Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
BEBERAPA PERTANYAAN DAN JAWABANNYA
Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya : Bagaimanakah pendapat
anda tentang perkataan Umar bin Khatab Radhiyallahu ‘Anhu setelah
memerintahkan kepada Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari agar
mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan para
jama’ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata :
“inilah sebaik-baik bid’ah …. dst”.
Jawabnya.
Pertama : Bahwa tak seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Karena Allah Ta’ala berfirman :
Pertama : Bahwa tak seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Karena Allah Ta’ala berfirman :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan
ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih”. [An-Nuur : 63].
Imam
Ahmad bin Hambal berkata : “Tahukah anda, apakah yang dimaksud
dengan fitnah? Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak
sebagian sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan terjadi
pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan binasa”.
Ibnu
Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Hampir saja kalian
dilempar batu dari atas langit. Kukatakan : Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan
ucapan Abu Bakar dan Umar”.
Kedua
: Kita yakin kalau Umar Radhiyallahu ‘anhu termasuk orang yang
sangat menghormati firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya
Shallallahu alaihi wa sallam. Beliaupun terkenal sebagai orang yang
berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tak heran jika beliau
mendapat julukan sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada
kalamullah. Dan kisah perempuan yang berani menyanggah pernyataan
beliau tentang pembatasan mahar (maskawin) dengan firman Allah, yang
artinya : ” … sedang kamu telah memberikan kepada
seseorang di antara mereka harta yang banyak …” [1] bukan
rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan
mahar.
Sekalipun
kisah ini perlu diteliti lagi tentang keshahihahnya, tetapi dimaksudkan
dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa berpijak
pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya.
Oleh
karena itu, tak patut bila Umar Radhiyallahu ‘anhu menentang
sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata
tentang suatu bid’ah: “Inilah sebaik-baik
bid’ah”, padahal bid’ah tersebut termasuk dalam
kategori sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Setiap bid’ah adalah kesesatan”.
Akan
tetapi bid’ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai
bid’ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tersebut. Maksudnya : adalah mengumpulkan
orang-orang yang mau melaksanakan shalat sunat pada malam bulan
Ramadhan dengan satu imam, di mana sebelumnya mereka melakukannya
sendiri-sendiri.
Sedangkan
shalat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Sayyidah Aisyah
Radhiyallahu ‘anha berkata : “Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melakukan qiyamul lail (bersama para
sahabat) tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannnya
pada malam keempat, dan bersabda :
((إِنِي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا))
“Sesungguhnya
aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedanghkan kamu
tidak mampu untuk melaksanakannya”. [Hadits Riwayat Al-Bukhari
dan Muslim].
Jadi
qiyamul lail (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan berjamaah termasuk
sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun disebut
bid’ah oleh Umar Radhiyallahu anhu dengan pertimbangan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada malam
keempat, ada di antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri,
ada yang melakukannya secara berjama’ah dengan orang banyak.
Akhirnya Amirul Mu’minin Umar Radhiyallahu ‘anhu dengan
pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam. Maka
perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid’ah, bila
dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu.
Akan tetapi sebenarnya bukanlah bid’ah, karena pernah dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan
penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi ahli bid’ah
untuk menyatakan perbuatan bid’ah mereka sebagai bid’ah
hasanah.
Mungkin
juga di antara pembaca ada yang bertanya : Ada hal-hal yang tidak
pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam, seperti; adanya
sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti ini
dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal
kebaikan. Lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan
kaum Muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam : “Setiap bid’ah adalah kesesatan ?”.
Jawabnya
: Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid’ah,
melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana
itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana disebutkan
dalam kaedah : “Sarana dihukumi menurut tujuannya”. Maka
sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan; sarana
untuk perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan;
sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk
itu, suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah
hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat.
Firman Allah Ta’ala.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan”. [Al-An’aam : 108].
