Dalam
Shahih–nya, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin
Umar radhiyallahu’anhu. Terjemahan bebas hadits ini ialah: “Perumpamaan
eksistensi kalian (umat Islam) dibanding umat-umat sebelum kalian ialah
seperti waktu antara salat asar hingga tenggelam matahari. Ahli Taurat
(Yahudi) diberi kitab Taurat, lalu beramal sehingga tatkala mencapai
tengah hari (zuhur) mereka tak sanggup lagi beramal, lalu diberi pahala
seqirat-seqirat. Kemudian ahli Injil (Nasrani) diberi Injil, lalu
beramal hingga masuk waktu salat asar, lalu tidak sanggup melanjutkan,
lalu diberi pahala seqirat-seqirat. Kemudian kita diberi Al–Qur’an, dan
kita beramal (dari asar) hingga tenggelam matahari, dan kita diberi
pahala dua qirat-dua qirat. Maka, kedua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani)
bertanya, ‘Wahai Rabb kami, (mengapa) Engkau beri mereka (muslimin)
pahala dua qirat, dan kami (hanya) satu qirat, padahal kami lebih
banyak amalnya?’ ‘Apakah Aku mengurangi pahala (yang kujanjikan) bagi
kalian?’ tanya Allah. ‘Tidak,’ jawab mereka. ‘Itulah keutamaan yang
kuberikan kepada siapa yang kukehendaki,’ jawab Allah”.
Dalam
hadits lainnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Al–Asy’ari,
bahwa Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Perumpamaan
kaum muslimin, Yahudi, dan Nasrani ialah seperti seseorang yang menyewa
suatu kaum agar bekerja hingga malam. Maka kaum tersebut bekerja hingga
tengah hari dan mengatakan, ‘Kami tak butuh kepada upahmu.’ Lalu, orang
tersebut mengupah kaum lainnya dan berkata, ‘Lanjutkanlah waktu yang
tersisa dari hari ini dan kalian akan mendapat upah yang kusyaratkan.’
Maka, mereka pun bekerja hingga tiba waktu salat asar dan berkata,
‘Jerih payah kami untukmu (tidak minta upah).’ Kemudian, orang tersebut
menyewa kaum lainnya dan kaum tersebut bekerja mengisi sisa waktu hari
itu hingga tenggelam matahari dan mereka mendapat upah sebanyak upah
kedua kaum sebelumnya.”
(Artinya, walau tempo kerja mereka paling singkat, namun upahnya setara dengan upah yang disyaratkan bagi kedua kaum sebelum mereka, yang bekerja dari pagi hingga sore.)
(Artinya, walau tempo kerja mereka paling singkat, namun upahnya setara dengan upah yang disyaratkan bagi kedua kaum sebelum mereka, yang bekerja dari pagi hingga sore.)
Dalam
syarahnya yang berjudul Fathul Baari (jilid 4 hal 566 cet. Daarul Kutub
Al–Ilmiyyah), Ibnu Hajar mengatakan sebagai berikut yang artinya: “Hadits
ini dijadikan dalil bahwa eksistensi umat ini mencapai lebih dari
seribu tahun, sebab konsekuensi dari hadits ini ialah bahwa eksistensi
Yahudi setara dengan gabungan eksistensi (umur) Nasrani dan muslimin.
Sedangkan ahli sejarah telah sepakat bahwa tenggang waktu yang dilalui
umat Yahudi hingga diutusnya Nabi adalah lebih dari 2000 tahun,
sedangkan tempo yang dilalui Nasrani hingga diutusnya Nabi adalah 600
tahun, dan ada pula yang mengatakan kurang dari itu, sehingga tempo
yang akan dilalui kaum muslimin pasti lebih dari seribu tahun.”
(Ini berarti bahwa Ibn Hajar sekadar menukil pendapat sebagian kalangan dalam menafsirkan hadits tersebut tanpa menyebut siapa orang yang berpendapat. Dengan kata lain, ini pendapat yang bersumber dari orang misterius yang agaknya bukan tergolong ulama panutan. Andai saja orangnya tergolong ulama panutan, pastilah namanya layak untuk disebutkan. Jadi, Ibnu Hajar sendiri sama sekali tidak bisa dianggap menyetujui pendapat tersebut karena beliau sendiri menukilnya dengan shighat mabni lil majhul, yang identik dengan shighat tamridh, dan shighat tamridh mengesankan lemahnya pendapat yang dinukil.)
