Oleh
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid
BEBERAPA BID’AH PARA AHLI QIRA’AH YANG DISEBUTKAN OLEH PARA ULAMA
1.
Berlebih-lebihan melafazhkan huruf, bahkan menyalahi cara dan hukum
penyebutan huruf karena adanya cara bertajwid yang dibuat-buat dan
bahkan dipaksa-paksakan, sehingga meleset dari bacaan yang mudah dan
lurus yang sesuai dengan firman Allah:
وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلا
“Dan bacalah al-Qur’an dengan tartil” [al-Muzzamil : 4]
2. Membaca al-Qur’an bukan dengan logat Arab.
3. Membaca seperti cara orang fasik dan fajir (durhaka).
4.
Membaca dengan nada dan gerakan tertentu. Seperti yang dilakukan oleh
sebagian pengikut Tareqat yang membaca dengan iringan
tarian/dansa/joget seperti yang dilakukan di halaman masjid al-Husein
di MESIR dengan ditonton oleh orang banyak.
5. Membaca dengan cara melagu. Dan bid’ah yang lebih parah dari itu jika bacaan disertai dengan alat musik.
6. Melagu serta banyak mengulang-ulangi laguan.
7. Membaca cepat seperti halnya syair.
8. Membaca dengan cepat tanpa tadabbur (memperhatikan maknanya).
9.
Mengangkat suara saat membaca dengan cara yang berlebih-lebihanan. Dan
inilah yang menyebabkan timbulnya cara baru yang dibuat-buat saat
membaca al-Qur’an, yaitu menempelkan kedua tangan pada kedua telinga
ketika membaca al-Qur’an.
10. Duduk melingkar dan bergantian dalam membaca ayat atau surah sampai bacaan selesai. Tetapi cara ini diperbolehkan saat berkumpul untuk belajar al-Qur’an.
11.
Membaca al-Qur’an di menara masjid. Ini merupakan tipu daya Iblis
terhadap banyak ahli qira’ah, yaitu mereka membaca al-Qur’an di menara
masjid pada waktu malam dengan paduan suara yang keras sampai
berjuz-juz, sehingga mereka mengganggu dan menghalangi orang lain
tidur, sekaligus dapat menjerumuskan diri mereka kepada perbuatan
riya’[1] Bahkan di antara mereka ada yang sengaja membaca al-Qur’an di
masjid di waktu setelah adzan, karena ini merupakan waktu berkumpulnya
orang-orang di masjid.
12.
Qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) membaca sambil mengisap rokok,
atau membaca al-qur’an di suatu majlis di mana orang-orang yang
berkumpul mengisap rokok.
13.
Menyibukkan diri dengan cara-cara bacaan yang syadz
(nyleneh/aneh/rancu), padahal ini merupakan tipu daya Iblis terhadap
mereka. Yaitu mereka menyibukkan diri dengan bacaan-bacaan seperti ini
sehingga menghabiskan waktu dan umur mereka untuk mendalami,
mengajarkan serta menyusun buku untuk hal itu, sehingga mereka sibuk
dengan urusan qira’ah (bacaan) dan meninggalkan ilmu yang fardhu atau
wajib. Sehingga anda terkadang mendapati seorang imam masjid yang sibuk
dengan pengajaran cara bacaan yang syadz, padahal dia sendiri belum
mengetahui hal-hal yang membatalkan shalat. Bahkan terkadang sifat
fanatik kejahilannya membuat dia berani dengan cepat tampil berfatwa,
tetapi enggan ikut duduk menuntut ilmu di majlis ilmu yang dipimpin
oleh ulama. Andaikan orang-orang seperti ini mau berfikir, niscaya
mereka mengetahui bahwa yang seharusnya menjadi prioritas tujuan ialah
menghafal al-Qur’an serta membenarkan cara bacaan (qira’ah), lalu
memahami al-Qur’an dan mengamalkannya. Kemudian mempelajari ilmu-ilmu
yang dapat memperbaiki hati dan akhlaq, serta ilmu-ilmu syari’at yang
lainnya. Dan merupakan kebodohan jika seseorang menghabiskan waktunya
pada hal-hal yang tidak penting. Al-Hasan Al-Bashariy berkata: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, akan tetapi manusia menjadikan bacaan al-Qur’an sebagai pekerjaan.” Maksudnya: Mereka hanya mementingkan urusan bacaan tetapi tidak mengamalkan isi Al-Qur’an.