Padahal
menjelek-jelekkan sembahan orang-orang yang musyrik adalah perbuatan
hak dan pada tempatnya. Sebaliknya, menjelek-jelekan Rabbul
‘Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya.
Namun, karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan
orang-orang musyrik menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka
perbuatan tersebut dilarang.
Ayat
ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa
sarana dihukumi menurut tujuannya. Adanya sekolah-sekolah, karya ilmu
pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya walaupun hal
baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana.
Sedangkan sarana dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada
seseorang membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu
yang haram, maka pembangunan tersebut hukumnya adalah haram.
Sebaliknya, apabila bertujuan untuk pengajaran ilmu syar’i, maka
pembangunannya adalah diperintahkan.
Jika ada pula yang mempertanyakan : Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
((مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَم سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ))
“Siapa
yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat
pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru)
perbuatannya itu ..”.
“Sanna” di sini artinya : membuat atau mengadakan.
Jawabnya :
Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula : “Setiap bid’ah adalah kesesatan”. yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala atau sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula : “Setiap bid’ah adalah kesesatan”. yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala atau sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan
demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan : “Man sanna
fil Islaam”, yang artinya : “Barangsiapa berbuat dalam
Islam”, sedangkan bid’ah tidak termasuk dalam Islam;
kemudian menyatkan : “sunnah hasanah”, berarti :
“Sunnah yang baik”, sedangkan bid’ah bukan yang baik.
Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid’ah.
Jawaban
lainnya, bahwa kata-kata “Man Sanna” bisa diartikan pula :
“Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah”, yang telah
ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata “sanna”
tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan
menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.
Ada
juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas,
yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit.
Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian
dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa
sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya
di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seketika itu
berseri-serilah wajah beliau dan bersabda.
((مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَم سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ))
”
Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat
pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru)
perbuatannya itu ..”.
Dari
sini, dapat dipahami bahwa arti “sanna” ialah :
melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu
sunnah. Jadi arti dari sabda beliau : “Man Sanna fil Islaami
Sunnatan Hasanan”, yaitu : “Barangsiapa melaksanakan sunnah
yang baik”, bukan membuat atau mengadakannya, karena yang
demikian ini dilarang. berdasarkan sabda beliau : “Kullu
bid’atin dhalaalah”.
SYARAT YANG HARUS DIPENUHI DALAM IBADAH
Perlu diketahui bahwa mutaba’ah (mengikuti Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang
dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam enam perkara.
Pertama. Sebab.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh : Ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini -yaitu : ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam sebab – adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid’ah.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh : Ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini -yaitu : ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam sebab – adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid’ah.
Kedua. Jenis.
Artinya : ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh : Seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.
Artinya : ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh : Seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.
Ketiga. Kadar (Bilangan).
Kalau seseorang yang menambah bilangan raka’at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
Kalau seseorang yang menambah bilangan raka’at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
Keempat. Kaifiyah (Cara).
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhunya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari’at.
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhunya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari’at.
Kelima. Waktu.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah, maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah, maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.
Saya
pernah mendengar bahwa ada orang bertaqarrub kepada Allah pada bulan
Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah
bid’ah, karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk
bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai kurban, denda haji dan akikah.
Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i’tikad mendapat
pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam Idul Adha adalah
bid’ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh
saja.
Keenam. Tempat.
Andaikata ada orang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i’tikafnya. Sebab tempat i’tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri’tikaf di dalam mushalla di rumahnya, maka tidak sah i’tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syari’at, Contoh lainnya : Seseorang yang melakukan thawaf di luar Masjid Haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, thawafnya tidak sah, karena tempat melakukan thawaf adalah dalam Baitullah tersebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
Andaikata ada orang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i’tikafnya. Sebab tempat i’tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri’tikaf di dalam mushalla di rumahnya, maka tidak sah i’tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syari’at, Contoh lainnya : Seseorang yang melakukan thawaf di luar Masjid Haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, thawafnya tidak sah, karena tempat melakukan thawaf adalah dalam Baitullah tersebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ
“Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf”. [Al-Hajj : 26].