(Ini berarti bahwa Ibn Hajar sekadar menukil pendapat sebagian kalangan dalam menafsirkan hadits tersebut tanpa menyebut siapa orang yang berpendapat. Dengan kata lain, ini pendapat yang bersumber dari orang misterius yang agaknya bukan tergolong ulama panutan. Andai saja orangnya tergolong ulama panutan, pastilah namanya layak untuk disebutkan. Jadi, Ibnu Hajar sendiri sama sekali tidak bisa dianggap menyetujui pendapat tersebut karena beliau sendiri menukilnya dengan shighat mabni lil majhul, yang identik dengan shighat tamridh, dan shighat tamridh mengesankan lemahnya pendapat yang dinukil.)
Ibnu Hajar juga mengatakan sebelumnya sebagai berikut: “Hadits
ini juga mengandung isyarat akan singkatnya umur dunia yang tersisa.
Jadi, kalkulasi umur umat Islam sama dengan umur Yahudi dikurangi umur
Nasrani, alias 2000 lebih sedikit dikurangi 600 tahun, yakni 1400 tahun
lebih sedikit.”
Sementara itu, As–Suyuti dalam kitab (الكشف عن مجاوزة هذه الأمة الألف) mengatakan: “Berdasarkan
sejumlah riwayat (atsar), umur umat ini (islam) adalah lebih dari
seribu tahun, namun lebihnya tidak mungkin lebih dari 500 tahun (al
Kasyf hal 206). Artinya, maksimal umur umat ini adalah 1500 tahun.”
Dari
kedua pendapat inilah lantas disimpulkan bahwa umur umat Islam berkisar
antara 1400-1500 tahun, sedangkan kita saat ini berada pada tahun 1437
H.
Sebagaimana
dimaklumi, bila ditambahkan 13 tahun (periode prahijrah sejak masa
kenabian Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam), berarti umur umat
Islam saat ini adalah 1450 tahun. Artinya, tempo yang tersisa sehingga
umat ini punah ialah 50 tahun saja. Dan bila kita tinjau dari hadits
shahih tentang turunnya Isa Al-Masih di akhir zaman menjelang kiamat,
kita dapatkan bahwa Isa Al-Masih akan hidup selama 40 tahun di bumi
sebelum akhirnya wafat dan disalatkan oleh kaum Muslimin (berdasarkan
H.R. Abu Dawud, disahihkan oleh Al-Albani). “Artinya, turunnya Isa
Al-Masih tinggal kurang dari 10 tahun lagi dari sekarang! Dan turunnya
Isa Al-Masih merupakan salah satu tanda besar hari kiamat!” demikianlah
menurut pendapat yang meyakini kalkulasi tersebut.
Koreksi Atas Kalkulasi Di Atas
Perlu diketahui, bahwa kedua hadits dalam Shahih Bukhari di atas, bukanlah dalam konteks menjelaskan umur umat Islam, melainkan sekadar membuat perumpamaan.
Perlu diketahui, bahwa kedua hadits dalam Shahih Bukhari di atas, bukanlah dalam konteks menjelaskan umur umat Islam, melainkan sekadar membuat perumpamaan.
Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali (wafat 795 H): “Hadits
ini disampaikan oleh Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam sekedar sebagai
perumpamaan, dan perumpamaan itu cenderung bersifat longgar.” (Fathul Baari 4/341)
Sementara itu, Imamul Haramain (wafat 478 H) mengatakan: “Hukum-hukum agama tidak boleh diambil dari hadits-hadits yang disampaikan dalam bentuk perumpamaan.” (Fathul Baari 2/50).
Jadi, sabda Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bahwa, “Perumpamaan eksistensi kalian (umat Islam) dibanding umat-umat sebelum kalian…”jelas
dalam rangka membuat perumpamaan karena menggunakan harf tasybih
(“kaaf”). Ini bisa dilihat kembali dalam lanjutan hadits tersebut (كما
بين صلاة العصر إلى غروب الشمس) yang diterjemahkan sebagai “seperti waktu antara salat asar hingga tenggelam matahari”.
