai dengan sunnah, dan orang yang bertentangan dengan mereka di dalam masalah tahkim ini, mereka vonis sebagai Khawarij, padahal orang yang mereka vonis Khawarij itu adalah Ahlus Sunnah”.
Pada ucapannya ini, benar-benar Aman sedang mensifati dirinya sendiri, ia merasa bahwa ia sebagai pahlawan (pahlawan tanpa jasa), yang mengaku bahwa ia dan kelompoknya sedang menjelaskan dan menghilangkan kesamaran dan kekaburan yang ada pada penjelasan Ulama’ Ahlis Sunnah dalam masalah tahkim.
Yang lebih memilukan lagi, dalam penggalan perkataannya ini, ia mengaku telah menyelamatkan orang-orang Ahlis Sunnah dari tuduhan yang tidak benar. Dan pada kesempatan ini, saya menantang Aman : Wahai Aman sang pahlawan (pahlawan tanpa jasa), sebutkan contoh barang satu saja, orang yang dituduh sebagai khowarij, padahal ia adalah ahlis sunnah, siapa yang dituduh, dan siapa yang menuduh?
Bila engkau hanya berani beranggapan tanpa bukti, dan melemparkan perkataan tanpa ada kenyataan, maka itulah sifat dan kebiasaan ahlil bid’ah.
Kelima :
Aman berkata :  Bila suatu negara menegakkan hukum islam secara keseluruhan tanpa kecuali dan diperintah oleh orang-orang muslim, serta kebijakan ada ditangan mereka, maka negara tersebut adalah negara islam, meskipun mayoritas penduduknya orang-orang kafir, dan bila pemerintah itu adalah menegakkan hukum islam dengan benar, tanpa pandang bulu, maka itu adalah pemerintah muslim yang adil…..dst”.
Ini adalah macam pertama dari tiga macam pemerintah menurut pembagian Aman. Dan pada bagian pertama ini saya memiliki beberapa komentar :
1. Pemerintahan macam ini tidaklah ada, kecuali pada zaman khulafa’ur rasyidin, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut, dan seperti yang Aman katakan sendiri pada tulisannya ini.
تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون ملكا عاضّاً، فيكون ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون ملكا جبريّاً، فتكون ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة، ثم سكت.
“Kenabian akan berada di tengah-tengah kalian selama yang Allah kehendaki untuk berada ditengah kalian, kemudian Allah mengangkatnya ketika Allah kehendaki untuk mengangkatnya, kemudian akan ada khilafah yang berjalan diatas metode (manhaj) kenabian (khilafah nubuwwah), dan akan berlangsung selama kurun waktu yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya ketika Allah menghendakinya, kemudian akan ada kerajaan yang melakukan kedloliman, dan akan belangsung selama kurun waktu yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya ketika Allah menghendakinya, kemudian akan ada kerajaan yang diktator, dan akan belangsung selama kurun waktu yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya ketika Ia menghendakinya, kemudian akan ada khilafah yang berjalan diatas metode (manhaj) kenabian, kemudian beliau diam.[8]
Khilafah nubuwwah berakhir dengan terjadinya perdamaian antara Al Hasan bin Ali dengan Mu’awiyyah, dan Al Hasan menyerahkan kekuasaannya kepada Mu’awiyyah, dan semenjak itulah dimulai masa yang disebut oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai kerajaan yang melakukan kedloliman.
2. Aman mensifati, bila pemerintah tersebut menerapkan hukum islam dengan benar, tanpa pandang bulu, maka itu adalah pemerintah muslim yang adil, akan tetapi kenapa aman tidak menyebutkan dalam pemerintahan macam pertama ini, bila pemerintah tersebut ternyata dalam menerapkan hukum islam pandang bulu, atau berbuat kedloliman?. Sehingga Aman dalam pembagiannya ini tidak sistimastis, dan ini menunjukkan akan kebodohannya dalam membagi permasalahan.
3. Saya ingin bertanya: Bila pemerintah macam pertama ini, ternyata meyakini bolehnya berhukum dengan hukum selain hukum Allah, atau bahkan hukum selain hukum Allah sama atau lebih baik dari pada hukum Allah, walaupun ia sendiri tetap menerapkan seluruh hukum Allah tanpa terkecuali, dan tidak pernah ada pelanggaran sama sekali, apakah pemerintahan yang seperti ini masih juga engkau katakan sebagai pemerintah muslimah?? Bila engkau katakan sebagai pemerintah muslimah, maka itu membuktikan engkau orang bodoh, tidak pantas untuk berbicara dalam masalah besar seperti ini,; karena ulama’ telah sepakat, bahwa barang siapa yang menghalalkan sesuatu yang haram –yang sudah jelas keharamannya- maka ia kafir, dan kalau engkau katakan bukan pemerintah muslimah, maka ini menunjukkan bahwa permasalahannya bukan pada penerapan secara keseluruhan, akan tetapi pada penghalalan, dan ini membuktikan bahwa engkau bodoh dalam membuat definisi dan membagi permasalahan.
Pembagian macam ini, dinamakan dengan pembagian yang menyebar ( تقسيم منتشر) dan ini menunjukkan akan kebathilan pembagian ini, karena pembagian akan dikatakan benar bila mencakup seluruh permasalahan yang ada di dalamnya tanpa terkecuali, atau yang dinamakan dengan pembagian yang membatasi ( تقسيم حاصر), hal ini sebagaimana diketahui dengan baik oleh setiap orang yang tahu tentang ilmu ushul fiqh.
4. Ia berpegangan dengan keterangan Syeikh Abdur Rahman As Sa’diy, padahal telah saya buktikan dalam tulisan saya yang pertama, bahwa fatwa beliau berhubungan dengan negara Bahrain dan Iraq yang kala itu masih dibawah kekuasaan penjajah Inggris, - ini salah satu dari praktek manipulasi Amman Abdur Rahman -; sehingga Aman dalam pembagiannya ini tidak berdasarkan pada keterangan ulama’ atau dalil, akan tetapi ia datangkan dari koceknya sendiri. Dan hal ini tidak mengherankan dari Aman, karena ia telah menganggap dirinya sebagai pahlawan yang mampu melakukan hal yang tidak pernah dilakukan oleh ulama’ sebelumnya.
Keenam :
Aman mengatakan : Bila syariat islam masih menjadi acuan dan landasan hukum negara secara utuh, namun dia (hakim) menyimpang dari ketentuan yang berlaku di dalam kasus tertentu, sedangkan hukum syariat masih menjadi landasan dan hukum negri itu, dan dia juga mengetahui bahwa dirinya menyimpang dan berdosa karena penyimpangan ini, serta dia masih meyakini hukum islam itu adalah yang paling sempurna, maka dia itu adalah muslim yang dlalim atau muslim fasiq atu kufrun duna kufrin menurut Ahlus sunnah, sedangkan menurut firqah khawarij, hakim/ pemerintah itu adalah kafir”
Pada penggalan perkataan ini saya memiliki beberapa tanggapan :
1. Perkataan ini menunjukkan aman bodo dalam ilmu ushul fiqih, betapa tidak, dia tidak tahu bahwa pembagiannya ini tidak jelas, karena ia tidak menyebutkan batasan kasus tertentu tersebut, apakah itu hanya satu kali pelanggaran, atau dua atau sepuluh atau seratus.
2. Pembagian ini menunjukkan akan kebodohannya tentang manhaj Ahlis Sunnah dalam pengkafiran, karena perbuatan kekafiran tidak ada bedanya, dilakukan sekali atau berkali-kali, misalnya sujud kepada berhala, tidak ada bedanya antara ia sujud sekali atau berkali-kali.
3. Pembagian ini tidak bermakna sama sekali, karena akhirnya ia mengakui bahwa yang menghalalkan perbuatan berhukum kepada hukum selain hukum Allah, walau hanya sekali saja, ia dianggap telah kafir. Sehingga kalau permasalahannya tergantung dengan penghalalan, maka tidak ada bedanya antara satu kasus dengan dua kasus, atau lebih.
4. Pembagian ini, menjadikan kita bertanya kepada Aman: Negara manakah yang engkau anggap sebagai negara yang muslimah, dan bukan negara kufrun duna kufrin?
5. Aman dalam pembagiannya ini tidak menyebutkan ulama’ siapa yang pernah melakukan pembagian serupa, bahkan saya berani memastikan bahwa tidak ada seorang ulama’ pun yang melakukan hal ini. Sehingga dengan demikian Aman memiliki manhaj tersendiri yang tidak pernah ditempuh oleh ulama’ sebelumnya, dan Aman telah menobatkan dirinya sebagai seorang mujtahid muthlaq abad ke-21.
