CANDA MENURUT SUNNAH RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM KRITERIA DAN TUJUANNYA[1]
Canda
tawa merupakan irama kehidupan yang tidak mungkin terhindarkan, apalagi
jika kita hidup di tengah masyarakat. Terkadang canda itu menjadi cara
untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar kita, bahkan dalam
kondisi tertentu canda menjelma menjadi metode pendidikan yang jitu.
Tidak bisa dipungkiri, canda di saat-saat tertentu memang dibutuhkan
untuk menciptakan suasana rileks dan santai guna mengendorkan urat
syaraf, menghilangkan rasa pegal dan capek sehabis melakukan aktifitas
yang menguras konsentrasi dan tenaga. Diharapkan setelah itu badan
kembali segar, mental stabil, semangat bekerja tumbuh kembali, sehingga
produktifitas semakin meningkat.
HUKUM CANDA DALAM ISLAM
Pada dasarnya, bercanda hukumnya mubah (boleh), selama materi candaan itu bersih dari semua yang terlarang atau diharamkan dalam agama, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bercanda.
Al-‘Iz bin Abdissalam rahimahullah berkata, “Jika
ada yang bertanya, ‘Bagaimana pendapat kalian tentang bercanda? Maka
kami jawab, ‘Bercanda boleh bila menimbulkan rasa nyaman, baik itu bagi
orang yang mengajak bercanda, atau bagi orang yang diajak bercanda,
atau bagi keduanya.[2]
Imam Nawawi rahimahullah juga berpendapat senada sebagaimana disebutkan didalam kitab al-Adzkâr (hlm. 581). Di situ, beliau rahimahullah menetapkan bahwa
bercanda dengan tujuan merealisasikan kebaikan, atau untuk menghibur
lawan atau untuk mencairkan suasana, maka itu tidak terlarang sama
sekali, bahkan canda seperti ini termasuk sunnah yang mustahab
(disukai).
Diantara dalil-dalil yang mendasari bolehnya bercanda adalah sebagai berikut:
- Hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dalam kitab Sunannya, no. 1913, dan dalam kitab asy-Syamâ’il al-Muhammadiyah, no. 238. Menurut beliau hadits ini derajatnya hasan shahih, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata:
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا؟ قَالَ: نَعَمْ غَيْرَ إِنِّي لَا أَقُولُ إِلَّا حَقًّا
Para Sahabat berkata, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya engkau mencadai kami.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Betul, akan tetapi saya tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang benar.[3]
- Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, no. 13817; Abu Daud, no. 4998 dan at-Tirmizi, no.1991 dari Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Anas Radhiyallahu anhu, seorang laki-laki meminta kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dibawa serta di atas tunggangannya, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا
حَامِلُكَ عَلَى وَلَدِ نَاقَةٍ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا
أَصْنَعُ بِوَلَدِ نَاقَةٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَهَلْ تَلِدُ الْإِبِلَ إِلَّا النُّوقُ
“Aku akan membawamu dengan anak unta.” Laki-laki
itu berkata, “Wahai Rasûlullâh! Apa yang bisa saya perbuat dengan anak
unta?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah ada unta yang tidak dilahirkan oleh unta betina.”[4]
Artinya semua unta itu adalah anak dari unta betina yang melahirkannya.
- Hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim juga at-Tirmidzi dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bergaul dan membaur bersama kami, sampai-sampai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada adikku yang masih kecil:
يَا أَبَا عُميرٍ مَا فَعلَ النُّغَيرُ
Wahai Abu Umair! Apakah yang telah dilakukan oleh an-nughair?[5]
an-Nughair adalah burung kecil.
Hadit-hadits
di atas dan hadits-hadits lain yang semisal menunjukkan bahwa bercanda
itu boleh, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para Ulama. Terkadang
hukum mubah (boleh) ini bisa naik derajatnya menjadi mustahab (disunatkan)
apabila maksudnya untuk merealisasikan sebuah kebaikan atau
menghiburkan lawan bicara, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh
Imam Nawawi di atas.