Perhatikan satu contoh, ketika dikatakan (كاألسد زيد) “Zaid seperti singa”,
artinya bukan berarti sama persis seperti singa, melainkan ada salah
satu sifat khas singa yang dimiliki Zaid, yaitu pemberani. Dan berdasar
kaidah dalam metode penyerupaan, yang diserupakan tidak harus sama
dengan contohnya, kata benda yang terletak sebelum kata “seperti” tidak
harus sama persis dengan yang terletak setelahnya. Ibnu Hajar
mengatakan, “Penyerupaan dan permisalan tidak harus berarti menyamakan
dari semua sisi” (Fathul Baari, 2/50).
Dengan
demikian, ketika Nabi menyerupakan eksistensi kita dibanding umat-umat
sebelumnya ialah seperti tempo antara masuknya waktu asar hingga
terbenam matahari, maka ini sekedar permisalan dengan maksud mubaalaghah (majas
hiperbola) dalam menjelaskan dekatnya terjadinya hari kiamat. Dan hal
ini bukan berarti bahwa eksistensi umat akan sesingkat itu. Dari sini,
jelaslah bahwa Nabi tidak sedang menjelaskan umur umat Islam dalam
hadits tersebut, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kalangan.
Dan
sanggahan pertama atas syubhat ini ialah bahwa yang disebutkan dalam
hadits itu sekadar perumpamaan yang bersifat longgar dan tidak bisa
menjadi sumber hukum (hujjah) dalam masalah fikih. Hal ini sebagaimana
yang dijelaskan oleh sejumlah ulama seperti Imamul Haramain, Ibnu Rajab
dan Ibnu Hajar.
Oleh karenanya, dalam syarahnya Ibnu Hajar mengatakan, “Mereka
yang lebih banyak amalnya (Yahudi dan Nasrani) tidak harus berarti
lebih lama eksistensinya karena ada kemungkinan bahwa beramal di masa
mereka lebih berat sehingga pahalanya otomatis lebih besar. Hal ini
dikuatkan oleh firman Allah yang artinya, ‘Wahai Rabb kami, janganlah
Kaubebankan kepada kami beban yang berat, sebagaimana yang telah Kau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami’.”
Alasan
lain yang menguatkan bahwa yang dimaksud oleh hadits ini ialah sebatas
banyak sedikitnya amal tanpa dikaitkan dengan panjang pendeknya tempo
masing-masing umat adalah bahwa mayoritas ahli sejarah menyebutkan
selang waktu antara Nabi Isa ‘alaihissalaam dengan Nabi kita
shallallaahu’alaihi wa sallam adalah 600 tahun, dan ini merupakan
pendapat Salman Al Farisi yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari.
Meski
demikian, ada pula yang berpendapat bahwa temponya kurang dari itu,
sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa selang waktunya hanya 125 tahun!
Padahal,
kita menyaksikan bahwa selang waktu yang telah dilalui oleh umat Islam
sejauh ini adalah lebih dari 600 tahun (Dengan mengingat bahwa Ibnu
Hajar hidup antara tahun 773-852 H, yang berarti bahwa ketika beliau
menuliskan kata-kata tersebut, umat Islam telah berumur lebih dari 800
tahun sejak diutusnya Rasulullah shallallaahu‘alaihi wa sallam.).
Dengan
demikain, bila kita berpegang pada pendapat bahwa yang dimaksud adalah
perumpamaan panjang pendeknya tempo masing-masing umat (alias bukan
banyak sedikitnya amal mereka), maka konsekuensinya waktu asar harus
lebih panjang daripada waktu zuhur, padahal tidak ada seorang alim pun
yang berpendapat demikian. Ini berarti bahwa yang dimaksud lewat
perumpamaan tersebut sebenarnya ialah banyak-sedikitnya amalan.
Wallaahu Ta’ala a’lam.(Fathul Baari, Ibnu Hajar, 2/50-51, cet. Daarul Kutub Al-Ilmiyyah).