Ketujuh :
Aman berkata: Bila suatu negara membabat hukum islam dan menyingkirkannya, kemudian mereka menerapkan (qawaniin wadl’iyyah/ undang-undang buatan manusia), baik dari Belanda, Amerika, Portugal, Inggris, atau yang lainnya, maka pemerintah itu adalah pemerintah kafir dan negaranya adalah negara kafir, meskipun mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin. Sholat, shaum, zakat dan ibadah dhahir lainnya yang masih dilakukan oleh para penguasa tersebut, ataupun nama islam yang mereka sandang itu tidak ada manfaatnya, jika mereka tetap bersikukuh di atas prinsip itu, sebab mereka telah kafir lagi murtad, dan negaranya adalah negara kafir.”
Pada penggalan perkataan Aman ini saya memiliki beberapa tanggapan:
1. Aman mengesankan bahwa pembagian yang demikian ini ia dapatkan dari Syeikh Abdur Rahman As Sa’diy, dan Abdul Aziz ibni Baz, dan Muhammad Hamid Al Faqy, padahal, perkataan Syeikh Abdur Rahman As Sa’diy telah saya buktikan berhubungan dengan Bahrain dan Iraq pada masa penjajahan Inggris, sehingga tidak ada hubungannya dengan permasalahan kita.
Adapun perkataan Syeikh Ibni Baz, maka perkataan beliau disampaikan dalam rangka membantah seruan sebagian pemimpin negri-negri arab untuk bersatu atas dasar ras arab, bukan atas dasar islam, dalam menghadapi musuh-musuh islam (israel cs). Ditambah lagi, di dalam ungkapan beliau yang ia nukilkan, ada satu kata yang tidak dicermati oleh Aman, yang pada hakikatnya menghancurkan keyakinan Aman sendiri, yaitu kata ( ولا ترضاه “Dan tidak rela / ridlo), mari kita amati bersama ungkapan beliau :
وكل دولة لا تحكم بشرع الله ولا تنصاع لحكم الله ولا ترضاه فهي دولة جاهلية كافرة ظالمة فاسقة بنص هذه الآيات المحكمات …
“Dan setiap negara yang tidak berhukum dengan syari’at Allah, dan tidak tunduk kepada hukum Allah, serta tidak ridlo dengannya, maka itu adalah negara jahiliyyah, kafirah, dholimah, fasiqah dengan penegasan ayat-ayat muhkamat ini….”.[9]
Tidak ridlo, artinya membenci, dan orang yang membenci penerapan hukum islam, tidak diragukan lagi akan kekufurannya; sehingga Aman dalam pembagian ini benar-benar tidak mengikuti ulama’, akan tetapi mengikuti wangsit atau ilham yang ia terima dari qorinnya dari kalangan orang-orang khowarij yang sedang gentayangan di rimba.
2. Saya tidak tahu apa yang dimaksud oleh Aman, dengan kata-kata (membabat hukum islam, dan menyingkirkannya), apakah yang ia maksud, negara tersebut tidak menerapkan sama sekali, walau hanya dalam satu permasalahan, ataukah yang ia maksud negara tersebut dalam kebanyakan hukumnya tidak menerapkan hukum islam.
Bila yang ia maksud adalah yang pertama, maka saya tidak tahu, apakah ada sebuah negara yang pemimpinnya mengaku muslim, melakukan hal itu, sebab yang saya tahu dan yang ada, tidaklah ada sebuah negara yang pemimpinnya seorang muslim, kecuali menerapkan hukum islam dalam beberapa permasalahan, misalnya dalam hal warisan, pernikahan, membangun masjid, membentuk departemen agama yang mengatur pelaksanaan haji dll.
Dan kalau yang ia maksud adalah yang kedua, maka Aman tidak menyebutkan berapa batasannya, sehingga bisa dibedakan negara yang tergolong dalam macam ketiga ini, dan negara yang tergolong dalam macam kedua. Dan saya bisa memastikan Aman tidak bisa memberikan batasan, sebab ia membuat pembagian ini dengan seenak perutnya, bukan mengikuti penjelasan ulama’ Ahlis Sunnah.
3. Kemudian Aman –seperti yang pernah saya ungkapkan- berusaha menjadikan perkataan Syeikh Ibni Baz yang muthlak ini sebagai hujjahnya, dan enggan menyebutkan perkataan beliau yang terperinci, sebagaimana yang telah saya sebutkan pada tulisan saya yang pertama. Inilah sifat Ahlil Bid’ah, selalu berusaha mengikuti dan berpegangan dengan hal-hal yang mutasyabih (samar) atau umum, atau muthlak, dan meninggalkan yang terperinci.
Kedelapan :
Aman mengatakan : Bahkan vonis kafir murtad berlaku bagi hakim (pemerintah) yang menerapkan mayoritas hukum islam, namun di dalam masalah tertentu (umpamanya di dalam masalah zina) dibaut undang-undang buatan yang bertentangan dengan islam, sehingga setiap yang berzina tidak dikenakan hukum islam, tetapi terkena undang-undang itu, maka sesuai aqidah Ahlus sunnah, si hakim itu adalah kafir murtad juga, bahkan meskipun si hakim (pemerintah) tersebut mengatakan bahwa hukum islam yang paling adil dan kami salah”
Pada penggalan perkataan ini saya memiliki beberapa tanggapan:
1. Saya ingin bertanya : Apakah Kerajaan Saudi yang pernah berbuat baik padamu, dengan menerimamu disalah satu sekolahannya, memberikanmu berbagai fasilitas, juga negara kafir?? Sebab Kerajaan Saudi masih memiliki undang-undang yang membolehkan adanya bank-bank yang menjalankan riba. Dan kalau engkau katakan mereka telah kafir, lalu kenapa engkau menukilkan fatwa Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, Muhammad bin Ibrahim Alus Syeikh, Al Fauzan dll, padahal mereka itu semua adalah anggota kibarul ulama’ yang digaji, dan bahkan sebagai pemberi fatwa kerajaan tersebut (pegawai kerajaan)? Dan bila engkau tidak mengkafirkan mereka, maka ini membuktikan engkau bertentangan dengan dirimu sendiri?
Wahai Aman! Orang-orang yang tulisannya engkau jadikan referensi, (penulis kitabtahkimul qawanin, sholah as shawiy, Muhammad Abdul Hadi Al Mishri, Abdullah Al Qarni dll) memang sedang ingin mencapai pada permasalahan ini (pengkafiran pemerintah Saudi Arabia), sehingga ada alasan untuk memberontak dan merebut kekuasaan, akan tetapi yang aneh, dan mengherankan, apa yang ingin engkai capai dan engkau angan-angankan dari tulisan ini? Apakah engkau juga berangan-angan untuk memberontak dan merebut kekuasaan???!! Oleh karena itu sadarlah wahai Aman dari kelalaianmu, dan waspadalah dari berbagai perangkap ahlil bid’ah, jadilah seorang muslim, yang sebenarnya, cerdas, jeli, dan waspada, kata orang:
المؤمن كيس فطن حذر
“Orang yang beriman adalah orang yang cerdik, jeli, dan waspada”.[10]
2. Dalam perkataannya ini Aman tidak menyebutkan dari mana ia menyimpulkan demikian, sebab ia hanya menukilkan perkataan Syeikh Muhammad bin Ibrahim Alus Syeikh, yang tidak sama dan tidak semakna dengan apa yang ia simpulkan. Marilah kita sama-sama menyimak perkataan beliau yang dinukilkan oleh Aman :
أما الذي جعل قوانين بترتيب وتخضيع فهو كفر وإن قالوا أخطأنا وحكم الشرع أعدل
“Adapun hukum yang dijadikan undang-undang dengan begitu tertib dan rapi, maka itu adalah kekufuran, meskipun mereka mengatakan “Kami mengaku salah dan hukum syariat itu lebih adil”.
Dalam perkataan beliau ini, beliau sedang menghukumi perbuatan (Al-hukmul muthlak), dan bukan sedang menghukumi pelakunya (Al-hukmu ‘Alal Mu’ayyan).