Al-Hafiz Ibn Hajar rahimahullah mengatakan, “Candaan
yang bersih dari segala yang dilarang dalam agama hukumnya mubah.
Apabila bertepatan dengan suatu kemaslahatan seperti bisa menghibur
lawan bicara atau mencairkan suasana, maka hukumnya mustahab.”[6]
Izzuddin bin Abdissalam as-Syâfi’i rahimahullah mengatakan, “Dahulu
aku pernah ditanya tentang canda, materinya dan canda yang
diperbolehkan, maka aku jawab, ‘Canda disunnahkan diantara saudara,
teman dan sahabat, karena canda bisa membuat hati senang dan suasana
yang bersahabat, akan tetapi dengan syarat materi candaan tidak mengandung unsur tuduhan, ghibah dan tidak berlebihan sehingga bisa mengikis wibawa.”[7]
Dalam kitab al-Mausû’ah al-Kuwaitiyah (36/273)
disebutkan bahwa bercanda tidak menghilangkan kesempurnaan, bahkan
sebaliknya bercanda bisa menjadi pelengkap kesempurnaan jika sesuai
dengan aturan syari’at. Misalnya, canda tapi tetap jujur tidak dusta,
tujuannya untuk menarik dan menghibur orang-orang yang lemah, atau
untuk menampakkan sikap lemah-lembut kepada mereka. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda, namun canda Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersih dari segala yang terlarang dan tidak sering
dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Canda yang seperti ini hukumnya
sunnah. Karena hukum asal perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah wajib diikuti atau sunnah untuk diteladani kecuali ada
dalil yang melarangnya. Dan dalam masalah canda ini tidak ada dalil
yang melarang. Berdasarkan ini, maka jelas hukumnya sunnah sebagaimana
yang dikatakan oleh para Ulama.
Berdasarkan
nukilan perkataan para Ulama di atas diketahui bahwa bercanda hukum
asalnya mubah, namun terkadang bisa menjadi sunnah bila bermaksud
menghibur, terutama bila melihat teman atau saudara dalam keadaan susah
atau murung. Ini didukung dengan hadits dari Sahabat Anas bin Malik
Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa anak
Ummu Sulaim yaitu Abu Umair terkadang diajak canda oleh Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada suatu hari, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam datang untuk mencandainya, akan tetapi Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatinya sedang bersedih. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Ada apa dengan Abu Umair, saya melihatnya sedang bersedih?” Para Sahabat menjawab, “Wahai Rasûlullâh! Burung kecil yang biasa dia ajak bermain mati.” Lalu Rasûlullâhpun memanggilnya, “Wahai Abu Umair! Apa yang diperbuat oleh nughair?”
Apa
yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam penggalan
kisah di atas bertujuan meringankan beban kesedihan anak kecil yaitu
Abu Umair Radhiyallahu anhu yang kehilangan burung kesayangannya.
HIKMAH DARI PENSYARIATAN CANDA
Dari
pemaparan di atas tampak jelas bahwa hikmah disyariatkan bercanda yaitu
menghibur saudara. Karena canda tidak diperbolehkan kecuali jika
materinya berisi hal-hal yang bisa menghibur pelaku saja, atau orang
yang dicandai atau dua-duanya, sebagaimana perkataan al-‘Iz bin
Abdissalam rahimahullah.
Namun canda yang diperbolehkan atau bahkan yang disunatkan di atas terikat dengan ketentuan-ketentuan syari’at. Jika ketentuan-ketentuan ini dilanggar, berarti canda itu masuk kategori canda yang tercela dan terlarang.
KRITERIA CANDA YANG DIBOLEHKAN
Diantara ketentuan-ketentuan itu adalah:
- Selalu jujur dan tidak bohong
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Ketika para Sahabat berkata, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya engkau menyandai kami.” Beliau bersabda, “Betul, hanya saja saya tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang benar (jujur)."
