Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
PENDAHULUAN
Segala
puji milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita memujinya, memohon ma’unah
dan maghfirah-Nya, bertaubat dan berlindung kepada-Nya dari kejahatan
diri keburukan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk
oleh Allah maka tiada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang
disesatkannya maka tiada yang dapat menunjukinya.
Aku
bersaksi bahwa Tuhan yang berhak disembah selain Allah, tiada sekutu
bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus Allah dengan membawa
petunjuk dan agama yang haq. Beliaupun
telah menyampaikan risalah, melaksanakan amanah, tulus dan kasih kepada
umat, serta berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya sampai
beliau berpulang ke rahmat-Nya, sedang umatnya beliau tinggalkan pada
jalan yang terang benderang, siapa yang menyimpang darinya pasti binasa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah menerangkan segala kebutuhan umat dalam berbagai aspek
kehidupan mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Dzar Radhiyallahu
‘anhu : “Tidak
ada yang diabaikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai
burung yang mengepakkan sayapnya di langit, melainkan beliau telah
mengajarkan kepada kami tentang ilmunya”.
Ada seorang musyrik bertanya kepada Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘anhu : ”Apakah Nabi kalian mengajarkan sampai tentang tatacara buang hajat ..? Salman menjawab : ‘Ya,
beliau telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang hajat, dan
membersihkan hajat dengan kurang dari tiga batu, atau dengan tangan
kanan atau dengan kotoran kering atau dengan tulang”.
ALLAH TELAH MENJELASKAN USHUL DAN FURU AGAMA DALAM AL-QURANUL KARIM
Anda
tentu tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan dalam
Al-Qur’an tentang ushul (pokok-pokok) dan furu’ (cabang-cabang) agama
Islam. Allah telah menjelaskan tentang tauhid dengan segala
macam-macamnya, sampai tentang bergaul sesama manusia seperti tatakrama
pertemuan, tatacara minta izin dan lain sebagainya. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu :
‘Berlapang-lapanglah dalam majlis’, maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu” [Al-Mujaadalah : 11]
Dan firman-Nya.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ
حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ
خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا
أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّىٰ يُؤْذَنَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ قِيلَ
لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا ۖ هُوَ أَزْكَىٰ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu sebelum minta izin dan memberi salam kepada penghuninya, yang
demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat. Jika kamu tidak
menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu
mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: ‘Kembalilah !’ maka
hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [An-Nuur : 27-28]
.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan pula kepada kita dalam Al-Qur’an tentang cara berpakaian. Firman-Nya.
.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan pula kepada kita dalam Al-Qur’an tentang cara berpakaian. Firman-Nya.
وَالْقَوَاعِدُ
مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ
جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Dan
perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung)
yang tiada ingin kawin (lagi) tiadalah atas mereka dosa menanggalkan
pakaian mereka [1] dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan” [An-Nuur : 60].
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ
أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا
“Hai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mu’min : ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbanya [2] ke
seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha penyayang”. [Al-Ahzaab : 59].
ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasaan yang mereka sembunyikan”. [An-Nuur : 31]
وَلَيْسَ
الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ
مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا ۚ وَاتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bukankah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya [3], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa, dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya”. [Al-Baqarah : 189].
Dan masih banyak lagi ayat seperti ini, yang dengan demikian jelaslah bahwa Islam adalah sempurna, mencakup segala aspek kehidupan, tidak perlu ditambahi dan tidak boleh dikurangi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala tentang Al-Qur’an.
وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
“Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu”. [An-Nahl : 89].
Dengan
demikian, tidak ada sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia baik yang
menyangkut masalah kehidupan di akhirat maupun masalah kehidupan di
dunia, kecuali telah dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an secara tegas atau
dengan isyarat, secara tersurat maupun tersirat.
Adapun firman Allah Ta’ala.
وَمَا
مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا
أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ ۚ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ
ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
“Dan
tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu.
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-kitab. Kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan”. [Al-An’aam : 38].
Ada yang menafsirkan ”al-kitab” disini adalah Al-Qur’an. Padahal sebenarnya yang dimaksud yaitu “Lauh Mahfuzh”. Karena apa yang dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang Al-Qur’an dalam firman-Nya : “Artinya : Dan Kami turunkan kepadmu kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu”. lebih tegas dan lebih jelas daripada yang dinyatakan dalam firman-Nya : “Artinya : Tidaklah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-kitab”.
Mungkin
ada orang yang bertanya : “Adakah ayat di dalam Al-Qur’an yang
menjelaskan jumlah shalat lima waktu berikut bilangan raka’at tiap-tiap
shalat? Bagaimanakah dengan firman Allah yang menjelaskan bahwa
Al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan segala sesuatu, padahal kita
tidak menemukan ayat yang menjelaskan bilangan raka’at tiap-tiap shalat
?”.
Jawabnya : Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam Al-Qur’an bahwasanya kita
di wajibkan mengambil dan mengikuti segala apa yang telah disabdakan
dan ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan atas firman Allah Ta’ala.