Kesimpulan
dari penjelasan di atas, bahwa ibadah seseorang tidak termasuk amal
shaleh kecuali apabila memenuhi dua syarat, yaitu :
Pertama. Ikhlas
Kedua. Mutaba’ah.
Kedua. Mutaba’ah.
Dan Mutaba’ah tidak akan tercapai kecuali dengan enam perkara yang telah diuraikan tadi.
PENUTUP
Penulis berpesan kepada mereka yang terjerat dalam cobaan bid’ah,
yang kemungkinan mempunyai tujuan baik dan menghendaki kebaikan,
apabila anda memang menghendaki kebaikan maka -demi Allah- tidak ada
jalan yang lebih baik daripada jalan para Salaf (generasi pendahulu)
Radhiyallahu ‘anhum.
Pegang
teguhlah sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ikutilah
jejak para salaf shaleh, dan perhatikanlah apakah hal itu akan
merugikan anda?
Dan
kami katakan, dengan sesungguhnya, bahwa anda akan mendapatkan
kebanyakan orang yang suka mengerjakan bid’ah merasa enggan dan
malas untuk mengerjakan hal-hal yang sudah jelas diperintahkan dan
disunnahkan. Jika mereka selesai melakukan bid’ah, tentu mereka
menghadapi sunnah yang telah ditetapkan dengan rasa engggan dan malas.
Itu semua merupakan dampak dari bid’ah terhadap hati.
Bid’ah,
besar dampaknya terhadap hati dan amat berbahaya bagi agama. Tidak ada
suatu kaum melakukan bid’ah dalam agama Allah melainkan mereka
telah pula menghilangkan dari sunnah yang setara dengannya atau
melebihinya, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh seorang ulama salaf.
Akan
tetapi apabila seseorang merasa bahwa dirinya adalah pengikut dan bukan
pembuat syari’at, maka akan tercapai olehnya kesempurnaan takut,
tunduk, patuh dan ibadah kepada Rabbul ‘alamien serta
kesempurnaan ittiba’ (keikutsertaan) kepada Imamul Muttaqin,
Sayyidul Mursalin, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Penulis
berpesan kepada saudara-saudara kaum Muslimin yang menganggap baik
sebagian dari bid’ah, baik yang berkenan dengan dzat, asma’
dan sifat Allah, atau yang berkenan dengan pribadi dan pengagungan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaklah mereka takut
kepada Allah dan menghindari hal-hal semacam itu. Beramalllah dengan
didasari ikhlas dan sunnah, bukan syirik dan bid’ah ; menurut apa
yang diridhai Allah, bukan apa yang disenangi syaitan. Dan hendaklah
mereka memperhatikan apakah yang dapat dicapai oleh hati mereka, berupa
keselamatan, kehidupan, ketenangan, kebahagian dan nur yang agung.
Semoga
Allah menjadikan kita sebagai penunjuk jalan yang mendapat petunjuk-Nya
dan pemimpin yang membawa kebaikan, memerangi hati kita dengan iman dan
ilmu, menjadikan ilmu yang kita miliki membawa berkah dan bukan
bencana. Serta semoga Allah membimbing kita kepada jalan para hamba-Nya
yang beriman, menjadikan kita termasuk para auliya-Nya yang bertakwa
dan golongan-Nya yang beruntung.
Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi Kita, Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.
[Disalin
dari buku Al-Ibdaa’ fi Kamaalis Syar’i wa Khatharil
Ibtidaa’, edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya
Bid’ah, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin,
penerjemah Ahmad Masykur MZ, penerbit Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor
– Jabar]
_______
Footnote
[1]. Surah An-Nisa : 20
_______
Footnote
[1]. Surah An-Nisa : 20
Sumber: https://almanhaj.or.id/3237-kesempurnaan-islam-dan-bahaya-bidah-2.html