Dalil lainnya, hadits yang diriwayatkan al-Mubârak bin Fadhâlah dari al-Hasan al-Bashri, beliau berkata bahwa
ada seorang nenek datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
berkata, “Wahai Rasûlullâh! Mintalah kepada Allâh Azza wa Jalla agar
aku dimasukkan ke dalam surga.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Wahai Ummu Fulan! Sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh nenek-nenek.” Mendengar ini, nenek itu pergi sambil menangis. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para Sahabatnya, “Kabarkan kepadanya bahwa dia tidak akan masuk surga dalam keadaan tua. sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً ﴿٣٥﴾ فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا ﴿٣٦﴾ عُرُبًا أَتْرَابًا
Sesungguhnya
Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami
jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya. [Al-Wâqi’ah/56:35-37][8]
- Canda itu tidak berlebihan dan tidak dilakukan secara rutin
Ar-Rhâgib al-Asfahani rahimahullah berkata, “Apabila canda tidak berlebihan, maka itu terpuji.”
Canda
yang berlebihan akan menyebabkan banyak tawa, terkadang dendam, bisa
menjatuhkan wibawa, melalaikan orang dari zikir kepada Allâh dan
melalaikan hal-hal penting dalam agama. Sedangkan canda yang rutin akan
menyibukkan diri dengan permainan dan sesuatu yang sia-sia. Al-Murthada
az-Zubaidi rahimahullah mengatakan, “Para
imam mengatakan bahwa canda yang berlebihan mencoreng kewibawaan, dan
menjauhkan diri dari canda sama sekali, melanggar sunnah dan sirah
nabawiyah yang diperintahkan untuk diteladani. Sebaik-baik perkara
adalah yang tengah-tengah.”[9]
Di sini ada poin penting yang dilanggar oleh banyak orang, dimana mereka menjadikan canda sebagai sebuah profesi untuk membuat manusia tertawa dengan kedustaan dan berpura-pura (akting),
seperti para pelawak dan para kartunis yang sering menjadikan syari’at
Islam sebagai bahan candaan, ditambah lagi materinya yang berisi celaan
dan tuduhan. Ini semua karena kebodohan mereka terhadap ajaran agama
Islam, kurang memiliki rasa malu dan akal mereka lemah. Na’udzu billah.
Canda seperti ini akan menimbulkan kemarahan dan dendam di hati serta
pelakunya mendapatkan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat dari Bahz bin Hakîm
dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata, “Saya mendengar Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Celakalah orang yang mengucapkan sebuah perkataan dusta untuk membuat orang tertawa. Celakalah dia… Celakalah dia[10]
Disebutkan dalam kitab Faidul Qadîr,
“Rasûlullâh mengulang-ulang do’anya dengan maksud memberikan gambaran
betapa parah celaka yang akan menimpa itu. Karena dusta itu sendiri
merupakan sumber semua kejelekan dan inti semua keburukan. Apabila
dusta menyatu dengan keinginan memancing tawa yang bisa mematikan hati,
menyebabkan lupa, maka akhirnya perbuatan ini menjadi keburukan yang
paling jelek.”
Sebagian
Ulama mengatakan bahwa merupakan kesalahan fatal menjadikan canda
sebagai profesi yang dilakukan secara rutin dan berlebihan, kemudian
dia berdalih dengan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dia ini seperti orang menghabiskan waktu untuk melihat dan menikmati
tarian para dancer dan berdalih bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengizinkan ‘Aisyah Radhiyallahu anhu menonton tarian perang
pada hari raya. Ini sebuah kesalahan.
- Candanya tidak menimbulkan rasa dongkol, marah dan dendam.
Apabila candanya menimbulkan hal-hal di atas, maka menurut para Ulama, hukumnya salah satu diantara haram atau makruh.[11]
Oleh karena itu termasuk dalam adab canda yaitu tidak bercanda dengan orang yang tidak bisa diajak bercanda.
Karena bercanda dengan orang yang seperti hanya menjadi salah satu
sebab permusuhan dan bisa memutus hubungan kekeluargaan. Sebagian orang
menganggap semua perkataan dan perbuatan itu serius, atau tidak suka
bercanda dengan orang tertentu. Berdasarkan ini, kita harus mengenali
keperibadian lawan bicara kita, agar tidak salah dan berefek buruk
ketika bercanda.