14.
Membaca dengan dua qira’ah (cara baca) atau lebih pada satu ayat, di
dalam shalat atau di luar shalat di tengah banyak orang. (Cara menbaca
seperti ini diperbolehkan saat seorang guru menjelaskan cara-cara
bacaan dalam pelajaran tafsir untuk mengetahui maksud setiap bacaan).
15.
Termasuk bid’ah adalah mengkhususkan bacaan ayat atau surat tertentu
dalam shalat wajib atau selain shalat wajib tanpa dalil, seperti:
a.
Membiasakan membaca surah al-An’am pada rekaat terakhir malam ke tujuh
bulan Ramadhan dengan meyakini bahwa hal itu disunnahkan.
b. Membaca surah al-Muddatstsir, al-Muzzammil atau al-Insyraah pada malam Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di shalat Isya’ atau shalat Fajar.
c. Membaca surat yang menyebutkan Nabi Musa Alaihissallam pada shalat fajar hari ‘Asyura.
d. Membaca surah al-Kafiruun dan al-Ikhlash di shalat maghrib pada malam Jum’at.
e. Membaca surah al-Falaq dan an-Naas pada shalat Maghrib pada malam Sabtu.
f. Menggabung ayat-ayat tertentu untuk dibaca secara khusus pada akhir-akhir shalat tarawih.
g. Membaca ayat-ayat yang berisi do’a di malam khatam pada rekaa’at terakhir shalat tarawih setelah membaca surah an-Naas.
h. Membaca dengan dua qira’ah (cara baca) dalam shalat adalah bid’ah, sama hukumnya dengan menggabung dua qira’ah saat membaca di luar shalat.
i. Membaca surah yang di dalamnya ada ayat sajadah selain (Alif Laam Miim –Tanzil- As-Sajdah) pada shalat fajar hari jum’at karena yang disunahkan ialah: membaca pada rekaat pertama (Alif Laam Miim –Tanziil- As-Sajdah) dan (surah al-Insan) pada rekaat kedua.
j. Menggabungkan ayat-ayat yang berisi tahlil (kalimat Laa ilaaha illa Allah) dan membacanya seperti halnya membaca surah.
b. Membaca surah al-Muddatstsir, al-Muzzammil atau al-Insyraah pada malam Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di shalat Isya’ atau shalat Fajar.
c. Membaca surat yang menyebutkan Nabi Musa Alaihissallam pada shalat fajar hari ‘Asyura.
d. Membaca surah al-Kafiruun dan al-Ikhlash di shalat maghrib pada malam Jum’at.
e. Membaca surah al-Falaq dan an-Naas pada shalat Maghrib pada malam Sabtu.
f. Menggabung ayat-ayat tertentu untuk dibaca secara khusus pada akhir-akhir shalat tarawih.
g. Membaca ayat-ayat yang berisi do’a di malam khatam pada rekaa’at terakhir shalat tarawih setelah membaca surah an-Naas.
h. Membaca dengan dua qira’ah (cara baca) dalam shalat adalah bid’ah, sama hukumnya dengan menggabung dua qira’ah saat membaca di luar shalat.
i. Membaca surah yang di dalamnya ada ayat sajadah selain (Alif Laam Miim –Tanzil- As-Sajdah) pada shalat fajar hari jum’at karena yang disunahkan ialah: membaca pada rekaat pertama (Alif Laam Miim –Tanziil- As-Sajdah) dan (surah al-Insan) pada rekaat kedua.
j. Menggabungkan ayat-ayat yang berisi tahlil (kalimat Laa ilaaha illa Allah) dan membacanya seperti halnya membaca surah.
16.
