Islam Pedoman Hidup: Pembagian Tauhid Menurut Kaum Sufi dan Bantahan Terhadap Mereka (Bagian 3 – Tamat)

Kamis, 19 Mei 2016

Pembagian Tauhid Menurut Kaum Sufi dan Bantahan Terhadap Mereka (Bagian 3 – Tamat)


Asy Syaikh Abdurrahman bin Hasan At Tamimi
(Bagian 3 – Tamat)
Hingga ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: Penulis kitab Al Manazil (Abu Ismail Al Harawi) berkata, "Adapun tauhid yang ketiga adalah tauhid yang Al Haq khususkan bagi dirinya… dst."
Perbedaan antara tauhid dan ittihad atau hulul
Hakikat ucapan mereka adalah ittihad dan hulul (menyatu antara Allah Subhanahu wata’ala dengan dengan makhluk) secara khusus. Sejenis dengan ucapan Nasrani tentang Al Masih Isa ‘Alaihissalam. Yaitu bahwa orang yang mentauhidkan Allah Subhanahu wata’ala adalah yang ditauhidkan itu sendiri, serta tidak ada yang mentauhidkan Allah Subhanahu wata’ala selain Allah. Sedangkan semua orang yang menjadkan siapapun selain Allah Subhanahu wata’ala mentauhdikan Allah, dia adalah pembangkang menurut mereka. Sebagaimana dia (Al Harawi) katakan:
Tidak ada yang mentauhidkan dzat Yang Maha Esa selain-Nya,
semua yang mentauhidkan Allah Subhanahu wata’ala maka dia pembangkang
Berdasarkan pendapat mereka: Allah Subhanahu wata’ala itulah yang mentauhidkan dan ditauhidkan. Oleh karena itulah dia berkata, "Ini adalah tauhid yang Al Haq khususkan untuk diri-Nya… dst"
Maka dikatakan (sebagai bantahan untuk Al Harawi):
Adapun pentauhidan Al Haq bagi diri-Nya, maka itu adalah ilmu Allah Subhanahu wata’ala tentang diri-Nya dan kalam-Nya yang mengabarkan tentang diri-Nya, seperti firman Allah Azza wajalla,
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ
"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia," (Ali Imran: 18)
Dan firman-Nya,
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي
"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku." (Thaahaa: 14)
Itu adalah sifat-Nya yang berdiri bersama Allah Subhanahu wata’ala sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain berupa hidup, kuasa, dan lain-lain.
Hal di atas sama sekali tidak memisahkan sifat-sifat Rabb yang lainnya lalu berpindah kepada selain-Nya [1], sebagaimana semua sifat-Nya yang selain ini. Bahkan sifat-sifat makhluk tidaklah berpisah dari dzat mereka lalu berpindah kepada yang selainnya. Apalagi dengan sifat-sifat Al Khaliq.
Tetapi Dia menurunkan kepada para nabi-Nya sebagian ilmu dan kalam-Nya, sebagaimana Dia menurunkan Al Quran yang merupakan kalam-Nya kepada penutup para rasul. Sungguh Allah Subhanahu wata’ala telah berfirman,
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ
"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)." (Ali Imran: 18)
Allah Subhanahu wata’ala mempersaksikan diri-Nya dengan keesaan. malaikat mempersaksikannya, dan para hamba-Nya yang memiliki ilmupun mempersaksikannya. Semua persaksian itu bertemu dan bersepakat.
Termasuk dalam bahasan ini adalah ucapan mereka, "Hati adalah rumah Allah", serta berita Israiliyyat yang mereka sebutkan bahwa Allah Subhanahu wata’ala berfirman, "Bumi-Ku dan langit-Ku tidak cukup bagi-Ku. Namun qalbu hamba-Ku yang mukmin, bertakwa, suci, lagi lembut itulah yang luas untuk-Ku." [2]
Bukanlah maksudnya bahwa Allah Subhanahu wata’ala berada di dalam qalbu setiap hamba. Tapi maksudnya adalah bahwa di dalam hati ada ma’rifatullah, cinta kepada-Nya, dan ibadah kepada-Nya.
Sebagian mereka berhujjah dengan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam,
وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ الله لِمَنْ حَمِدَهُ. فَقُولوا: رَبَنا لَكَ الحَمْد
"Apabila imam berkata: Sami’allahu liman hamidah (Allah mendengar orang yang memuji-Nya), maka katakanlah: Rabbana lakal hamdu (Wahai Rabb kami, bagi-Mu-lah segala pujian)." (Riwayat Muslim)
Berarti Allah Subhanahu wata’ala berfirman menggunakan lisan nabi-Nya: "Allah Subhanahu wata’ala mendengar orang yang memuji-Nya."
Kita katakan kepada mereka: Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidaklah memaksudkan apa yang kalian pahami berupa hulul dan ittihad. Namun yang beliau maksudkan adalah sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menyampaikan ucapan ini kepada kalian melalui lisan rasul-Nya dan mengabarkan kepada kalian bahwa Dia mendengarkan doa orang yang memuji-Nya. Maka pujilah Dia dan ucapkan, "Wahai Rabb kami, bagi-Mulah segala pujian.", sehingga Allah Subhanahu wata’ala akan mendengarkan doa kalian. Karena memuji Allah Subhanahu wata’ala sebelum doa merupakan sebab terkabulnya doa, dan ini adalah perkara yang sudah diketahui.
T A M M A T
[Dinukil dari kitab Mulakhkhash Minhajus Sunnah, Edisi Indonesia Ringkasan Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyyah, Penulis Asy Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab, Penerbit Pustaka Ar Rayyan, Hal. 96-99]
____________
Footnote:
[1] Maksudnya pentauhidan Allah Subhanahu wata’ala bagi diri-Nya merupakan salah satu sifat-Nya. Sebagaimana sifat-sifat Allah Subhanahu wata’ala yang lain tidak akan berpindah kepada selain-Nya, maka demikian pula sifat ini. Sehingga tidaklah pantas kalau ada seorang makhluk yang menyamakan dirinya dengan Allah Subhanahu wata’ala dalam sifat (pentauhidan Allah Subhanahu wata’ala bagi diri-Nya) ini. Wallahu a’lam, pent.
[2] Laa aslalahu (tidak ada asalnya). Al Ajurri berkata dalam kasyful Khafa (2/195): "Disebutkan dalam Al Ihya dengan lafadz Alah berfirman, "Langit-Ku dan Bumi-Ku tidak cukup bagi-Ku. Akan tetapi mencukupi-Ku qalbu hamba-Ku yang mukmin, lembut, dan tenang."
Al Iraqi berkata dalam takhrijnya: "Saya tidak mengetahui ada salnya."
Ucapan ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Ad Durar Al Muntatsirah fi Al Ahadits Al Musytahirah (hal. 175)
from=https://sunniy.wordpress.com/2010/05/18/pembagian-tauhid-menurut-kaum-sufi-dan-bantahan-terhadap-mereka-bagian-3-tamat/