- Candanya bukan dengan seuatu yang metakutkan.
Apabila seperti itu, maka hukumnya tercela, bahkan bisa haram.
Dalilnya
yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin as-Sâ-ib bin Yazîd
dari bapaknya, dari kakeknya, dia mendengar Rasûlullâh bersabda:
لاَيَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيْهِ لاَعِبًا وَلاَ جَادًّا
Jangalah salah seorang diantara kalian mengambil barang saudaranya baik itu dalam rangka bercanda ataupun serius.[12]
Mengambil dengan tujuan bercanda maksudnya dia mengambil barang saudaranya dengan niat akan mengambalikannya.[13]
Dalil lainnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Laila, dia berkata, “Kami
diberitahukan oleh para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa suatu ketika mereka melakukan perjalanan bersama
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian salah seorang dari
mereka tertidur, sebagian dari mereka mendatanginya dan mengambil anak
panahnya. Ketika orang tertidur itu terjaga dia kaget dan ketakutan,
sehingga semua orang tertawa. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya, “Apakah yang membuat kalian tertawa?” Mereka menjawab, “Kami mengambil anak panahnya kemudian dia terkejut.” Mendengar ini, Rasûlullâh bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
Tidak halal bagi seorang Muslim menakuti Muslim lainnya[14]
- Canda dilakukan dengan tutur kata yang baik dan perbuatan yang elok.
Orang
yang hendak mencandai orang lain harus menjauhi perkataan yang jelek
dan keji, juga harus menjauhi perbuatan buruk yang bertolak belakang
dengan adab kepada teman. Karena itu semua berpotensi mendatangkan
kebencian dan kedengkian.
- Canda hendaknya diperuntukkan bagi orang yang membutuhkannya, seperti wanita dan anak-anak. Begitulah canda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya candaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperuntukkan bagi wanita dan anak-anak.
TUJUAN DARI CANDA YANG DIPERBOLEHKAN
Islam membolehkan canda untuk mencapai tujuan-tujuan yang agung, diantaranya:
- Berpartisipasi dalam memperkokoh dan mempererat hubungan antar individu masyarakat. Karena salah satu tujuan di perbolehkannya canda adalah memberikan suasana segar dalam pergaulan diantara dua orang atau lebih yang saling bersahabat dan menjaga perasaan untuk ingin selalu jumpa.
- Meningkatkan semangat beraktivitas dan meningkatkan kemampuan dalam menangggung beban kehidupan. Karena manusia terkadang mangalami futur (lemah semangat atau lesu) dalam melakukan ibadah, bosan dengan kesibukan-kesibukan dan berbagai beban kehidupan, sehingga dia butuh refresing dan permainan yang diperbolehkan.
Khalîl bin Ahmad al-Farâhidi rahimahullah mengatakan bahwa manusia akan merasa terpenjara jika mereka tidak mau bercanda.[15]
Ini
juga bisa menjadi metode yang jitu untuk membangkitkan semangat untuk
beribadah, bekerja dan melakukan berbagai aktifitas yang positif.
- Mempermudah untuk meluluhkan hati orang lain agar mau tunduk dan taat. Itulah yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya baik kepada laki-laki, perempuan, ataupun anak-anak.
- Mengobati hati yang lemah. Oleh karena itu, kebanyakan canda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilakukan bersama kaum wanita dan anak-anak demi mengobati hati mereka yang lemah.
- Menghadirkan senyum di bibir dan menebar kebahagian serta suka cita di hati.
Senyum
dan tawa adalah hal yang dibutuhkan oleh semua orang. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang tersenyum dan tertawa, namun
senyum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sering terlihat
daripada tawa. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergaul dan
bercanda dengan keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kebahagian dan rasa suka cita
dalam hati-hati mereka.
- Mendidikan orang yang diajak bercanda dan meluruskan prilakunya
Tujuan ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr al-Mâzini Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Ibuku
memintaku untuk membawakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
setangkai buah anggur, akupun memakan sebagiannya sebelum aku sampaikan
kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah aku sampai dan
menyerahkan anggur tersebut Beliau memegang telingaku seraya bersabda, “Wahai ghudar”[16]
Ghudar, artinya orang yang tidak menunaikan amanah.
Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa Rasûlullâh ingin bermain dan bercanda dengan anak kecil ini.
Inilah
sebagian kriteria dan tujuan diperbolehkannya bercanda. Barangsiapa
memperhatikan tujuan dan kriteria dalam candanya maka candanya adalah
canda yang diperbolehkan. Namun, barangsiapa melanggarnya atau
melanggar sebagiannya berarti dia menyimpang dari jalur kebenaran, dan
terjatuh dalam canda yang tercela. Canda yang tercela : semua canda
yang merusak rasa malu dan mencoreng kehormatan. Diantara kriteria
canda yang tercela sebagai berikut:
- Canda yang mengandung unsur ejekan terhadap agama Islam atau salah satu syari’atnya. Candaan seperti bisa menyebabkan orang yang melakukannya keluar dari Islam, karena mengejak ajaran Islam salah satu diantara yang bisa membatalkan keislaman seseorang.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ﴿٦٥﴾ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Dan
jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda
gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allâh,
ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” , Tidak usah
kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman [At-Taubah/9:65-66]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mengejek Allâh, ayat-ayat-Nya, para Rasul-Nya merupakan kekufuran. Pelakunya bisa menjadi kafir dengan sebab perbuatannya itu.”[17]
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah ketika menafisirkan ini mengatakan, “…
Sesungguhnya menghina atau mengejek Allâh Azza wa Jalla, ayat-ayat-Nya
dan Rasul-Nya adalah berbuatan kufur yang bisa menyebabkan pelakunya
keluar dari agama Islam. Karena pokok ajaran agama ini terbangun diatas
pengagungan terhadap Allâh Azza wa Jalla, pengaguangan terhadap
agama-Nya dan Rasul-Nya, sementara mencela salah satunya bertentangan
menghilangkan pokok agama ini dan sangat bertentangan dengannya.”
Semisal
dengan ini, perbuatan sebagian orang yang mengejek sebagian sunnah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti mengejek jenggot,
hijab atau celana yang di atas mata kaki atau sunnah-sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya. Perkataan dan perbuatan
seperti ini adalah kemungkaran. Dan ini merupakan perbuatan orang-orang
munafik. Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menjaga kita semua dari perkataan dan perbuatan yang sangat berbahaya ini.
Masalah
ketuhanan, kerasulan, wahyu, dan agama merupakan masalah yang terhormat
dan mulia. Siapapun tidak diperbolehkan menyia-nyiakannya, baik dengan
mengejek, atau menertawakannya, atau merendahkannya. Jika ada orang
yang berani melakukan itu, berarti dia telah kufur. Karena perbuatannya
tersebut mengisyaratkan penghinaannya terhadap Allâh Azza wa Jalla,
Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan syari’at-Nya. Orang yang pernah
melakukannya wajib bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dari
perbuatannya yang jelek tersebut.
Diantara
kesalahan yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dalam masalah ini
yaitu menjadikan masalah-masalah yang ghaib yang wajib diimani sebagai
bahan candaan, seperti masalah surga, neraka atau siksa kubur yang
dijadikan oleh Allâh Azza wa Jalla sebagai pengingat dan motivator bagi
seorang hamba untuk meraih apa yang telah dijanjikan oleh Allâh Azza wa
Jalla pada hari kiamat.
Oleh karena itu perbuatan ini wajib dihindari.
- Mengejek orang lain dengan kedipan mata atau dengan sindiran
Dalam al-Qur’an, Allâh telah melarang hal tersebut, sebagaimana firman-Nya Azza wa Jalla:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ
يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ
يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ
Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih
baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman [Al-Hujurat/49: 11],
Ibnu Katsir rahimahulla berkata, “Allâh
Subhanahu wa Ta’ala melarang perbuatan mengejek manusia, yaitu
perbuatan meremehkan, dan mengolok-olok manusia, sebagaimana yang
terdapat dalam hadits yang shahih, dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الكِبْرُ بَطَرُ الْـحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Kesombongan itu adalah menolak kebenaran, dan merendahkan manusia,
Perbuatan
merendahkan dan meremehkan orang lain adalah perbuatan yang diharamkan.