Ibnu Rojab mengatakan, “Menentukan
sisa waktu (umur) dunia dengan bersandar kepada hadits-hadits seperti
ini adalah sesuatu yang tidak dibenarkan karena hanya Allah-lah yang
mengetahui kapan terjadinya kiamat, dan tidak seorang pun yang
diberitahu tentang waktunya. Oleh karenanya, Nabi ketika ditanya
tentang kapan terjadinya kiamat telah menjawab, ‘Orang yang ditanya
tidak lebih tahu daripada yang bertanya’.” Jadi, maksud dari
perumpamaan Nabi dalam hadits ini ialah sekedar mendekatkan waktu
terjadinya hari kiamat, tanpa menentukan waktunya.” (Fathul Baari, Ibnu Rajab, 4/338).
Selain itu, bila kita perhatikan dalam hadits-hadits di atas, Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam menyebutkan dua hal,
Pertama: perumpamaan
antara ajal (umur) umat Islam dibanding ajal umat-umat sebelum kita.
Dan ini berarti meliputi seluruh manusia sejak zaman Adam ‘alaihissalam
hingga diutusnya Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam, alias tidak
terbatas pada kaum Yahudi dan Nasrani saja.
Kedua: perumpamaan
antara balasan amal umat islam dengan balasan amal dua umat besar
sebelum kita, yaitu Yahudi dan Nasrani. Kesimpulannya, menghitung umur
umat Islam dengan cara yang telah disebutkan (umur Yahudi minus umur
Nasrani) adalah keliru karena mestinya yang jadi acuan adalah umur
semua umat, yang dibandingkan dengan umat Islam. Dan umur semua umat
zahirnya seperti panjangnya waktu antara terbit fajar hingga waktu
asar, sedangkan umur umat islam sesingkat waktu antara asar hingga
magrib. Berhubung kita tidak tahu berapa lama usia umat-umat terdahulu,
maka mustahil kita bisa memprediksi umur umat Islam
Jadi,
perbandingan antara umat Islam dengan ahli kitab, bukan dalam hal
panjang-pendeknya umur masing-masing, melainkan dalam hal banyak
sedikitnya pahala yang didapat oleh masing-masing lewat amalnya. Ini
dikarenakan saat berbicara tentang umat Islam dengan ahli kitab,
Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam tidak menyebutkan “ajal” atau
“eksistensi”, tetapi menggunakan istilah “orang yang diberi kitab lalu
mengamalkannya hingga waktu tertentu”, atau dengan istilah “orang yang
mempekerjakan suatu kaum”, dan sejenisnya, sehingga tidak bisa menjadi
acuan untuk menghitung umur masing-masing umat.
Dari
sini, ketika disebut dalam hadits bahwa orang-orang Yahudi beramal
hingga tengah hari, tidak berarti mereka beramal sejak terbit fajar
karena sebelum mereka ada sejumlah umat yang berumur ribuan tahun telah
mendahului mereka dalam amal, dan Rasulullah shallallaahu’alaihi wa
sallam tidak menyebutkan sejak kapan Yahudi mulai beramal. Namun, hanya
dijelaskan bahwa mereka beramal hingga masuk waktu zuhur. Oleh
karenanya, tidak bisa dijadikan acuan untuk menghitung berapa umur
nisbah umur mereka dibanding umur Nasrani dan umat Islam.
Di
samping itu, hadits perbandingan umur kita dengan umur-umur umat
sebelum kita, bisa dipahami dari sisi lain, yaitu bahwa umur rata-rata
individu umat Islam adalah jauh lebih singkat dibanding umur rata-rata
individu umat-umat sebelumnya. Sebagaimana singkatnya waktu asar
dibanding waktu siang secara keseluruhan. Jika kita anggap waktu asar
sekitar 3 jam, sedangkan waktu siang adalah 12 jam, berarti rata-rata
umur individu umat Islam adalah seperempat umur individu umat
sebelumnya, namun umat Islam diberi pahala yang lebih besar. Pemahaman
ini justru lebih sesuai dengan maksud hadits yang ingin menonjolkan
besarnya karunia Allah atas umat Muhammad, yakni walau usianya lebih
pendek dan amalnya relatif lebih sedikit, tetapi pahala yang
diterimanya lebih banyak.
Dalam
tulisan diatas telah dijelaskan beberapa poin sanggahan atas pendapat
yang mengatakan bahwa umur umat Islam adalah 1400-1500 tahun, dan masih
tersisa satu pendapat lagi yang belum disanggah, yaitu pendapat
As-Suyuti rahimahullah.