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah” [An-Nisaa : 80].
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. [Al-Hasyr : 7].
Maka
segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sesungguhnya Al-Qur’an telah menunjukkannya pula. Karena sunnah termasuk juga wahyu yang diturunkan dan diajarkan oleh Allah kepada Rasulullah Shalallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
“Artinya : Dan Allah telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) kepadamu”. [An-Nisaa : 113].
Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam sunnah maka sebenarnya telah disebutkan pula dalam Al-Qur’an.
RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM TELAH MENJELASKAN PULA SELURUH AGAMA
Pembaca yang budiman.
Apabila saudara telah mengakui dan meyakini akan hal-hal di atas, maka apakah masih ada sesuatu hal tentang agama yang dapat mendekatkan kepada Allah belum dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau wafat ?
Apabila saudara telah mengakui dan meyakini akan hal-hal di atas, maka apakah masih ada sesuatu hal tentang agama yang dapat mendekatkan kepada Allah belum dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau wafat ?
Tentu tidak.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan segala sesuatu
berkenan dengan agama, baik melalui perkataan, perbuatan atau
persetujuan beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menerangkannya langsung dari inisiatif beliau, atau sebagai jawaban
atas pertanyaan. Kadangkala, dengan kehendak Allah, ada seorang Badui
datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya
tentang sesuatu masalah dalam agama, sementara para sahabat yang selalu
menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan hal
tersebut. Karena itu para sahabat merasa senang apabila ada seorang
Badui datang untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagai
bukti bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan segala
apa yang diperlukan manusia dalam ibadah, mu’amalah dan kehidupan
mereka, yaitu firman Allah Ta’ala.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada
hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan
kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. [Al-Maa’idah : 3]
SETIAP BID’AH ADALAH KESESATAN
Apabila masalah tadi sudah jelas dan menjadi ketetapan saudara, maka ketahuilah bahwa siapapun
yang berbuat bid’ah dalam agama, walaupun dengan tujuan baik, maka
bid’ahnya itu, selain merupakan kesesatan, adalah suatu tindakan
menghujat agama dan mendustakan firman Allah Ta’ala, yang artinya : “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu …..”
. Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan bahwa
Islam belum sempurna, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan
dapat mendekatkan diri kepada Allah belum terdapat di dalamnya.
Anehnya,
ada orang yang melakukan bid’ah berkenan dengan dzat, asma’ dan sifat
Allah Azza wa Jalla, kemudian ia mengatakan bahwa tujuannya adalah
untuk mengagungkan Allah, untuk mensucikan Allah, dan untuk menuruti
firman Allah Ta’ala.
فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
“Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah”. [Al-Baqarah : 22]
Aneh,
bahwa orang yang melakukan bid’ah seperti ini dalam agama Allah, yang
berkenan dengan dzat-Nya, yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama
salaf, mengatakan bahwa dialah yang mensucikan Allah, dialah yang
mengagungkan Allah dan dialah yang menuruti firman-Nya : “Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah”,
dan barangsiapa yang menyalahinya maka dia adalah mumatstsil musyabbih
(orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), atau menuduhnya
dengan sebutan-sebutan jelek lainnya.
Anehnya
lagi, ada orang-orang yang melakukan bid’ah dalam agama Allah berkenaan
dengan pribadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan
perbuatannya itu mereka menganggap bahwa dirinyalah orang yang paling
mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang
mengagungkan beliau, barangsiapa yang tidak berbuat sama seperti mereka
maka dia adalah orang yang membenci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya yang biasa
mereka pergunakan terhadap orang yang menolak bid’ah mereka.
Aneh,
bahwa orang-orang semacam ini mengatakan : “Kamilah yang mengagungkan
Allah dan Rasul-Nya”. Padahal dengan bid’ah yang mereka perbuat itu,
mereka sebenarnya telah bertindak lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Allah Ta’ala telah berfirman.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui”. [Al-Hujuraat : 1].
Pembaca yang budiman.
Disini penulis mau bertanya, dan mohon -demi Allah- agar jawaban yang anda berikan berasal dari hati nurani bukan secara emosional, jawab yang sesuai dengan tuntunan agama anda, bukan karena taklid (ikut-ikutan).
Disini penulis mau bertanya, dan mohon -demi Allah- agar jawaban yang anda berikan berasal dari hati nurani bukan secara emosional, jawab yang sesuai dengan tuntunan agama anda, bukan karena taklid (ikut-ikutan).
Apa
pendapat anda terhadap mereka yang melakukan bid’ah dalam agama Allah,
baik yang berkenan dengan dzat, sifat dan asma’ Allah Subhanahu wa
Ta’ala atau yang berkenan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Kemudian mengatakan : “Kamilah yang mengagungkan Allah dan
Rasulullah ?”.