3. Syeikh Muhammad bin Ibrahim memiliki perkataan yang lebih terperinci, sehingga perkataan beliau yang meuthlak harus ditafsiri dengan perkataan yang terperinci, beliau berkata :
وكذلك تحقيق معنى محمد رسول الله؛ من تحكيم شريعته والتقيد بها ونبذ ما خالفها من القوانين والأوضاع وسائر الأشياء التي ما أنزل الله بها من سلطان، والتي من حكم بها (يعني القوانين الوضعية) أو حاكم إليها معتقدا صحة ذلك وجوازه فهو كافر الكفر الناقل عن الملة، وإن فعل ذلك بدون اعتقاد ذلك وجوازه فهو كافر الكفر العملي الذي لا ينقل عن الملة.
“Dan demikianlah halnya dengan realisasi makna persaksian “Muhammad Rasulullah”; dalam wujud menerapkan syari’atnya, dan konsisten dengannya, meninggalkan setiap yang bertentangan dengannya, yang berupa peraturan, undang-undang, dan segala sesuatu yang tidak ada dalilnya, yang barang siapa berhakim dengannya (maksudnya undang-undang buatan) atau berhukum kepadanya, dengan keyakinan hal itu dibenarkan, atau dibolehkan, maka ia kafir dengan kekufuran yang menjadikannya keluar dari agama. Adapun bila ia melakukannya tanpa disertai oleh keyakinan dibenarkannya perbuatan tersebut atau dibolehkannya, maka ia telah kafir dengan kufur amali, yang tidak sampai menjadikannya keluar dari agama”. (Lihat Majmu’ Fatawa beliau 1/80).[11]
4. Pembagian Aman ini bertentangan dengan hadits berikut :
عن حابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم حين مات النَّجاشي: (مات اليوم رجل صالح، فقوموا فصلوا علي أخيكم أصحمة) متفق عليه
Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdillah radliallahu 'anhu, ia menuturkan: tatkala An Najasyi meninggal, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Sesungguhnya pada hari ini seorang laki-laki yang sholeh meninggal dunia, maka berdirilah kalian dan sholatkanlah saudaramu Ashhamah”. (Bukhori & Muslim).[12]
Nah sekarang saya bertanya kepada Aman dan dedengkot gerombolan khowarij yang sedang berusaha menyusup: Apakah An Najasyi juga telah kalian vonis sebagai orang yang kafir, karena ia tidak menerapkan hukum islam di negrinya, ataukah hadits ini telah kalian hapus dari kitab-kitab hadits, sehingga kalian tak sudi untuk melihat dan merenungkannya?
Mungkin dari orang-orang yang kerdil akalnya akan berkata : An Najasyi tidak divonis kafir karena ia tidak mampu untuk menerapkan hukum islam, beda halnya dengan pemerintahan yang ada pada zaman sekarang, terlebih-lebih pemerintahan yang mayoritas penduduknya kaum muslimin, bahkan mereka menuntut agar diterapkan hukum islam.
Maka saya katakan kepada mereka -yang dengan perkataannya ini menunjukkan kepada kita semua, akan jati diri mereka, mereka bagaikan katak dalam tempurung-: Bukankah para pemerintahan yang ada sekarang juga merasa takut untuk menerapkan syari’at, takut dibunuh, digulingkan, diserang negara lain, dan banyak alasan lagi. An Najasyi takut untuk digulingkan, begitu juga pemerintah yang ada sekarang, takut untuk digulingkan, dan bahkan diserang oleh negara lain. Bukankah anda pernah dengar seorang yang bernama Zhiyaul Haq, dan kisah kenapa ia dibunuh?
Kesembilan :
Aman mengatakan pada hal. 8 : Beliau jelaskan bahwa seseorang yang berpaling dari hukum Allah ta’ala dan justru membuat hukum (undang-undang) sendiri, atau mengambil hukum dari yang lain, hal ini berarti dengan sepontan orang itu berkeyakinan bahwa undang-undang buatan itu lebih baik, meskipun dia mengingkari dengan lisannya, namun lisanul haal (perbuatan) menunjukkan sebaliknya”
Ini adalah salah satu dari sekian banyak pencurian yang dilakukan oleh Aman, dia memenggal perkataan Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, sehingga terkesan mendukung apa yang sedang ia perjuangkan, akan tetapi -Alhamdulillah- pencurian ini telah saya beberkan dalam tulisan saya yang pertama, dan akan saya ulang disini untuk mengingatkan pembaca yang budiman :
Syeikh Al Utsimin berkata :
ومن لم يحكم بما أنزل الله وهو لم يستخف ولم يحتقره ولم يعتقد أن غيره أصلح منه وأنفع للخلق، وإنما حكم بغيره تسلطا على المحكوم عليه أو انتقاما منه لنفسه أو نحو ذلك، فهذا ظالم وليس بكافر، ويختلف مراتب ظلمه حسب المحكوم به ووسائل الحكم.
ومن لم يحكم بما أنزل الله لا استخفافا ولا احتقارا ولا اعتقادا أن غيره أصلح وأنفع للخق وإنما حكم بغريه محابة للمحكوم له أومراعاة للرشوة أو غيرها من عرض الدنيا، فهذا فاسق وليس بكافر، وتختلف مراتب فسقه بحسب المحكوم به ووسائل الحكم.
قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله فيمن اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله أنهم على وجهين:
أحدهما : أن يعلموا أنهم بدلوا دين الله فيتبعونهم على التبديل ويعتقدون تحليل ما حرم وتحريم ما أحل الله اتباعا لرؤسائهم مع علمهم أنهم خالفوا دين الرسل، فهذا كفر، وقد جعله الله ورسوله شركا
الثاني: أن يكون اعتقادهم وإيمانهم –بتحليل الحرام وتحريم الحلال- ثابتا، لكنهم أطاعوهم في معصية الله كما يفعل المسلم ما يفعله من المعاصي التي يعتقد أنها معاصي، فهؤلاء لهم حكم أمثالهم من أهل الذنوب.
“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, sedangkan ia tidak meremehkanya (hukum Allah), tidak menghinakannya, dan tidak meyakini bahwa hukum selainnya lebih maslahat dan lebih bermanfaat, hanya saja ia berhukum dengan selain hukum Allah, karena ingin menyakiti orang yang ia hukumi, atau dalam rangka balas dendam pribadinya dari orang tersebut, atau alasan yang serupa, maka orang ini adalah orang dlalim, dan bukan orang kafir. Dan tingkatan kedlalimannya berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan hukum yang ia gunakan dan cara-cara yang ia gunakan untuk menghukumi.
Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, sedangkan ia tidak meremehkanya (hukum Allah), tidak menghinakannya, dan tidak meyakini bahwa hukum selainnya lebih maslahat dan lebih bermanfaat, hanya saja ia berhukum dengan selain hukum Allah, hanya saja ia berhukum dengan selain hukum Allah karena untuk mencari muka dihadapan orang yang ia menangkan dalam perhukumannya, atau karenarisywah (suap), atau kepentingan duniawi lainnya, maka orang ini adalah fasiq dan bukan orang kafir. Dan tingkatan kefasiqannya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan hukum yang ia gunakan dan cara-cara yang ia gunakan untuk menghukumi.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengomentari tentang orang yang menjadikan ulama’ dan pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, bahwasannya mereka terbagi menjadi dua golongan :
Pertama : Mereka mengetahui bahwa ulama’ dan pendeta tersebut merubah agama Allah, kemudian mereka mengikutinya dalam perubahan tersebut, dan meyakini akan kehalalan sesuatu yang diharamkan dan keharaman sesuatu yang dihalalkan Allah, dikarenakan mengikuti pemimpin-pemimpin mereka, padahal mereka menyadari bahwa mereka bertentangan dengan agama para Rasul, maka perbuatan ini adalah perbuatan kafir, dan telah dianggap sebagai kesyirikan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kedua : Keyakinan dan iman mereka dalam hal – penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal - tetap kokoh (tidak berubah), akan tetapi mereka menuruti para ulama’ dan pendeta dalam perbuatan maksiat kepada Allah, sebagaimana seorang muslim yang melakukan perbuatan maksiat, yang ia yakini bahwa perbuatan tersebut adalah maksiat, maka golongan ini, hukumnya seperti hukumnya orang yang serupa dengan mereka dari para pelaku maksiat.”
Bahkan perkataan Aman ini merupakan inti dari aqidah khowarij, yaitu setiap yang melakukan perbuatan dosa besar, ia telah kafir, dan bukan sebagai manhaj Ahlis Sunnah, karena menurut ahlis sunnah, pelaku dosa besar tidaklah dikafirkan, kecuali bila dia meyakini halalnya perbuatan tersebut. Beda halnya dengan khowarij, mereka mengatakan, bahwa pelaku dosa besar secara otomatis menjadi kafir, karena perbuatan lahir –menurut mereka- menunjukkan akan keyakinan menghalalkan.