Setelah merujuk ke kitab As Suyuti, ternyata atsar-atsar yang menjadi pijakan As-Suyuti hingga mengatakan bahwa Allah menangguhkan umat Islam sampai lebih dari 1000 tahun, dan lebihnya tidak akan lebih dari 500 tahun (alias maksimal umur umat ini adalah 1500 tahun), semuanya adalah atsar-atsar yang tergolong dha’if. Sementara atsar sahabat yang sahih dalam bab ini, menurut para ulama sumbernya adalah dari ahli kitab. Kesimpulannya, semua atsar ini tidak bisa jadi pijakan dalam masalah yang sangat vital seperti ini.
Setelah merujuk ke kitab As Suyuti, ternyata atsar-atsar yang menjadi pijakan As-Suyuti hingga mengatakan bahwa Allah menangguhkan umat Islam sampai lebih dari 1000 tahun, dan lebihnya tidak akan lebih dari 500 tahun (alias maksimal umur umat ini adalah 1500 tahun), semuanya adalah atsar-atsar yang tergolong dha’if. Sementara atsar sahabat yang sahih dalam bab ini, menurut para ulama sumbernya adalah dari ahli kitab. Kesimpulannya, semua atsar ini tidak bisa jadi pijakan dalam masalah yang sangat vital seperti ini.
Oleh
karenanya, pendapat As-Suyuti tersebut dibantah oleh As-Shan’ani dalam
risalahnya yang berjudul كم الباقي من عمر الدنيا؟ (Berapa Sisa Umur
Dunia?). As-Shan’ani menyebutkan atsar-atsar yang menjadi pijakan
As-Suyuti, yaitu:
1. Atsar Abdullah bin Amru bin Ash yang berbunyi:
يبقى الناس بعد طلوع الشمس من مغرهبا مائة وعشرين سنة
“Setelah matahari terbit dari Barat, manusia akan tetap eksis selama 120 tahun“.
2. Bahwasanya Isa Al-Masih akan tetap hidup selama 40 tahun setelah membunuh Dajjal.
3. Kemudian setelah itu Isa akan menggantikan kepemimpinan seorang lelaki dari Bani Tamim selama 3 tahun.
4.
Dan bahwasanya manusia akan tetap hidup 100 tahun setelah Allah
mengirim angin baik yang mencabut ruh setiap mukmin, akan tetapi mereka
yang masih hidup tersebut tidak mengenal agama apa pun.
Setelah menyebutkan atsar-atsar tadi, As-Shan’ani lantas berkata:
فهذه
مئتان وثلاث وستون سنة، ونحن الآن في قرن الثاني عشر، ويضاف إليه مئتان
وثلاث وستون سنة، فيكون الجميع أربعة عشر مئاة وثلاث وستون، وعلى قوله إنه
لا يبلغ خمسمئة سنة بعد الألف، يكون منتهى بقاء الأمة بعد الألف: أربعمئة
وثلاث وستين سنة، يتخرج منه أن خروج الدجال –أعاذنا الله من فتنته– قبل
انخرام هذه المئة التي نحن فيها!
“Berarti,
total temponya ialah 263 tahun, sedangkan kita saat ini berada pada
abad ke-12 hijriyah, yang bila ditambah 263 tahun, berarti totalnya
1463 tahun. Dan menurut pendapat As-Suyuti yang mengatakan, ‘Bahwa
penangguhan umur umat islam tidak lebih dari 500 tahun setelah berlalu
seribu tahun,’ berarti batas akhir eksistensi umat Islam setelah
melalui 1000 tahun, adalah 463 tahun. Kesimpulannya, keluarnya Dajjal
–semoga Allah melindungi kita darinya– adalah sebelum abad ke-12 H ini
berakhir!” (Risalah (كم الباقي من عمر الدنيا) hal 40.)