Boleh jadi orang yang direndahkan atau diremehkan lebih tinggi
kedudukannya di sisi Allâh Azza wa Jalla, atau lebih dicintai oleh
Allâh Azza wa Jalla daripada orang mengejek dan merendahkan.[18]
Sebagian orang yang suka mengolok terkadang menemukan orang yang bisa mereka jadikan bahan ketawaan dan candaan. Na’ûdzu billâh.
Perbuatan seperti ini perbuatan terlarang dan hendaklah orang-orang
seperti ini mengetahui dan mengingat sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، وَلَا يَحْقِرُهُ … كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Seorang
Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lainnya. Dia tidak boleh
menzhaliminya, menghinanya dan meremehkannya …. sesungguhnya darah,
harta, dan kehormatan seorang Muslim diharamkan bagi Muslim yang lain.[19]
- Canda yang bisa mencelakai orang yang dicandai
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا
يُشِيرُ أَحَدُكُمْ عَلَى أَخِيهِ بِالسِّلَاحِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي
لَعَلَّ الشَّيْطَانَ يَنْزِعُ فِي يَدِهِ فَيَقَعُ فِي حُفْرَةٍ مِنْ
النَّارِ
Tidak
boleh bagi salah seorang dari kalian mengarahkan atau mengacungkan
senjata tajam kepada saudaranya, karena dia tidak tahu bisa jadi
syaitan mengganggu tangannya sehingga dia bisa terjatuh kedalam
kubangan api neraka[20],
Dan dalam riwayat Muslim, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أشَارَ إلَى أخِيهِ بِحَدِيدَةٍ ، فَإنَّ المَلاَئِكَةَ تَلْعَنُهُ حَتَّى يَدَعَهُ ، وَإنْ كَانَ أخَاهُ لأَبِيهِ وَأُمِّهِ
Barangsiapa
mengacungkan potongan besi kepada saudaranya, maka dia dilaknat
Malaikat sampai dia meninggalkannya, walaupun itu saudara seibu dan
sebapak.[21]
Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata, “Dalam
hadits tersebut terdapat larangan dari segala sesuatu yang bisa
menghantarkan kepada semua yang terlarang, walaupun yang sesuatu
terlarang tersebut tidak terjadi, baik itu ketika bercanda atau serius.”[22]
Pada sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Walaupun itu saudara kandungnya”
terdapat penekanan dalam menjelaskan keumuman larangan, tidak
diperbolehkan bercanda seperti diatas kepada siapapun, dan dalam
situasi apapun, baik canda ataupun serius, karena membuat muslim
menjadi takut, gusar, resah hukumnya haram pada setiap keadaan. Karena
terkadang juga senjata yang dipakai bermain itu benar-benar mengenai
saudaranya tanpa sengaja.[23]
Maka
hati-hatilah wahai saudaraku dari perbuatan seperti di atas, perbuatan
yang bisa menghantarkan kita pada ancaman dasyat, yaitu terjauhkan dari
rahmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
- Canda yang mengandung dusta dan ghibah
Poin
pertama yaitu tentang candaan yang mengandung dusta sudah dijelaskan
pada penjelasan di atas. Adapun poin yang kedua, yaitu ghibah, ini
merupakan penyakit yang buruk dan termasuk dosa besar.