Kesepuluh :
Setelah menyebutkan perkataan di atas, Aman mengatakan Inilah yang dinamakan di dalam manhaj Ahlus Sunnah dengan istilah At Talaazum bainadhdhahir wal Bathin (kaitan antara dhahir dan bathin, dan hal ini berbeda dengan Murji’ah”Kemudian pada catatan kaki ia nisbatkan hal ini kepada Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dalam Majmu’ Fatawa 7/187, padahal pada perkataan beliau tidak ada sedikitpun hubungannya dengan permasalahan tahkim, akan tetapi beliau sedang membicarakan akan hakikat iman, bahwa asal dan dasar iman adalah hati, bila hati baik dan kuat, pasti akan nampak pengaruhnya pada perbuatan anggota badan, beliau berkata :
ثم القلب هو الأصل، فإذا كان فيه معرفة وإرادة، سرى ذلك إلى البدن بالضرورة، لا يمكن أن يتخلَّف البدن عما يريده القلب، ولهذا قال النبي e في الحديث الصحيح: (ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح لها سائر الجسد، وإذا فسدت فسد لها سائر الجسد، ألا وهي القلب).
“Kemudian, hati adalah pokok / dasar, maka apabila di dalam hati terdapat pengertian dan keinginan, niscaya hal itu akan menjalar kepada seluruh anggota badan –dengan pasti-, tidak mungkin anggota badan tidak melaksanakan apa yang diinginkan oleh hati, oleh karena itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shohih bersabda:“Ketahuailah, bahwa sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal darah, bila ia baik, niscaya seluruh jasad akan baik, dan bila rusak, niscaya seluruh jasad akan rusak, ketahuilah bahwasannya (segumpal darah) itu adalah hati (jantung).
Pembaca yang budiman, silahkan lihat, apakah dalam perkataan Syeikhul Islam di atas ada hubungannya dengan masalah tahkim ? Apalagi pengkafiran orang yang tidak bertahkim dengan syari’at.
Wahai Aman, mari saya tunjukkan kepadamu perkataan beliau yang enggan engkau nukil, bahkan engkau dan yang semisal denganmu berangan-anggan agar perkataan beliau berikut dihapuskan dari kitab beliau:
قال شيخ الإسلام ابن تيمية : إن شعب الإيمان قد تتلازم عند القوة ولا تتلازم عند الضعف، فإذا قوي ما في القلب من التصديق والمعرفة والمحبة لله ورسوله، أوجب بغض أعداء الله، كما قال تعالى ] ولو كانوا يؤمونون بالله والنبي وما أنزل إليه ما اتخذوهم أولياء [ وقال ] لا تجد قوما يؤمنون بالله واليوم الآخر يوادون من حاد الله ورسوله، ولو كانوا آباءهم أو أبناءهم أو إخوانهم أو عشيرتهم أولئك كتب في قلوبهم الإيمان وأيدهم بروح منه[، وقد تحصل للرجل موادتهم لرحم أو حاجة، فتكون ذنبا ينقص به إيمانه ولا يكون به كافرا، كما حصل من حاطب بن أبي بلتعة، لما كاتب المشركين ببعض أخبار النبي e وأنزل الله فيه ] يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة[.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Sesungguhnya cabang-cabang keimanan, kadang-kadang saling berkaitan disaat iman kuat, dan kadang kala tidak saling berkaitan, disaat iman lemah. Dan bila pembenaran, pengertian, dan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya telah menjadi kuat dalam hati (seseorang), maka iman yang demikian ini mendatangkan rasa kebencian kepada musuh-mush Allah, sebagaimana Allah firmankan,:” Dan seandainya mereka beriman kepada Allah dan kepada Nabi, serta kepada wahyu yang diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak menjadikan orang-orang musyrikin sebagai penolong (wali-wali). (Al Maidah 81) Dan Allah berfirman: “Engkau tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling bekasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang tersbeut adalah bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, atau keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya”. (Surat Al Mujadilah 22). Dan kadang kala bisa terjadi seseorang berkasih sayang dengan mereka, disebabkan adanya tali persaudaraan, atau keperluan,sehingga perbuatan ini merupakan dosa yang menjadikan imannya berkurang, dan tidak menjadikannya kafir, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Hathib ibni Abi Balta’ah, tatkala ia menuliskan surat kepada orang musyrikin, membocorkan sebagian rahasia (berita) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan Allah turunkan tentangnya firman-Nya :”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai (teman setia) penolong, yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang”. (lihat Majmu’ Fatawa 7/522-523).
Sudahkah engkau melihat dan memahami perkataan beliau ini, wahai Aman??
Bila engkau sudah memahaminya, mari akan saya tunjukkan kepadamu perkataan beliau juga, yang akan membuktikan bahwa talazum yang engkau sebut-sebut adalahtalazum ahlil bid’ah, dan bukan talazum yang dimiliki oleh Ahlis Sunnah, sebagaimana yang engkau sangkakan:
ثم قال الخوارج والمعتزلة: الطاعات كلها من الإيمان، فإذا ذهب بعضها ذهب بعض الإيمان، فذهب سائره، فحكموا بأن صاحب الكبيرة ليس معه شيئ من الإيمان، وقالت المرجئة والجهمية: ليس الإيمان إلا شيئا واحدا لا يتبعض، إما مجرد تصديق القلب كقول الجهمية أو تصديق القلب واللسان كقول المرجئة، قالوا لأنا إذا أدخلنا فيها الأعمال صارت جزءً منه، فإذا ذهبت ذهب بعضه، فيلزم إخراج ذي الكبيرة من الإيمان، وهو قول المعتزلة والخوارج، لكن قد يكون له لوازم ودلائل فيستدل بعدمه على عدمه.
“Kemudian orang-orang khowarij dan mu’tazilah berkata: amalan-amalan ketaatan seluruhnya bagian dari iman, dan bila sebagiannya hilang, maka akan hilang sebagian keimanan, dan akibatnya akan hilanglah seluruh keimanan, sehingga mereka memvonis pelaku dosa besar, bahwa ia tidak memiliki keimanan sedikitpun, dan orang-orang murji’ah dan Jahmiyyah mengatakan: Tidaklah keimanan kecuali satu kesatuan yang tidak bisa terbagi-bagi, baik itu berupa pembenaran hati semata, sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang jahmiyyah, atau berupa pembenaran hati dan ucapan lisan, sebagaimana diyakini oleh orang-orang murji’ah, mereka berdalih: karena bila kita memasukkan amalan ke dalam hakikat iman, maka amalan akan menjadi bagian dari iman, dan bila amalan hilang, akan hilanglah sebagian iman, dan ini mengharuskan kita untuk mengeluarkan pelaku dosa besar dari keimanan, dan inilah perkataan mu’tazilah dan khowarij, akan tetapi iman memiliki beberapa konsekwensi dan pertanda, yang dengan tidak didapatkannya konsekwensi dan pertanda tersebut , kita mengetahui akan telah hilangnya keimanan. (Majmu’ fatawa 7/510)
Inilah talazum yang engkau dengung-dengungkan, talazum-nya orang mu’tazilah dan khowarij, ini bukti jelas bahwa usahamu untuk menutupi hubungan pemikiranmu dengan pemikiran khowarij zaman dahulu gagal total, bahkan tidak mendatangkan hasil sedikitpun.
Sudahkah engkau menyadari siapa jati dirimu, wahai Aman??
Kesebelas :
Aman mengatakan : ” Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa bila satu kaum, satu kelompok, satu negara (pemerintahan) yang orang-orangnya mengaku muslim, dan mereka itu melaksanakan sebagian syaria’at islam, dan bahkan mengakui seluruh syari’at islam, namun mereka menolak melaksanakan salah satu kewajiban yang jelas atau menolak meninggaklan salah satu yang diharamkan dengan jelas, maka kelompok yang menolak tersebut wajib diperagi oleh imam kaum muslimin, sampai tunduk kepada aturan secara keseluruhan. Di dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat di antara Ahlus Sunnah, dengan dalil, bahwa para sahabat semua ijma’ untuk memerangi kaum yang menolak membayar zakat dan para sahabat radliyallaahu ‘anhum tidak pernah bertanya apakah mereka itu mengingkari kewajibannya atau tidak. Dan justru mereka menggolongkan kaum yang menolak membayar zakat itu sebagai kaum murtaddun. Hal ini dikarenakan mereka ( yaitu orang-orang yang menolak membayar zakat) tidak melakukan hal itu, kecuali setelah ada kesepakatan sebelumnya diantara mereka, sehingga para ulama muhaqqiqin menyatakan bahwa mereka bukan orang-orang islam. Masalahnya menjadi berbeda, bila sifatnya individu, maka ini tidak dianggap murtad selama dia meyakini wajibnya zakat. Maka apa gerangan dengan pemerintah yang menolak syari’at islam dan membuat undang-undang di luar islam, seperti negeri-negeri yang banyak dihuni mayoritas kaum muslimin ini?”