Termasuk bid’ah adalah mengkhususkan membaca suatu ayat atau surah
tanpa dalil pada waktu atau tempat tertentu untuk suatu hajat. Seperti:
a. Membaca al-Fatihah dengan niat untuk hajat tertentu atau menghilangkan kesusahan.
b. Membaca surah al-Kahfi pada hari Jum’at untuk orang-orang yang akan shalat Jum’at sebelum memulai khutbah Jum’at dengan suara yang keras.
c. Membaca surah Yaasiin 40 kali dengan niat terpenuhinya suatu hajat.
d. Mengkhususkan bacaan surah al-Kahfi sesudah Ashar pada hari Jum’at di masjid. (Kesalahannya karena mengkhususkan tempat dan waktu).
e. Membaca surah Yaasin saat memandikan mayit.
f. Membaca sepersepuluh dari al-Qur’an (oleh anak-anak dan selain anak-anak) pada malam Maulid.
g. Membaca al-Qur’an di hadapan jenazah atau di atas kubur.
h. Mengharuskan diri untuk senantiasa membaca al-Qur’an saat thawaf.
b. Membaca surah al-Kahfi pada hari Jum’at untuk orang-orang yang akan shalat Jum’at sebelum memulai khutbah Jum’at dengan suara yang keras.
c. Membaca surah Yaasiin 40 kali dengan niat terpenuhinya suatu hajat.
d. Mengkhususkan bacaan surah al-Kahfi sesudah Ashar pada hari Jum’at di masjid. (Kesalahannya karena mengkhususkan tempat dan waktu).
e. Membaca surah Yaasin saat memandikan mayit.
f. Membaca sepersepuluh dari al-Qur’an (oleh anak-anak dan selain anak-anak) pada malam Maulid.
g. Membaca al-Qur’an di hadapan jenazah atau di atas kubur.
h. Mengharuskan diri untuk senantiasa membaca al-Qur’an saat thawaf.
17.
Termasuk bid’ah adalah kebiasaan para qaari’ (orang yang membaca
Al-Qur’an) atau yang mendengarkan bacaannya mengucapkan do’a-do’a atau
dzikir-dzikir yang tidak ada nash dalilnya saat membaca suatu ayat atau
surah. Seperti:
a. Ucapan mereka setelah membaca al-Qur’an: “al-Fatihah.”
b. Ucapan mereka saat membaca al-Fatihah: “Shalluu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa.”
c. Ucapan qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an): “al-Fatihah –Ziyaadatan Fii Syarafin Nabiyyi Shallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.”
d. Ucapan orang-orang yang mendengarkan bacaan qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an): “Allah, Allah,” atau ucapan-ucapan lainnya yang ditujukan kepada qaari saat ia membaca, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
b. Ucapan mereka saat membaca al-Fatihah: “Shalluu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa.”
c. Ucapan qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an): “al-Fatihah –Ziyaadatan Fii Syarafin Nabiyyi Shallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.”
d. Ucapan orang-orang yang mendengarkan bacaan qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an): “Allah, Allah,” atau ucapan-ucapan lainnya yang ditujukan kepada qaari saat ia membaca, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأِذَا قُرِىءَ القُرءَانُ فاَستمعُوا لَهُ وَأنصِتُوا لَعَلكُم تُرحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” [al-A’raaf: 204]
e. Membiasakan ucapan: “Shadaqa Allaah ul-‘Azhiim” setelah selesai membaca al-Qur’an.
18. Bid’ah-bid’ah khatam, seperti:
a. Membaca semua ayat-ayat sajadah setelah khatam.
b. Bertahlil empat belas kali.
c. Mengadakan perayaan malam khatam.
d. Khutbah sebelum atau sesudah acara.
e. Saling berjanji untuk khatam.
f. Berteriak saat khatam.
g. Menyalakan api malam khatam
b. Bertahlil empat belas kali.
c. Mengadakan perayaan malam khatam.
d. Khutbah sebelum atau sesudah acara.
e. Saling berjanji untuk khatam.
f. Berteriak saat khatam.
g. Menyalakan api malam khatam
19.
Termasuk bid’ah adalah membaca al-Qur’an untuk meminta-minta. Di
antaranya dengan cara memutar bacaan kaset Qur’an sambil meminta-minta
di gang-gang jalanan dan di toko-toko pasar.
20. Meletakkan kedua tangan di kedua telinga atau satu tangan di sebelah telinga saat membaca al-Qur’an.
21. Tujuh hal yang menyangkut khatam:
a.