Cerita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa Isra’
mi’raj mestinya sudah memberikan gambaran betapa buruknya perbuatan
ini. Anas bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَمَّا
عُرِجَ بِيْ مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُون
بها وُجُوْهَهُمْ وصُدورَهم فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلاَءِ يَا جِبْرِيْلُ؟
قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُـحُوْمَ النَّاسِ
وَيَقَعُوْنَ فِي أَعْرَاضِهِم
Ketika
saya diangkat ke langit (dalam peristiwa isra’ dan Mi’raj), saya
melalui satu kaum yang memiliki kuku panjang terbuat dari tembaga,
mereka mencakar wajah dan dada mereka, maka saya berkata, ‘Siapakah
mereka itu wahai Jibril? Jibril Alaihissallam menjawab, ‘Mereka adalah
orang yang memakan daging manusia dan mencela kehormatan mereka.’[24]
Terkadang perbuatan buruk ini terlihat indah dan bagus bagi orang
sebagian orang, sehingga dia tertarik untuk melakukannya. Semua
dilakukan dengan dalih canda dan untuk menghilangkan rasa jenuh dan
bosan, padahal tanpa dia sadari dia telah terjatuh dalam perbuatan ghibah yang diharamkan, yang telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
Tahukah
kalian, apa itu ghibah? Para Sahabat berkata, ‘Allâh dan Rasul-Nya
lebih mengetahui.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Ghibah adalah kamu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang
dia tidak sukai.’[25]
Jadi,
canda, ramah tamah, dan membuat orang lain menjadi senang dan bahagia
tidak bisa dilakukan dengan sesuatu yang diharamkan oleh Allâh Azza wa
Jalla .
Akhirnya,
inilah beberapa ketentuan dan tujuan bercanda. Semoga Allâh Azza wa
Jalla menjadikannya bermanfaat bagi kami dan semua yang membacanya.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak
Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari majalah al-Ishlah, edisi 07, dengan judul al-Mizâh fi Sunnah, karya Abdul Majid
Footnote
[1] Diangkat dari majalah al-Ishlah, edisi 07, dengan judul al-Mizâh fi Sunnah, karya Abdul Majid
[2] Qawâ’idul Ahkâm fi Mashâlihul Anâm, 2/391
[3] Hadist ini shahih, lihat kitab As-Shahîhah, no. 1726
[4] Sanad hadist ini shahih sesuai dengan syarat imam al-Bukhâri dan Muslim. Lihat Mukhtasar Syamâ’il, Imam al-AlBâni, no. 203
[5] HR. Al-Bukhâri, no. 5774; Muslim, no. 4003, dan Tirmizi, no. 305
[6] Fathul Bâri, 10/527
[7] Al-Mirah fil Mizâh, hlm. 8
[8] Diriwayatkan oleh at-Tirmizdi dalam Syamâ’il, no. 238, dan hadits ini dinilai hasan oleh al-Albâni dalam Mukhtasharnya, no. 205
[9] Tâjul ‘Arûs, dalam materi huruf mim za ha
[10] HR. At-Tirmidzi, no. 2315; Abu Daud, no. 4990 dan dishahihkan oleh imam al-Albani dalam Shahîh at-Tirmizi no. 1885
[11] Qawâidul Ahkâm, 2/391, dan al-Azkâr an-Nawawiyah, hlm. 581
[12] HR. At-Tirmidzi no. 2160; dan Abu Daud, no. 5003; dan lafaz hadist dari Abu Daud
[13] Disebutkan oleh al-‘Iz bin abdissalam dalam Qawâ’id al-Ahkâm, 2/392
[14] Imam ahmad dalam Musnadnya no.23064, dan dishahihkan oleh imam al-Albani dalam Ghayatul Marâm, no. 447
[15] Al-Adâb asy-Syariyah, 2/321
[16] Ibnu Sunni, no. 401; dan al-Bukhâri dalam at-Târîkh, no.2673. Hadist ini menjadi hasan dengan beberapa jalan yang dimiliki
[17] Majmû’ Fatâwâ, 4/173. Cetakan al-Ubaikan
[18] Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, 13/154. Cetakan Qurthubah
[19] Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim, no. 4650 dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[20] HR. Al-Bukhâri dan Muslim
[21] HR. Muslim, no. 2616
[22] Fathul Bâri, 13/25
[23] Dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas dalam Syarah shahih Muslim, 16/170
[24] HR. Abu Daud, no.4878. Hadist ini shahih. Lihat as-Shahîhah, no. 533
[25] HR. Muslim, no.2589
from= https://almanhaj.or.id/6290-canda-menurut-sunnah-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam-kriteria-dan-tujuannya.html