Oleh
Muhammad bin Husain Al-Jizani
Muhammad bin Husain Al-Jizani
A. Kesamaan Antara Bid’ah Dan Mashlahat Mursalah
[1].
Kedua-duanya (baik bid’ah ataupun maslahat mursalah) merupakan bagian
dari hal-hal yang belum pernah terjadi pada masa nabi –apalagi maslahat
mursalah-. Kejadian seperti ini umumnya berupa bid’ah-bid’ah –dan ini
sangat sedikit- pada zaman Nabi, seperti dalam kisah tiga orang yang
bertanya tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[2].
Sesungguhnya masing-masing bid’ah –biasanya- dan maslahat mursalah
keduanya luput dari dalil yang spesifik, karena dalil-dalil umum yang
muthlaq-lah yang paling mungkin untuk dijadikan sebagai dalil kedua hal
itu.
B. Sisi Perbedaan Antara Bid’ah Dengan Mashlahat Mursalah
[1].
Bid’ah mempunyai ciri khusus yaitu bahwa bid’ah tidak terjadi, kecuali
dalam hal-hal yang sifatnya ibadah (ta’abbudiyyah) dan hal-hal yang
digolongkan ibadah dalam masalah agama. Berbeda dengan mashlahat
mursalah, karena mashlahat mursalah adalah hal-hal yang dipahami makan
(tujuannya) secara akal, dan seandainya disodorkan pada akal tentu akal
akan menerimanya, ia juga sama sekali tidak ada hubungannya dengan
ta’abbud (masalah yang sifatnya ibadah) atau dengan hal-hal yang
sejalan dengan ta’abud dalam syariat.
[2].
Bid’ah mempunyai ciri khusus yaitu merupakan sesuatu yang dimaksud
sejak awal oleh pelakunya. Mereka –biasanya- taqarrub kepada Allah
dengan mengamalkan bid’ah itu dan mereka tidak berpaling darinya.
Sangat jauh kemungkinan –bagi ahli bid’ah- untuk menghilangkan
amalannya, karena mereka menganggap bid’ahnya itu menang di atas segala
yang menentangnya. Sedangkan mashlahat musrshalah merupakan maksud yang
kedua bukan yang pertama dan masuk dalam cakupan sarana pendukung
(wasa’il), karena sebenarnya mashlahat murshalah ini disyariatkan
sebagai sarana pendukung dalam merealisasikan tujuan syariat-syariat
yang ada. Sebagai bukti hal itu, mashlahat murshalah bisa gugur bila
berhadapan dengan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar. Maka sangat
tidak mungkin untuk mendatangkan bid’ah melalui jalur mashlahat
mursalah.
[3].
Bid’ah juga mempunyai ciri khusus yaitu bahwa keberadaannya membawa hal
yang memberatkan mukallafun (orang-orang yang dibebani untuk
melaksanakan syariat) dan menambah kesusahan mereka. Sedangkan
mashlahat murshalah sesungguhnya mendatangkan kemudahan dan
menghilangkan kesulitan mukallafun atau membantu dalam menjaga hal-hal
yang sangat penting bagi mereka.
[4].
Bid’ah juga mempunyai kekhususan bahwa keberadaannya bertentangan
dengan maqashidusy syarii’ah dan meruntuhkannya. Berbeda dengan
mashlahat murshalah yang –agar diakui keberadaannya secara syariat-
harus masuk di dalam maqashidusy syariah dan membantu pelaksanaannya.
Jika tidak , maka ia tidak diakui.
[5].
Mashlahat murshalah juga memiliki ciri khusus, yaitu tidak pernah ada
pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dikarenakan tidak ada
faktor pendorong untuk melakukannya atau sekalipun faktor itu ada, tapi
ada hal yang menghalanginya. Sedangkan bid’ah yang tidak ada pada zaman
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya memiliki faktor pendorong
dan tuntunan yang banyak, dan tidak ada yang menghalanginya. (Ini
berarti bid’ah itu tidak benar, -pent).
Jadi
mashlahat murshalah itu jika dipengaruhi syaratnya, maka sangat
bertentangan dan bersebarangan dengan bid’ah, sehingga tidak mungkin
bid’ah bisa masuk melalui jalan mashlahat murshalah, karena jika hal
ini terjadi gugurlah keabasahan maslahat tersebut dan tidak dinamakan
mashlahat mursalah, tapi dinamakan mashlahat mulghah (yang dibatalkan)
atau mafsadah (yang dirusak).
[Disalin
dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain
Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Penerjemah Aman Abd
Rahman, Penerbit Pustaka Azzam, Cetakan Juli 2001]
Sumber: https://almanhaj.or.id/1362-hubungan-bidah-dan-maslahat-mursalah.html