Pada penggalan perkataan ini, saya memiliki beberapa tanggapan :
1. Aman mengatakan bahwa para sahabat tidak pernah bertanya apakah mereka itu mengingkari kewajibannya atau tidak, dan ia nisbatkan ini kepada Ibnu Taimiyyah, akan tetapi ini adalah salah satu kecerobohan Aman dalam berbicara, mari kita lihat pernyataan beliau dalam Majmu’ Fatawa 28/519, berikut:
وقد اتفق الصحابة والأئمة بعدهم على قتال مانعي الزكاة وإن كانوا يصلون الخمس ويصومون شهر رمضان،وهؤلاء لم يكن لهم شبهة سائغة، فلهذا كانوا مرتدين، وهم يقاتلون على منعها وإن أقروا بالوجوب كما أمر الله، وقد حكي عنهم أنهم قالوا: إن الله أمر نبيه بأخذ الزكاة بقوله (خذ من أموالهم صدقة) وقد سقطت بموته.
“Dan sungguh para sahabat dan imam-imam setelah mereka telah sepakat untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, walaupun mereka menunaikan sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, dan mereka itu tidak memiliki subhat yang bisa dibenarkan, oleh karena itu mereka adalah orang-orang yang murtad, dan mereka wajib diperangi karena enggan membayarnya, walaupun mereka mengakui akan kewajibannya, sebagaimana yang diperintahkan Allah, dan dikisahkan dari mereka, bahwa mereka beralasan: sesungguhnya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk memungut zakat dengan firman-Nya :”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka” (At Taubah 103), dan kewajiban zakat telah gugur dengan kematian beliau”.
Kita dapat melihat perbedaan yang sangat jauh antara apa yang diutarakan oleh Aman dengan apa yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyyah.
Silahkan lihat pula keterangan Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah 6/315, beliau juga menyebutkan bahwa orang yang enggan membayar zakat mengatakan bahwa kewajiban zakat telah gugur dengan kematian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Hajar dalam fathul Bari mendudukkan permasalahan ini dengan jelas, beliau menyebutkan seperti yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah, bahwa orang-orang yang enggan membayar zakat benar-benar mengingkari kewajiban zakat, sehingga mereka dikatakan telah kafir, dan pada kesempatan ini Abu Bakar tidak memaafkan orang-orang bodoh dari mereka, karena mereka telah bergabung dan bersiap-siap untuk mengadakan perlawanan terhadap Khalifah, untuk lebih jelasnya silahkan baca Fathul Bari 12/277 dst.
2. Aman mengatakan : Masalahnya menjadi berbeda, bila sifatnya individu, maka ini tidak dianggap murtad selama dia meyakini wajibnya zakat.”
Saya ingin bertanya kepada Aman, : Dari mana engkau dapatkan pembedaan Syeikhul Islam antara individu dan kelompok, dalam pengkafiran?
Mari kita lihat bersama penyataan beliau dalam majmu’ fatawa 28/308 :
فإن كان التاركون طائفة ممتنعة قوتلوا على تركها بإجماع المسلمين، وكذلك يقاتلون على ترك الزكاة والصيام وغيرها وعلى استحلال المحرمات الظاهرة المجمع عليها … وإن كان التارك للصلاة واحدا فقد قيل: إنه يعاقب بالضرب والحبس حتى يصلِّي، وجمهور العلماء على أنه يجب قتله إذا امتنع من الصلاة بعد أن يستتاب، فإن تاب وصلى وإلا قتل، وهل يقتل كافرا أو مسلما فاسقا؟ فيه قولان: وأكثر السلف على أنه يقتل كافرا، وهذا كله مع الإقرار بوجوبها، أما إذا جحد وجوبها فهو كافر بإجماع المسلمين، وكذلك من جحد سائر المذكورات والمحرمات التي يجب القتال عليها.
“Apabila orang yang meninggalkan sholat adalah sebuah kelompok yang berkekuatan, maka wajib diperangi karena mereka meninggalkan sholat, dan demikian pula, mereka juga diperangi karena meninggalkan zakat, puasa dan lainnya, dan karena menghalaknan yhal yang diharamkan yang telah diketahui bersama dan disepakati oleh para ulama’ …akan tetapi bila yang meninggalkan sholat adalah satu orang, maka sebagia berpendapat ia dihukumi dengan dipukul, dipenjara hingga ia mau menunaikan sholat, dan kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa ia harus dibunuh, bila enggan menunaikan sholat, tentunya setelah disuruh untuk bertaubat, dan bila ia bertaubat (maka dilepaskan), dan kalau tidak ia dibunuh. Dan apakah ia dibunuh dalam keadaan kafir atau muslim yang fasik? Ada dua pendapat, dan kebanyakan ulama’ salaf berpendapat bahwa ia dibunuh dalam keadaan kafir, ini semua bila ia masih meyakini akan kewajiban sholat. Adapun bila ia mengingkari akan kewajibannya, maka ulama’ sepakat bahwa ia telah kafir, dan demikin pula halnya orang yang menentang hal-hal yang disebut diatas, dan hal-hal yang diharamkan yang mengharuskan kita berperang karenanya.”
Jadi yang dibedakan oleh Syeikhul Islam adalah masalah perang, bukan masalah pengkafiran.
3. Aman berkata : Maka apa gerangan dengan pemerintah yang menolak syari’at islam dan membuat undang-undang di luar islam, seperti negeri-negeri yang banyak dihuni mayoritas kaum muslimin ini?”.
Apakah yang engkau maksud dengan negeri-negeri yang banyak dihuni mayoritas kaum muslimin ini, adalah pemerintah Indonesia? Kalau memang itu yang engkau maksud, kenapa engkau tidak berani mengatakannya dengan terus terang? Takut ditangkap yaa….?
Keduabelas :
Aman berkata : hal ini dikarenakan para pengekor itu telah terkena penyakit orang awam, yaitu mengangkat sosok seseorang sebagai acuan di dalam segala hal, selain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mereka menganggap bahwa si Fulan itu mana mungkin sesat?
Saya ingin bertanya kepada Aman: Siapakah orang yang engkau maksud, kenapa engkau takut untuk menyebut namanya,? Kalau memang apa yang engkau katakan benar, kenapa mesti takut untuk menyebut namanya?
Aman, ana mohon engkau jujur dengan dirimu sendiri, bukankah apa yang engkau katakan ini mengenai dirimu sendiri, engkau taqlid dengan tulisan orang lain, lalu kamu terjemahkan, dan kemudian engkau memperjuangkannya mati-matian, walau sudah terbukti bahwa pada tulisanmu ini terdapat kesesatan, kebohongan dll, yang menjadikan saya menuliskan judul tulisanku ini dengan perkataanku :
Bila Aman Enggan Menutupkan Topeng Diwajahnya”?
Ketigabelas :
Aman mengatakan: “Jadi perkataan Kufrun duna kufrin kalau tidak dikembalikan kepada sebab wurudnya, tentu hasilnya seperti ini, padahal perkataan ini diucapkan oleh Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhumaa dikala datang orang khowarij yang mengkafirkan penguasa daulah Bani Ummayyah. Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhumaa mengetahui permasalahan dan situasi yang ada, dimana bani umayyah tetap menerapkan syariat islam dan mereka tetap berjihad untuk menegakkan kalimat Allah ‘azza wa jalla, namun sebagian mereka bertindak dlalim/ menyimpang di dalam kasus tertentu dari hukum semestinya, sedangkan didalam …”.