Apakah
mereka ini yang lebih berhak disebut sebagai pengagung Allah dan
Rasulullah, ataukah orang-orang yang mereka itu tidak menyimpang
seujung jaripun dari syari’at Allah, yang berkata : “Kami beriman
kepada syari’at Allah yang dibawa Nabi, kami mempercayai apa yang
diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap perintah dan larangan; kami
menolak apa yang tidak ada dalam syari’at, tak patut kami berbuat
lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya atau mengatakan dalam agama Allah
apa yang tidak termasuk ajarannya ?”.
Siapakah, menurut anda, yang lebih berhak untuk disebut sebagai orang yang mencintai serta mengagungkan Allah dan Rasul-Nya .?
Jelas
golongan yang kedua, yaitu mereka yang berkata : “Kami mengimani dan
mempercayai apa yang diberitakan kepada kami, patuh dan tunduk terhadap
apa yang diperintahkan; kami menolak apa yang tidak diperintahkan, dan
tak patut kami mengada-adakan dalam syari’at Allah atau melakukan
bid’ah dalam agama Allah”. Tak syak lagi bahwa mereka inilah
orang-orang yang tahu diri dan tahu kedudukan Khaliqnya. Merekalah yang
mengagungkan Allah dan Rasul-Nya, dan merekalah yang menunjukkan
kebenaran kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bukan
golongan pertama, yang melakukan bid’ah dalam agama Allah, dalam hal
akidah, ucapan, atau perbuatan. Padahal, anehnya, mereka mengerti sabda
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam.
إِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ، فَإِنَّ كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَة، وَكُلَّ
بدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ، وَكُلَّ ضَلاَ لَةٍ فِي النَّارِ
“Jauhilah
perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru adalah bid’ah, setiap
bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan masuk dalam neraka”.
Sabda beliau : “setiap bid’ah” bersifat umum dan menyeluruh, dan mereka mengetahui hal itu.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyampaikan maklumat umum ini, tahu
akan konotasi apa yang disampaikannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah manusia yang paling fasih, paling tulus terhadap umatnya,
tidak mengatakan kecuali apa yang dipahami maknanya, Maka ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kullu bid’atin dhalalah”,
Beliau menyadari apa yang diucapkan, mengerti betul akan maknanya, dan
ucapan ini timbul dari beliau karena beliau benar-benar tulus terhadap
umatnya.
Apabila
suatu perkataan memenuhi ketiga unsur ini, yaitu: diucapkan dengan
penuh ketulusan, penuh kefasihan dan penuh pengertian, maka perkataan
tersebut tidak mempunyai konotasi lain kecuali makna yang dikandungnya.
Dengan pernyataan umum tadi, benarkah bahwa bid’ah dapat kita bagi menjadi tiga bagian, atau lima bagian?
Sama
sekali tidak benar. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan
bahwa ada bid’ah hasanah, maka pendapat tersebut tidak lepas dari dua
hal.
Pertama : kemungkinan tidak termasuk bid’ah tapi dianggapnya sebagai bid’ah.
Kedua : kemungkinan termasuk bid’ah, yang tentu saja sayyi’ah (buruk), tetapi dia tidak mengetahui keburukannya.
Kedua : kemungkinan termasuk bid’ah, yang tentu saja sayyi’ah (buruk), tetapi dia tidak mengetahui keburukannya.
Jadi setiap perkara yang dianggapnya sebagai bid’ah hasanah, maka jawabannya adalah demikian tadi.
Dengan
demikian, tak ada jalan lagi bagi ahli bid’ah untuk menjadikan sesuatu
bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah, karena kita telah mempunyai
senjata ampuh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu :
وَكُلُّ بدْعَةٍ ضَلاَ
“Setiap bid’ah adalah kesesatan”
Senjata
itu bukan dibuat di sembarang pabrik, melainkan datang dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dibuat sedemikian sempurna. Maka
barangsiapa yang memegang senjata ini tidak akan dapat dilawan oleh
siapapun dengan bid’ah yang dikatakannya sebagai hasanah, sementara
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan: “Setiap bid’ah adalah kesesatan”.
[Disalin
dari buku Al-Ibdaa’ fi Kamaalis Syar’i wa Khatharil Ibtidaa’, edisi
Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid’ah, karya Syaikh Muhammad
bin Sholeh Al-‘Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, penerbit Yayasan
Minhajus Sunnah, Bogor – Jabar]
_______
Footnote
[1]. Maksudnya : Pakaian luar, yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat.
[2]. Jilbab sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
[3]. Pada masa Jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji mereka memasuki rumahnya dari belakang, bukan dari depan. Hal ini ditanyakan oleh para sahabat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka turunlah ayat ini sebagai penjelas
_______
Footnote
[1]. Maksudnya : Pakaian luar, yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat.
[2]. Jilbab sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
[3]. Pada masa Jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji mereka memasuki rumahnya dari belakang, bukan dari depan. Hal ini ditanyakan oleh para sahabat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka turunlah ayat ini sebagai penjelas
Sumber: https://almanhaj.or.id/3238-kesempurnaan-islam-dan-bahaya-bidah-1.html