Penyempurnaan khatam, artinya: makmum membaca semua ayat yang
ditinggalkan oleh imam, setelah itu imam kembali membaca semua ayat
yang telah ia tinggalkan.
b. Menganggap bahwa disukai mengkhatam qur’an pada sore hari di musim dingin, dan di pagi hari pada musim kemarau.
c. Menyambung satu khatam dengan khatam lain dengan perantaraan/sambungan surah al-Fatihah atau dengan membaca lima ayat dari surah al-Baqarah.
d. Mengulang-ulangi surah al-Ikhlash tiga kali.
e. Bertakbir di akhir surat ad-Dhuha sampai akhir surah An-Naas di dalam shalat atau di luar shalat.
f. Puasa pada hari khatam.
g. Membaca do’a khatam dalam shalat.
b. Menganggap bahwa disukai mengkhatam qur’an pada sore hari di musim dingin, dan di pagi hari pada musim kemarau.
c. Menyambung satu khatam dengan khatam lain dengan perantaraan/sambungan surah al-Fatihah atau dengan membaca lima ayat dari surah al-Baqarah.
d. Mengulang-ulangi surah al-Ikhlash tiga kali.
e. Bertakbir di akhir surat ad-Dhuha sampai akhir surah An-Naas di dalam shalat atau di luar shalat.
f. Puasa pada hari khatam.
g. Membaca do’a khatam dalam shalat.
TAQLID (MENIRU) SUARA QAARI’
Fitnah
(kesesatan; kesalahan) meniru suara para qaari’ (orang yang membaca
Al-Qur’an) dan mempraktekkannya di masjid-masjid di hadapan Allah
adalah perkara yang dianggap bid’ah (tambahan) dalam urusan ibadah
membaca qur’an. Padahal merupakan suatu hal yang dimaklumi bahwa hal
meniru suara yang qaari’ yang baik bisa dilakukan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pada zaman para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, tetapi
tidak diketahui adanya di kalangan mereka yang bertaqaarub (beribadah)
kepada Allah dengan meniru-niru suara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehingga dari sini diketahui bahwa perbuatan tersebut tidak masyru’
(disyari’atkan/diajarkan) sekaligus merupakan sikap mengada-ada dalam
persoalan ibadah.
Padahal menurut qaidah syara’ bahwa setiap perkara ibadah yang diada-adakan adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan.
Hal
inilah -pada zaman kita ini- yang membuat banyak orang berdesak-desakan
mengerumuni masjid-masjid yang imamnya mempunyai prinsip seperti di
atas (meniru suara para qaari’ yang terkenal). Sehingga banyak orang
pada bulan Ramadhan yang bepergian dari satu negeri ke negeri lain
dengan tujuan shalat tarawih di suatu masjid yang imamnya mempunyai
“suara yang bagus”.
Coba
anda camkan baik-baik hal ini, betapa terinjak-injaknya Sunnah Nabi
tentang larangan “sengaja bepergian (ke tempat yang dimuliakan-red)
kecuali ke tiga masjid: Masjid Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid
al-Aqsha”.[2]
Dan di antara hal yang muncul dari perbuatan tadi:
1. Adanya perasaan tidak senang shalat di belakang imam yang tidak begitu bagus suaranya.
2. Banyaknya orang yang kehilangan khusyu’ dalam shalatnya akibat ketergantungan kepada kebagusan suara.
1. Adanya perasaan tidak senang shalat di belakang imam yang tidak begitu bagus suaranya.
2. Banyaknya orang yang kehilangan khusyu’ dalam shalatnya akibat ketergantungan kepada kebagusan suara.
Dan
saya menasehati setiap muslim yang membaca Kitab Allah Ta’ala,
khususnya para imam masjid-masjid, agar menghentikan sifat meniru-niru
dan taqlid dalam membaca kalam Allah Rabbul-Alamiin. Kalam Allah lebih
mulia dan lebih besar nilainya dibanding dengan perbuatan seorang
qaari’ dalam melakukan apa-apa yang tidak diperintahkan secara syar’iy
kepadanya.
Allah berfirman tentang perihal sifat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَمَاأَنَا مِنَ المُتَكَلفِينَ
“Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan”. [Shaad: 86]
Hendaknya
setiap hamba berusaha untuk menghadirkan hati dan memperbaiki niat,
sehingga ia membaca al-Qur’an dengan memperbagus suaranya tanpa
mengada-ada dan memaksakan diri di luar kemampuannya. Janganlah
mengada-ada dengan melagu serta memaksa-maksakan bacaan serta cara baca
yang dilarang.
Dan
sepantasnya orang-orang yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk
mengangkat imam masjid supaya memilih imam yang lebih memadai
keilmuaanya, bertaqwa, bersifat wara’, mempunyai aqidah yang bersih
dari penyakit syubhat, mempunyai perangai bersih dari penyakit syahwat,
serta lebih mendahulukan yang bersuara baik.