Pada penggalan perkataan Aman ini saya memiliki beberapa komentar :
1. Ulama’ siapa yang mengatakan demikian ini, sebutkan barang seorang saja? yang ada pada kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits, dan buku-buku aqidah ahlis sunnah, mereka membagi orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah menjadi dua bagian, yang melakukannya dengan anggapan hukum selain Allah lebih baik, atau sama atau menghalalkan perbuatan tersebut, maka ia kafir, dan yang melakukannya, sedangkan ia meyakini bahwa hukum Allah lebih utama dan ia menyadari telah melakukan kesalahan, maka ia tidak kafir, akan tetapi kufrun duna kufrin, dengan berdasarkan fatwa Ibnu Abbas ini. Sehingga dengan demikian engkau berkesimpulan bahwa: semenjak zaman ibnu Abbas mengatakan perkataan ini hingga zaman sekarang, tidak ada yang paham akan maksud beliau, dan hanya engkau seorang yang memahaminya dengan benar??, Sungguh engkau adalah seorang Pahlawan Tanpa Jasa.
2. Daulah Bani Umayyah seperti yang engkau katakan, mereka menerapkan hukum Allah, akan tetapi sebagian mereka bertindak dlalim/ menyimpang di dalam kasus tertentu, apakah dengan perbuatan dlolim tersebut dikatakan telah berhukum dengan hukum selain hukum Allah? Kalo memang demikian, berarti setiap orang yang menyimpang, berbuat dosa, kedloliman dll, baik itu pemerintah atau bukan dikatakan telah berhukum dengan hukum selain Allah?! Ini tentu merupakan kebatilan yang sangat bathil, dan inilah pemahaman orang-orang khowarij, yang sedang engkau tuduhkan kepada orang lain.
3. Kalo engkau baca dengan benar perkataan Ibnu Abbas, maka engkau akan dapatkan bahwa perkataan beliau muthlak, beliau tidak membedakan antara kasus tertentu atau dalam banyak kasus, nah dari manakah engkau mengkhususkan perkataan beliau ini? Apakah dari wangsit yang engkau dapatkan di kuburan, atau dari tong sampah, atau darimana? Karena dalam memahami dalil, dan perkataan para ulama’ kita mengenal kaidah yang berbunyi :
العبرة بعموم اللَّفظ لا بخصوص السبب
“Yang jadi pedoman adalah keumuman lafadl (kontek), bukan kekhususan sebab datangnya lafadl tersebut.”
Begitu juga halnya dengan ayat 44 dalam surat Al Maidah, lafadlnya umum, sehingga tidak boleh dibatasi dengan satu kasus atau batasan lainnya tanpa adanya dalil, nah Aman membatasi ayat dan perkataan Ibnu Abbas, tanpa menyebutkan dalil, -dan tidak akan mendapatkan dalil- ini membuktikan bahwa Aman dalam tulisannya ini hanya berpegangan dengan wangsit dari mbah….? Atau ilham dari roh …..?
Keempat belas :
Aman mengatakan : Sungguh orang murjiah dahulu lebih pandai di dalam definisi dan komitmen dengannya, lain halnya dengan murji’ah sekarang yang tidak karuan, tetapi hal ini tidak heran, karena kalau menyalahi Ahlus Sunnah secara frontal di dalam definisi, tentu terlalu ketahuan dan tidak bisa mengaku bahwa dirinya pengikut sunnah, karena itu mereka lakukan secara talbis”
Sungguh Aman sedang mensifati dirinya sendiri, dialah orangnya yang tidak komitmen dengan definisinya sendiri, dan tidak bisa meletakkan definisi dengan baik, sebagaimana telah saya buktikan dalam pembagiannya terhadap negara-negara menjadi tiga bagian.
Kelima belas :
Sebagai penutup saya akan menyebutkan sebuah hadits, yang semoga menjadi bahan renungan Aman, dan kemudian menjadikanya sadar dan kembali kepada kebenaran:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (لتنقضنَّ عرى الإسلام عروة عروة، فكلما انتقضت عروة تشبث الناس بالتي تليها وأولهن نقضا الحكم وآخرهن الصلاة) رواه أحمد وابن حبان والطبراني والحاكم والبيهقي.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh akan dilepaskan buhulan-buhulan agama islam satu buhul demi satu buhul, setiap satu buhul dilepaskan, para manusia akan berpegangan dengan buhul selanjutnya. Buhul paling pertama dilepas adalah hukum, dan yang paling akhir adalah sholat” (Hr Ahmad, Ibnu Hibban, At Thobrani, Al Hakim, dan AL Baihaqy).[13]
Hadits ini sangat jelas bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidak secara otomatis menjadi kafir, dengan bukti, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih menyebut dengan Islam, walaupun hukum islam telah ditinggalkan.
Oleh karena itu, hendaknya kita semua mengecamkan hadits ini baik-baik, agar tidak mudah dikibuli oleh musang-musang berbulu domba yang sedang meraja lela dimasa kita ini. Dan hendaknya kita tidak menjadi seperti pencari kayu bakar di tengah malam, yang tidak bisa membedakan antara ular berbisa dengan kayu bakar. Betapa banyak orang yang mengaku sebagai seorang salafi, akan tetapi bila diperiksa dan dikoreksi, tak lebih dari sulapi (tukang sulap), oleh karenanya saya mengingatkan kita semua dengan perkataan Al Hasan Al Bashry :
ليس الإيمان بالتمني ولا بالتحلي، ولكن ما وقر في القلب وصدقته الأعمال.
“Bukanlah keimanan hanya sekedar angan-angan dan perhiasan, akan tetapi iman adalah sesuatu yang tertanam kokoh dalam hati, dan dibuktikan oleh amalan”.
Begitu juga halnya dengan hakikat manhaj salaf, bukan sekedar slogan yang diucapkan, dan gelar yang disandang, akan tetapi merupakan keyakinan yang dianut, metode yang dijalani, dan dibuktikan dengan amalan.
Akhirul kalam, semoga Allah memberkan taufiq-Nya kepada kita semua, melindungi kita dari hawa dan kesesatan, dan menunjuki orang yang sesat dari kaum muslimin. Semoga sholawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya hingga hari qiyamah.
Madinah 11 Syawwal 1423 H.
Muhammad Arifin Baderi.

بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan seluruh orang yang mengikuti ajarannya hingga hari qiyamat.
Amma ba’du :
Setelah saya selesai menuliskan penjelasan kedua ini, sampai kepada saya tulisan Aman yang ditujukan kepada saya, yang dikirimkan oleh salah seorang ikhwan dari Indonesia, dan setelah saya baca dari awal samapi akhir, saya semakin yakin, bahwa Aman hanyalah membeo dan tidak paham akan Aqidah Ahlis Sunnah, dan berikut ini akan saya sebutkan point-point yang ia sebutkan dalam tulisannya :
1. Aman mengatakan : Akhi, setelah ana membaca komentar antum tentang tulisan ana, ana merasa heran, karena bantahan antum itu sama sekali tidak nyambung, ana tidak tahu, apakah sebelum membantah, antum itu sudah memahami tulisan ana atau belum:
Saya katakan: Benar tidak nyambung, karena anda tidak paham apa maksud perkataan para ulama’ yang saya nukilkan, sebab dalam tulisan saya yang pertama saya hanya ingin membuktikan manipulasi, dan penyelewengan yang anda lakukan, bukan untuk membantah dengan terperinci, dengan harapan setelah anda mengetahui kekeliruan anda, anda akan berhenti dan menyesal. Akan tetapi, karena terbukti harapan saya tidak terpenuhi, maka dengan izin Allah, saya tulis bantahan secara terperinci, agar anda tahu bahwa saya paham, dan tahu apa maksud, dan siapa anda sebenarnya.
2. Aman mengatakan: “Hendaklah antum ketahui, tulisan ana itu berhubungan dengan masalah pembabatan syari’at, yaitu pemerintah yang membabat syari’at yang meninggalkan syari’at islam, dan kemudian mereka justru malah membuat undang-undang sendiri, atau mengambil undang-undang dari negara lain, atau dengan kata lain, mereka itu membuat tasyri’ ‘aam, sehingga nukilan yang ana ketengahkan dari perkataan ulama’ dalam tulisan ana, semuanya tentang hal itu”
Saya sudah tahu, dan paham maksud anda, dan inilah yang sedang saya permasalahkan, karena tidak ada seorang ulama’ pun yang melakukan pembedaan antara tasyri’ ‘aam dan qadiyyah mu’ayyanah, oleh karena itu, pada tulisan saya kedua, saya memberi julukan anda dengan pahlawan tanpa jasa, sebab anda telah mendatangkan sesuatu yang baru, tapi bukan sesuatu yang patut diucapkan terimakasih, akan tetapi sesuatu yang menyedihkan.