Jadi,
ternyata atsar-atsar yang dijadikan pijakan oleh As-Suyuti untuk
menentukan batas umur umat Islam maksimal adalah 1500 tahun itu
memiliki kalkulasi yang berbeda. Sebabnya, 1500 tahun itu masih
dikurangi peristiwa-peristiwa berikut:
1. Tempo 120 tahun setelah matahari terbit dari barat.
2. Tempo 40 tahun dari keberadaan Isa Al-Masih setelah terbunuhnya Dajjal.
3. Tempo 3 tahun ketika Isa menggantikan kepemimpinan seorang lelaki Bani Tamim.
4. Tempo 100 tahun setelah semua orang beriman diwafatkan melalui berhembusnya angin baik.
Totalnya
dari data di atas ialah 120 + 40 + 3 + 100 = 263 tahun. Kesimpulannya,
umur umat Islam harus berakhir setelah melalui (1500 – 263 =) 1237
tahun. Dengan kata lain, semua peristiwa besar tadi mestinya telah
muncul pada tahun 1237 H menurut kalkulasi As-Suyuti (yang ternyata
tidak terjadi)!
Dari
sini saja terbukti betapa rancunya pendapat tersebut, apalagi jika
dilihat dari banyaknya tanda-tanda hari kiamat yang belum muncul,
seperti jazirah Arab kembali menghijau dan dialiri sungai-sungai. Ini
pun bukan sesuatu yang bersifat temporer, melainkan menjadi ciri
dominan bagi jazirah Arab. Dan kita lihat sampai sekarang hal itu belum
terwujud.
Demikian pula tentang kaya rayanya umat Islam sehingga seseorang tidak lagi mendapati orang yang mau menerima sedekahnya.
Demikian
pula tentang kembalinya paganisme di jazirah Arab, penyembahan terhadap
berhala-berhala Latta dan ‘Uzza dan semisalnya yang dahulu pernah
disembah.
Demikian
pula perang besar antara kaum muslimin dengan Yahudi hingga orang-orang
Yahudi bersembunyi di balik batu dan pohon, lalu batu dan pohon
tersebut memanggil kaum muslimin, “Yaa Muslim (hai orang islam)… Yaa
‘Abdallaah (hai hamba Allah), ini ada orang Yahudi bersembunyi di
belakangku, kemari dan bunuhlah dia!” Dan panggilan ini (Yaa Muslim
ataupun Yaa ‘Abdallah) menunjukkan betapa Islam telah mewarnai kaum
muslimin, serta peribadatan kepada Allah semata (tauhid) juga telah
mendominasi kaum muslimin. Sebabnya, hakikat Islam adalah tauhid dan
panggilan tersebut adalah pengakuan atas keislaman kaum muslimin hari
itu .
.(penjelasan
Asy Syaikh Al ‘Allaamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin ketika ditanya
tentang bagaimana kaum muslimin dapat merebut kembali Palestina dari
tangan yahudi, dapat dilihat di: (كتب ورسائل الشيخ ابن عثيمين 8/117).
Kalau
kita lihat hari ini semua hal tersebut masih jauh dari kenyataan
mengingat syirik masih mendominasi umat yang mengaku muslim hari ini.
Entah perlu berapa lama lagi untuk mewujudkan Islam dan tauhid yang
sebenarnya di tengah-tengah umat. Wallaahu a’lam.
_____________
Penulis: DR. Sufyan bin Fuad Baswedan, MA, حفظه الله تعالى
Doktor Ilmu Hadits dari Universitas Islam Madinah, KSA.
Solo, 29 Jumada Tsaniyah 1437 H, bertepatan dengan 7 Maret 2016 M.
Doktor Ilmu Hadits dari Universitas Islam Madinah, KSA.
Solo, 29 Jumada Tsaniyah 1437 H, bertepatan dengan 7 Maret 2016 M.
Referensi:
• Shahih Bukhari.
• Kitab (الإفحام لمن زعم انقضاء عمر أمة الإسلام), Abdul Hamid Hindawi.
• Risalah (كم الباقي من عمر الدنيا؟) Ash Shan’ani.
• Fathul Baari, Ibnu Rojab Al Hambaly.
• Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqalani.
• (كتب ورسائل الشيخ ابن عثيمين 8/117) Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
• Shahih Bukhari.
• Kitab (الإفحام لمن زعم انقضاء عمر أمة الإسلام), Abdul Hamid Hindawi.
• Risalah (كم الباقي من عمر الدنيا؟) Ash Shan’ani.
• Fathul Baari, Ibnu Rojab Al Hambaly.
• Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqalani.
• (كتب ورسائل الشيخ ابن عثيمين 8/117) Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
posted by:
Zainal Abidin bin Syamsuddin, حفظه الله تعالى
from=http://bbg-alilmu.com/archives/24439