MENGGOYANG-GOYANGKAN KEPALA DAN BADAN SAAT MEMBACA AL-QUR’AN
Yaitu
bid’ah kebiasaan orang-orang Yahudi yang biasa mereka lakukan saat
mereka belajar, kemudian merembet kepada anak-anak kaum muslimin,
pertama-tama di Mesir. Jika mereka membaca al-Qur’an di sekolah, mereka
mengerak-gerakan kepala dan melenggak-lenggok. (Seperti yang dijelaskan
oleh Abu Hayyan Al-Andalusiy dan Al-Raa’iy Al-Andalusiy).
MEMILIH BACAAN AYAT-AYAT PADA SHALAT JUM’AT YANG SESUAI DENGAN PEMBAHASAN KHUTBAH
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyusun bacaan shalat Jum’at dengan tiga sunnah bacaan:
1. Surah Al-Jumu’ah dan Surah Al-Munafiqun
2. Surah Al-Jumu’ah dan surah Al-Ghaasyiyah
3. Surah Al-‘A-laa (Sabbihisma) dan surah Al-Ghaasyiyah.
Sungguh
pada zaman kita ini telah terjadi adanya sikap berpaling sebagian orang
dari bacaan yang disyari’atkan ini kepada pilihan pribadi imam, yaitu
memilih ayat-ayat atau surah yang menurutnya sesuai dengan thema
khutbah.
Cara
ini tidak berasal dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
tidak berasal dari pengamalan Salaful-Ummah, sehingga menjadikan cara
tadi sebagai suatu kebiasaan pengamalan adalah bid’ah. Begitu pula
(jika) dengan niat meninggalkan yang disyari’atkan dan mengamalkan
selain yang disunnahkan untuk dijadikan sebagai cara pengamalan yang
dianggap sunnah, maka sikap ini dianggap sebagai sikap ingin
menyempurnakan syariat (yang seakan-akan belum sempurna), meninggalkan
yang masyru’, menganggap cara tadi sunnah serta membuat orang-orang
awam terkecoh dengan cara-cara seperti itu, Wallahu a’lam.
MELAFAZHKAN AYAT-AYAT TERTENTU SAAT BERKHUTBAH DENGAN NADA SUARA BERUBAH-UBAH
Di antara hal-hal yang diada-adakan oleh para penceramah dan sebagian khatib pada zaman ini ialah merubah-ubah suara saat membaca ayat-ayat al-Qur’an untuk mengatur suaranya saat berceramah atau berkhutbah.
Cara
ini tidak dikenal dari ulama-ulama salaf terdahulu, dan juga para ulama
yang mempunyai banyak pengikut. Dan anda tak menjumpainya di kalangan
ulama-ulama yang mulia yang diakui pada zaman kita, bahkan mereka
menghindari cara bacaan seperti ini, dan banyak hadirin yang
mendengarkan bacaan itu yang merasa tidak suka. Cara membacanyapun
berbeda-beda, dan semua cara yang salah tidak diperhitungkan,
sebagaimana tidak diperhitungkannya orang yang menyalahi metode periode
awal umat ini dan ulama salaf.
[Ringkasan kitab Bida’ul Qura’ Al-Qadimah wal Mu’ashirah karya Syeikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, diringkas oleh M. Dahri]
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. Sebagaimana banyak dilakukan di masjid-masjid kaum muslimin di negeri ini, yang mereka membaca Al-Qur’an lewat pengeras suara masjid sebagai ganti di menara, ini tentulah lebih mengganggu tidur orang lain daripada sekedar membaca di menara. Wallahu Musta’an-Red
[2]. Lihat majalah Sunnah edisi 11/Th.IV/1421-2000, hal:52-54-Red]
Footnote
[1]. Sebagaimana banyak dilakukan di masjid-masjid kaum muslimin di negeri ini, yang mereka membaca Al-Qur’an lewat pengeras suara masjid sebagai ganti di menara, ini tentulah lebih mengganggu tidur orang lain daripada sekedar membaca di menara. Wallahu Musta’an-Red
[2]. Lihat majalah Sunnah edisi 11/Th.IV/1421-2000, hal:52-54-Red]
Sumber: https://almanhaj.or.id/2825-bidah-bidah-seputar-qiraah.html