Adapun nukilan yang engkau sangkakan mendukung pembedaanmu itu, telah saya buktikan pada tulisan saya yang pertama, bahwa anda melakukan kebohongan, atau memenggalnya ditengah-tengah (baik engkau lakukan langsung atau engkau meniru dan mengikuti perbuatan orang lain), sehingga mengakibatkan kesalahpahaman. Yang saya tuntut dari anda, datangkanlah satu nukilan dari ulama’ yang benar-benar bisa dipegangi perkataannya (Bin Bazz, Ibnu Utsaimin, Al Fauzan dll) yang melakukan hal itu.
3. Aman mengatakan : Dalam pembabatan syari’at atau tasyri’ ‘aam tidak usah diperhatikan masalah keyakinan hati, ini adalah muthlaq kafir mukhrij minal millah, ini yang dimaksud dalam penukilan ana akan perkataan Syeikh Al Utsaimin itu dan yang lainnya”
Benar itu yang engkau maksud dari penukilan, tapi bukan itu yang dimaksud oleh Syeikh Al Utsaimin, bahkan beliau pada perkataan tersebut, tidak sedikitpun menyinggung atau menyebutkan pembedaan antara tasyri’ ‘aam dan qadliyah mu’ayyanah.
Perumpamaanmu disini seperti orang yang membaca surat Al Ma’un dan berhenti pada firman Allah : فويل للمصلين (Dan kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat)
4. Aman mengatakan : “Membedakan antara tasyri’ ‘aam atau pembabatan syari’at dengan qadliyyah mu’ayyanah adalah Aqidah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah”.
Wahai Aman, saya mohon anda tidak semakin menambah banyak dosa, dengan membikin kebohongan baru, Ahlis Sunnah tidak pernah melakukan hal ini, yang ada dalam Manhaj Ahlis Sunnah adalah pembedaan antara al kufrul muthlak danmuthlaqul kufur atau At Takfirul Muthlaq dan At Takfir ‘Alal Mu’ayyan. Ahlis Sunnah mengatakan setiap orang yang berhukum dengan hukum selain hukum Allah, maka dia secara otomatis terkena vonis muthlaqul kufur (At takfirul muthlak), maksudnya adalah dia telah melakukan perbuatan kufur, tapi apakah dia telah kafir keluar dari agama? Tidak, harus dilihat dan diteliti lebih lanjut, apakah dia telah terpenuhi padanya syarat-syarat pengkafiran, atau belum, bila sudah terpenuhi, maka dia dikatakan kafir, keluar dari agama, bila belum dia dikatakan telah berbuat kekufuran atau orang ada padanya sifat muthlaqul kufur, dan inilah yang saya yakini dan saya perjuangkan dan dakwahkan. Adapun pembedaan yang engkau lakukan, tidak pernah ada dalam manhaj Ahlis Sunnah.
Ini saya tunjukkan kepadamu manhaj Ahlis sunnah, melalui perkataan Imam Ahlis Sunnah Ibnu Taimiyyah :
والتَّحقيق في هذا، أن القول قد يكون كفرا، كمقالات الجهمية الذين قالوا: إن الله لا يتكلم ولا يرى في الآخرة، ولكن قد يخفى على بعض الناس أنه كفر، فيطلق القول بتكفير القائل، كما قال السلف: من قال: القرآن مخلوق، فهو كافر، ومن قال: إن الله لا يرى في الآخرة فهر كافر، ولا يكفر الشخص المعين حتى تقوم عليه الحجة
“Dan yang tepat /benar dalam masalah ini, bahwa kadang kala perkataan tersebut adalah kekufuran, sebagaimana halnya dengan perkataan-perkataan orang-orang jahmiyyah, yang mengatakan: Sesungguhnya Allah tidak berbicara, dan tidak bisa dilihat kelak diakhirat, akan tetapi kadangkala hal itu tidak diketahui oleh sebagian orang, sehingga diithlakkan ucapan pengkafiran kepada orang yang mengucapkannya, sebagaimana yang dikatakan oleh ulama salaf: Barang siapa yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq, maka ia kafir, dan barang siapa yang mengatakan bahwa Allah tidak dapat dilihat diakhirat, maka ia kafir, dan tidaklah dikafirkan orang tertentu, sampai tegak atasnya Al hujjah” (Majmu’ fatawa7/619).
5. Aman menukilkan perkataan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang dikafirkannya Bani Ubaid oleh para ulama’ walaupun mereka mengaku islam dan menunaikan sholat jama’ah dan jum’at, kemudian ia komentari : yang dilakukan oleh Bani Ubaid ini, masih mendingan dari pada yang dilakukan oleh para penguasa pembabat syari’at, dimana sudahmembabat syari’at, mereka juga beraliran skuler demokrasi (syirik model baru).
Saya ingin bertanya kepada anda, tahukah siapa yang dimaksud oleh beliau dengan Bani Ubaid? Kalau tidak tahu, mari saya kenalkan melalui penjelasan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang mereka, sehingga engkau tidak salah pemahaman:
بني عبيد الله القداح الذين أقاموا المغرب مدة وبمصر نحو مائتي سنة فهؤلاء باتفاق أهل العلم والدين كانوا ملاحدة ونسبهم باطل، فلم يكن بالرسول اتصال نسب في الباطن ولا دين، وإنما أظهروا النسب الكاذب وأظهرو التشيع ليتوسلوا بذلك إلى متابعة الشيعة، إذ كانت أقل الطوائف عقلا ودينا، وأكثرها جهلا، وإلا فأمر هؤلاء العبيدية المنتسبين إلى إسماعيل بن جعفر أظهر من أن يخفى على مسلم. ولهذا جميع المسلمين الذين هم مؤمنون في طوائف الشيعة يتبرؤون منهم، فالزيدية والإمامية تكفرهم وتتبرأ منهم، وإنما ينتسب إليهم الإسماعلية الملاحدة، الذين فيهم من الكفر ما ليس لليهود والنصارى).
“Bani Ubaidillah Al Qaddah, yang menguasai Maroko beberapa saat, dan menguasai Mesir selama sekitar 200 tahun, mereka –dengan kesepakatan ulama’ dan agama- adalah orang-orang atheis, dan nasab mereka adalah nasab yang bathil. Mereka tidaklah memiliki hubungan nasab dengan Rasulullah dalam batin mereka, dan juga dalam agama. Mereka hanyalah menampakkan nasab dusta, dan menampakkan aqidah syi’ah, agar mereka bisa menarik simpati orang-orang syi’ah, karena mereka (orang-orang syi’ah) adalah kelompok yang paling tidak berakal dan paling tidak beragama, dan kelompok paling dungu. Kalau bukan demikian, sebenarnya mereka (Al Ubaidiyyah) yang menisbatkan diri kepada Ismail bin Ja’far, sangat jelas, sehingga tidak tersamarkan bagi seorang muslim. Oleh karena itu seluruh kaum muslimin yang mereka masih dianggap muslim dari kelompok-kelompok syi’ah berlepas diri dari mereka. Kelompok Zaidiyyah dan Imamiyyah telah mengkafirkan mereka dan berlepas diri dari mereka, hanyalah kelompok ateis isma’iliyyah sajalah yang rela menisbatkan diri kepada mereka, yang pada mereka (kelompok) isma’iliyyah terdapat kekufuran, yang tidak didapatkan pada orang-orang yahudi dan nashrani”. (Minhajus Sunnah 6/342-343).
Bahkan beliau juga menjelaskan bahwa Ubaidillah bin Maimun Al Qaddah pendiri Dinasti Fatimiyyah adalah anak seorang Yahudi, yang dididik oleh seorang Majusi, sehingga ia bernasabkan Yahudi dan Majusi. (Silahkan lihat Minhajus Sunnah 4/99-101).
Apakah mereka ini yang engkau katakan mendingan wahai Aman?! Alangkah bodohnya dirimu…
6. Aman mengatakan : Adapun apa yang antum sebutkan bahwa ana dusta merubah perkataan Syeikh Ibnu Baz, ini menunjukkan antum tidak tabayyun terlebih dahulu. Ketahuilah bahwa Syeikh biasa menggunakan kata-kata yang beragam, yang maknanya sama, karena Syeikh berbicara tentang pembabatan syari’at dan menerapkan undang-undang buatan”.
Betapa bodohnya dirimu wahai Aman, apa anda tidak tahu perbedaan antara kata :
تركها وأحل محلَّها
dengan kata : (أو أجاز أن يحل محله ), kalao memang tidak tahu, yaa apa gunanya engkau belajar bahasa arab bertahun-tahun, hingga menyandang gelar Lc, atau memang gelar ini singkatan dari kata “lucu”??
Lalu dari mana engkau katakan bahwa beliau biasa menggunakan kata-kata yang beragam, yang maknanya sama? Apakah engkau pernah mulazamah,? Atau sudah berapa kitab beliau yang engkau baca, dan sudah berapa kaset beliau yang engkau dengarkan?? Ataukah anda dapatkan anggapan ini dari wangsit atau ilham….??!!!
Saya sudah pernah katakan, bahwa sebenarnya engkau tak lebih dari apa yang pernah dikatakan dalam pepatah dalam bahasa arab : ( حَاطب الليل ) “Pencari kayu bakar di malam hari”, sehingga dengan tidak anda sadari telah terkena sengatan ular kobra, syubhat & kebohongan takfiriyyin yang ada dinegri arab, sebagaimana yang anda sebutkan sendiri, bahwa anda menukilkan perkatan beliau ini melalui kitab beliau yang dicetak gabung dengan kitab Tahkimul Qawanin, dan melalui nukilan Abdullah Al Qarni. Mereka adalah ular-ular qobra (takfiriyyin dari negri arab), yang telah menyengatmu, maka segera diobati agar bisanya tidak menjalar, yaitu dengan cara belajar lagi, membaca buku-buku ulama’ yang jelas-jelas bisa dipercaya perkataan dan nukilannya. Selamat belajar kembali….
7. Aman menukilkan perkataan Ibnu Katsir yang dia anggap semakna dengan perkataan Ibnu Baz yang ia nukilkan, Ibnu Katsir mengatakan :
فمن ترك الشرع المحكم المنزل على محمد بن عبد الله خاتم الأنبياء وتحاكم إلى غيره من الشرائع المنسوخة كفر، فكيف بمن تحاكم إلى إلياسا وقدمها عليه، فمن فعل ذلك كفر بإجماع المسلمين.
“Barang siapa yang meninggalkan syariat yang muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdillah penutup para nabi, dan berhukum kepada syariat-syariat lainnya yang sudah dihapus, maka ia kafir, maka bagaimana halnya dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa, dan lebih mengutamakannya diatas syariat, maka barang siapa yang melakukan hal tersebut, ia telah kafir, dengan kesepekatan kaum muslimin”.[14]
Wahai Aman, ini salah satu bukti bahwa engkau suka mengikuti perkataan yangmujmal (global) dan meninggalkan perkataan yang mufasshal (terperinci), kenapa engkau tidak nukilkan perkataan Ibnu Katsir dalam tafsirnya,?? Karena beliau dalam tafsirnya tidak membedakan antara tasyri ‘aam dan qadliyyah mua’yyanah?? Ataukah karena beliau merinci seperti yang dilakukan oleh Syeikh Ibnu Utsaimin dalam fatwanya??!! Jawablah Aman!!!
Ditambah lagi perkataan beliau ini menurut ahlis sunnah adalah at takfirul muthlak(pengkafiran secara umum), dan bukan at takfir ‘alal mu’ayyan (pengkafiran secara individu), sebagaimana yang telah saya nukilkan dari perkataan Ibnu Taimiyyah.
[Tulisan ini adalah publikasi ulang dari http://muslim.or.id dan http://abusalma.wordpress.com dengan sedikit penambahan catatan kaki dari saya].


[1] Penulisan Ibnu Mas’ud adalah keliru, yang benar adalah Abu Mas’ud Al-Anshaariyradliyallaahu ‘anhu – Abul-Jauzaa’.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Ash-Shahiih no. 3483 & 3484 & 6120 dan Al-Adabul-Mufrad no. 597 & 1316, Abu Dawud no. 4797, Ibnu Maajah no. 4183, Ath-Thahaawiy dalamSyarh Musykilil-Aatsaar no. 1533-1538, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 17/no. 640 & 651-661, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 4/370, Ahmad 4/121-122 & 5/273 & 5/405, Al-Qadlaa’iy dalam Musnad Asy-Syihaab no. 1153-1156, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 3597,‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf no. 20149, Ath-Thayaalisiy no. 655, Ibnu Abid-Dunyaa dalam Makaarimul-Akhlaaq no. 83, Al-Khathiib 3/100 & 10/304 & 355, serta Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 10/192 dan Al-Aadaab no. 178 – Abul-Jauzaa’.
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1395 & 1458 & 1496 & 2448 & 4347 & 7371 & 7372 dan Muslim no. 19. Diriwayatkan pula oleh Ahmad 1/233, Abu Dawud no. 1584, Ibnu Maajah no. 1783, At-Tirmidziy no. 625 & 2014, An-Nasaa’iy 5/55, Ibnu Khuzaimah no. 2275 & 2346, Ad-Daaruquthniy 2/135-136, Al-Baghawiy no. 1557, Ibnu Mandah dalam Al-Iimaan no. 116-117 & 213-214, Ibnu Abi Syaibah 3/114, Ad-Daarimiy no. 1655 & 1671, Al-Baihaqiy 4/96 & 4/101 & 7/2 & 7/7 & 7/8, Ibnu Hibbaan no. 156, dan Ath-Thabaraaniy no. 12207-12208 & 12408. – Abul-Jauzaa’
[4] Diriwayatkan juga oleh Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar 11/312-315, Al-Aajurriy hal. 91, Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah (Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah) no. 453, Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 4/151-152 & 10/75-79, ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy dalam Al-Mihnah hal. 167-169 & 169-174, dan Ibnu Qudaamah dalam At-Tawwaabiin hal. 210-215. – Abul-Jauzaa’.
[5] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1329 & 3635 & 4556 & 6819 & 6841 & 7332 & 7543 dan Muslim no. 1699. – Abul-Jauzaa’
[6] Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 10598, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa8/179 , Al-Haakim 2/150-152, ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf no. 18678, Ahmad 1/342, Abu ‘Ubaid dalam Al-Amwaal no. 444, An-Nasaa’iy dalam Khashaaish ‘Aliy no. 190, Al-Fasaawiy dalam Al-Ma’rifah wat-Taariikh 1/522-524, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/318-320, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadllihi 2/103-104, Ibnul-Jauziy dalamTalbiis Ibliis hal. 91-93, dan Abul-Faraj Al-Jariiriy dalam Al-Majliisush-Shaalihul-Kaafiy1/558-560; dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam Takhrij Musnad Ahmad 5/263.- Abul-Jauzaa’
[7] Lihat Asy-Syarii’ah oleh Al-Aajurriy 1/306-307 no. 331, As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal no. 617 & 620, Al-Ibaanah oleh Ibnu Baththah 2/885 no. 1221, dan Majmuu’ Al-Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah 7/394-395. Atsar ini dla’iif– Abul-Jauzaa’
[8] Diriwayatkan oleh Ahmad 4/273, Ath-Thayaalisiy no. 439, Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 6/491, dan Ibnul-Jauziy dalam Jaami’ul-Masaanid 2/309-310. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 5. – Abul-Jauzaa’
[9] Majmuu’ Fataawaa wa Maqaalaat Ibni Baaz, 1/305. – Abul-Jauzaa’
[10] Asalnya dinisbahkan pada satu hadits dari Anas radliyallaahu ‘anhu secara marfu’, namun kualitasnya maudlu’ (palsu). Lihat Silsilah Adl-Dla’iifah no. 760. – Abul-Jauzaa’
[11] Fatwa ini dikeluarkan tanggal 19-1-1385 H, tepatnya 5 tahun setelah terbitnya kitab Tahkiim ‘alal-Qawaaniin (cet. pertama tahun 1380 H). Kitab Tahkiim ‘alal-Qawaaniin inilah yang sering dijadikan referensi nukilan dari kaum Khawaarij – semisal Aman ‘Abdurrahman – untuk membenarkan tindakan mereka dalam mengkafirkan hukkaam. – Abul-Jauzaa’
[12] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3877 dan Muslim no. 952. – Abul-Jauzaa’
[13] Diriwayatkan oleh Ahmad 5/251, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah no. 764, Al-Haakim 4/92, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 7486 dan Musnad Asy-Syaamiyyiinno. 1602, Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 5277 & 7524, dan Ibnu Hibbaan no. 6715. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiihul-Jaami’ no. 5075. – Abul-Jauzaa’.
[14] Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 13/139 – Abul-Jauzaa’
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2010/01/dialog-bersama-takfiriy.html